Dec 9, 2008

Masyarakat Istighfar

Ketika kali pertama tiba di Madinah, penduduk kota tersebut berlarian menghampiri Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam. Menurut sahabt Abdulloh bin Salam salah satu yang ikut berlarian menghampiri itu dalam diri beliau tidak nampak wajah ketidakjujuran, oleh karena itu penduduk Madinah percaya semua pada apa yang diucapkan. Pada waktu itu, pesan yang beliau sampaikan adalah:

“Wahai sahabat, berikanlah makanan, sambunglah ikatan persaudaraan, sebarkan salam, dan sholatlah di waktu malam saat manusia terlelap tidur.” (Ibnu Katsir, Mukhtashor III/383).

Pesan tersebut benar-benar membekas di kalangan sahabat. Makanan tidak disimpan, salam disebar di setiap perjumpaan . Pembauran antara Muhajirin dan Anshor benar-benar berhasil. Sementara di waktu malam gemuruh suara istighfar, manusia-manusia bersujud menyepi menghadapkan diri kepada Robbul Izzati. Jeritan taubat dan tangisan penyesalan atas kesalahan-kesalahan ditumpahkan pada saat itu. Diri mereka telah membaur dengan Mahabbatulloh.

Kesempatan akhir malam (baca: sepertiga malam yang akhir) tidak disia-siakan. Kesadaran bahwa waktu itu adalah kesempatan emas untuk berkomunikasi secara langsung. Ketika kesibukan siang belum nampak dan lingkungan masih sunyi senyap, tiada penghalang antara ruhnya dengan Alloh. Oleh karena itu, Alloh Subhanahu Wata’ala berkenan turun kepada mereka dan berseru:

“Adakah orang yang bertaubat, Aku akan menerima taubatnya? Adakah orang yang beristighfar Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta, Aku akan memberinya?” (HR. Imam Ahmad).


Waktu malam yang layaknya dibuat untuk tidur dan istirahat total, ternyata tidak bagi mereka. Sepertiga atau bahkan separuh dari malam itu dipersiapkan untuk munajat kepada Alloh; beristighfar memohon ampunan dan memohon petunjuk untuk melangkah pada hari esoknya. Mereka adalah makhluk yang disebut dalam Al Quran sebagai manusia yang bertakwa yang bakal mendapatkan balasan surga dan mata air karena perilaku ihsannya di dunia; berupa sedikit tidur dan selalu beristighfar di akhir malam:

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar.” (QS. Ad Dziriyaat: 171).


Perilaku junjungan mereka telah memberikan tauladan yang tidak kecil. Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam setiap harinya tidak lepas dari membaca istighfar 70-100 kali. Beliau juga kontinyu shalat malam, padahal beliau satu-satunya hamba yang ma’shum dari berbuat kesalahan. “Lalu bagaimana diri ini?” pikir sahabat. Untuk mengimbangi amaliah junjungan itu, tiga sahabat masing-masing Ali bin Abi Tholib, Abdulloh bin Amr bin Ash dan Usman bin Madhu’un melaporkan amaliah yang menjadi andalannya kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam. Salah satu dari tiga sahabat itu mengandalkan shalat malam di setiap malam. Sahabat yang lain mengandalkan amalan puasa setahun penuh. Dan sahabat yang lain lagi mengandalkan tabattul (hidup tidak mau berhubungan dengan wanita). Walaupun akhirnya laporan mereka tidak dibilang baik oleh Nabi Sholallohu ‘alahi wassalam namun hal itu membuktikan betapa sahabat itu berusaha secara maksimal beramal yang terbaik guna mentauladani idolanya. (Riyadhussholihin, hadits No. 143).

Kebiasaan istighfar di malam hari telah membentuk ruhani mereka menjadi ruhani yang baik; mampu menciptakan hati yang salim; bukan hati yang termuai apalagi hati yang tertutup. Di samping itu istighfar di malam hari juga menumbuhkan jasmani yang beretos kerja tinggi. Istighfar telah memproses pribadi sahabat menjadi pribadi yang sehat dan kuat baik jasmani maupun ruhani. Dengan demikian, kesalahan besar bila sahabat dituduh manusia yang hanaya menguasai ritual belaka; hanya bisa membawa tasbih saja. Sahabat dituduh sebagai manusia pemalas, pengangguran, dan manusia yang hanya mengandalkan pasrah saja. Tuduhan itu jelas tidak terarah. Kominikasi sahabat di malam hari mampu menjadi mobilitas yang luar biasa untuk setiap menghadap tantangan kerja dan usaha di siang harinya; baik tantangan dalam mencari rizki maupun tantangan dalam mensyi’arkan agama Islam.

Pada masa itu, istighfar tidak dimonopoli oleh kaum laki-laki dewasa saja. Ibu-ibu juga istighfar. Sahabat perempuan sadar bahwa diri mereka adalah penduduk neraka terbanyak. Jika tidak diimbangi dengan amaliah yang baik tentulah watak mereka yang menjadi sebab dimasukkan neraka –kufranul asyir (durhaka kepada suami) dan iktsarul La’n (banyak mencela) akan bertambah melekat dalam jiwanya. Untuk itu mereka mengamalkan sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam:

“Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena sesungguhnya Aku melihat kalian sebagai penduduk neraka terbanyak.” (HR. Muslim).

Karena kepentingan istighfar inilah, sahabat laki-laki dewasa memberikan pendidikan tidak hanya kepada istri saja, anak-anak pun dididik untuk sebisanya melakukan tahajud dan beristighfar di waktu malam. Sayyidina Umar bin Khotthob shalat malam yang lama sekali, ketika akan berakhir beliau membangunkan istri dan anaknya, sambil berkata, “Ash Sholah… Ash Sholah” lalu membaca ayat:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Thoha: 132).


Perilaku sahabat seperti ditunjukkan Sayyidina Umar memberikan teladan dalam hal mendidik anak. Masalah mendidik anak, pendidikan agama haruslah ditanamkan pertama kali daripada pendidikan lainnya. Para sahabat memahami sebagaimana pemahaman Nabi Ya’qub ‘alahissalam. Ia berkata kepada putra-putrinya:

“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah: 133).


Bukan pertanyaan, “Engkau makan apa setelahku?” atau “Kelak engkau kerja apa, anakku?” dan lain sebagainya.

Masyarakat Istighfar

Dari pribadi-pribadi yang selalu beristighfar, lalu tumbuh keluarga istighfar, selanjutnya muncul masyarakat Mustaghfirin. Pada waktu itu, Madinah telah berubah dari kota busuk, kota kotor dan kota maksiat menjadi kota istighfar. Terbentuknya masyarakat istighfar ini sesuai dengan firman Alloh Subhana wata’ala:

“Dan kaum yang beristighfar di waktu sahur.” (QS. Ali Imron: 17).


Ketika telah terbentuk masyarakat istighfar, Alloh berkenan menurunkan rahmat-rahmatnya. Tidak akan turun azab sebagaimana umat terdahulu yang enggan beristighfar (QS. Al Kahfi: 55) serta tidak akan ada problem hujan, krisis harta atau keturunan, maupun krisis ekonomi. Sebagaimana janji Alloh Subhana wata’ala:

“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dn mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula (di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

Lantas di zaman ini kapankah terbentuk masyarakat istighfar? Apakah berbagai krisis akhir-akhir ini karena masyarakat sedang jauh dari istighfar?

Wallahu a‘lam.

[]

0 comments: