Di lingkungan masyarakat Jawa khususnya, sering dijumpai apabila ada orang yang meninggal selalu ada serangkaian acara selamatan dengan jamuan makan-makan yang layaknya disebut tahlilan yang dilakukan mulai dari meninggal sampai malam ketujuh dan dilanjutkan pada malam ke-empatpuluh, ke-seratus, dan ke-seribu. Tahlilan ini dimaksudkan untuk mendoakan si mayat. Sebagian orang berkepercayaan bahwa jumlah orang yang bertahlilan minimal empat puluh orang, sehingga doanya dapat cepat diterima oleh Allah swt. Apakah kegiatan demikian itu sesuai dengan tuntunan Islam? Bagaimana kewajiban keluarga si mayat yang benar menurut Islam setelah mayat dikubur? Mohon penjelasan dan terimakasih.
Farida, Surabaya.
Jawab:
Diantara yang disyariatkan dalam Islam berkaitan dengan orang yang meninggal dunia adalah ta’ziah. Ta’ziah hukumnya sunnah meskipun untuk orang kafir dzimmi. Tujuan ta’ziah adalah untuk menghibur keluarga mayat agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Di samping itu, ta’ziah uga bertujuan untuk mendoakan si mayat. Ta’ziah disunnahkan sampai hari ketiga dan sesudahnya makruh hukumnya.
Dalam melaksanakan ta’ziah dapat diungkapkan dalam bentuk kata-kata, yakni berupa doa untuk memberikan kesabaran pada keluarga si mayat. Dalam hal ini para ulama berkata, “Jika seorang muslim berta’ziah kepada muslim lainnya, hendaklah ia mengucapkan:
'adzomallohu ajroka wa ahsana a'zaa a ka wa ghofaro limayyitika
"Semoga Allah memberimu pahala yang besar, menghibur hatimu dengan kesabaran dan memberikan ampunan pada mayat keluargamu.”
Kemudian keluarga si mayat menjawabnya dengan mengatakan:
amiin - ajrokallohu
“Amiin, semoga Allah memberimu pahala.”
Tentang etiket dalam berta’ziah, hendaknya orang yang berta’ziah tidak duduk berlama-lama dalam majlis. Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa beliau tidak menyukai duduk-duduk dalam majlis orang meninggal, meskipun tidak disertai tangis, sebab akan dapat membangkitkan rasa duka dan membebani biaya bagi keluarga si mayat. Golongan Hanafiah membolehkan ta’ziah dengan duduk-duduk ini dalam masa tiga hari, asal tidak melakukan perbuatan maksiat.
Selanjutnya tradisi tahlilan dan selamatan untuk orang mati ditinjau dari sisi semangat dan tujuannya telah memiliki kesesuaian dengan tata cara ta’ziah seperti yang dituntunkan Rasulullah saw. Namun dari sisi lain, tata cara ta’ziah yang diajarkan Rasulullah saw. tidak dilaksanakan. Semisal bahwa ta’ziah hanya dilakukan tiga hari dan selebihnya makruh, tetapi aktifitas tahlilan justru dilaksanakan hingga hari ke-seribu dan seterusnya.
Kemudian berkaitan dengan tahlilan diartikan sebagai sedekah untuk mayat apakah sedekah itu dapat diterima atau tidak, dalam hal ini terdapat hadits Rasulullah saw. yang artinya:
Seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah sesungguhnya ibuku telah mati. Apakah bemanfaat bila aku bersedekah untuknya?” Jawab Rasulullah, “Ya”. (HR. Abu Dawud).
Dengan memandang hal tersebut di atas, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa secara keseluruhan hadits tahlilan ini adalah keliru, karena di dalamnya masih ada nilai yang dapat dibenarkan. Betapapun demikian, hendaklah kita dalam melaksanakan amal perbuatan senantiasa memperhatikan tuntunan Rasulullah saw.
Wallôhu a’lam.
***
Dec 1, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Ternyata Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Post a Comment