Dec 2, 2008

Memilih Dengan Hati Nurani


Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Pertama-tama dari atas mimbar ini kami sampaikan wasiat. Wasiat bersama, untuk pribadi saya sendiri dan kepada seluruh jamaah. Wasiat tersebut sangat terkait dengan kehambaan kita kepada Allah swt. Selalu terikat dengan hukum-hukum Allah swt. dalam segala tindak tanduk kita.

Kita melihat dalam keseharian seorang muslim, kadangkala ia minum dengan tangan kiri bahkan dengan berdiri pula. Padahal Rasulullah saw. tidak mengajarkan minum dengan tangan kiri dan sambil berdiri. Makruh hukumnya. Sunnah minum adalah dengan tangan kanan dan tidak sambil berdiri, kecuali minum air zam-zam. Perbuatan minum memang perbuatan yang kecil. Namun, sekecil apapun perbuatan kita semestinya tetap terikat dengan hukum-hukum Allah. Dengan begitu, kita akan mendapatkan ridha dan cinta Allah swt. Ada selalu keterikatan dengan hukum-hukum Allah swt. dalam setiap perbuatan inilah yang disebut dengan dasar ketakwaan. Halal, haram, makruh, atau mubah harus diketahui dalam perbuatan yang akan kita lakukan. Sebaik-baik bekal dalam menghadap Allah swt. adalah ketakwaan ini.



Itulah wasiat yang pertama kami sampaikan dalam khutbah ini, yakni keterikatan pada hukum-hukum Allah swt.. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukum-hukum Allah swt. dalam segala perilakunya, sekecil apapun, seperti makan dan minum yang kami sebutkan di atas. Lalu bagaimana dengan memilih presiden? Tentu ini urusan yang lebih besar. Urusan negara dan urusan kita dalam memilih pemimpin.

Sering kita mendengar iklan, spanduk, atau slogan-slogan yang isinya ”Hendaklah kita memilih dengan hati nurani”. Hal ini menambah kebingungan, karena harus memilih berdasarkan hati nurani. Bisa jadi seseorang memilih presiden karena gantengnya, memilih karena persaudaraan, karena berasal dari satu daerah, atau berasal dari satu partai, dan lain sebagainya. Padahal yang menyelamatkan kita di hadapan Allah swt. bukanlah partai. Islamlah yang menyelamatkan kita. Terkait dengan memilih dengan hati nurani ini semestinya kita kembali kepada hadits Rasulullah saw. yang menyebutkan:

Laa yu’ minnu ahadukum hatta yakunaa hawau tabaa lima jiktum
”Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sehingga nuraninya itu selalu mengikuti tuntunan yang aku bawa.”

Sementara itu tuntunan yang dibawa Rasulullah saw. itu sudah terikat dengan halal, haram, makruh, dan mubah. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus mengetahui hukum dasar Islam, bagaimana kita secara umum memilih seorang pemimpin itu. Firman Allah swt. dalam surat at-Taubah: 23,

”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Ayat di atas secara jelas mengatakan, sekalipun itu bapak kita atau saudara kita jika mereka bukan seorang muslim, maka tidak boleh dipilih. Jika salah satu calon pemimpin itu, entah presiden atau wakil presiden beragama Nasrani, Hindu, atau Budha, maka tidak boleh dipilih. Pelarangan keras ini sangat jelas dalam al-Quran seperti ayat yang kami kutip di atas.

Hubungan bapak dan saudara itu sangat dekat. Antara seorang anak dengan bapaknya dan seorang saudara dengan saudaranya. Apalagi tidak ada hubungan darah atau kekerabatan sama sekali. Jika terjadi seorang muslim memilih pemimpinnya berasal dari non muslim atau orang yang mendahulukan kufur atas iman, maka mereka itu orang-orang yang telah berbuat zhalim (wa man yatawallahum minkum faûlâika humuzh zhôlimûn). Mereka telah berbuat aniaya dan dosa pada diri mereka sendiri. Ini kita lakukan agar kita mendapatkan ridha dari Allah swt.

Mengapa demikian? Karena Allah swt. sesungguhnya tidak senang terhadap hamba-Nya yang berbuat kekufuran. Padahal kita setiap hari membaca ihdzinash shirôthol mustaqîm, shirôthol ladzîna an’amta ’alaihim ghoiril maghdhûbi ’alaihim minimal 17 kali setiap hari. Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat. Orang-orang yang diberi nikmat dan dicintai oleh Allah swt. di antaranya adalah para nabi, shiddiqin (orang-orang yang jujur), sholihin (orang-orang shaleh), dan syuhada (orang-orang yang berjuang membela agama). Manakala orang dicintai oleh Allah swt., maka kita mencintainya. Sebaliknya, manakala orang dibenci oleh Allah swt., tentu kita juga membencinya. Di sinilah arti ghoiril maghdhûbi, mereka yang dimurkai oleh-Nya, yaitu orang-orang Yahudi. Waladh-dhôlîn, dan bukan pula orang-orang yang tersesat, yaitu orang-orang Nasrani. Kesesatan mereka karena mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Kapan Allah swt. melahirkan anak? Ada juga sebutan Allah Bapa; Allah Anak dan kesesatan-kesesatan yang lain. Sungguh mereka adalah orang-orang yang tersesat.

Ini merupakan contoh betapa kita tidak boleh memilih orang-orang yang berasal bukan dari golongan Islam. Kita semua akan mati dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah apa-apa yang kita lakukan di dunia ini. Jika kita memilih pemimpin beragama Nasrani misalkan, sudah tentu Allah swt. Murka, karena Nasrani termasuk golongan yang dikatakan sesat oleh Allah swt.

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Selanjutnya, kita pun tidak memilih seorang muslim namun tidak berpikiran Islam. Saat ini kita mengenal Islam yang beragam. Islam kapitalis: ia mengaku Islam namun pemikirannya kapitalis. Islam sosialis: ia mengaku Islam namun pemikirannya sosialis dan dalam kehidupannya ia memperjuangkan sosialisme. Islam plularis, Islam humanis, dan Islam-is yang lain. Hal ini telah digambarkan oleh Rasulullah saw. bahwa nanti sebelum hari Kiamat tiba akan datang suatu golongan da’i yang menyeru kepada agama Allah, namun hakekatnya menyeru ke neraka. ”Mereka itu siapa ya Rasulullah?” para sahabat bertanya. Rasulullah saw. menjawab, ”Mereka itu sekulit dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita. Tetapi mereka itu mengajak ke neraka jahanam.”

Islam liberal umpamanya. Banyak hukum-hukum Islam mereka ’preteli’ seenaknya. Jilbab hukumnya tidak wajib. Pembagian hukum waris perempuan dan laki-laki dimana 1 banding 2 itu jaman dulu; sekarang tidak berlaku lagi. Dan masih banyak lagi hukum-hukum Islam yang oleh Islam Liberal diprotoli.

Walaupun calon pemimpin tersebut seorang Islam, namun tidak berpikiran Islam, tentu tidak akan kita pilih. Jadi siapa yang akan kita pilih? Sudah tentu seorang Islam yang berpikiran Islam, berpijak kepada Islam dan hatinya juga Islam. Dialah yang akan kita pilih. Tentu berbeda antara Islam santri dan Islam abangan. Berbeda. Islam abangan KTP-nya Islam, namun pemikirannya bukan Islam. Islam abangan mengatakan semua agama itu sama. Tentu beda dengan Islam santri yang menyatakan agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.

Di sinilah hati nurani kita harus dibatasi dengan tuntunan dari Rasulullah saw., bukan dengan hati nuraninya masing-masing. Apalagi berkembang istilah “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Apakah suara Tuhan juga jika rakyatnya maling semua? Tentu hal itu tidak benar. Istilah itu adalah kaidah atau pedoman yang dikembangkan demokrasi liberal yang datangnya dari barat. Pemikiran suara rakyat adalah suara Tuhan adalah pemikiran demokrasi liberal. Hal ini tidak sesuai dengan aqidah kita, aqidah Islam.

Jika ada pilihan Islam abangan dan Islam santri, sudah tentu kita memilih Islam santri. Tidak peduli apakah itu satu partai atau bukan, saudara atau tidak saudara. Kita akan memilih Islam santri. Karena kita kembali kepada Islam, bukan kepada satu partai, satu saudara, atau fisiknya yang ganteng dan gagah.

Dalam agama ini, ada cabang-cabang iman, di antaranya al-hubbu fillâh wa bughdu fillâh, mencintai seseorang karena Allah dan membenci seseorang karena Allah. Benci bukan berarti dendam. Jika kita membenci orang-orang kafir bukan berarti kita dendam. Kita membenci perilakunya yang menentang Allah. Ada hak dan kewajiban yang kita tunaikan ketika kita bertetangga dengan orang kafir. Ada hak dan kewajiban yang kita laksanakan ketika kita bermuamalah dengan orang kafir. Kita tunjukkan perilaku Islam kepada mereka. Dengan demikian, ada harapan mereka dapat memeluk Islam ini. Sekali lagi, benci bukan berarti dendam.

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Sebagai da’i ilallôh kami wajib menyampaikan dalam khutbah ini karena banyak orang Islam yang bingung dalam memilih. Dalam ber-Islam ini ada miqyâsul ’amal, barometer beramal, yaitu selalu terikat dengan hukum-hukum Allah. Telah kami contohkan sebelumnya bahwa minum dengan tangan kanan beda dengan minum tangan kiri. Berbeda sunnah dengan makruh.

Di akhir khutbah yang singkat ini kami ingatkan kembali dengan firman Allah:

”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”

Dalam dua arti, pertama, jangan memilih pemimpin non muslim. Dan kedua, jangan memilih muslim namun tidak berpikiran dengan Islam.

***

Foto: http://giant41.blogspot.com

0 comments: