Dec 23, 2008

Ulama, Resiko Perjuangan dan Loyalitas kepada Islam

Bismillahhirrahmanirrahim

QS al Ahzaab: 23

“Dan sebagian dari orang–orang beriman ada para lelaki yang berlaku jujur terhadap janji mereka kepada Alloh hingga sebagian dari mereka ada yang telah menjemput kematian dan sebagian ada yang menunggu (kesyahidan) dan mereka sama sekali tidak mengganti (tetap teguh memegang janji)”


Sebab Nuzul Ayat

Menyesal tidak ikut serta dalam perang Badar, maka kali ini (menjelang perang Uhud) Anas bin Nadhr berkata, “Wahai Rosululloh, saya telah absen dalam awal peperangan engkau dengan kaum musyrik. Sungguh jika Alloh memberiku kesempatan dalam perang melawan kaum musyrik maka pasti anda akan melihat apa yang saya lakukan” ternyata janji ini betul – betul terlaksana. Di tengah perang Uhud saat pasukan Islam tertekan dan kocar kacir maka Anas dengan suara lantang mengatakan, “Ya Alloh saya memohon maaf atas apa yang dilakukan oleh teman – temanku dan saya lepas tangan dari apa yang dilakukan oleh kaum kafir” Anas kemudian maju menyerang musuh saat pasukan Islam justru mundur kewalahan. Sebelum itu ia sempat bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz dan berkata, “Hai Sa’ad, surga. Demi Tuhan Nadhr, aku telah mencium bau surga dari arah Uhud” akhirnya Anas tewas dengan tubuh tercabik- cabik dan nyaris tidak bisa dikenali andai saja saudara perempuannya tidak mengenali jari – jarinya. Disebutkan bahwa saat itu di tubuh Anas terdapat delapan puluh lebih luka tusukan tombak, sabetan pedang atau tancapan anak panah. Dari sinilah kemudian turun firman Alloh di atas. (Lihat Shohih Bukhori / 2805!)


Uraian Ayat

Para Nabi seperti Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholih alaihimus sholaatu wassalaam dan seterusnya seluruhnya diutus oleh Alloh kepada umat manusia demi mengingatkan sebuah perjanjian yang pernah terikat saat di alam Dzar bahwa mereka pasti menyembah dan mengesakan Alloh. Jadi para nabi meskipun hanya untuk mengingatkan perjanjian, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijalankan hanya dengan kata – kata. Ternyata usaha mengingatkan tersebut harus dijalankan dengan modal tetesan air mata dan darah serta pahitnya cemoohan . Usaha menjadikan kalimat Tauhid Laa ilaaha illalloh agar eksis terpatri dalam hati manusia ternyata harus dibarengi pengorbanan harta benda dan nyawa. Ingat Nabi Syu’aib dan Yahya alaihimas salaam yang wafat oleh kebejatan tangan – tangan Yahudi kaumnya. Ingat pula Nabi Musa as yang harus meninggalkan kampung halaman demi menyelematkan diri dari kejaran Fir’aun dan pasukan. Nabi Isa as juga demikian, Beliau harus diangkat oleh Alloh agar selamat dari kejaran dan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh kaumnya Bani Isro’il La’natulloh alaihim. Nabi Ibrohim as juga demikian, semua sudah memaklumi bahwa demi menuhankan Alloh dan mengajak manusia supaya menuhankan Alloh, Beliau rela dan tanpa takut sedikitpun dilemparkan ke dalam nyala api. Rosululloh SAW juga demikian halnya, beberapa kali percobaan pembunuhan juga dilakukan oleh kaum kafir Makkah juga Yahudi Madinah.

Di lain pihak, perjuangan mereka membela dan mengibarkan panji Tauhid Laa ilaaha illalloh juga dikawal dengan ketat dan kuat oleh orang – orang yang beriman serta menjadi pengikut setia mereka. Nabi Isa as misalnya, dalam dakwah mengajak menuju Tauhid, Beliau dikawal dan didukung oleh loyalisnya yang disebut dengan Hawaariyyuun. Kepada Nabi Isa as mereka berjanji, “Kami adalah para penolong dan pendukung Risalah yang engkau emban” Alaqur’an mencatat janji mereka ini, “Wahai orang – orang beriman, jadilah kalian para penolong Alloh seperti halnya ketika Isa berkata, “Adakah orang yang menolongku menuju (menyembah) Alloh?” al Hawaariyyun menjawab, “Kami orang – orang yang menolong Alloh” QS Shoff: 14. Rosululloh SAW pun tidak berbeda dengan nabi Isa as, dalam upaya membebaskan manusia dari menyembah berhala, Beliau SAW tidak berjuang sendirian, Beliau juga mencari bantuan dan dukungan. Di setiap musim haji, Beliau SAW senantiasa menyerukan ajakan, “Adakah seorang yang mendukung dan memberi tempat bagiku? Sungguh orang – orang quresy telah menghalangiku dari menyampaikan Risalah Tuhanku” akhirnya datanglah suku Aus dan Khozroj dari Madinah dan berjanji jika Rosululloh SAW berhijroh ke sana maka mereka pasti menjadi penolong dan pembela serta teman setia Beliau SAW di jalan Jihad mengibarkan panji kalimat Tauhid di seluruh belahan dunia. Sungguh janji itu benar – benar mereka tepati, harta benda dan nyawa dengan mudah mereka korbankan dan bahkan di antara mereka terjadi perlombaan saling mendahului untuk berebut kesempatan berkorban harta maupun nyawa dan salah satunya adalah Anas bin Nadhr seperti disebutkan di atas. Bagi mereka, berperang merupakan kenikmatan tersendiri (ingat kisah perang Badar di mana pasukan Islam di tengah berkecamuk perang justru terserang rasa kantuk) karena menjemput salah satu dari dua hal indah; kemenangan atau gugur sebagai seorang Syahid. Firman Alloh SWT:

“Katakanlah: “Bukankah kalian tidak menunggu kecuali dua kebaikan?” QS al Ahzaab: 52.


Posisi Ulama dan penyakit “Wahan”


Jika para sahabat telah menjadi generasi terbaik sebagai pengawal dan peyokong dakwah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan dengan generasi Tabiin dan santri Tabiin (Tabi’it Taabiin) maka perlu untuk diingat kembali akan posisi ulama sebagai pewaris para nabi. Warisan di sini bukan hanya warisan ilmu tetapi juga warisan pemikiran dan prilaku. Para ulama terdahulu telah berhasil menunjukkan peran sebagai pewaris para nabi dalam segala bidang, baik di bidang ilmu, pemikiran ataupun prilaku. Karena itulah tidak mengherankan jika ulama sekaliber Imam Ghozali yang banyak dikenal dengan kesufian justru dengan terang menyatakan dalam karya monumental Beliau yaitu Ihya’ Ulumiddin (1 / 29) bahwa, “Agama dan Kekuasaan adalah anak kembar yang tidak bisa dipisahkan. Agama itu dasar / pondasi sementara kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi dipastikan akan roboh sedang sesuatu tanpa penjaga juga pasti akan hilang” ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa ulama generasi terdahulu memang bukan hanya mewarisi ilmu dan prilaku tetapi pemikiran dan semangat para nabi juga menjelma dalam diri mereka. Karena itulah tidak sedikit dari mereka ikut ambil bagian dalam peperangan dalam rangka mempertahankan Khilafah Islam atau menyebar luaskan dakwah Islam. Abdulloh bin Mubarok misalnya, banyak sekali waktu yang telah Beliau lewatkan untuk berjihad kendati dalam kapasitas Beliau sebagai seorang ahli fiqih dan seorang yang Zuhud. Ada pula nama – nama lain seperti Abdul Wahid bin Zaid, Syaqiq al Balkhi atau Badrul Aini (penulis Syarah Shohih Bukhori), semua nama ini seluruhnya tercatat pernah turut serta dalam peperangan membela agama Alloh. Bahkan seorang ulama besar madzhab Mailiki bernama qodhi Asad bin al Furot pernah tampil sebagai panglima perang armada laut.

Di bumi Indonesia, tercatat pula nama Imam Bonjol atau Pangeran Diponegoro, seorang ulama yang dengan semangat memanggul senjata demi menegakkan Kalimat Tauhid di bumi Nusantara. Para wali songo juga tidak hanya meniru Rosululloh SAW dalam semangat menyebarkan agama, tetapi juga meneladani Beliau SAW dalam bagaimana menjaga agama ini ketika sudah dipeluk oleh obyek dakwah. Karena itulah para wali songo berjuang dengan gigih hingga berdirilah kesultanan Demak. Lalu bagaimana dengan pihak – pihak yang sekarang ini disebut dengan ulama, apakah mereka ingin dan layak disebut dengan pewaris para nabi?. Sungguh jika predikat sebagai pewaris nabi dan para penolong agama Alloh telah tersemat di pundak maka semestinya tidak ada pilihan lain kecuali mengarahkan arus perjuangan menuju berdirinya sebuah negara Islam di mana syariat Islam menjadi dasar peraturan dan perundang – undangan. Memang dengan mendirikan sebuah pesantren atau lembaga pendidikan Islam, seseorang berarti telah terjun dalam peperangan seperti dikatakan oleh Abu Darda’ ra:

“Sungguh kalian bisa berperang dengan amal – amal kalian” (Lihat Shohih Bukhori Kitaabul Jihad wassair bab 13).

Sebab upaya semacam ini oleh Rosululloh SAW juga dilakukan. Sewaktu di Makkah, pada permulaan dakwah Beliau SAW melakukan pembinaan di rumah Arqom bin Arqom di kaki bukit Shofa. Lalu ketika di Madinah pun Beliau kembali menjadikan emperan masjid Nabawi saat itu sebagai tempat membina dan menempa para kader yang tekenal dengan sebutan Ashhaabus Shuffah. Sunan Ampel pun demikian halnya, salah satu yang dilakukan oleh Beliau pada awal dakwah di bumi Jawa adalah mendirikan pesantren sehingga dari alumnus pesantren tersebut muncul Raden Fattah yang tercatat sebagai Sultan pertama kerajaan Islam Demak. Jadi pendirian pesantren atau lembaga pendidikan barulah langkah pertama untuk menuju ayunan langkah berikutnya hingga sampai pada puncaknya yaitu berdirinya Khilafah Islam. Memang untuk menuju ke sana bukanlah suatu hal yang mudah, di depan pasti banyak resiko, hambatan dan rintangan yang menghalang dan siap mematahkan. Jika demi kebebasan dan terlepas dari penjajahan para pejuang memiliki semboyan “Merdeka atau Mati” maka sudah semestinya demi Islam seseorang harus berani dan siap untuk berjihad yang salah satunya adalah berperang.

Belum lama ini terdengar pernyataan dari pihak tertentu yang isinya, “Kami menolak fomalisasi Syariat Islam dalam bentuk regulasi”. Lepas apa maksud pokok dari pernyataan ini yang jelas pada intinya tergambar dalam pernyataan ini rasa takut akan terjadi gesekan keras dengan pihak – pihak lain yang tidak setuju apabila syariat Islam menjadi dasar perundang - undangan. Atau dengan kata singkat bisa disimpulkan bahwa pernyataan tersebut muncul sebagai dampak penyakit Wahan yang salah satu akibat yang ditimbulkan adalah keengganan berpayah dan menanggung derita dalam mengemban dan memperjuangkan syariat Islam agar benar – benar secara utuh dilaksanakan di bumi yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini. Sungguh jika pihak tersebut telah dihinggapi penyakit Wahan maka dapat dibayangkan keadaan umat yang menjadikan pihak tersebut sebagai panutan. Tentu umat itu justru semakin parah terjangkiti penyakit Wahan. Rosululloh SAW bersabda:

“Hampir para umat saling memperebutkan kalian laksana para pemakan (berebut makanan untuk dimasukkan) ke dalam piring mereka” seorang bertanya, “Apakah saat itu kami sedikit wahai Rosululloh?” Beliau SAW menjawab, “Justru saat itu kalian banyak tetapi kalian tak ubahnya seperti buih banjir dan Alloh pasti mencabut rasa takut dari hati musuh kalian kepada kalian dan sungguh Dia pasti menaruh Wahan dalam hati kalian” seorang bertanya: Wahai Rosululloh, apakah Wahan itu? Beliau SAW menjawab: “Cinta dunia dan enggan mati” HR Abu Dawud.


[]

Dec 21, 2008

Akad Nikah Calon Suami Bisu

Bagaimana teknis (Kaifiyyah) pelaksanaan akad nikah yang mempelai lelaki tuna wicara?

Dr Ali Ashari

Jawab:
Semua ulama sepakat bahwa di antara syarat sah pernikahan adalah adanya ijab qobul. Ijab Qobul ini sangat ditekankan supaya memakai bahasa Arab dengan lafadz nikah dan tazwij berdasarkan sabda Rosululloh Saw.:

“Bertaqwalah kalian kepada Alloh dalam urusan wanita, sebab kalian mengambil mereka dengan Amanat Alloh dan kalian menikmati halalnya kemaluan mereka dengan kalimat Alloh” (HR. Muslim)

Kalimah Alloh tiada lain adalah bahasa Arab, karena itu jika seseorang mampu memakai bahasa Arab kemudian melakukan ijab qobul dengan bahasa ajam (selain Arab) maka menurut sebagian pendapat ijab qobul tidak sah. Kendati demikian menurut pendapat lain pernikahan tetap dihukumi sah. Adapun jika pelaku Ijab Qobul seorang tuna wicara (Akhros) bisa dengan memakai bahasa isyarat tertentu atau melalui tulisan dengan lafadz nikah atau tazwij. Shighot dalam ijab qobul nikah baik wali maupun calon suami diharuskan memakai bahasa nikah dan Tazwij karena hanya kedua lafadz inilah yang terdapat dalam Al Quran. Firman Alloh Swt., “Dan jangan kalian menikahi wanita yang telah dinikah oleh ayah–ayah kalian”. (QS. an-Nisa’: 22). “Maka ketika Zaid telah mendatangi hajat darinya maka ia kemudian Kami menikahkanmu dengannya “ (QS al Ahzaab : 37).

[]

BAB 3: Thoriqul Iman

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami.

Islam dibangun di atas suatu landasan (asas) yang satu yaitu aqidah. Aqidah ini sebagai kaidah berfikir yang di atasnya semua pemikiran cabang tentang perilaku manusia dalam kehidupan dengan berbagai sistemnya. Kaidah berpikir tersebut adalah bahwasanya di balik alam, manusia dan kehidupan ini ada pencipta yang menciptakan semuanya, dan menciptakan segala sesuatu yang asalnya tidak ada yaitu Alloh Subhana wata'ala. Di wajib adanya, maka Dia bukanlah makhluk. Diapun Azali, maka Dia tidak terbatas seperti benda-benda tersebut. Alam, manusia, dan kehidupan ini adalah terbatas (mahdud). Ketika kita mengamati keterbatasan ini kita akan menemukan bahwa hal tersebut tidak azali, maka keterbatasan ini pastilah merupakan ciptaan bagi yang lainnya, ciptaan ini memiliki sifat yang lemah, kurang dan butuh pada yang lainnya (Al Ghoir). Al Ghoir ini adakalanya merupakan makhluk bagi yang lainnya, atau pencipta bagi dirinya sendiri, atau azali yang wajib adanya.

Adapun Dia (Al Ghoir), cipaan yang lain adalah batil atau salah, karena pemikiran demikian Dia akan terbatas. Dia merupakan pencipta bagi dirinya sendiri juga batil, sebab paa saat yang sama, Dia menjadi ciptaan dan sekaligus pencipta bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, maka pencipta tersebut pasti azali yang wajib adanya. Dia adalah Alloh Subhana wata'ala.

Akan tetapi, sesungguhnya orang yang memiliki akal akan mampu untuk memahami hanya dengan memperhatikan wujud benda yang ada di hadapannya, bahwa benda-benda tersebut ada pencipta yang telah menciptkannya. Karena semuanya bersifat kurang, lemah, dan butuh kepada yang lain, maka pasti dia adalah makhluk. Oleh karena itu kita menemukan bahwa Al Quran Al Karim mengajak manusia untuk mengamati sesuatu dan apa-apa yang ada di sekililingnya, serta apa-apa yang berhubungan dengannya. Dengan demikian dia akan memperoleh bukti tentang wujud Alloh Ta'ala dan wujud Al Kholik Al Muddabir sebagaimana firman Alloh Ta'ala:

"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta berlainan-lainan bahasa dan warna kulitmu." (QS. Ar Rum: 22).

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana dia ditinggikan, dan gunung-gunung, bagaimana dia ditegakkan, serta bumi bagaimana di dihamparkan?" (QS. Al Ghosiyah: 17-20).

"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpencar yang keluar di antara tulang sulbi (laki-laki) dan tulang dada (perempuan)." (QS. Ath Thoriq: 5-7).

Dan dapat dilihat pada ayat-ayat yang lain yang senada.

Oleh karena itu, sesungguhnya iman kepada Al Kholik Al Muddabir adalah sesuatu yang fitrah, hanya saja iman yang fitri tersebut kadang kala timbul melalui wijdan (perasaan yang diyakini). Dan iman seperti ini pengaruhnya (hasilnya) tidak dapat dijamin, juga tidak dapat mencapai kekokohan iman jika dibiarkan begitu saja. Dengan demikian manusia terkadang dapat terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan (contoh adanya manusia yang menyembah batu, grumbul, dan benda lainnya).

Menyembah berhala, khurafat, dan turahaat (kebatilan-kebatilan) ini tidak lain adalah akibat dari salahnya wijdan. Karena itu, Islam tidak akan membiarkan wijdan saja sebagai jalan untuk menuju iman, maka Islam mengharuskan menggunakan akal bersama-sama perasaan, dan menjadikan akal sebagai penentu dalam beriman kepada Alloh Subhana wata'ala, agar keimanannya tersebut berasal dari akal dan bukti nyata.

Meskipun manusia wajib menggunakan akal dalam mencapai keimanan kepada Alloh, sesungguhnya ia tidak mungkin akan mapu memahami apa yang ada di atas jangkauan indra dan akal. Hal ini karena akal itu terbatas sehingga kemampuannya pun terbatas sekalipun genius. Karena itu pemahamannya juga terbatas. Akal yang terbatas itu pasti tidak mampu menjangkau dzat Alloh Subhana wata'ala. Pasti lemah untuk menjangkau hakekat-Nya, karena Alloh Subhana wata'ala berada di luar alam manusia dan kehidupan.

Maka iman kepada-Nya adalah iman kepada wujud-Nya dengan melalui akal (aqli) dan pada batas-batas kemampuan akal. Berbeda dengan menjangkau dzat Alloh Subhana wata'ala, maka sesungguhnya hal ini adalah mustahil. Sebab dzat Alloh berada di luar alam, manusia, dan kehidupan, maka dzat Alloh Subhana wata'ala itu supra rasional. Sebuah hikmah mengatakan:

"Barangsiapa yang berfikir tentang dzat Alloh maka dia akan menjadi mulhid (atheis), dan barangsiapa yang berfikir tentang kenikmatan Alloh dia akan menjadi muwahid (orang yang meng-Esakan Alloh Subhana wata'ala)."

Maka akal tidak akan mungkin menjangkau apa yang ada di luar jangkauannya, karena keterbatasan kemampuan untuk penjangkauan ini. Keterbatasan itu sendiri seharusnya menjadi penguat keimanan (muqowiyatul iman) bukan menjadi pendorong keraguan (awaamil irtiyab). Karena itu tatkala iman kita kepada Alloh Subhana wata'ala lahir melalui jalan akal, maka pemahaman kita terhadap wujud Alloh Subhana wata'ala adalah pemahaman yang sempurna, juga perasaan kita kepada wujud-Nya adalah perasaan yang yakin.

Beragama adalah fitrahnya manusia, karena beragama tersebut merupakan salah satu nuraninya. Dalam fitrahnya, beragama ini adalah mensucikan penciptanya. Dan pensucian (taqdis) ini adalah ibadah. Ibadah adalah hubungan antara manusia dengan penciptanya. Bila hubungan ini dibiarkan tanpa aturan, maka membiarkannya "tanpa aturan" ini akan menyebabkan kekacauannya dan menyembah kepada selain al Kholiq. Maka hubungan tersebut harus diatur dengan aturan yang benar. Dan aturan ini tidak mungkin berasal dari manusia, sebab manusia tidak mungkin memiliki pemahaman terhadap hakekat Al Kholiq, sehingga tidak mungkin dia membuat aturan antara dia dengan Alloh Subhana wata'ala. Maka aturan atau sistem ini pasti dari Alloh Subhana wata'ala.

Dengan demikian Al Kholiq pasti menyampaikan aturan atau sistem ini bagi manusia. Karena itu sudah selayaknya ada para Rosul yang bertugas menyampaikan agama Alloh Subhana wata'ala.

Adapun keimanan pada Al Quran, bahwa Al Quran itu dari Alloh Subhanahu wata'ala adalah karena Al Quran berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasululloh Sholallohu 'alahi wassalam. Adapun Al Quran bisa jadi merupakan buatan orang Arab, bisa jadi buatan Nabi Sholallohu 'alahi wassalam juga bisa jadi dari Alloh Subhanahu wata'ala, dan tidak ada kemungkinan lain selain dari tiga kemungkinan tersebut karena Al Quran menggunakan tata bahasa dan bersastra Arab. Adapun Al Quran itu dari orang-orang Arab adalah bathil, karena Al Quran menantang mereka untuk membuat semisal Al Quran sebagaimana firman Alloh:

"Maka datangkanlah satu surat yang semisalnya". (QS. Al Baqarah: 23).

Dan mereka telah berusaha untuk membuat semisalnya namun mereka gagal melakukannya. Sedangkan Al Quran itu berasal dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam juga bathil, karena Rasululloh juga orang Arab yang tidak mampu membuat semisalnya, beliau juga tidak mampu membuat semisalnya dan sepantasnya Rasululloh tidak membuat yang semisalnya. Dengan demikian maka Al Quran bukan dari Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam.

Apalagi Rasululloh memiliki hadits-hadits yang berbeda jauh dengan Al Quran dengan perbedaan yang jelas dari segi uslub (gaya bahasa). Ucapan seseorang itu, sekalipun dia berusaha membuat berbagai gaya bahasa, sesungguhnya ucapan itu memiliki kesamaan gaya bahasa yang satu dengan yang lainnya, karena ucapan itu adalah bagian dari dirinya.

Dengan demikian, Al Quran pasti bukan ucapan orang Arab, juga bukan sabda Rasululloh Sholallohu 'alaihi wassalam. Dengan demikian Al Quran pasti merupakan firman Alloh Subhana wata'ala.

Berdasarkan pemikiran bahwa Rasululloh adalah pembawa risalah Al Quran dan Al Quran itu firman Alloh dan syariat-Nya, dan tidak ada orang yang membawa syariat kecuali Nabi dan Rasul, maka dengan demikian sudah pasti Muhammad Sholallohu 'alahi wassalam adalah Nabi dan Rasul-Nya. Ini semua adalah dalil aqli atas keimanan kepada Alloh, Rasul-Nya, dan Al Quran sebagai firman-Nya. Maka dengan landasan ini keimanan kepada semua hal yang ghoib serta semua hal yang diberitakan Alloh Ta'ala, baik yang dapat dijangkau akal maupun tidak, dapat dilandasi dengan keimanan terhadap ketiga hal tersebut.

Dengan demikian, Iman kepada hari kebangkitan, berkumpul di mahsyar, surga, neraka, perhitungan, adzab, jin, malaikat, syetan dan lain-lainnya yang diberitakan Al Quran dan hadits qoth'i lainnya adalah wajib. Meskipun keimanan terhadap yang ghoib tersebut berdasarkan dalil naqli dan dalil sam'i, namun pada dasarnya adalah keimanan tersebut ditetapkan dengan akal. Islam membaca aqidah tertentu untuk membangkitkan manusia dengan pemikirannya tentang alam, manusia, dan kehidupan serta hubungannya dengan apa yang ada sebelumnya yaitu Alloh Ta'ala dan dengan apa yang ada sesudahnya yakni hari kiamat.

[]

Dec 17, 2008

Oral Seks

Bapak pengasuh fas'alu yang terhormat. Saya seorang suami yang sangat sayang dan cinta kepada istri saya. Menurut pandangan saya, istri saya adlah wanita yang sangat menarik hati saya. Tidak jarang setiap melihatnya selalu berlanjut dengan hubungan suami istri. Yang menjadi masalah adalah ketika istri saya berhalangan (haid). Untuk melayani saya maka saya meminta istri saya untuk melakukan oral seks. Apakah yang saya lakukan ini dibenarkan oleh agama? Mohon bimbingan Bapak pengasuh.

Fulan, Surabaya

Jawab:
Hubungan suami istri yang sah adalah sebuah ibadah, seperti halnya kalau hubungan itu tidak sah adalah dosa. Akan tetapi, manakala istri berhalangan, haid, maka hubungan itu dibatasi. Dalam QS. al-Baqarah: 222, disebutkan yang artinya,

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa itu adalah penyakit maka jauhilah wanita-wanita haid dan janganlah kamu sekalian mendekati mereka sehingga mereka suci".

Dari ayat ini ada tiga pendapat dikalangan ulama. Pertama, seluruh tubuh istri dijauhi berdasarkan lafadz "jauhilah" pada ayat itu. Ini menurut Ibnu Abbas dan Abidah As Salmani. Kedua, diperbolehkan tamattu (bersenang-senang, mendapati kenikmatan) pada istri sebatas tubuh yang berada di atas pusar di bawah lutut. Pendapat ini diikuti oleh Mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Ketiga, diperbolehkan tamattu pada seluruh tubuh istri kecuali farj (alat kelamin). Ini pendapat Imam Ishaq bin Rohuyah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Ats Tsauri. Inilah batasan pergaulan suami istri sewaktu haid dari syara'. (Majmu' II hal 361, dan Fiqh Islami I: 427).

Kaitannya soal oral seks, sebenarnya tidak ada ketentuan larangan secara tegas. Lebih-lebih istri oleh Al Quran diibaratkan sebuah tanah untuk bercocok tanam. Sebuah lahan yang diperbolehkan menggarapnya sesuka hati.

"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki". (QS al-Baqarah: 223).

Namun begitu ada etika luhur dalam Islam yang hendaknya diperhatikan dalam soal penggarapan lahan itu. Umpamanya, hendaklah pada saat tamattu itu suami tidak melihat pada farj istri begitu juga sebaliknya istri tidak melihat farj suami. Kami kira dalam oral seks, etika luhur ini susah dijaga walaupun sekali lagi soal oral seks tidak ada dalil yang tegas yang melarangnya.

[]

Keterkaitan Ibadah Dengan Kelancaran Rezeki

Sholat Dluha dipahami sebagai upaya menarik rezeki, sebenarnya tidak cukup salah. Hanya saja, pemahaman ini perlu dikembangkan pada tataran pemahaman yang realistis. Setiap anggota tubuh manusia yang jumlahnya kurang lebih 360 sendi menuntut sedekah sebagai perwujudan rasa syukur. Salah satu bentuk sedekah itu ialah mengerjakan sholat Dluha. Dengan sholat Dluha berarti manusia telah bersyukur atas nikmat, sementara manakala manusia bersyukur, Alloh akan menambahkan nikmat padanya.

Selain sholat Dluha sebenarnya banyak syariat sehari-hari yang mengarah kepada upaya menarik rezeki atau kelancaran rezeki bagi manusia. Di antaranya apabila masuk dan keluar masjid dengan membaca doa, seperti yang diriwayatkan dalam Shohih Muslim jilid I halaman 318, yang artinya:

Ya Alloh! Bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu. (Doa masuk masjid)

Ya Alloh! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu akan anugerah-Mu. (Doa keluar masjid)

Dengan memohon, Alloh berkenan membuka pintu-pintu rahmat. Maksudnya, tiba di masjid seseorang berkehendak untuk mendekatkan diri secara serius. Di situ dikerjakanlah berbagai ketaatan (ibadah) yang diumpamakan laksana pintu-pintu dengan tujuan untuk mendapati rahmat. Doa ini berarti permintaan agar diberikuan kemudahan sekaligus keseriusan untuk menjalankan ibadah di masjid. Dengan doa itu kepentingan ibadahnya mudah-mudahan diterima. Selanjutnya, ia mendapatkan balasan berupa rahmat. Ini yang pertama.

Kedua, apabila keluar masjid memohon anugerah, artinya ketika seseorang keluar dari masjid, maknanya ia hendak beraktivitas kembali untuk mencari penghidupan, umpamanya berdagang, bertani, berternak, atau berwiraswasta, dan lain sebagainya. Alhasil, keluar masjid, kepentingan untuk mendapatkan rezeki diharap tidak sampai kerepotan. Nah, di sinilah sebenarnya secara tersirat doa keluar masjid itu doa agar diberi kelancaran pada urusan rezeki. Lafadz "fadl" (anugerah atau karunia) berarti rezeki.

Arti tersirat ini ditegaskan oleh Al Quran ayat 10 dari surat al Jum'ah (walaupun secara khusus ayat ini terkait dengan sholat Jum'at), yang artinya

Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaralah kamu di muka bumi; dan carilah anugerah Alloh dan ingatlah Alloh sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS. al-Jum'ah: 10)

Agar dapat serius dalam beribadah sekaligus lancar dan tidak kesulitan dalam mendapati rezeki, rasanya doa masuk dan keluar masjid ini penting untuk diamalkan. Dari sini kita pun mafhum bahwa manusia manakala kuat berhubungan dengan Alloh niscaya akan lancarlah rezekinya, sesuai dengan janji Alloh, "Barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh, maka Alloh mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya dengan rezeki yang tiada perkira".

Wallahu 'alam.

BAB 2: Ghorizah Tadayyun

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami?

Tadayyun merupakan ghorizah yang ada pada setiap diri manusia. Ia adalah perasaan yang butuh pada sang Pencipta yang mengaturnya (al Kholik al Mudabbir), tanpa memandang siapa yang dianggap sang pencipta tersebut. Perasaan ini adalah perasaan fitri yang ada pada setiap manusia, baik ia percaya pada adanya Pencipta maupun ingkar akan keberadaanNya, dan hanya percaya pada apa yang nampak/dapat dilihat oleh mata. Keberadaan pada diri manusia ini adalah pasti. Sebab perasaan ini tercipta sebagai bagian dari kejadian manusia. Perasaan itu dinamakan ghorizah tadayyun.

Penampakan dari ghorizah tadayyun adalah adanya taqdis (pensucian) terhadap sang Pencipta. Adakalahnya penampakan taqdis tersebut dalam bentuk yang hakiki (sempurna), maka jadilah ia suatu ibadah seperti: shalat bagi orang muslim, kebaktian bagi orang Kristen, sembahyang bagi orang Hindu/Budha, dan lain sebagainya. Namun adakalanya penampakannya dalam bentuk yang lebih rendah dari ibadah (aqollu suurotan), maka jadilah ia suatu ta’dhim/tabjil (kultus/pengagungan). Seperti: penghormatan berlebihan terhadap Hitler oleh pengikut NAZI, pengagungan Kaisar Jepang oleh bangsa Jepang, dan lain sebagainya.

Taqdis adalah puncak penghormatan hati, ia bukanlah hasil rasa takut (al khouf), akan tetapi merupakan hasil dari ghorizah tadayyun. Sedangkan penampakan dari rasa takut bukanlah taqdis, melainkan loyalitas (ngathok dalama bahasa Jawa), serta lari atau usaha untuk mempertahankan diri/membela diri. Semua itu jelas berbeda dengan hakekat taqdis, oleh karena itu taqdis adalah penampakan dari ghorizah tadayyun, bukan penampakan rasa takut.

Dengan demikian tadayyun adalah ghorizah mustaqillah (tersendiri), bukan bagian dari ghorizah baqo’ (naluri mempertahankan diri). Dengan demikian kita dapatkan bahwa manusia itu berghorizah tadayyun. Dengan adanya ghorizah tadayyun ini, maka kita mendapatkan bahwa setiap manusia sebenarnya telah beragama sejak ia diciptakan oleh Alloh swt., sehingga manusia pasti mensucikan/menyembah sesuatu. Di antara mereka ada yang menyembah matahari, bintang, berhala, dan ada pula yang menyembah al Kholiq al Mudabbir, yaitu Alloh swt., sehingga tidak akan kita dapatkan suatu masa, kecuali manusia melakukan penyembahan/pensucian terhadap sesuatu.

Bahkan bangsa yang diperintah oleh penguasa yang memaksa rakyatnya melepaskan agama mereka akan tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun mereka harus melawan kekuatan yang menguasainya serta rela menanggung siksaan dan penderitaan dalam menjalankan ibadah tersebut. Tidak ada satupun kekuatan yang mampu mencabut naluri keberagamaan dari diri manusia, atau menghilangkan usaha taqdis terhadap al Kholiq, atau mencegah manusia beribadah. Yang mungkin adalah meredamnya untuk sementara waktu. Sebab beribadah adalah penampakan yang alamiah dari ghorizah tadayyun dalam diri manusia.

Sedangkan yang nampak pada orang-orang atheis (al mulhidin), misalnya mereka tidak melakukan ibadah atau menghina ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan penampakan ghorizah tadayyun dari ibadah kepada Alloh swt. menjadi ibadah kepada makhluk. Mereka melakukan taqdis kepada alam, pahlawan-pahlawan, atau terhadap segala sesuatu yang dianggap agung atau super dan pada yang lainnya. Mereka telah melakukan kekeliruan yang besar, melakukan perbuatan yang salah seta melakukan penafsiran yang salah terhadap sesuatu. Berdasarkan semua itu dapatlah dipahami, bahwa sebenarnya kufur itu lebih sulit daripada iman, sebab kekufuran merupakan usaha pemalingan manusia dari fitrahnya, dan memindah penampakan fitrah tersebut kepada sesuatu yang bukan hakiki. Untuk melakukan semua itu diperlukan usaha besar. Alangkah sulitnya mengalihkan manusia dari tabiat dan fitrahnya.

Oleh karena itu sering kita dapatkan pada orang-orang atheis ketika terpampang di hadapan mereka sesuatu kebenaran atau al haq, dan telah jelas pula wujud Alloh swt. berdasarkan pengamatan panca indera, kemudian ditemukan wujud tersebut berdasarkan akal dengan pengertian yang matang, tentu mereka bergegas untuk beriman, sehingga dirasakannya kedamaian dan ketenangan, dan lenyap pula semua beban yang memberati jiwanya selama ini. Jadilah iman mereka itu menancap dengan kuat, karena iman tersebut muncul dari pengamatan inderanya yang didukung oleh akalnya yang terpadu dengan perasaan yang diyakininya atau wijdannya. Dengan perpaduan antara indera, akal dan wijdannya maka bertemulah fitrah dan akalnya sehingga mereka dapat menemukan Alloh swt. dengan yakin, dan jadilah iman mereka iman yang kuat dan kokoh.

***

Dec 14, 2008

Ingin Ikut Pengajian

Pertanyaan:

Seorang istri ingin ikut pengajian yang wajib sebagai anggota jama’ah dakwah tetapi mempunyai anak-anak yang masih kecil dan suami melarang. Padahal suami tidak bisa membimbing istri dalam masalah agama. Bagaimana menyikapinya ?

Jawab:

Pengajian yang sudah menjadi kewajiban sebagai anggota suatu jama’ah harus diikuti. Berjama’ah (berkumpul dengan orang-orang yang baik) penting bagi seseorang. Tetapi apabila dilarang oleh suami maka tidak perlu pergi. Karena dalam rumah tangga ada wilayah khoshoh dimana suami punya hak-hak tertentu atas istrinya. Suami boleh melarang istri untuk tidak sholat sunnah, puasa sunnah termasuk ikut pengajian.

[]

Air Kencing Anak Kecil

Pertanyaan:

Jika kita sedang sholat kemudian anak kita yang berumur dua tahun mendekati kita dan buang air kecil, batalkah sholat kita ?

Jawab:

Dalam madzab Syafi’i: Jika sedang dalam keadaan sholat terkena najis, maka sholatnya batal, karena kesucian adalah syarat sahnya sholat.

Menurut madzab Imam Malik, najis tersebut tidak membatalkan karena kesucian bukan syarat sahnya sholat tapi untuk kesempurnaan sholat.

Sholat harus tetap dilakukan sekalipun pakaian kita najis, misalnya ketika dalam perjalanan dan kita tidak punya pakaian lain. Dalam keadaan terdesak kita boleh ikut madzab yang meringankan tetapi tidak boleh memilih yang paling ringan terus menerus.

[]

Istri Tidak Mengerjakan Pekerjaan Rumah?

Pertanyaan:
Bolehkah isteri tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, setrika dll, karena sudah repot dengan anak-anaknya yang kecil dan suami tidak membantu ? Apakah Islam memang mewajibkan wanita mengurusi seluruh urusan rumah tangga ataukah pekerjaan-pekerjaan tersebut tanggung jawab bersama antara suami isteri ?


Jawab:
Berdasarkan hadist Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam :
“Seluruhnya kamu bertanggung jawab atas dirimu, untuk laki-laki yang menikah bertanggung jawab atas keluarga di rumahnya (isteri, anak, orang-orang yang berada di rumahnya), untuk perempuan bertanggung jawab atas rumah suami dan anaknya”.

Maksud hadist di atas secara pragmatis (praktek) suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab menafkahi dan melindungi keluarganya. Tugas suami adalah memfaslitasi (menyediakan sarana dan prasarana) untuk rumah tangganya, misalnya : menyediakan rumah dan isinya, menyediakan bahan-bahan makanan dan sebagainya. Tugas isteri adalah merawat dan memelihara rumah suaminya beserta isinya termasuk anak-anaknya, misalnya: mengolah bahan makanan yang sudah ada, membersihkan atau membuat bersih rumah dan isinya (dalam arti luas).

Wanita yang berhusnuttaba’ul (berkhidmah pada suaminya) pahalanya sama dengan jihad fi sabilillah. Dalam kitab Adabul Islam fi Ndlom Al Usroh, Prof. Dr. As Sayyid Muhammad Bin Alawiy Al Maliky Al Hasany menerangkan :

“Wanita wajib berkhidmah kepada suaminya secara agama/dinayah (kewajiban antara dia dan Alloh), tetapi kewajiban itu tidak bisa membawa wanita ke mahkamah / qodloan (untuk diadili dan dihukum) bila ia tidak melaksanakannya.”

Menurut Imam Syafi’i hendaknya suami mencarikan pembantu untuk isterinya dan ini merupakan sebaik-baik suami.
Isteri-isteri sahabat semua berkhidmah kepada suaminya karena mereka yakin Alloh tidak menyia-nyiakan setiap pekerjaan yang dilakukan wanita bagi suami dan keluarganya.

Contoh : Ibnu Mas’ud pekerjaannya mengaji. Isterinya seorang yang kaya. Istrinya inilah yang membiayai rumah tangga Ibnu Mas’ud, sekaligus juga berkhidmah padanya. Putri Rosululloh sendiri, Sayyidah Fatimah ra., melaksanakan semua pekerjaan rumahnya hingga kasar telapak tangannya (Jawa: kapalen). Suaminya merasa kasihan melihat isterinya bekerja keras. Maka berdua mereka mengadu pada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Mendengar keluhan ini, beliau bukannya memberikan pembantu untuk membantu putrinya, tetapi menyuruhnya membaca tasbih 33x, tahmid 33x, dan takbir 33x ketika akan tidur. Demikianlah Rosululloh mengajarkan kepada kaum wanita bahwa berkhidmah pada suami adalah yang utama.

[]

Dec 12, 2008

BAB I: Potensi Kehidupan Pada Diri Manusia

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami?

Di dalam diri manusia terdapat potensi kehidupan yang mendorong manusia untuk mengerjakan berbagai aktifitas, dan potensi yang butuh untuk dipenuhi (isyba’).
Potensi kehidupan ini ada dua bentuk, yaitu:

Sesuatu yang harus dipenuhi secara pasti, bila tidak dipenuhi dapat menjadikan manusia mati. Seperti beberapa kebutuhan anggota badan (makan, minum, mendatangi hajjah atau buang air besar dan kecil). Pendorongnya dari dalam (otomatis).

Sesuatu yang menuntut untuk dipenuhi, tetapi apabila tidak terpenuhi tidak menjadikan manusia mati, hanya saja ia akan resah, hingga kebutuhan tersebut terpenuhi. Inilah yang disebut dengan naluri (ghorizah), yang di antaranya adalah naluri terhadap lawan jenis (ghorizahtun nau’) dan ada naluri beragama (ghorizatut tadayyun). Sedang pendorongnya tidak bersifat otomatis, maka harus ada pembangkit. Adapun hal-hal yang membangkitkan pemenuhan (isyba’) adalah:

Pemikiran-pemikiran terhadap sesuatu yang membangkitkan perasaan.
Kenyataan yang dapat dirasakan oleh panca indera. Seperti contoh: Seungguhnya ghorizatun nau’ itu pembangkitnya adalah berfikir tentang wanita-wanita cantik atau sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas (contoh: film-film porno, gambar porno, iklan, majalah-majalah porno, dsb), atau dengan melihat langsung kepada wanita cantik (contoh: tari perut (striptease), pertunjukkan adegan seks, senam dengan pakaian ketat, dsb). Ghorizatut Tadayyun akan dibangkitkan oleh memikirkan ayat-ayat Allah Swt., hari kiamat atau yang ada hubungan dengannya (seperti: maut/mati, hidup di alam kubur, disiksa atau mendapat kenikmatan, bangkit dari kubur, hasyr, lewat siroth, penempatan di surga atau di neraka). Atau pengamatan kepada keindahan ciptaan Allah Swt. yang ada di langit dan di bumi, atau sesuatu yang berhubungan dengannya. Jika rangsangan-rangsangan (mutsir) tersebut tidak terwujud, maka ghorizah pun tidak akan muncul. Alangkah indahnya jika ghorizah tadayyun memiliki pembangkit yang kuat.

Tetapi realitanya seperti yang anda saksikan, justru sebaliknya.

***

(bersambung)

Serial: Islam, Bagaimana Anda Memahami?

Judul Asli: Mabadi’ul Wa’yi

Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Subhana wata’ala yang telah menunjuki kita dengan jalan kebenaran, dan kita sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk, jika Allah Subhanawata’ala tidak memberinya. Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wassalam adalah hamba dan rasul-Nya.

Ya Allah limpahkan shalawat dan salam pada Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wassalam dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat dan salam pada Nabi Ibrahim serta keluarganya. Dan berikanlah berkah pada Nabi Muhammad Sholallohu ‘alaihi wassalam dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberikan berkah pada Nabi Ibrahim serta keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.
Kami persembahkan kitab kecil ini bagi orang-orang yang berkehendak membekali diri dengan aqidah yang terlepas dari pendapat ahli kalam yang berbelit-belit dan perbantahan ahli filsafat.

Kitab ini merupakan pilihan dan ringkasan dari kitab Al Fikrul Islamy dengan aturan penulis tanpa mengubah isinya. Di beberapa bagian kami tambah, namun dengan memperlihatkan amanah ilmu.

Mengembalikan aqidah pada metode AlQuran adalah wajib di zaman ini. Sebab sedikit orang yang memperhatikan atau mempelajari aqidah dengan mengarahkan pandangan (mengacu) pada ayat-ayat Allah Subhanawata’ala melalui penginderaan dengan tanpa berbelit-belit. Dengan metode Al Quran seorang mukmin dapat memahami aqidahnya secara jelas tanpa metode mantiq dan falsafah. Sebagaimana sahabat Bilal ra. yang memiliki kesadaran dengan metode AlQuran bukan dengan metode mantiq dan falsafah.

Kami pilihkan judul tertentu yang mudah dipahami oleh pelajar, santri dan mahasiswa sebagai dasar pemikiran untuk meningkatkan keimanan, bukan sekedar sebagai pengetahuan belaka. Kami namakan kitab ini MABADI’UL WA’YI dengan iringan permohonan kepada Allah agar memberi manfaat kepada kita secara sempurna, karena hanya pada Allah kita mohon pertolongan dan taufik. Dan hanya Allah yang mencukupi kita dan tempat bersandar.

Surabaya, 12 Rabi’ul Awal 1412 H

Penyusun
Muhammad Ihya’ Ulumiddin

(bersambung)

Dec 9, 2008

Tidak Merasakan Manisnya Iman

Pertanyaan:

Ada ungkapan yang menyatakan: “Barang siapa yang senang melihat kemaksiatan maka tidak akan merasakan manisnya iman. Mohon penjelasan secara hukum fiqh dan ilmu hati untuk hal-hal berikut : melihat TV yang notabene banyak mempertontonkan aurat wanita? Melihat bluefilm (BF)? Melihat/membaca koran bergambar porno? Bagaimana memperingatkan suami yang suka dengan hal-hal di atas?

Jawab:
Berdasarkan firman Alloh QS. An-Nur : 30-31:

“Alloh memerintahkan kepada orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan agar menundukkan pandangannya”
.

“Untukmu yang pertama (tidak berdosa) yang kedua kali adalah dosamu” (Al Hadits)


Melihat lawan jenis adalah maksiat mata. Islam membolehkan hanya pandangan pertama, yang kedua dst,Haram hukumnya. laki-laki haram melihat wanita (dzatnya/secara riil), begitu pula sebaliknya.

Bagaimana kalau melihat gambar (dikoran/TV/VCD)? Dalam kitab Fathul Mu’in: Haram seorang laki-laki (tua sekalipun) dengan sengaja melihat dzat wanita (merdeka/hamba, yang jelek dan tua sekalipun) begitu pula sebaliknya. Bukan melihat bayangan perempuan dalam cermin. Berdasarkan ini banyak ulama’ membolehkan melihat wanita jika tidak secara langsung (hanya gambarnya, baik bergerak atau tidak). Sehingga menonton TV boleh-boleh saja. Tetapi jika menonton TV menyebabkan perubahan perilaku (dari yang awalnya baik menjadi tidak baik) maka hukumnya haram. Dalam Qaidah Islam ada istilah “menutup jalan menuju keburukan”. Jadi jka menonton TV akan membawa kepada keburukan, maka lebih baik tidak dilakukan.

[]

Hukum Pengajian di dalamnya Ada Arisan

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya mengikuti pengajian yang di dalamnya diadakan pula arisan ?


Jawab:

Arisan bersifat ta’awun (tolong-menolong). Namun hukum arisan masih samar, tetapi masih ada kesempatan syara’ untuk memperbaikinya. Ketidakjelasannya adalah karena tidak ada akad waktu menerima, misalnya berbunyi, “Pada hari ini kita menyerahkan hak kita kepada si Fulan yang bersifat hutang”. Jika akad ini diucapkan saat menerima dan memberi uang, maka menjadi jelas.

Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.

Pleonasme

Allah berfirman: “ dan orang–orang yang berpaling dari (perbuatan atau perkataan) yang tidak berguna (al laghw) “ QS al Mu’minun: 3.

(al laghw) memiliki arti; 1. Ucapan yang salah, 2. Berlebihan dalam berucap (pleonasme) dan segala hal yang tidak berguna baik ucapan atau perbuatan, 3. Setiap kata yang terlempar yang semestinya ditinggalkan seperti bohong, gurauan dan ejekan. (…berpaling…) yakni dalam mayoritas waktu berpaling dari segala hal yang tidak berguna karena mereka sibuk dalam kesungguhan dan amal sholeh

Salah satu ciri - ciri hamba sholeh yang disebutkan Allah dalam ayat ini adalah keberpalingan mereka dari al Laghw. Sementara di antara anggota tubuh yang paling susah terjaga oleh manusia adalah lisan karena tak ada kepayahan dalam mengucapkannya dan tak ada biaya untuk menggerakkannya sehingga terjadi banyak anggapan mudah dalam menjaga dari bahayanya serta mengantisipasi jerat - jeratnya. Hal ini menyebabkan lisan menjadi alat canggih setan dalam usaha penyesatan.

Berpaling dari segala model al laghw adalah karakter kesungguhan dan barang siapa berkarakter kesungguhan dalam semua urusannya maka jiwanya akan sempurna dan tidak pernah akan mucul darinya kecuali aktivitas yang bermanfaat. Sementara bersungguh - sungguh, serius dalam segala urusan adalah bagian dari karakter Islam.

Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang hal terbesar yang menyebabkan manusia masuk surga maka Beliau bersabda: “Taqwa kepada Allah dan kebaikan budi pekerti “ dan Beliau juga ditanya tentang hal terbesar yang menjadikan manusia masuk neraka maka Beliau bersabda: “Dua lubang; mulut dan kemaluan “ HR Turmudzi. Diriwayatkan dari Beliau shallallahu alaihi wasallam yang bersabda: “Barang siapa menjaga keburukan perut, kemaluan dan lisannya maka wajib baginya surga “ HR Abu Manshur Ad Dailami. Ketiga macam syahwat inilah yang menjadikan banyak manusia mengalami kehancuran.

Dalam hadits panjang dari Muadz bin Jabal ra. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami dihukum sebab apa yang kami ucapkan? “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Ibumu meratapimu wahai Ibnu Jabal, bukankah tiada yang menyeret manusia ke nereka dengan posisi terbalik kecuali tali–tali lisan mereka ?“ (HR Turmudzi – Hakim). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Sesungguhnya seorang hamba diangkat oleh Allah beberapa derajat karena mengucap satu kata yang meridhokan Allah dan sama sekali tidak disangkanya (ora nggraito. Jawa). Sesungguhnya seorang hamba terperosok ke neraka karena mengucapkan satu kata yang menjadikan Allah marah dan sama sekali ia tidak menyangka“ HR Ahmad–Bukhari.

Maksud tidak menyangka adalah ia tidak merenungkan, tidak menoleh dan sama sekali tidak menganggap. Ia menyangka kata itu sedikit dan remeh, tetapi sebenarnya besar di sisi Allah. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan warning/tahdziir agar seseorang tidak begitu saja menceritakan segala yang didengarnya karena khawatir terjatuh dalam kebohongan. Beliau bersabda: “Cukuplah seseorang berdosa jika ia menceritakan semua yang didengarnya “ HR Abu Dawud. Hal demikian bila orang tersebut sebelumnya tidak mencari kepastian (tatsabbut/klarifikasi) karena ia mendengar kebiasaan benar dan bohong. Maka bila begitu saja ia menceritakan semua yang didengar, sudah pasti ia juga ikut berbohong. Berbohong adalah memberitakan hal yang berbeda dengan kenyataan meski tidak sengaja. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sangat beruntung bagi orang yang menahan kelebihan lisannya dan mendermakan kelebihan hartanya “ HR Baihaqi. “Hal terburuk yang diberikan kepada seseorang adalah lisan yang ngebros “HR Ibnu Abi Dun’ya.

Seorang muslim yang terbina senantiasa menjauhi ucapan berlebihan - yang termasuk di sini adalah membicarakan hal tiada berguna atau menambah ucapan melebihi kebutuhan dalam hal yang berguna - apalagi berbohong. Ucapan berlebihan tidak terbatas, ini berbeda dengan ucapan penting yang terbatas seperti dalam firman Allah: “Tiada kebaikan sama sekali dalam banyak bisikan mereka kecuali orang yang memerintahkan sedekah, kebaikan atau mendamaikan antara manusia “ QS an Nisa’: 114. karena itulah kita dilarang memberikan pujian berlebihan (al Mubalaghah fi Tsana’), meski itu benar, karena ditakutkan setan menyeret kepada tambahan yang semestinya tidak diperlukan.

Yazid bin Abi Hubeb berkata: “Ujian seorang alim adalah lebih senang berbicara daripada mendengarkan dengan seksama (Istima’). Jikalau ada orang yang bisa menggantikannya maka sungguh dalam Istima’ ada keselamatan dan dalam berbicara ada pola (Tazyin), penambahan dan pengurangan“. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Aku peringatkan kepada kalian akan pembicaraan yang tiada guna. Cukuplah seseorang berbicara sekedar bisa menyampaikan maksudnya“ dalam hikmah dikatakan: “Keselamatan manusia ada dalam menjaga lisan“

[]

Masyarakat Istighfar

Ketika kali pertama tiba di Madinah, penduduk kota tersebut berlarian menghampiri Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam. Menurut sahabt Abdulloh bin Salam salah satu yang ikut berlarian menghampiri itu dalam diri beliau tidak nampak wajah ketidakjujuran, oleh karena itu penduduk Madinah percaya semua pada apa yang diucapkan. Pada waktu itu, pesan yang beliau sampaikan adalah:

“Wahai sahabat, berikanlah makanan, sambunglah ikatan persaudaraan, sebarkan salam, dan sholatlah di waktu malam saat manusia terlelap tidur.” (Ibnu Katsir, Mukhtashor III/383).

Pesan tersebut benar-benar membekas di kalangan sahabat. Makanan tidak disimpan, salam disebar di setiap perjumpaan . Pembauran antara Muhajirin dan Anshor benar-benar berhasil. Sementara di waktu malam gemuruh suara istighfar, manusia-manusia bersujud menyepi menghadapkan diri kepada Robbul Izzati. Jeritan taubat dan tangisan penyesalan atas kesalahan-kesalahan ditumpahkan pada saat itu. Diri mereka telah membaur dengan Mahabbatulloh.

Kesempatan akhir malam (baca: sepertiga malam yang akhir) tidak disia-siakan. Kesadaran bahwa waktu itu adalah kesempatan emas untuk berkomunikasi secara langsung. Ketika kesibukan siang belum nampak dan lingkungan masih sunyi senyap, tiada penghalang antara ruhnya dengan Alloh. Oleh karena itu, Alloh Subhanahu Wata’ala berkenan turun kepada mereka dan berseru:

“Adakah orang yang bertaubat, Aku akan menerima taubatnya? Adakah orang yang beristighfar Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta, Aku akan memberinya?” (HR. Imam Ahmad).


Waktu malam yang layaknya dibuat untuk tidur dan istirahat total, ternyata tidak bagi mereka. Sepertiga atau bahkan separuh dari malam itu dipersiapkan untuk munajat kepada Alloh; beristighfar memohon ampunan dan memohon petunjuk untuk melangkah pada hari esoknya. Mereka adalah makhluk yang disebut dalam Al Quran sebagai manusia yang bertakwa yang bakal mendapatkan balasan surga dan mata air karena perilaku ihsannya di dunia; berupa sedikit tidur dan selalu beristighfar di akhir malam:

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar.” (QS. Ad Dziriyaat: 171).


Perilaku junjungan mereka telah memberikan tauladan yang tidak kecil. Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam setiap harinya tidak lepas dari membaca istighfar 70-100 kali. Beliau juga kontinyu shalat malam, padahal beliau satu-satunya hamba yang ma’shum dari berbuat kesalahan. “Lalu bagaimana diri ini?” pikir sahabat. Untuk mengimbangi amaliah junjungan itu, tiga sahabat masing-masing Ali bin Abi Tholib, Abdulloh bin Amr bin Ash dan Usman bin Madhu’un melaporkan amaliah yang menjadi andalannya kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam. Salah satu dari tiga sahabat itu mengandalkan shalat malam di setiap malam. Sahabat yang lain mengandalkan amalan puasa setahun penuh. Dan sahabat yang lain lagi mengandalkan tabattul (hidup tidak mau berhubungan dengan wanita). Walaupun akhirnya laporan mereka tidak dibilang baik oleh Nabi Sholallohu ‘alahi wassalam namun hal itu membuktikan betapa sahabat itu berusaha secara maksimal beramal yang terbaik guna mentauladani idolanya. (Riyadhussholihin, hadits No. 143).

Kebiasaan istighfar di malam hari telah membentuk ruhani mereka menjadi ruhani yang baik; mampu menciptakan hati yang salim; bukan hati yang termuai apalagi hati yang tertutup. Di samping itu istighfar di malam hari juga menumbuhkan jasmani yang beretos kerja tinggi. Istighfar telah memproses pribadi sahabat menjadi pribadi yang sehat dan kuat baik jasmani maupun ruhani. Dengan demikian, kesalahan besar bila sahabat dituduh manusia yang hanaya menguasai ritual belaka; hanya bisa membawa tasbih saja. Sahabat dituduh sebagai manusia pemalas, pengangguran, dan manusia yang hanya mengandalkan pasrah saja. Tuduhan itu jelas tidak terarah. Kominikasi sahabat di malam hari mampu menjadi mobilitas yang luar biasa untuk setiap menghadap tantangan kerja dan usaha di siang harinya; baik tantangan dalam mencari rizki maupun tantangan dalam mensyi’arkan agama Islam.

Pada masa itu, istighfar tidak dimonopoli oleh kaum laki-laki dewasa saja. Ibu-ibu juga istighfar. Sahabat perempuan sadar bahwa diri mereka adalah penduduk neraka terbanyak. Jika tidak diimbangi dengan amaliah yang baik tentulah watak mereka yang menjadi sebab dimasukkan neraka –kufranul asyir (durhaka kepada suami) dan iktsarul La’n (banyak mencela) akan bertambah melekat dalam jiwanya. Untuk itu mereka mengamalkan sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam:

“Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena sesungguhnya Aku melihat kalian sebagai penduduk neraka terbanyak.” (HR. Muslim).

Karena kepentingan istighfar inilah, sahabat laki-laki dewasa memberikan pendidikan tidak hanya kepada istri saja, anak-anak pun dididik untuk sebisanya melakukan tahajud dan beristighfar di waktu malam. Sayyidina Umar bin Khotthob shalat malam yang lama sekali, ketika akan berakhir beliau membangunkan istri dan anaknya, sambil berkata, “Ash Sholah… Ash Sholah” lalu membaca ayat:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Thoha: 132).


Perilaku sahabat seperti ditunjukkan Sayyidina Umar memberikan teladan dalam hal mendidik anak. Masalah mendidik anak, pendidikan agama haruslah ditanamkan pertama kali daripada pendidikan lainnya. Para sahabat memahami sebagaimana pemahaman Nabi Ya’qub ‘alahissalam. Ia berkata kepada putra-putrinya:

“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah: 133).


Bukan pertanyaan, “Engkau makan apa setelahku?” atau “Kelak engkau kerja apa, anakku?” dan lain sebagainya.

Masyarakat Istighfar

Dari pribadi-pribadi yang selalu beristighfar, lalu tumbuh keluarga istighfar, selanjutnya muncul masyarakat Mustaghfirin. Pada waktu itu, Madinah telah berubah dari kota busuk, kota kotor dan kota maksiat menjadi kota istighfar. Terbentuknya masyarakat istighfar ini sesuai dengan firman Alloh Subhana wata’ala:

“Dan kaum yang beristighfar di waktu sahur.” (QS. Ali Imron: 17).


Ketika telah terbentuk masyarakat istighfar, Alloh berkenan menurunkan rahmat-rahmatnya. Tidak akan turun azab sebagaimana umat terdahulu yang enggan beristighfar (QS. Al Kahfi: 55) serta tidak akan ada problem hujan, krisis harta atau keturunan, maupun krisis ekonomi. Sebagaimana janji Alloh Subhana wata’ala:

“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dn mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula (di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12).

Lantas di zaman ini kapankah terbentuk masyarakat istighfar? Apakah berbagai krisis akhir-akhir ini karena masyarakat sedang jauh dari istighfar?

Wallahu a‘lam.

[]

Dec 6, 2008

Qurban Patungan

Pertanyaan:

Setiap kali menjelang hari raya Idul Adha, masyarakat ramai melakukan qurban, baik kambing atau sapi. Dari beberapa kawan, saya mendengar bahwa kini ada trend untuk melakukan qurban secara patungan. Artinya, binatang yang diqurbankan tidak hak milik satu orang, tapi bisa urunan antara 5-10 orang. Saya dengar pula bahwa sebuah jamaah tahlil yang pesertanya 40-an melaksanakan qurban dari uang kasnya. Sebagian sekolah malah menarik iuran dari murid-muridnya untuk dibelikan binatang, lalu dipakai qurban untuk dibagikan kepada fakir miskin. Terhadap fenomena qurban yang demikian itu, dalam hal ini berqurban secara patungan, apakah hukumnya juga dianjurkan? Apabila dijawab, saya mengucapkan terimakasih banyak.

Idham Khalid, Jl. Sumatra Kel. Karanganyar Pasuruan 67131


Jawab:

Ibnu Rusyd berkata, ”Hukum asal berqurban adalah satu orang satu binatang qurban, karena sesungguhnya perintah berqurban itu tidak dapat dibagi-bagi kecuali apabila ada dalil syar’i yang membolehkannya.” (Lihat Bidayah Al-Mujtahid I/352).

Di bawah ini, ada dalil syar’i yang membolehkan berqurban secara patungan, tetapi terbatas untuks sapi dan unta, masing-masing untuk tujuh orang. Ini pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ibnul Mubarak. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits:

Dari Jabir bin Abdillah sesungguhnya Nabi Saw. bersabda, ”Seekor sapi patungan dari tujuh orang dan seekor unta juga patungan dari tujuh orang.” (HR. Abu Dawud, jilid III hal. 98).

Sementara itu, Imam Ishaq bin Rohuyah dan Ibnu Khuzaimah membolehkan berkurban secara patungan seekor sapi bagi tujuh orang dan berkorban seekor unta bagi sepuluh orang berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Abbas, ”Kami bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, lalu tibalah saat hari raya qurban. Maka, kami berqurban seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.” (HR. Tirmidzi, lihat Tuhfatul Ahwadzi, jilid V hal. 87).

Dari dalil-dalil di atas yang kemudian dijadikan landasan hukum oleh para ulama mujtahid diketahui bahwa berqurban secara patungan terbatas untuk sapi dan unta dengan ketentuan: sapi untuk tujuh orang dan unta untuk tujuh sampai sepuluh orang.

Bagaimana dengan patungan kambing atau patungan sapi, tetapi untuk lebih dari sepuluh orang? Hal itu bisa jadi merupakan sedekah, bukan qurban yang keberadaannya juga dianjurkan. Tentu saja nilainya tidak sama dengan berqurban. Oleh karena itu, orang yang mempunyai kelebihan harta sepatutnya melakukan qurban secara mandiri.

[]

Nikah Sirri

Pertanyaa:

Ustadz, saya menjumpai beberapa teman yang melaksanakan nikah sirri. Dalam hal ini, si laki-laki tidak memberikan nafkah untuk istrinya. Pada umumnya, nikah sirri ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari aktivitas pacaran. Sementara itu, seorang teman saya telah menikah secara sirri, tetapi si istri tidak mau dikumpuli. Bagaimana kedudukan nikah sirri ini sebagai alternatif pengganti pacaran? Bagaimana pula kedudukan laki-laki yang tidak menafkahi istrinya? Padahal setahu saya, memberi nafkah istri itu wajib. Bagaimana pula bila si istri tidak mau dikumpuli? Padahal, menolak dikumpuli oleh suami itu setahu saya tidak boleh. Bagaimana bila sehubungan dengan itu telah dibuat perjanjian sebelumnya? Dan bila setelah nikah sirri ini kemudian ingin diumumkan secara terang-terangan, apakah perlu ada ijab qobul lagi sehingga juga ada mahar lagi?

Ikhwan,
Surabaya.


Jawab:
Nikah sirri dalam pengertian yang dipahami oleh masyarakat adalah nikah tanpa melalui pencatatan petugas pencatat pernikahan (KUA). Bila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka nikah sirri ini hukumnya sah menurut syara’ terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam menentukan rukun dan syarat ini.

Imam Abu Hanifah tidak memasukkan wali sebagai hal yang harus ada dalam aqad nikah. Dengan demikian, adalah sah pernikahan yang dilakukan tanpa wali menurut pengertian mazhab Hanafiah. Sementara itu, golongan Zhahiriah membedakan antara janda dan gadis dalam masalah perwalian ini. Untuk gadis harus ada wali, sedangkan janda tidak. (lihat Fiqhus Sunnah: II/113; Al Mizan Lisy Sya’roni: II/109; Husnul Uswah lis Sayyid Muh. Siddiq Khan, hal 192, tentang pernikahan Zainab binti Jahs dengan Zaid bin Haritsah yang dilaksanakan tanpa wali).

Berkaitan dengan menikah (sirri) sebagai alternatif untuk menghindarkan diri dari pacaran, maka hal ini sangat dianjurkan. Bahkan, kedudukannya bisa menjadi wajib bila dikhawatirkan akan terjadi perzinaan.

Banyak kemaksiatan yang timbul akibat berpacaran yang kesemuanya itu dapat menjerumuskan diri ke dalam perzinaan. Bila kita amati, kehidupan muda-mudi saat ini banyak terjadi pelanggaran susila akibat pergaulan bebas yang mereka lakukan. Sebagai contoh, data beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa di daerah Yogyakarta tercatat terjadinya aborsi (pengguguran kandungan) akibat hamil di luar nikah yang dilakukan para pelajar meningkat 300% (Republika: 30/8/94). Data ini belum termasuk mereka yang tidak sempat menggugurkan kandungan yang berarti telah melahirkan tanpa bapak yang sah.

Oleh karena itu, diserukan para orang tua untuk senantiasa memperhatikan putra-putrinya agar jangan sampai terjerumus kepada kemaksiatan akibat pacaran ini. Dan hendaknya para orang tua tidak membiarkan putra-putrinya berpacaran berlarut-larut dan tidak segera dinikahkannya.

Dalam hal ini pula, secara hukum diperkenankan bagi para muda-mudi untuk melaksanakan nikah tanpa wali dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah, oleh karena orang tua belum menyetujui pernikahan itu. Sementara itu, kebutuhan menikah sudah sangat mendesak sebab dikhawatirkan berbuat perzinaan.

Hadirnya peraturan tentang pencatatan pernikahan di antaranya dilatarbelakangi oleh munculnya tindakan tidak bertanggungjawab dari salah satu pihak, baik suami maupun istri. Hal ini merupakan langkah yang positif, karena saat ini banyak pula orang menikah dan tidak bertanggung jawab. Dengan dihadirkannya peraturan tentang pencatatan pernikahan ini, diharapkan dapat menekan munculnya tindakan tak bertanggunjawab.

Tetapi, meskipun Islam sangat memberikan kemudahan dalam urusan pernikahan, bukan berarti bahwa Islam membuka peluang untuk muncul tindakan tak bertanggungjawab, karena dalam pernikahan itu sendiri tidak saja mengandung konsekuensi pertanggungjawaban duniawi, tetapi juga pertanggungjawaban ukhrowi, yakni kepada Allah Swt.

Tentang penundaan pemberian nafkah suami maupun penundaan untuk berkumpul dengan istri dengan suatu perjanjian, maka hal ini boleh dilakukan, yang dalam istilah syara’ disebut tanazzul. Rasulullah saw. sendiri pernah melakukan tanazzul, yaitu ketika beliau menikahi Sayyidah ‘Aisyah, ketika Sayyidah ‘Aisyah telah berusia sembilan tahun. Begitu pula tatkala Sayyidah Saudah telah lanjut usia, beliau menyerahkan hak gilirnya pada Sayyidah ‘Aisyah.

Selanjutnya, berkenaan dengan pengulangan aqad nikah, sebagian ulama tidak mempermasalahkan. Adapun berkaitan dengan maharnya, maka sebenarnya aqad nikah tanpa disebutkan maharnya adalah sah, karena mahar pada hakikatnya tidak berkaitan dengan aqad tetapi berkaitan dengan masalah duhul (mempergauli istri). Aqad nikah tanpa menyebut mahar ini disebut nikah tafwidh. Dalam hal ini, mahar dapat disertakan pada salah satu dari aqad pertama atau kedua atau tanpa ditetapkan lebih dahulu pada saat aqad nikah.

Sebagai informasi, di samping ada pengertian nikah sirri sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat, ada juga pengertian nikah sirri menurut ahli fiqih, yaitu nikah yang saksinya tidak memenuhi persyaratan. Nikah sirri dalam pengertian ini adalah tidak sah menurut syara’.

[]

Dec 4, 2008

Hukum Potong Gundul

Pertanyaan:
Tradisi di pesantren lazimnya ada sanksi potong gundul bagi para pelanggar peraturan. Bolehkah tradisi potong rambut secara gundul itu padahal ada ungkapan bahwa potong gundul adalah tanda dari golongan khawarij?



Jawaban:
Potong gundul atau disebut halq ialah memotong rambut dengan menghilangkan rambut seluruhnya. Istilahnya plontos. Halq ini beda dengan taqshir yaitu memotong sebagian rambut atau sekedar potong pendek.
Kepala gundul memang sebagian dari tanda-tanda golongan khawarij atau kelompok haruriyah (karena mereka banyak domisili di daerah Harur). Golongan kategori menyimpang dari jalan tenga (sikap tawassuth) yang menamakan (mendakwa) dirinya sebagai kelompok Syurah (orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat) ini salah satu tandana disebut oleh Rasululloh Sholallohu 'alaihiwassalam mayoritas gundul. Sabda beliau, yang artinya:

"Tanda-tanda mereka adalah memotong rambut gundul." (HR. Muslim).

Pada sisi lain, orang-orang gundul disebutkan sebagai orang-orang yang baik seperti orang haji kalau mau tahallul dia melakukan gundul yang lebih baik daripada potong pendek atau potong biasa. Rasulullah Sholallohu 'alaihiwassalam dan para sahabat ketika Fathu Makkah, mereka memasuki tanah haram itu dengan potong gundul. Firman Alloh Ta'ala, yang artinya:

"Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram insya'alloh dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya." (QS. Al Fath: 27).

Sabda Rasululloh Sholallohu 'alaihiwassalam yang diucapkannya tiga kali, yang artinya:

"Ya Alloh rahmatilah orang-orang yang mencukur gundul rambutnya," (HR. Bukhari I: 298).

Untuk perempuan memang tidak boleh gundul, yang diperbolehkan hanya potong pendek atau potong biasa, karena gundul berarti menyerupai laki-laki dan menentang kelaziman, di samping rambut adalah mahkota perhiasan wanita sedang rambut wanita sendiri pada dasarnya adalah perhiasan.

Adapun laki-laki potong gundul hukumnya diperbolehkan. Soal itu menjadi alamat golongan khawarij, Imam Nawawi berargumentasi, alamat bisa terdiri dari perilaku haram dan bisa pula terdiri dari perilaku yang diperbolehkan. Beliau mendasarkan pada riwayat Imam Abu Dawud bahwa seorang anak memotong gundul sebagian rambutnya. Beliau lalu bersabda, "Kalau gundul, gundullah semua (jangan sebagian saja, atau (kalau tidak) jangan gundul (sama sekali) saja."

Dari sini laki-laki boleh gundul, namun semestinya tidak gundul terus, seperti Saolin atau golonga khwarij, namun gundul pada waktu-waktu tertentu, berkala, dan sesekali, seperti Rasululloh Sholallohu 'alaihiwassalam. Beliau gundul pada suatu saat, memotong pendek pada saat lain, dan pada suatu kesempatan beliau tampak memanjangkan rambutnya.

[]

Dec 3, 2008

Sembilan Kiat Menjadi Suami Teladan

Suami adalah pemimpin wanita, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut ”qowwâmûna ’alan nisâ‘.” Qowwâm merupakan jamak taksir dari qô’im yang berarti orang yang memiliki tanggung jawab yang banyak. Berkaitan dengan itu, seorang suami hendaknya berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik dan menjadi suami teladan bagi para isterinya.
Di bawah ini merupakan resep untuk menjadi suami teladan (az-zaujul mitsâli).


Pertama, suami harus jujur, terus terang, dan bersikap terbuka. Sikap terbuka ini hendaknya dimulai sejak dia meminang calon istrinya. Saat meminang, calon suami tidak perlu menutupi kelebihan dan kekurangannya, misalnya dengan menyembunyikan penyakit tertentu yang dideritanya. Sikap ini menunjukkan kejujuran. Hal ini penting untuk menghindari kekecewaan di kemudian hari. Sifat jujur akan dibawa dalam kehidupan selanjutnya dan merupakan pangkal kebahagian.

Rasululah Saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kami meminang seorang perempuan, sedangkan dia menyemir rambutnya dengan semir hitam, maka hendaknya dia memberi tahu pada perempuan yang dipinangnya bahwa ia menyemir rambutnya dengan semir hitam.”

Hadits ini menunjukkan bahwa masalah sekecil apapun kita harus jujur pada calon isteri agar jangan sampai terjadi penipuan terhadap dirinya yang akhirnya akan menjadi ganjalan dalam kehidupan selanjutnya.

Kedua, suami harus lemah lembut dan berbuat baik dalam memperlakukan isteri. Ukuran lemah lembut adalah relatif untuk setiap orang, bergantung pada sifat, pembawaan, gaya bahasa yang berbeda pada setiap daerah dan bangsa. Sebagian orang Jawa biasa memanggil isterinya dengan sebutan “sayang, dik, umi, mama” dan sebagainya. Begitu juga isteri terhadap suami biasa memanggil “mas, abi, abah, papa” dan lain-lain. Berbeda dengan orang jawa, orang Arab biasanya memanggil langsung namanya, baik suami atau isteri. Di samping itu, para suami harus memuliakan isterinya, jangan meremehkannya. Sebab, seorang isteri telah melakukan hal-hal yang sukar dilakukan oleh suami, apalagi ketika sudah memiliki anak.
Dalam perjodohan antara laki-laki dan wanita, ada satu titik yang harus dikejar, yaitu masuklah kamu ke surga bersama isteri-isterimu. Jika suatu saat seorang suami mendapati hal-hal yang tidak disenangi pada isterinya atau sebaliknya, maka hendaklah ia kembali pada konsep Islam. “Jika kamu tidak senang pada sesuatu hal, maka di sana boleh jadi ada sesuatu yang baik bagi kamu.” Jadi, kalau ada akhlak sang isteri yang tidak disenanginya atau sebaliknya, maka sesungguhnya yang disenanginya jauh lebih banyak daripada yang tidak disenanginya. Sesungguhnya Allah dalam menjodohkan antara laki-laki dan wanita sudah pasti dengan banyak kecocokan yang harus dijaga bersama dengan mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya. Kalau ada sesuatu hal yang menjengkelkan, maka hal itu harus disikapi sebagai ujian. Seharusnya suami atau istri harus menyikapi hal ini dengan bersikap sabar dan tawakkal.

Allah telah banyak mengibaratkan laki-laki dan perempuan sebagai pakaian. Gambaran tentang pakaian di sini adalah bahwa pakaian itu selalu kita pakai, yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Kalau pakaian sudah tampak kotor, maka segeralah dicuci lalu diseterika sehingga kelihatan bagus kembali. Sekalipun pakaian sudah berumur lama, kalau kita merawatnya, maka akan kelihatan seperti baru. Sebaliknya, kalau kita tidak merawat pakaian tersebut dengan baik, maka pakaian itu akan lusuh, cepat rusak, warnanya cepat luntur, sehingga kita akan merasa enggan memakainya lagi.
Dengan demikian, suami isteri harus saling memelihara, sehingga setiap penampilannya akan selalu menyenangkan. Jangan sampai kita mempunyai perasaan tidak memerlukan pakaian lagi, sehingga baru beberapa hari dipakai sudah dibuang karena bosan, yang selanjutnya mempunyai kebiasaan kawin cerai berkali-kali. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah melaknat laki-laki dan perempuan yang tukang mencicipi.”

Ketiga, suami harus menyenangkan isteri. Jangan terlalu tegang, sesekali harus diselingi guyonan, cubitan, termasuk juga bahasa-bahasa guyonan yang bisa menghilangkan ketegangan. Rasulullah Saw. bersabda, “Ada hal-hal yang sepertinya tidak ada faedahnya, tetapi cepat mendapat pahala, yaitu muda’abatur rojul zaujatahu (suami yang yang mengajak istri bermain dalam berbahasa atau dalam perbuatan).

Keempat, jika suami mencemburui isteri hendaknya yang wajar-wajar saja. Bisa jadi karena terlalu cinta pada isteri sehingga suami mempunyai rasa cemburu pada isteri secara berlebihan yang tidak berdasar. Hal ini termasuk perbuatan tercela.

Kecemburuan yang tidak disertai dengan data yang obyektif jelas dapat memutuskan tali percintaan. Rasulullah Saw. bersabda, “Di antara cemburu itu ada yang dibenci Allah yaitu kecemburuan pada isterinya tanpa hal-hal yang mencurigakan.”

Kelima, suami harus santun dalam berbicara dengan isteri. Berbicara dengan isteri harus dengan uslub yang halus dan terdidik, jangan sampai menyakitkan hati. Kalimat yang bagus akan berpengaruh dalam jiwa dan perasaan hati. Kalau kebetulan suami mempunyai gaya bicara yang kasar, hendaknya hal itu diberitahukan kepada isterinya. Yakinkan bahwa hati suami tidak sekasar bicaranya.

Keenam, suami memberi nafkah pada isteri, yang sedang-sedang saja, tidak terlalu boros dan tidak terlalu kikir. Menurut fiqih, cara terbaik dalam menafkahi istri adalah yaumiyah (harian). Hal ini berkaitan dengan kemungkinan terjadi nusyuz (pembangkangan seorang isteri). Jika suatu hari isteri berbuat nusyuz, maka isteri tidak berhak mendapatkan nafaqoh pada hari itu. Dalam realitasnya, cara memberi nafkah itu ada yang usbu’iyah (mingguan), syahriyah (bulanan). Berkaitan dengan cara penafkahan ini hendaklah dipilih mana yang menjadi kelegaannya. Yang jelas, suami berkewajiban menafkahi istrinya.

Ketujuh, suami hendaknya berpenampilan bagus di hadapan isterinya, sehingga tidak kelihatan membosankan. Hal itu berarti segalanya harus tertata rapi, tidak morat-marit. Isteri yang mengerti kebersihan akan membawa kesenangan tersendiri, maka tidak melihat isteri pada suami kecuali keindahan, dan tidak mencium kecuali bau yang enak. Rasulullah Saw. bersabda, “Cucilah baju-bajumu, dan potonglah rambutmu, bersiwaklah, berhiaslah, dan berbersihlah. Sesungguhnya Bani Israil tidak berbuat demikian, maka berzinalah isteri-isteri mereka.”

Kedepalapan, suami hendaknya menjaga rahasia kehidupan dalam rumah tangga. Jadi, masalah rumah tangga jangan keluar sembarangan pada orang lain. Yang paling tidak benar adalah menceritakan saat “kumpul” dengan isterinya kepada temannya. Rasulullah Saw. bersabda, “Termasuk orang yang paling buruk kedudukannya di Hari Kiamat yaitu seseorang yang mendatangi isterinya di malam hari kemudian menceritakannya.”

Kesembilan, suami harus menunjukkan sikap sebagai seorang laki-laki. Rasulullah Saw. bersabda, “Mudah-mudahn Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian dan bertingkah laku seperti perempuan.” Misalnya, harus menafkahi, tidak malas bekerja. Di samping itu, suami jangan keterlaluan dalam menampakkan kelaki-lakiannya, seperti menerapkan sistem militer dalam rumah tangga.

Jadi, letakkan suatu itu pada tempatnya. Hikmat mengatakan, “Kamu jangan terlalu keras, maka mudah dipatahkan dan kamu jangan terlalu lunak, maka mudah diperas. Sikap yang terlalu lunak akan menghilangkan haibah (kewibawaan). Bercanda (guyon) yang berlebihan (di semua tempat) juga bisa menghilangkan haibah. Rasulullah Saw. juga pernah guyon. Ada seseorang bernama Nu’aim ditutup matanya oleh Rasulullah Saw. dari belakang sambil berkata, “Siapa yang mau beli budak?” Kata Nu’aim, “Saya bukan budak.” Kemudian Nu’aim menoleh, “Ya Rasulullah, siapa yang membeli saya?” Jawab Rasulullah, “Kamu dibeli oleh Allah (masuk surga).” Jadi, seseorang harus tahu, kapan serius dan kapan guyon.

Itulah beberapa sifat yang dipahami dan dipraktikkan oleh para suami sehingga ia akan menjadi suami teladan. InsyaAllah.

Wallôhu a’lam.

Harta Warisan

Pertanyaan
a. Apakah seseorang yang meninggal dengan meninggalkan harta warisan, kemudian harta itu tidak dibagi dengan adil sesuai hukum waris Islam, kelak di akhirat masih diadili karena tidak adil?

b. Bagaimana cara pembagian harta waris jika berupa tanah?apakah harus dikurs dahulu dengan uang, mengingat harga tanah di surabaya dan di daerah tidak sama? Jika demikian, berapa bagian untuk anak laki – laki dan berapa bagian untuk anak perempuan? Ada yang menyatakan jika dikurs dengan uang maka pasti terjadi piutang antar sesama saudara. Benarkah ini?

Imiana M, Surabaya


Jawaban
a. Setelah dipastikan meninggal dunia, maka ada lima hak yang harus ditunaikan secara berurut (Murottabah) yang berhubungan dengan harta peninggalan (Tirkah) Mayyit; 1) Mengeluarkan hak yang berhubungan dengan harta secara langsung seperti Zakat, Jinayat dan Gadai, 2) Biaya lumrah pengurusan jenazah, 3) Hutang – hutang kepada Alloh seperti Haji bagi yang mampu atau hutang kepada sesama manusia, 4) Wasiat kepada selain ahli waris dalam batas tidak lebih dari sepertiga (Tsuluts) harta tinggalan, dan 5) warisan secara adil.

Kelima hal tersebut menjadi kewajiban ahli waris untuk menunaikannya. Jadi mereka tidak diperbolehkan langsung begitu saja membagi harta peninggalan sebelum menjalani proses demi proses. Atau sudah menjalankan proses tersebut secara berurutan tetapi pada endingnya yaitu pada masalah pembagian harta warisan mereka berbuat tidak adil maka sungguh di sini Mayyit sama sekali tidak mendapatkan dosa. Ingatlah firman Alloh, “…seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…”QS al An’aam: 164.

b. Dalam masalah Warisan, Islam memiliki satu standar baku bahwa Bagian laki – laki adalah dua kali lipat bagian perempuan, firman Alloh Swt.: “Alloh mewasiatkan bagi kalian (tentang pembagian pusaka untuk) anak – anak kalian Yaitu: Bagian seorang anak laki – laki sama dengan bagian dua anak perempuan…”QS. an Nisa’: 11. artinya wasiat Alloh adalah penekanan agar harta warisan dibagi seadil – adilnya sesuai dengan ketentuan Syara’. Para ahli waris harus menerima hak mereka sesuai dengan bagian yang ditentukan oleh Syara’ untuk mereka. Berangkat dari sinilah kemudian studi ilmu Faro’idh memunculkan satu teori pasti yang berbunyi, “Tirkah dibagi asal masalah kemudian dikalikan Siham” . Dibagi dan dikalikan tentunya sudah ada kejelasan berapa jumlah total Tirkah yang itu berarti jika dari Tirkah ada yang berupa benda atau tanah maka harus diperkirakan berapa harganya. Tentu hal ini sesuai dengan kesepakatan para ahli waris. []

Wallahu 'alam

Dec 2, 2008

Memilih Dengan Hati Nurani


Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Pertama-tama dari atas mimbar ini kami sampaikan wasiat. Wasiat bersama, untuk pribadi saya sendiri dan kepada seluruh jamaah. Wasiat tersebut sangat terkait dengan kehambaan kita kepada Allah swt. Selalu terikat dengan hukum-hukum Allah swt. dalam segala tindak tanduk kita.

Kita melihat dalam keseharian seorang muslim, kadangkala ia minum dengan tangan kiri bahkan dengan berdiri pula. Padahal Rasulullah saw. tidak mengajarkan minum dengan tangan kiri dan sambil berdiri. Makruh hukumnya. Sunnah minum adalah dengan tangan kanan dan tidak sambil berdiri, kecuali minum air zam-zam. Perbuatan minum memang perbuatan yang kecil. Namun, sekecil apapun perbuatan kita semestinya tetap terikat dengan hukum-hukum Allah. Dengan begitu, kita akan mendapatkan ridha dan cinta Allah swt. Ada selalu keterikatan dengan hukum-hukum Allah swt. dalam setiap perbuatan inilah yang disebut dengan dasar ketakwaan. Halal, haram, makruh, atau mubah harus diketahui dalam perbuatan yang akan kita lakukan. Sebaik-baik bekal dalam menghadap Allah swt. adalah ketakwaan ini.



Itulah wasiat yang pertama kami sampaikan dalam khutbah ini, yakni keterikatan pada hukum-hukum Allah swt.. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukum-hukum Allah swt. dalam segala perilakunya, sekecil apapun, seperti makan dan minum yang kami sebutkan di atas. Lalu bagaimana dengan memilih presiden? Tentu ini urusan yang lebih besar. Urusan negara dan urusan kita dalam memilih pemimpin.

Sering kita mendengar iklan, spanduk, atau slogan-slogan yang isinya ”Hendaklah kita memilih dengan hati nurani”. Hal ini menambah kebingungan, karena harus memilih berdasarkan hati nurani. Bisa jadi seseorang memilih presiden karena gantengnya, memilih karena persaudaraan, karena berasal dari satu daerah, atau berasal dari satu partai, dan lain sebagainya. Padahal yang menyelamatkan kita di hadapan Allah swt. bukanlah partai. Islamlah yang menyelamatkan kita. Terkait dengan memilih dengan hati nurani ini semestinya kita kembali kepada hadits Rasulullah saw. yang menyebutkan:

Laa yu’ minnu ahadukum hatta yakunaa hawau tabaa lima jiktum
”Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sehingga nuraninya itu selalu mengikuti tuntunan yang aku bawa.”

Sementara itu tuntunan yang dibawa Rasulullah saw. itu sudah terikat dengan halal, haram, makruh, dan mubah. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus mengetahui hukum dasar Islam, bagaimana kita secara umum memilih seorang pemimpin itu. Firman Allah swt. dalam surat at-Taubah: 23,

”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Ayat di atas secara jelas mengatakan, sekalipun itu bapak kita atau saudara kita jika mereka bukan seorang muslim, maka tidak boleh dipilih. Jika salah satu calon pemimpin itu, entah presiden atau wakil presiden beragama Nasrani, Hindu, atau Budha, maka tidak boleh dipilih. Pelarangan keras ini sangat jelas dalam al-Quran seperti ayat yang kami kutip di atas.

Hubungan bapak dan saudara itu sangat dekat. Antara seorang anak dengan bapaknya dan seorang saudara dengan saudaranya. Apalagi tidak ada hubungan darah atau kekerabatan sama sekali. Jika terjadi seorang muslim memilih pemimpinnya berasal dari non muslim atau orang yang mendahulukan kufur atas iman, maka mereka itu orang-orang yang telah berbuat zhalim (wa man yatawallahum minkum faûlâika humuzh zhôlimûn). Mereka telah berbuat aniaya dan dosa pada diri mereka sendiri. Ini kita lakukan agar kita mendapatkan ridha dari Allah swt.

Mengapa demikian? Karena Allah swt. sesungguhnya tidak senang terhadap hamba-Nya yang berbuat kekufuran. Padahal kita setiap hari membaca ihdzinash shirôthol mustaqîm, shirôthol ladzîna an’amta ’alaihim ghoiril maghdhûbi ’alaihim minimal 17 kali setiap hari. Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat. Orang-orang yang diberi nikmat dan dicintai oleh Allah swt. di antaranya adalah para nabi, shiddiqin (orang-orang yang jujur), sholihin (orang-orang shaleh), dan syuhada (orang-orang yang berjuang membela agama). Manakala orang dicintai oleh Allah swt., maka kita mencintainya. Sebaliknya, manakala orang dibenci oleh Allah swt., tentu kita juga membencinya. Di sinilah arti ghoiril maghdhûbi, mereka yang dimurkai oleh-Nya, yaitu orang-orang Yahudi. Waladh-dhôlîn, dan bukan pula orang-orang yang tersesat, yaitu orang-orang Nasrani. Kesesatan mereka karena mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Kapan Allah swt. melahirkan anak? Ada juga sebutan Allah Bapa; Allah Anak dan kesesatan-kesesatan yang lain. Sungguh mereka adalah orang-orang yang tersesat.

Ini merupakan contoh betapa kita tidak boleh memilih orang-orang yang berasal bukan dari golongan Islam. Kita semua akan mati dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah apa-apa yang kita lakukan di dunia ini. Jika kita memilih pemimpin beragama Nasrani misalkan, sudah tentu Allah swt. Murka, karena Nasrani termasuk golongan yang dikatakan sesat oleh Allah swt.

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Selanjutnya, kita pun tidak memilih seorang muslim namun tidak berpikiran Islam. Saat ini kita mengenal Islam yang beragam. Islam kapitalis: ia mengaku Islam namun pemikirannya kapitalis. Islam sosialis: ia mengaku Islam namun pemikirannya sosialis dan dalam kehidupannya ia memperjuangkan sosialisme. Islam plularis, Islam humanis, dan Islam-is yang lain. Hal ini telah digambarkan oleh Rasulullah saw. bahwa nanti sebelum hari Kiamat tiba akan datang suatu golongan da’i yang menyeru kepada agama Allah, namun hakekatnya menyeru ke neraka. ”Mereka itu siapa ya Rasulullah?” para sahabat bertanya. Rasulullah saw. menjawab, ”Mereka itu sekulit dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita. Tetapi mereka itu mengajak ke neraka jahanam.”

Islam liberal umpamanya. Banyak hukum-hukum Islam mereka ’preteli’ seenaknya. Jilbab hukumnya tidak wajib. Pembagian hukum waris perempuan dan laki-laki dimana 1 banding 2 itu jaman dulu; sekarang tidak berlaku lagi. Dan masih banyak lagi hukum-hukum Islam yang oleh Islam Liberal diprotoli.

Walaupun calon pemimpin tersebut seorang Islam, namun tidak berpikiran Islam, tentu tidak akan kita pilih. Jadi siapa yang akan kita pilih? Sudah tentu seorang Islam yang berpikiran Islam, berpijak kepada Islam dan hatinya juga Islam. Dialah yang akan kita pilih. Tentu berbeda antara Islam santri dan Islam abangan. Berbeda. Islam abangan KTP-nya Islam, namun pemikirannya bukan Islam. Islam abangan mengatakan semua agama itu sama. Tentu beda dengan Islam santri yang menyatakan agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.

Di sinilah hati nurani kita harus dibatasi dengan tuntunan dari Rasulullah saw., bukan dengan hati nuraninya masing-masing. Apalagi berkembang istilah “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Apakah suara Tuhan juga jika rakyatnya maling semua? Tentu hal itu tidak benar. Istilah itu adalah kaidah atau pedoman yang dikembangkan demokrasi liberal yang datangnya dari barat. Pemikiran suara rakyat adalah suara Tuhan adalah pemikiran demokrasi liberal. Hal ini tidak sesuai dengan aqidah kita, aqidah Islam.

Jika ada pilihan Islam abangan dan Islam santri, sudah tentu kita memilih Islam santri. Tidak peduli apakah itu satu partai atau bukan, saudara atau tidak saudara. Kita akan memilih Islam santri. Karena kita kembali kepada Islam, bukan kepada satu partai, satu saudara, atau fisiknya yang ganteng dan gagah.

Dalam agama ini, ada cabang-cabang iman, di antaranya al-hubbu fillâh wa bughdu fillâh, mencintai seseorang karena Allah dan membenci seseorang karena Allah. Benci bukan berarti dendam. Jika kita membenci orang-orang kafir bukan berarti kita dendam. Kita membenci perilakunya yang menentang Allah. Ada hak dan kewajiban yang kita tunaikan ketika kita bertetangga dengan orang kafir. Ada hak dan kewajiban yang kita laksanakan ketika kita bermuamalah dengan orang kafir. Kita tunjukkan perilaku Islam kepada mereka. Dengan demikian, ada harapan mereka dapat memeluk Islam ini. Sekali lagi, benci bukan berarti dendam.

Jamaah Jum’at yang berbahagia hafizhokumullôh,

Sebagai da’i ilallôh kami wajib menyampaikan dalam khutbah ini karena banyak orang Islam yang bingung dalam memilih. Dalam ber-Islam ini ada miqyâsul ’amal, barometer beramal, yaitu selalu terikat dengan hukum-hukum Allah. Telah kami contohkan sebelumnya bahwa minum dengan tangan kanan beda dengan minum tangan kiri. Berbeda sunnah dengan makruh.

Di akhir khutbah yang singkat ini kami ingatkan kembali dengan firman Allah:

”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”

Dalam dua arti, pertama, jangan memilih pemimpin non muslim. Dan kedua, jangan memilih muslim namun tidak berpikiran dengan Islam.

***

Foto: http://giant41.blogspot.com

Dec 1, 2008

Paradigma Fir’aunisme, Adzab, Tasyâ’um (Tathoyyur) dan Tafâ’ul

Q.S. al-A’râf: 130-131

Bismillahirrahmaanirrahim

Allah Swt. berfirman:


Dan Sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. al-A’râf: 130-131)

Analisa Kata
(akhodznâ) artinya “Kami mengadzab” atau “Kami memberi hukuman dengan keras”. Al-Qur’an kerap memakai kata: “akhodzna-ya’khudzu-akhdzan” untuk menyebut adzab dan sanksi atau hukuman yang keras, seperti firman Allah Swt. dalam surat Hud ayat 102 yang artinya:

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.

(as-sinîn) berasal dari kata dasar “sanan” artinya “tahun”. Hanya saja kata ini lazim diartikan tahun paceklik, tahun kemarau panjang (kekeringan), dan tahun kelaparan.
(al-hasanatu) arti dasarnya “kebaikan”. Kata ini maksudnya di sini adalah kemakmuran, kesuburan, dan kesentosaan.
(yaththoyyarû) artinya “merasa mendapatkan sial, celaka, atau keburukan”. Merasa mendapat sial, celaka atau keburukan diistilahkan “tathoyyur” (thiyâroh) atau “tasyâ’um”. Kebalikan dari tathoyyur atau tasya’um adalah tafâ’ul (bhs. Jawa: ngalap ketularan, berpengharapan nasib baik).

Makna Ayat
Dalam ayat ini Allah Swt. bersumpah, bahwa Dia telah mengadzab Fir’aun, para pembesar di sekitarnya, berikut kaumnya, berupa kemarau panjang, paceklik, kelaparan, krisis buah-buahan (hasil cocok tanam jelek, hama merajalela, biaya produksi mahal, harga jual pasca panen anjlok, krisis keuangan), resesi ekonomi, kehancuran alat-alat produksi yang vital, dan lain sebagainya. Adzab ini melingkupi seluruh kekuasaan Fir’aun baik di desa maupun kota sebagai akibat arogansi mereka pada saat dibeberkan kebenaran di hadapannya. Konon saat itu pohon kurma berbuah hanya satu butir.

Seperti dituturkan oleh ayat-ayat sebelumnya, arogansi, kekufuran, kezhaliman, dan perbuatan semena-mena Fir’aun, para punggawa dan kaumnya luar biasa kepada Nabi Musa a.s. yang menyerukan kebenaran. Fir’aun berkata:

Fir'aun menjawab: "Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar". (Q.S. al-A’râf: 106, periksa pula Q.S. Asy-Syûrô: 31)

Pada saat Nabi Musa a.s. tampil excellent (istimewa) di mukanya dengan membawa bukti berupa mukjizat (tongkat berubah ular dan tangan mengeluarkan cahaya putih), Fir’aun justru mengingkarinya, ditambah dukungan pengingkaran dari para punggawa di sekelilingnya. Bahkan dengan menampilkan mukjizat itu, Nabi Musa a.s. dituduh berpraktik sihir.

Untuk menghinakan Musa a.s. berikutnya Fir’aun mengumpulkan pakar sihir yang menurut Ikrimah (seorang tabi’in) yang berjumlah 70.000 pakar sihir dari berbagai penjuru dunia di lapangan. Namun praktik sihir dari 70.000 pakar itu dengan mudah dimentahkan oleh Nabi Musa a.s. Di saat itulah puluhan ribu pakar sihir ini sadar, mengaku kalah dan beriman. Kekalahan besar di depan rakyat banyak ini tidak malah membuat Fir’aun sadar. Dia justru bertindak membabi buta (bahasa jawa: ndodro) dengan membuat keputusan-keputusan tidak masuk akal. Pakar sihir berjumlah 70.000 dibantai dengan memotong kaki dan tangan secara bersilang. Kemudian mereka disalib seluruhnya, semata-mata hanya mereka teguh beriman. Tentang pakar sihir ini, Imam Qotadah berkata: “Mereka di pagi hari pakar sihir yang kafir sementara di sore hari mereka syuhada yang mulia-mulia.”

Tidak hanya itu, Fir’aun juga membuat kebijakan yang sungguh mengerikan. Kebijakan yang tidak bijak. Inti kebijakan itu anak-anak dari kaum laki-laki yang beriman (pengikut Musa a.s.) seluruhnya harus dibunuh, sementara kaum perempuan dibakar hidup-hidup. Ini adalah keputusan kedua kalinya setelah keputusan serupa diambil bersamaan kelahiran bayi Nabi Musa a.s. Dengan kebijakan kejam ini Fir’aun ingin melanggengkan kekuasaan, tanpa pesaing, secara mutlak (otoriter), di atas segala-galanya. Tentu saja Fir’aun dalam hal ini tidak bertindak sendirian, akan tetapi ia mendapatkan dukungan penuh dari rakyat, juga dukungan vital dari para menteri dan pejabat kerajaan. Artinya Fir’aun, menteri, pejabat dan rakyat waktu itu berperan sama di dalam menghantam dan membantai kebenaran.

Adzab dan hukuman keras tersebut di muka diberikan agar Fir’aun beserta pejabat dan rakyatnya sadar atas kesalahan besar yang telah diperbuatnya, di samping seruan agar mereka mengambil pelajaran dari kejadian dan peristiwa adzab dan hukuman keras itu.
Adalah sunatullah (hukum alam), bahwa Allah Swt. mengirim adzab dan sanksi keras berupa musibah, bencana, kekurangan buah-buahan, termasuk paceklik, krisis politik, krisis keuangan, dan resesi. Ibarat petani misalnya hasil produksi jelek, diserang hama, harga anjlok, padahal biaya produksi mahal. Adzab dan hukuman keras ini dalam rangka sebagai peringatan, kewaspadaan, lampu kuning, agar kalangan elite dan kalangan alit kembali kepada jalan yang lurus dan bertaubat. Akan baiklah keadaan (krisis selesai), kalau mereka sadar dan bertaubat. Kalau tidak, maka sebaliknya, akan ada kerusakan yang lebih parah dan kepastian ketentuan (qadla) yang lebih buruk.

Fir’aun bersama pengabdinya termasuk kategori golongan akhir ini. Peringatan dari Allah Swt. tidak menjadikannya sadar, malah membuatnya semakin rusak menjadi-jadi. Termasuk sama dengan Fir’aun adalah pribadi atau masyarakat kampung, wilayah, maupun negara bangsa yang tidak mengindahkan peringatan yang ditimpakan atas kesalahan yang diperbuat, juga yang enggan mengambil pelajaran dari sekian kasus dan peristiwa yang terjadi (dialami) di setiap masa sampai hari Kiamat kelak.

Salah satu karakter Fir’aunisme dulu dan sekarang adalah mereka mengandalkan kemampuan diri sendiri, tanpa melibatkan Allah Swt. Angkuh dengan ilmu, eksperimen dan pengamatannya. Sombong dengan kata yang keluar dari mulutnya. Arogan dengan kapasitas dan posisinya. Sehingga kalau hari-hari terasa cerah, aman, sentosa, adil dan makmur, misalnya usainya krisis, keadaan kacau kembali normal, maka orang-orang (pribadi atau bangsa) yang bertipe Fir’aunisme ini berujar, “Ini karena kerja keras kami. Ini karena ilmu, pengetahuan dan eksperimen kami. Kebaikan ini karena peran kami,” dan lain sebagainya. Tidak ada bagi mereka konsep, sistem atau sekedar kemauan untuk menisbatkan keadaan yang stabil itu sebagai anugerah dari Allah Swt.

Anehnya di sisi lain mereka bersikap oportunis (mengambil untung sendiri). Pada saat keadaan labil, goncang, susah, paceklik, krisis, resesi, dan segala upaya, rekayasa, ilmu dan kemampuan dikerahkan tak juga membawa hasil, Fir’aunisme dan pengabdinya tidak mau menisbatkan keburukan ini sebagai akibat dari ulah, ilmu, eksperimen, kapasitas dan posisinya. Tetapi, mereka tanpa kejelasan alasan menisbatkan keburukan ini seluruhnya kepada Musa a.s. dan orang-orang yang bersamanya. Mereka merasa mendapat sial, nasib buruk, disebabkan Nabi Musa a.s. dan orang-orang yang beriman. “Ini gara-gara mereka,” ujarnya.

Tradisi ini disebut “tathoyyur” atau “tasyâ’um”. Karakter mengklaim keadaan baik dan kalau keadaan berubah buruk berlepas diri bahkan menisbatkannya kepada orang-orang yang beriman adalah indikasi keras kepala dan tebal tutup hati mereka terhadap berbagai peringatan, adzab dan hukuman keras yang menimpanya atau menimpa orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak menyadari bahwa keburukan dan kesialan semuanya berasal dari Allah Swt. yang terkait dengan sebab akibat (kausalitas) perilaku mereka. Tidak ada kaitannya dengan Nabi Musa a.s. dan orang-orang yang beriman.

Tradisi tathoyyur dan tasyâ’um (merasa mendapatkan sial, nasib buruk, bhs. jawa: gugon tuhon) awalnya bermula dari perilaku masyarakat Arab yang merasa mendapatkan nasib baik dan buruk dengan meyakini isyarat burung (thoir). Jika mereka hendak pergi dan melihat burung terbang ke arah kanan, dia merasa akan mendapatkan nasib baik, maka pergilah dia. Kalau burung itu terlihat terbang ke arah kiri, dia buru-buru mengurungkan niatnya pergi, karena merasa akan mendapatkan sial, nasib buruk. Tathoyyur dan tasyâ’um ini kemudian dihapuskan oleh Nabi Saw. Nasib baik dan buruk tidaklah terkait dengan isyarat burung, misalnya burung gagak atau lainnya, melainkan sudah ketentuan qodlo dan qodar dari Allah Swt.

Sementara ajaran agama Islam menyukai “tafâ’ul” (bhs. jawa: ngalap ketularan, berpengharapan memperoleh kebaikan), sebagai ganti revolusioner dari tathoyyur dan tasyâ’um. Tafâ’ul dengan perkara yang sesuai dengan syara’, setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan eksperimen yang valid dan logis, ditekankan. Misalnya tafâ’ul dengan nama, binatang aqiqoh, pengobatan, dan lain sebagainya. Memberi nama puteranya “Muhammad” misalnya biar dia kelak terpuji. Nama “Rofi’i” misalnya agar terangkat derajatnya. Menyembelih binatang aqiqoh, contoh lain agar durhakanya pada orang tua lenyap.

Sahabat Umar bin Khattab r.a. pernah hendak meminta tolong pada seseorang. “Siapa namamu?” tanyanya. “Zholim bin Surraq (orang zhalim putera maling),” jawab orang itu. Amir orang-orang yang beriman ini berkata, “Kamu zhalim ya dan ayahmu maling?!” sambil mengurungkan niatnya meminta bantuan. Ini menunjukkan nama-nama yang jelek hendaknya diubah menjadi nama-nama yang baik. Karena pada nama-nama yang baik itu ada maksud tafâ’ul. Sementara Allah Swt. menunjukkan kebaikan dan di sisi lain menolak kejelekan.

Kini agaknya sejarah itu mengulang dirinya. Karakter Fir’aunisme yang dicela dalam al-Qur’an tersebut hidup kembali. Tidak sedikit individu, masyarakat, dan negara bangsa justru berkehendak membantai kebenaran dengan segala caranya, tidak mengindahkan adzab dan hukuman keras terhadapnya, mengklaim kebaikan sebagai hasil ilmu dan rekayasanya, tanpa melibatkan anugerah Yang Maha Kuasa. Sementara kalau terjadi keburukan, berlepas diri seraya melemparkan kepada orang lain. Tidak lagi qodlo qodar diimani. Maka, belum saatnyakah mengambil pelajaran dari karakter Fir’aun?
Ataukah Fir’aunisme mesti harus dihidupkan kembali?

Wallôhu a’lamu bish-showâb. []