1. Allah dan Kaum Beriman Mencintainya
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, untuk mereka Allah Dzat Maha Pengasih akan Menjadikan kecintaan (dihati para hamba”. QS. Maryam: 96.
Dari Abdurahman bin Abi Laila, Ia berkata, “Abu Darda’ ra. Berkirim surat kepada Maslamah bin Mukhallad al Anshari Az Zurqi, wafat tahun 63 H, gubenur Mesir era Muawiyah ra.:
[Salam sejahtera atas Anda. Amma ba’du. Sesungguhnya jika seseorang hamba menjalankan ketaatan kepada Allah maka Allah pasti mencintainya. Ketika Allah telah mencintainya maka Dia akan menjadikan para hamba-Nya menjadi para pecintanya. Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kemaksiatan maka Allah pasti membencinya dan bila Allah membencinya niscaya Dia akan menjadikan para hamba-Nya ikut serta membencinya.] (Disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam al Asma ‘wa Shifaat).
Agar buah ini dihasilkan, sebagian ahli makrifat memberikan petunjuk pentingnya seorang muslim yang terbina mewujudkan diri memasuki pintu ini dengan jiwa yang pemurah (Sakhawatnnafsi) hati yang bersih dari penyakit (Salamatus shadri), serta kasih sayang kepada umat (Rahmatul Ummah). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kalian tidak pernah beriman sehingga kalian saling mengasihi”. Para sahabat bertanya, “Kita semua adalah manusia penyayang”. Beliau bersabda, “Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang dari kalian kepada temannya, melainkan kasih sayang kepada sesama seluruhnya”. HR. Thabarani.
Sebagian ahli makrifat juga menjelaskan bahwa buah ini akan menampak ketika lima hal berikut telah terwujud, 1. setia (wafa’) pada janji, 2. menjaga dan mengindakan batasan-batasan, 3. rela dengan apa yang ada, 4. sabar akan sesuatu yang telah hilang, 5. Menurut pada Dzat yang disembah.
Hal ini karena dengan semua, disertai dengan ikhlas, shidiq, dan raghbah, ia telah berdiri dalam Maqam Ubudiyyah, sebuah maqam yang aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Iman. Apalagi jika ia telah sampai pada Maqam Ubuudah, maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Ihsan, yaitu ketika ia telah sirna melupakan dirinya serta amal ketaatan yang dilakukannya. Allah berfirman, “Tetapi Allah-lah yang memberikan anugerah atas kalian karena Dia telah menunjukkan kalian kepada keimanan”. QS. Al Hujurat: 17. “Dan tidak-lah kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. QS. Al Anfaal: 170.
Di bawah kedua maqam tersebut adalah Maqam Ibadah, yaitu ketaatan berupa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang merupakan aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Islam.
2. Kehidupan yang Baik (al Hayah at Thayyibah)
Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa beramal shaleh baik lelaki atau perempuan dan dia seorang yang beriman maka sungguh niscaya Kami akan memberikannya kehidupan yang baik dan niscaya Kami akan memberikan balasan pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan”. QS. An Nahl: 97.
Al Hasan Al Basri berkata, “Kehidupan yang baik adalah Qana’ah”, atau dengan bahasa lain kekayaan hati. Said bin Juber dan Atha’ berkata, “Kehidupan yang baik adalah rizki yang halal”. Mujahid dan Qatadah berkata, “Kehidupan yang baik adalah surga karena surga adalah kehidupan tanpa kematian, kekayaan tanpa kemiskinan, sehat tanpa sakit, kekuasaan tidak pernah hancur, dan keberuntungan tanpa kesengsaraan”. Allah berfirman, “Dan Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”. QS. As Sajdah: 17.
Maraji:
1. Kasyul Ghummah fi Isthina’il Ma’ruf wa Rahmatil Ummah, Abuya al Walid al Habib Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani.
2. al Manhajus Sawiy Syam Ushul Thariqah as Sâddâh Aali Bâ Alawi. Al Habib Zen bin Ibrahim bin Semith.
[]
0 comments:
Post a Comment