Dec 6, 2008

Nikah Sirri

Pertanyaa:

Ustadz, saya menjumpai beberapa teman yang melaksanakan nikah sirri. Dalam hal ini, si laki-laki tidak memberikan nafkah untuk istrinya. Pada umumnya, nikah sirri ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari aktivitas pacaran. Sementara itu, seorang teman saya telah menikah secara sirri, tetapi si istri tidak mau dikumpuli. Bagaimana kedudukan nikah sirri ini sebagai alternatif pengganti pacaran? Bagaimana pula kedudukan laki-laki yang tidak menafkahi istrinya? Padahal setahu saya, memberi nafkah istri itu wajib. Bagaimana pula bila si istri tidak mau dikumpuli? Padahal, menolak dikumpuli oleh suami itu setahu saya tidak boleh. Bagaimana bila sehubungan dengan itu telah dibuat perjanjian sebelumnya? Dan bila setelah nikah sirri ini kemudian ingin diumumkan secara terang-terangan, apakah perlu ada ijab qobul lagi sehingga juga ada mahar lagi?

Ikhwan,
Surabaya.


Jawab:
Nikah sirri dalam pengertian yang dipahami oleh masyarakat adalah nikah tanpa melalui pencatatan petugas pencatat pernikahan (KUA). Bila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka nikah sirri ini hukumnya sah menurut syara’ terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam menentukan rukun dan syarat ini.

Imam Abu Hanifah tidak memasukkan wali sebagai hal yang harus ada dalam aqad nikah. Dengan demikian, adalah sah pernikahan yang dilakukan tanpa wali menurut pengertian mazhab Hanafiah. Sementara itu, golongan Zhahiriah membedakan antara janda dan gadis dalam masalah perwalian ini. Untuk gadis harus ada wali, sedangkan janda tidak. (lihat Fiqhus Sunnah: II/113; Al Mizan Lisy Sya’roni: II/109; Husnul Uswah lis Sayyid Muh. Siddiq Khan, hal 192, tentang pernikahan Zainab binti Jahs dengan Zaid bin Haritsah yang dilaksanakan tanpa wali).

Berkaitan dengan menikah (sirri) sebagai alternatif untuk menghindarkan diri dari pacaran, maka hal ini sangat dianjurkan. Bahkan, kedudukannya bisa menjadi wajib bila dikhawatirkan akan terjadi perzinaan.

Banyak kemaksiatan yang timbul akibat berpacaran yang kesemuanya itu dapat menjerumuskan diri ke dalam perzinaan. Bila kita amati, kehidupan muda-mudi saat ini banyak terjadi pelanggaran susila akibat pergaulan bebas yang mereka lakukan. Sebagai contoh, data beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa di daerah Yogyakarta tercatat terjadinya aborsi (pengguguran kandungan) akibat hamil di luar nikah yang dilakukan para pelajar meningkat 300% (Republika: 30/8/94). Data ini belum termasuk mereka yang tidak sempat menggugurkan kandungan yang berarti telah melahirkan tanpa bapak yang sah.

Oleh karena itu, diserukan para orang tua untuk senantiasa memperhatikan putra-putrinya agar jangan sampai terjerumus kepada kemaksiatan akibat pacaran ini. Dan hendaknya para orang tua tidak membiarkan putra-putrinya berpacaran berlarut-larut dan tidak segera dinikahkannya.

Dalam hal ini pula, secara hukum diperkenankan bagi para muda-mudi untuk melaksanakan nikah tanpa wali dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah, oleh karena orang tua belum menyetujui pernikahan itu. Sementara itu, kebutuhan menikah sudah sangat mendesak sebab dikhawatirkan berbuat perzinaan.

Hadirnya peraturan tentang pencatatan pernikahan di antaranya dilatarbelakangi oleh munculnya tindakan tidak bertanggungjawab dari salah satu pihak, baik suami maupun istri. Hal ini merupakan langkah yang positif, karena saat ini banyak pula orang menikah dan tidak bertanggung jawab. Dengan dihadirkannya peraturan tentang pencatatan pernikahan ini, diharapkan dapat menekan munculnya tindakan tak bertanggunjawab.

Tetapi, meskipun Islam sangat memberikan kemudahan dalam urusan pernikahan, bukan berarti bahwa Islam membuka peluang untuk muncul tindakan tak bertanggungjawab, karena dalam pernikahan itu sendiri tidak saja mengandung konsekuensi pertanggungjawaban duniawi, tetapi juga pertanggungjawaban ukhrowi, yakni kepada Allah Swt.

Tentang penundaan pemberian nafkah suami maupun penundaan untuk berkumpul dengan istri dengan suatu perjanjian, maka hal ini boleh dilakukan, yang dalam istilah syara’ disebut tanazzul. Rasulullah saw. sendiri pernah melakukan tanazzul, yaitu ketika beliau menikahi Sayyidah ‘Aisyah, ketika Sayyidah ‘Aisyah telah berusia sembilan tahun. Begitu pula tatkala Sayyidah Saudah telah lanjut usia, beliau menyerahkan hak gilirnya pada Sayyidah ‘Aisyah.

Selanjutnya, berkenaan dengan pengulangan aqad nikah, sebagian ulama tidak mempermasalahkan. Adapun berkaitan dengan maharnya, maka sebenarnya aqad nikah tanpa disebutkan maharnya adalah sah, karena mahar pada hakikatnya tidak berkaitan dengan aqad tetapi berkaitan dengan masalah duhul (mempergauli istri). Aqad nikah tanpa menyebut mahar ini disebut nikah tafwidh. Dalam hal ini, mahar dapat disertakan pada salah satu dari aqad pertama atau kedua atau tanpa ditetapkan lebih dahulu pada saat aqad nikah.

Sebagai informasi, di samping ada pengertian nikah sirri sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat, ada juga pengertian nikah sirri menurut ahli fiqih, yaitu nikah yang saksinya tidak memenuhi persyaratan. Nikah sirri dalam pengertian ini adalah tidak sah menurut syara’.

[]

0 comments: