Feb 24, 2009

Keteguhan dan Kepasrahan Sebagai Cermin Keimanan

“Katakanlah: “Sekali – kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Alloh orang – orang beriman harus bertawakkal” QS. at Taubah: 51.

Analisa Bahasa

Yushiibaana, artinya mengenai kami. Dari kata Ashooba, Yushiibu, Mushibatan. Jadi musibah adalah sesuatu kejadian yang menjadikan manusia sedih dan susah.

Uraian Ayat

Imam Abul Faroj Ibnul Jauzi dalam Shoedul Khothir menuturkan bahwa Takliif atau pembebaban terberat bagi orang Mukallaf bukanlah Takliif yang berupa sholat lima waktu, mengeluarkan sebagian dari harta benda yang diperoleh dari kepayahan, puasa di tengah terik matahari atau berhaji ke Baitulloh. Beliau melanjutkan, “Takliif terberat adalah ketika manusia harus rela menerima semua yang terjadi dengan lapang dada”. Jika kejadian itu bisa diterima oleh akal fikiran mungkin hal itu sedikit lebih mudah, akan tetapi jika akal fikiran tidak bisa menerimanya maka sungguh untuk menerima adalah sesuatu yang teramat berat. Kenapa seorang bayi terlahir dengan kaki hanya satu, mengapa seorang anak kecil harus menderita lumpuh dan seterusnya. Dalam kondisi seperti inilah Alloh memberikan bimbingan kepada orang yang beriman agar memantapkan hati dan berusaha membimbing lisan untuk segera mengatakan, “Tidak ada yang akan mengenai kami kecuali sudah ditentukan Alloh”. Selanjutnya manusia harus pula meyakini bahwa apa yang terjadi ini tiada lain adalah demi kebaikannya sendiri, baik dunia ataupun akhirat. Dengan meyakini bahwa segala yang terjadi adalah atas kehendak Alloh serta demi kebaikan dunia akhirat, maka manusia pasti terhindar dari rasa rendah diri dan kehilangan kekuatan pada saat bersentuhan dengan bencana. Apalagi disertai pula dengan kesadaran bahwa semua yang terjadi tak lain merupakan respon dari perbuatan yang dilakukan, “Katakanlah: “Maka kenapa Dia menimpakan siksa atas kalian?” (tentu saja itu semua karena) dosa – dosa kalian” QS. al Ma’idah: 18. “Telah tampak kerusakan di daratan maupun di lautan sebab ulah tangan – tangan manusia...”QS. ar Ruum: 41.


Sudah merupakan kehendak dan kepastian Alloh bahwa ketika siksaan turun atau saat kerusakan menampak maka yang menerima imbasnya bukan hanya pelaku kemaksiatan atau keburukan (orang Thoolih) , akan tetapi orang – orang baik (orang sholih) yang tidak terlibat pun ikut menanggung akibatnya. Alloh memperingatkan:

“Dan waspadalah akan fitnah yang secara khusus tidak hanya menimpa orang – orang yang berbuat zholim dari kalian. Dan ketahuilah bahwa Alloh Maha berat siksaNya” QS. al Anfaal: 25.

Kenyataan di mana orang yang tidak berbuat maksiat juga mendapat jatah bencana bisa jadi karena mereka sama sekali tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka acuh dan membiarkan begitu saja maksiat terjadi di hadapan mereka meski sebenarnya mereka mampu untuk melakukan tindakan pencegahan. Rosululloh saw. bersabda yang artinya, “Tiada kaum yang di kalangan mereka maksiat dilakukan padahal mereka lebih mulia (kuat) dan jumlah mereka lebih banyak daripada orang–orang yang berbuat (maksiat) kemudian mereka tidak mau merubah (mencegah) kecuali Alloh meratakan siksa atas mereka” HR Ahmad. Ummu Salamah ra., isteri Rosululloh saw. meriwayatkan sabda Beliau saw. yang artinya: “Jika kemaksiatan menampak (merajalela) pada umatku maka Alloh pasti meratakan atas mereka adzab dari-Nya” Ummu Salamah ra. bertanya, “Wahai Rosululloh, bukankah di antara mereka ada manusia – manusia yang saleh?” Nabi saw. menjawab, “Ia” Ummu Salamah ra. mengejar, “Lantas perlakuan bagaimana yang mereka terima?” Nabi saw. menjawab, “Mereka juga tertimpa apa yang menimpa manusia, kemudian mereka kembali kepada ampunan dan ridho dari Alloh” HR. Ahmad.

Bencana Umat Terdahulu

Dalam Alqur’an banyak dikisahkan drama bencana yang menimpa umat–umat terdahulu karena dosa-dosa yang sudah merajalela dan membudaya di kalangan mereka. Kaum Nabi Nuh as., Aad kaum Nabi Hud as.,Tsamud kaum Nabi Sholeh as., Sadum kaum Nabi Luth as., Madyan kaum Nabi Syu’aib as. serta Bani Isro’il pada masa Nabi Musa as. Begitu pula para penguasa durjana seperti Namrudz dan Fir’aun atau para konglomerat bangsat sebagaimana Qorun. Mereka ini sekali lagi dihancurkan secara total dan mengenaskan akibat kemaksiatan yang mereka lakukan, “Dan Kami jadikan bagi mereka masing–masing perumpamaan dan masing–masing mereka itu benar–benar telah Kami binasakan dengan sehancur–hancurnya” QS. al Furqon: 39. Alloh juga berfirman:

“...maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Alloh meratakan mereka dengan tanah” QS. asy Syams: 14.

Kalau mau meneliti dan mau jujur tentu kita semua mengakui bahwa umat ini sudah semestinya tertimpa apa yang telah menimpa umat–umat terdahulu. Kemaksiatan–kemaksiatan yang menyebabkan mereka tertimpa adzab Alloh sebenarnya telah cukup lama tumbuh subur dan membudaya dalam umat ini. Kasih sayang dan anugerah Alloh–lah yang menjadikan umat ini belum dibinasakan oleh-Nya, sebab umat ini adalah umat Nabi terkasih-Nya, Rosululloh Muhammad saw. Dia Berfirman:

“Dan tiada akan menyiksa mereka selama engkau (Nabi Muhammad SAW) ada di tengah – tengah mereka. Dan Alloh tidak (pula) akan menyiksa mereka selama mereka mau memohon ampunan” QS. al Anfaal: 33.

Para ahli tafsir menyatakan bahwa maksud Adzab di sini adalah adzab pemusnahan. Artinya umat Rosululloh saw. sudah dijamin oleh Alloh tidak akan mendapat adzab seperti adzab yang Dia timpakan atas umat terdahulu. Adanya bencana dan musibah yang menimpa umat in1i tak lebih hanyalah sebuah tindakan pemurnian (Tamhish) dari-Nya. “Dan agar Alloh membersihkan orang–orang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang – orang kafir” QS. Ali Imron: 141. Karena itulah ketika menghadapi segala bencana semestinya orang beriman berpasrah diri kepada Alloh dalam artian hati meyakini dengan sepenuhnya bahwa tiada yang berbuat kecuali Dzat-Nya, Dia sempurna ilmu, kuasa dan kasih sayang-Nya. Tak ada ilmu, kuasa dan kasih sayang yang melebihi ilmu, kuasa dan kasih sayang-Nya. Sesungguhnya segala yang dilakukanNya adalah baik. Jika hati belum bisa seperti ini maka hal itu disebabkan oleh salah satu dari dua hal; 1) lemahnya keyakinan, 2) hati lemah karena dikuasai oleh ketakutan yang disebakan oleh bayang–bayang. Akhirnya bisa diambil kesimpulan bahwa Tawakkal atau kepasrahan kepadaNya tidak pernah akan sempurna kecuali dengan keyakinan yang kuat dan hati yang teguh.

Lemah dan kuatnya hati dalam kepasrahan ini terbagi menjadi tiga tingkat (Darojaat); 1) manusia yang keberadaannya dengan Alloh seperti kepasrahannya kepada wakil, 2) manusia yang keberadaannya dengan Alloh laksana bayi dalam buaian ibunda, dan yang ke 3) manusia yang keberadaan dengan Alloh tak ubahnya seperti jenazah di tangan orang yang memandikan, ia tidak pernah berpisah dengan-Nya. Ketiga Maqom ini memang nyata ditemukan pada manusia. Hanya saja semuanya tak ada yang terus berkesinambungan (Dawaam), apalagi Maqom yang ketiga yang oleh orang – orang yang mencapai Maqom tertinggi ini diungkapkan dengan bahasa, “Hasbii Robbi Jallalloh” yang artinya Tuhanku Dzat Yang Mencukupiku, Alloh Maha Mulia. Atau dengan bahasa, “Ilmu Tuhanku cukup bagiku untuk tidak meminta dan berusaha. Do’a dan penghambaan (Ibtihaal)ku adalah saksi akan kebutuhanku (kepadaNya)”. Mereka inilah yang disebut oleh Alloh sebagai manusia–manusia sabar dalam firmanNya:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah – buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang – orang yang sabar” QS. al Baqoroh: 55.

Dalam lanjutan ayat disebutkan pula pahala bagi orang – orang yang sabar yang berupa, a) Shalawaat dari Tuhan Alloh. Artinya mendapat pujian dari-Nya, b) Rahmat dan c) mendapat Hidayah dari-Nya. Dalam at Tadzkiirul Mushthofa, Sayyid Abu Bakar al Atthos meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali ra. menuturkan sebuah sabda Rosululloh SAW:

Bukhtunasshor datang dan memerintahkan supaya Nabi Daniyal ditangkap. Selanjutnya ia memasukkan Nabi Daniyal ke dalam kubangan seperti sumur bersama dua ekor harimau buas. Setelah itu selama lima hari ia membiarkan Nabi Daniyal di dalam sumur tersebut dalam keadaan tertutup. Sesudah itu Buktunasshor memerintahkan supaya kubangan itu kembali dibuka dan ternyata ia mendapatkan Nabi Daniyal berdiri sholat sementara dua harimau duduk di pojok kubangan dan sama sekali tidak mengusik Nabi Daniyal. Heran dengan pemandangan tersebut, Bukhtunasshor bertanya, “Beritahukan kepadaku apa yang kamu ucapkan sehingga engkau terlindungi?” Nabi Daniyal menjawab, “...Segala puji bagi Alloh Dzat yang tidak rugi orang yang meminta kepadaNya...segala puji bagi Alloh Dzat yang menjadi kepercayaan kami ketika upaya – upaya sudah tidak bisa lagi dilakukan...”

Terlepas akan validitasnya, kisah ini memberi gambaran kepada kita tentang prilaku orang–orang yang telah sampai pada Maqom ini (Maqom tawakkal yang ketiga) dalam menghadapi musibah dan bencana yang melanda.

[]

0 comments: