Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya
Rizki tidak bermakna kepemilikan (milkiyah), akan tetapi rizki bermakna pemberian. Rozaqo bermakna a’thoo (memberi). Adapun yang dinamakan kepemilikan (milkiyah) adalah peroleh sesuatu dengan cara tertentu yang diperbolehkan syara’. Rizki dapat berupa rizki halal dan haram. Rezeki yang diperoleh seseorang pekerja sebagai upah kerjanya adalah rizki (yang halal), dan harta yang diperoleh seorang pejudi juga rizki (yang haram). Semuanya itu adalah harta yang diberikan Allah swt. untuk keduanya disaat mereka mengusahakan suatu al haal (keadaan) yang dapat mendatangkan harta (rizki).
Manusia banyak yang menyangka bahwa mereka dapat mendatangkan rizki untuk dirinya sendiri. Seorang pegawai yang menerima (mengambil) gaji tertentu, menyangka ia telah memberi rizki pada dirinya. Dan ketika dia menerima bonus sebagai ganti usahanya, dia menyangka bahwa bonus itu dapat memberi rizki padanya. Seorang pedagang yang mendapatkan keuntungan usahanya menyangka bahwa ia memberikan rizki pada dirinya. Seorang dokter yang menyembuhkan pasiennya mendapat upah, ia menyangka memberikan rizki pada dirinya. Demikian juga tiap-tiap orang yang mengusahakan dan menghasilkan harta, mereka menyangka bahwa mereka telah menghasilkan rizki pada dirinya. Prasangka (dhon) itu muncul pada diri manusia karena mereka tidak memahami hakekat keadaan (al haal) yang datang padanya rizki, tetapi mereka menyangka al haal (keadaan) itu sebagai sebab.
Hakekat yang harus diterima setiap muslim ialah bahwa rizki itu dari Allah swt. semata, bukan dari manusia. Sedangkan al haal hanya suatu perantara datangnya rizki. Ia bukanlah merupakan sebab datangnya rizki. Karena hubungan sebab musabab adalah suatu hubungan yang pasti. Kalau sekiranya al haal itu (dianggap) sebagai sebab, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang berbeda (takholluf). Realitas menunjukkan bahwa al haal menghasilkan sesuatu yang berbeda (meleset). Kadang-kadang ada al haal, namun rizki tidak datang. Kalau sekiranya al haal merupakan sebab maka akan menghasilkan musabab secara pasti yaitu rizki. Dan dengan adanya al haal yang tidak mendatangkan rizki yang pasti, yaitu dengan adanya al haal tersebut kadang-kadang mendatangkan rizki dan kadang-kadang mendatangkan sesuatu yang berbeda (meleset), maka hal ini menunjukkan bahwa al haal bukanlah merupakan sebab (utama), tetapi hanyalah merupakan perantara (bhs. Jawa: jalaran). Di samping itu tidak boleh menganggap, bahwa al haal yang menjadi perantara datangnya rizki sebagai sebab adanya rizki, dan juga bukan orang yang mengusahakan al haal tersebut yang mendatangkan rizki. Karena pengertian ini bertentangan dengan nash-nash Al Quran yang qoth’i baik dilalahnya maupun tsubutnya. Apabila pemikiran atau pemahaman (seseorang) itu bertentangan dengan nash-nash qoth’i dilallah dan qoth’i tsubut maka dimenangkan nash qoth’i dan diambilnya serta menolak (pemahaman) selainnya. Banyak ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan masalah ini dengan keterangan yang jelas dan gamblang, yang tidak mungkin ditakwil lagi, bahwa rizki adalah semata-mata dari Allah swt., bukan dari manusia.
Semua itu memberikan kepastian kepada kita bahwa sesungguhnya apa yang kita saksikan dari sarana-sarana atau cara-cara untuk mendatangkan rizki itu semata-mata adalah al haal, yang menjadi perantara datangnya rizki tersebut. Firman Allah swt. yang artinya:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu”. (QS. Al Mâidah: 88).
“Alloh Ta’ala yang telah menciptakan kamu kemudian memberi rizki kepadamu (QS. Ar Rum: 44)
“Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Alloh Ta’ala kepadamu”. (QS. Yasin: 47)
“Sesungguhnya Alloh Ta’ala memberi rizki kepada siapa yang dikehendakinya”. (QS. Ali Imron: 37)
“Alloh Ta’alalah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu”. (QS. Al Ankabut: 60)
“Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka”. (QS. Al An’am: 151)
“Kamilah yang memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu”. (QS. Al Isroo’: 31)
“Benar-benar Alloh Ta’ala akan memberikan rizki kepada mereka”. (QS. Al Hajj: 58)
“Alloh Ta’ala meluaskan rizki kepada siapa yang dikehendaki”. (QS. Al Isroo’: 30)
“Maka mintalah rizki itu dari sisi Alloh Ta’ala”. (QS. Al Ankabuut: 17)
“Dan tak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Alloh Ta’ala yang memberikan rizki”. (QS. Huud: 6)
“Sesungguhnya Alloh Ta’ala. Dialah Maha Pemberi rizki”. (QS. Adz Dzaariyat: 58)
Ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang banyak jumlahnya adalah qoth’i dilalalah, hanya satu makna yang dikandungnya dan tidak menerima takwil apapun. Yakni bahwa rizki itu adalah dari Alloh Ta’ala semata, bukan dari yang lain.
Hanya saja Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang telah diberi kemampuan berikhtiar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan mengusahakan al haal yang dapat menjadi perantara datangnya rizki. Merekalah yang harus mengusahakan segala bentuk al haal tersebut, tetapi bukanlah mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana penjelasan nash-nash tersebut. Alloh Ta’alalah yang memberikan rizki kepada mereka pada keadaan (al haal) ini, tanpa memandang apakah rizki itu halal atau haram, dan tanpa memandang apa.
[]
Feb 4, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment