Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami?
Tadayyun merupakan ghorizah yang ada pada setiap diri manusia. Ia adalah perasaan yang butuh pada sang Pencipta yang mengaturnya (al Kholik al Mudabbir), tanpa memandang siapa yang dianggap sang pencipta tersebut. Perasaan ini adalah perasaan fitri yang ada pada setiap manusia, baik ia percaya pada adanya Pencipta maupun ingkar akan keberadaanNya, dan hanya percaya pada apa yang nampak/dapat dilihat oleh mata. Keberadaan pada diri manusia ini adalah pasti. Sebab perasaan ini tercipta sebagai bagian dari kejadian manusia. Perasaan itu dinamakan ghorizah tadayyun.
Penampakan dari ghorizah tadayyun adalah adanya taqdis (pensucian) terhadap sang Pencipta. Adakalahnya penampakan taqdis tersebut dalam bentuk yang hakiki (sempurna), maka jadilah ia suatu ibadah seperti: shalat bagi orang muslim, kebaktian bagi orang Kristen, sembahyang bagi orang Hindu/Budha, dan lain sebagainya. Namun adakalanya penampakannya dalam bentuk yang lebih rendah dari ibadah (aqollu suurotan), maka jadilah ia suatu ta’dhim/tabjil (kultus/pengagungan). Seperti: penghormatan berlebihan terhadap Hitler oleh pengikut NAZI, pengagungan Kaisar Jepang oleh bangsa Jepang, dan lain sebagainya.
Taqdis adalah puncak penghormatan hati, ia bukanlah hasil rasa takut (al khouf), akan tetapi merupakan hasil dari ghorizah tadayyun. Sedangkan penampakan dari rasa takut bukanlah taqdis, melainkan loyalitas (ngathok dalama bahasa Jawa), serta lari atau usaha untuk mempertahankan diri/membela diri. Semua itu jelas berbeda dengan hakekat taqdis, oleh karena itu taqdis adalah penampakan dari ghorizah tadayyun, bukan penampakan rasa takut.
Dengan demikian tadayyun adalah ghorizah mustaqillah (tersendiri), bukan bagian dari ghorizah baqo’ (naluri mempertahankan diri). Dengan demikian kita dapatkan bahwa manusia itu berghorizah tadayyun. Dengan adanya ghorizah tadayyun ini, maka kita mendapatkan bahwa setiap manusia sebenarnya telah beragama sejak ia diciptakan oleh Alloh swt., sehingga manusia pasti mensucikan/menyembah sesuatu. Di antara mereka ada yang menyembah matahari, bintang, berhala, dan ada pula yang menyembah al Kholiq al Mudabbir, yaitu Alloh swt., sehingga tidak akan kita dapatkan suatu masa, kecuali manusia melakukan penyembahan/pensucian terhadap sesuatu.
Bahkan bangsa yang diperintah oleh penguasa yang memaksa rakyatnya melepaskan agama mereka akan tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun mereka harus melawan kekuatan yang menguasainya serta rela menanggung siksaan dan penderitaan dalam menjalankan ibadah tersebut. Tidak ada satupun kekuatan yang mampu mencabut naluri keberagamaan dari diri manusia, atau menghilangkan usaha taqdis terhadap al Kholiq, atau mencegah manusia beribadah. Yang mungkin adalah meredamnya untuk sementara waktu. Sebab beribadah adalah penampakan yang alamiah dari ghorizah tadayyun dalam diri manusia.
Sedangkan yang nampak pada orang-orang atheis (al mulhidin), misalnya mereka tidak melakukan ibadah atau menghina ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan penampakan ghorizah tadayyun dari ibadah kepada Alloh swt. menjadi ibadah kepada makhluk. Mereka melakukan taqdis kepada alam, pahlawan-pahlawan, atau terhadap segala sesuatu yang dianggap agung atau super dan pada yang lainnya. Mereka telah melakukan kekeliruan yang besar, melakukan perbuatan yang salah seta melakukan penafsiran yang salah terhadap sesuatu. Berdasarkan semua itu dapatlah dipahami, bahwa sebenarnya kufur itu lebih sulit daripada iman, sebab kekufuran merupakan usaha pemalingan manusia dari fitrahnya, dan memindah penampakan fitrah tersebut kepada sesuatu yang bukan hakiki. Untuk melakukan semua itu diperlukan usaha besar. Alangkah sulitnya mengalihkan manusia dari tabiat dan fitrahnya.
Oleh karena itu sering kita dapatkan pada orang-orang atheis ketika terpampang di hadapan mereka sesuatu kebenaran atau al haq, dan telah jelas pula wujud Alloh swt. berdasarkan pengamatan panca indera, kemudian ditemukan wujud tersebut berdasarkan akal dengan pengertian yang matang, tentu mereka bergegas untuk beriman, sehingga dirasakannya kedamaian dan ketenangan, dan lenyap pula semua beban yang memberati jiwanya selama ini. Jadilah iman mereka itu menancap dengan kuat, karena iman tersebut muncul dari pengamatan inderanya yang didukung oleh akalnya yang terpadu dengan perasaan yang diyakininya atau wijdannya. Dengan perpaduan antara indera, akal dan wijdannya maka bertemulah fitrah dan akalnya sehingga mereka dapat menemukan Alloh swt. dengan yakin, dan jadilah iman mereka iman yang kuat dan kokoh.
***
Dec 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment