Feb 25, 2009

Status Kehamilan di luar Nikah

Bagaimana status dan hak anak yang lahir dari kehamilan di luar Nikah? Apakah pernikahan yang dilakukan setelah kehamilan akan mempengaruhi status anak yang dilahirkan tersebut?

0856480xxxx


Jawaban:

Anak zina hukumnya sama dengan orang lain. Jadi dia bukan anak dari lelaki yang berzina dengan ibunya. Karena itu jika lelaki itu meninggal maka anak tersebut tidak bisa mewarisi, sebaliknya juga demikian. Selain tidak bisa saling mewarisi, seorang lelaki juga tidak bisa menjadi wali dari anak perempuan dari hasil perzinahannya. Jadi anak zina itu adalah orang lain secara mutlak, hanya saja lelaki itu tidak boleh menikahi anak dari hasil perzinahannya. Karena itulah status ini tidak bisa berubah dengan pernikahan yang dilakukan selama masih ada kemungkinan (apalagi diyakini) bahwa kehamilan itu berawal dari perzinaan. (Lihat Kitabul Fiqih Alal Madzaahib al Arba’ah 5/121. Kitabul Hudud Bab Ahkamu binti Zina)

Dalil yang menjadi dasar bahwa anak zina tidak ada hubungan nasab (Intisab) dengan lelaki yang menzinahi ibunya (si anak) adalah hadits Rosululloh saw. yang artinya:

“Anak adalah milik suami, sedang bagi pezina ada kerugian” HR. Bukhori / 2745.

Maksudnya adalah jika seorang istri seorang dengan orang lain sehingga hamil maka anak yang kelak dilahirkan adalah anak suaminya yang sah, bukan anak lelaki yang berzina dengannya. Ketika itu Utbah bin Abi Waqqosh berwasiat kepada saudaranya, Sa’ad bin Abi Waqqosh, “Sesungguhnya anak lelaki yang dilahirkan oleh sahaya Zam’ah adalah anakku, karena itu ambil dan rawatlah dia!”. Pada peristiwa Penaklukkan Makkah, Sa’ad mencari dan menemukan anak tersebut, ia berkata, “(Ini) Putera saudaraku dan saudaraku telah menitipkan anak ini kepadaku”. Pada lain pihak putera Zam’ah yang bernama Abdu tidak terima dan membantah, “Ini adalah saudara lelakiku, ia putera dari sahaya ayahku.” Kasus ini segera dibawa kepada Rosululloh saw. dan Beliau saw. memutuskan, “Anak ini adalah saudaramu wahai Abdu” Beliau saw. lalu bersabda seperti di atas. Selanjutnya karena anak itu mirip dengan Utbah maka Beliau saw. memerintahkan istri Beliau yaitu Saudah binti Zam’ah, “Berhijablah darinya (anak itu)”. Disebutkan bahwa sampai meninggal dunia, anak tersebut sama sekali tidak pernah melihat Saudah.

[]

Feb 24, 2009

Anak Sholih Pilihan OrangTua Bijaksana

Allah Swt. berfirman, yang artinya:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".

Lafadz “Jika mereka miskin, Alloh akan memampukan mereka dengan karunia-Nya” mempunyai dua acuan, pertama, mengacu pada mereka yang sudah siap menikah, namun dalam keadaan miskin, dan kedua, mengacu pada anak sholih yang di amanahkan Allah kepada orang tuanya yang berada dalam keadaan miskin. Dalam pembahasan ini akan difokuskan pada acuan yang kedua.

Anak merupakan amanah berharga dari Allah Swt. kepada kedua orang tuanya. Di bawah tanggung jawab orang tua, anak akan tumbuh berkembang sesuai dengan harapan orang tuanya. Tentu saja, harapan para orang tua terhadap anak sangat beragam. Ada yang menginginkan anaknya menjadi orang terpelajar sehingga mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat. Ada yang menginginkan anaknya menjadi orang yang kaya sehingga hidupnya serba berkecukupan. Dan masih banyak lagi harapan-harapan orang tua lainnya yang semuanya masih berorientasi pada materi dan kurang memperhatikan masalah kesholihan anak. Sangat sedikit orang tua yang mengutamakan kesholihan anak dan menyerahkan sepenuhnya masalah rezeki anak kepada Allah Ta’ala.


Dari sekian macam harapan orang tua, tentu saja harapan agar anaknya menjadi anak yang sholih merupakan pilihan bijaksana dan berorientasi jauh ke depan. Sebab anak yang sholih tidak hanya berguna bagi diri anak, tetapi sangat bermanfaat bagi kelancaran perjalanan kedua orang tuanya kelak di akhirat menghadap Allah Robbul Izzati. Sekian banyak badits Rasulullah telah menceritakan keutamaan anak sholih. Orang tua akan mendapat kedudukan terhortmat di sisi Allah walaupun ibadahnya pas-pasan lantaran pengaruh anak sholih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya siang dan malam. Bahkan, anak sholih merupakan salah satu dari tiga hal yang disebut Rasulullah sebagai hal yang dapat mendatangkan pahala yang tidak ada putus-putusnya walaupun kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

Membentuk Anak Sholih

Membentuk anak sholih bisa dilakukan sejak dini, yaitu memilihkan ibu yang baik bagi anaknya. Seorang sahabat berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, aku telah mendidikmu sejak engkau belum dilahirkan.” Anaknya bertanya, “Bagaimana ayah bisa mendidik saya, padahal saya belum dilahirkan?” Ayahnya menjawab, “Ayah telah memilihkan ibu yang baik untukmu.” Dari dialog ayah dan anak di atas dapat disimpulkan bahwa seorang ibu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan seluruh segi kehidupan anak. Mengingat pentingnya peran ibu, Rasulullah bersabda, “Pilihlah wanita yang baik sebagai tempat menyemaikan benihmu.”

Dalam perkembangan anak, ibulah yang paling dekat dengan anaknya, baik secara fisik maupun psikis. Hampir segala urusan yang berkaitan dengan anak selalu ditangani oleh sang ibu. Dari seorang ibulah anak mulai belajar mengenai lingkungan sekitar. Bahkan, dalam urusan pembentukan watak kepribadian, peran sang ibu tetap begitu dominan dibandingkan peran ayah. Karena itu tidak berlebihan jika sampai dikatakan bahwa ibu merupakan madrasah bagi anaknya.

Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan yang sangat jelas berkaitan dengan usaha membentuk anak shalih, baik sebelum maupun sesudah anak dilahirkan. Sebelum anak dilahirkan, orang tua dapat melakukan hal-hal berikut ini: berdia sebelum berkumpul dengan istri, berdoa agar diberi keturunan yang sholih, berusaha untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa, melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami istri sehingga tercipta keluarga sakinah yang secara psikoligis berpengaruh terhadap janin yang sedang dikandungnya, dan sebagainya.

Usaha yang dapat dilakukan setelah anak dilahirkan, di antaranya adalah mengumandangkan azan dan iqomah apa kedua telinga anak, membawanya kepada orang sholih untuk ditahnik, mengaqiqohinya, memberinya nama yang baik, mencukur rambutnya lalu dihargai dengan emas dan disedekahkan kepada fakir miskin, mencukupi kebutuhan jasmaninya dengan harta yang halal, dan memberikan pendidikan formal yang mampu membina anak menjadi anak yang sholih. Dalam kaitan pendidikan formal, orang tua hendaknya berhati-hati agar tidak terjebak dengan sekolah yang hanya menawarkan fasilitas pendidikan yang serba canggih tanpa memperhatikan sisi-sisi ruhiyah anak.

Fakir Yang Cukup
Anak sholih merupakan karunia Alloh Ta’ala yang tiada ternilai harganya. Sayangnya, banyak orang tua yang melupakan masalah ini. Hal ini terbukti dengan kurangnya perhatian orang tua dengan tidak memperhatikan upaya membentuk anak sholih seperti tersebut di atas. Dalam benak orang tua, yang penting anak bisa mandiri secara ekonomi. Lantas, anak disekolahkan pada sekolah-sekolah yang menitikberatkan dan keterampilan (baca: sekolah umum murni) tanpa sedikit pun memikirkan aspek sikap (baca: agama). Orang tua beranggapan bahwa jika anak telah mampu secara ekonomi, maka kehidupan orang tua di usia lanjut akan tenang dan tenteram karena dijamin secara ekonomi oleh anaknya. Langkah-langkah dan anggapan seperti itu jelas salah dan dapat berakibat fatal.

Bila kita cermati keadaan di sekeliling kita, tidak jarang anak justru menjadi musuh dan mengganggu ketenangan orang tua di masa tua yang semestinya banyak digunakan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Harta yang sekian lama dikumpulkan untuk kebahagian anak, semuanya ludes digunakan anak untuk melampiaskan hawa nafsunya. Bahkan, tak jarang orang tua mendapatkan siksaan secara fisik dari anak yang durhaka. Orang tua mana yang rela diperlakukan anak sedemikian tragis dan mengenaskan. Tentu, jawabannya adalah tidak.

Anak sholih tidak mungkin melakukan perbuatan biadab seperti itu terhadap orang tuanya karena dalam diri anak telah tertanam pemahaman yang kuat terhadap ajaran Islam. Jangankan, melakukan penyiksaan secara fisik, berkata “uff” di depan orang tua saja sudah mendapatkan teguran keras. Sebaliknya, anak sholih akan memperlakukan orang tua dengan lemah lembut sebagaimana perintah Allah Swt. dan RasulNya. Ia akan berhati-hati dalam perkataan dan perbuatannya di hadapan orang tua, jangan sampai menyakiti hatinya.

Mengharapkan anak menjadi anak sholih sesungguhnya merupakan harapan yang lebih dari sekedar cukup. Seandainya Allah menakdirkannya menjadi fakir, maka Allah akan mencukupinya (menjadi fakir yang selalu dicukupi Allah) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur di atas. Masalah rezeki inilah yang selalu menjadi kekhawatiran sebagian besar orang tua. Padahal, Allahlah Dzat yang berwenang memberikan rezeki seluruh makhlukNya. Walhasil, tidak ada alasan sama sekali apabila mengkhawatirkan rezeki anak yang sholih. Allah berfirman,

Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Dan masih banyak janji-janji Allah bagi mereka yang sholih/ bertaqwa. Mudah-mudahan kita dan keturuan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang sholih.

[]

Peristiwa Bersejarah di Bulan Rabiul Akhir

Adakah peristiwa bersejarah di bulan Rabiul akhir pada zaman Rasulullah Saw.?

Abdul Aziz, Jl. Made Karyo VI/2 Lamongan.


Jawaban:

Salah satu ajaran Rasulullah Saw. Adalah memupuk keterikatan umat dengan peristiwa penting yang terjadi dalam lintasan sejarah. Maksudnya jangan sampai umat melupakan sejarah, sebab dari sanalah manusia bisa terdidik dan tersegarkan jiwanya, tercerahkan cara pandangnya serta faedah dan guna yang lain. Ajaran itu salah satunya terkandung dalam sabda Beliau Saw., “Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jum’at, di hari itu Adam diciptakan…” HR. Muslim-Nasa’i.
Dalam kitab Maadza fi Sya’baan disebutkan bahwa keterikatan manusia dengan suatu masa sangat bergantung dengan peristiwa yang terjadi di masa itu. Semakin kuat keterikatan mereka dengan sebuah peristiwa maka semakin kuat pula keterikatan mereka dengan masa tersebut. Bulan Rabiut Tsaani juga demikian halnya, ada peristiwa yang layak diketahui dan dimengerti, antara lain:

Pengusiran Bani Nadhir dari Madinah karena mereka melakukan upaya maker dan merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah Saw.

Perang Ghoobah atau Dzi Qord, yaitu sebuah mata air tidak jauh dari Madinah dan bermula ketika Uyainah bin Hishn al Fazzari bersama empat puluh temannya merampas Luqhah (untuk yang mengandung dan menjelang melahirkan) milik Rasulullah Saw. Yang digembalakan Abu Dzar dan anaknya. Lebih dari itu mereka juga membunuh putera Abu Dzar tersebut.

[]

Benarkah Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Bid'ah?

Saya pernah mendengar dari teman saya bahwa perayaan memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. beserta tradisi-tradisi yang ada di masyarakat kita termasuk bid'ah. Dia berdalih bahwa Rasulullah Saw. Tidak pernah menganjurkan umatnya untuk memperingati Milad Beliau dan bid’ah itu semua sesat!

Abdullah, Surabaya


Jawaban:

Pemahaman bahwa semua bid’ah itu sesat adalah tidak benar, sebab Umar ra. sendiri ketika melihat dan menyaksikan umat Islam menjalankan shalat Tarawih dalam satu imam, maka Beliau berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, ulasan bid’ah dapat anda cari sendiri. Tentang memperingati Maulid Nabi Saw. Maka banyak sekali dalil dan alas an yang menjadikan acara peringatan tersebut harus dilaksanakan antara lain:

Perayaan Maulid sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa bahagia hati menyambut kedatangan al Mushtofa Muhammad Saw. Dalam shohih al-Bukhori disebutkan bahwa setiap hari Senin siksaan Abu Lahab diringankan, karena ia sangat bergembira dan segera memerdekan sahayanya yang bernama Tsuwaibah saat Tsuwaibah mengabarkan tentang kelahiran Nabi Saw. Al Hafizh Muhammad bin Nashiruddin ad Dimisyqi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir dan dicap celaka mendapatkan manfaat dari kegembiraannya akan kelahiran Nabi Saw., lantas bagaimana pendapat kalian dengan kegembiraan seorang muslim akan kelahiran Nabinya Muhammand Saw.?

Kendati Nabi Saw. Tidak secara langsung memberi perintah agar hari kelahiran Beliau diperingati, Beliau Saw. Sendiri sangat mengagungkan hari kelahirannya serta bersyukur kepada Allah dengan melakukan puasa pada hari tersebut. Ketika ditanya tentang puasa pada hari tersebut. Ketika ditanya tentang puasa hari Senin maka Nabi Saw. Menjawab, “Hari itu aku dilahirkan, dan hari itu diturunkan kepadaku (Alquran).” HR. Muslim.

Menyambut dengan riang hati rahmat dan anugrah Allah adalah perintah Allah, “Katakanlah:”Dengan anugrah Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira!” Q.S. Yunus: 58, dan anugrah dan rahmat Allah Swt. Terbesar tiada lain adalah Nabi Muhammad Saw. Perayaan Maulid menjadi sebab membaca sholawat kepada Nabi Saw. Di mana hal ini sangat jelas diperintahkan, dan segala hal yang mengantar pada perintah tersebut juga otomatis diperintahkan, ada sebuah kaidah “Dalam sarana juga berlaku hukum tujuan”.

Perayaan Maulid secara formal memang tidak pernah ada pada masa Nabi Saw., akan tetapi hal tersebut secara pribadi sudah ada sejak masa Nabi Saw. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah sebuah hal yang dianggap baik dan dilakukan oleh mayoritas ulama dan umat Islam di belahan bumi ini, dalam hadtis Mauquf pada Ibnu Mas’ud disebutkan, “Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka sesuatu itu juga baik menurut Allah, dan sesuatu yang dianggap jelek oleh kaum muslimin maka itu juga jelek di sisi Allah.” HR. Ahmad.

Memperdebatkan hukum serta berusaha menghentikan tradisi peringatan Maulid merupakan sesuatu yang sama sekali tidak berguna dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengaku menghidupkan sunnah Nabi Saw., padahal sebenarnya jika upaya itu terus mereka lakukan berarti sama halnya dengan berusaha merobohkan sunnah Nabi, sebab perayaan mauled juga menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan pesan dan ajaran Beliau Saw. Yang berarti juga sarana untuk menghidupkan sunnah Beliau Saw.

[]

Keteguhan dan Kepasrahan Sebagai Cermin Keimanan

“Katakanlah: “Sekali – kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Alloh orang – orang beriman harus bertawakkal” QS. at Taubah: 51.

Analisa Bahasa

Yushiibaana, artinya mengenai kami. Dari kata Ashooba, Yushiibu, Mushibatan. Jadi musibah adalah sesuatu kejadian yang menjadikan manusia sedih dan susah.

Uraian Ayat

Imam Abul Faroj Ibnul Jauzi dalam Shoedul Khothir menuturkan bahwa Takliif atau pembebaban terberat bagi orang Mukallaf bukanlah Takliif yang berupa sholat lima waktu, mengeluarkan sebagian dari harta benda yang diperoleh dari kepayahan, puasa di tengah terik matahari atau berhaji ke Baitulloh. Beliau melanjutkan, “Takliif terberat adalah ketika manusia harus rela menerima semua yang terjadi dengan lapang dada”. Jika kejadian itu bisa diterima oleh akal fikiran mungkin hal itu sedikit lebih mudah, akan tetapi jika akal fikiran tidak bisa menerimanya maka sungguh untuk menerima adalah sesuatu yang teramat berat. Kenapa seorang bayi terlahir dengan kaki hanya satu, mengapa seorang anak kecil harus menderita lumpuh dan seterusnya. Dalam kondisi seperti inilah Alloh memberikan bimbingan kepada orang yang beriman agar memantapkan hati dan berusaha membimbing lisan untuk segera mengatakan, “Tidak ada yang akan mengenai kami kecuali sudah ditentukan Alloh”. Selanjutnya manusia harus pula meyakini bahwa apa yang terjadi ini tiada lain adalah demi kebaikannya sendiri, baik dunia ataupun akhirat. Dengan meyakini bahwa segala yang terjadi adalah atas kehendak Alloh serta demi kebaikan dunia akhirat, maka manusia pasti terhindar dari rasa rendah diri dan kehilangan kekuatan pada saat bersentuhan dengan bencana. Apalagi disertai pula dengan kesadaran bahwa semua yang terjadi tak lain merupakan respon dari perbuatan yang dilakukan, “Katakanlah: “Maka kenapa Dia menimpakan siksa atas kalian?” (tentu saja itu semua karena) dosa – dosa kalian” QS. al Ma’idah: 18. “Telah tampak kerusakan di daratan maupun di lautan sebab ulah tangan – tangan manusia...”QS. ar Ruum: 41.


Sudah merupakan kehendak dan kepastian Alloh bahwa ketika siksaan turun atau saat kerusakan menampak maka yang menerima imbasnya bukan hanya pelaku kemaksiatan atau keburukan (orang Thoolih) , akan tetapi orang – orang baik (orang sholih) yang tidak terlibat pun ikut menanggung akibatnya. Alloh memperingatkan:

“Dan waspadalah akan fitnah yang secara khusus tidak hanya menimpa orang – orang yang berbuat zholim dari kalian. Dan ketahuilah bahwa Alloh Maha berat siksaNya” QS. al Anfaal: 25.

Kenyataan di mana orang yang tidak berbuat maksiat juga mendapat jatah bencana bisa jadi karena mereka sama sekali tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka acuh dan membiarkan begitu saja maksiat terjadi di hadapan mereka meski sebenarnya mereka mampu untuk melakukan tindakan pencegahan. Rosululloh saw. bersabda yang artinya, “Tiada kaum yang di kalangan mereka maksiat dilakukan padahal mereka lebih mulia (kuat) dan jumlah mereka lebih banyak daripada orang–orang yang berbuat (maksiat) kemudian mereka tidak mau merubah (mencegah) kecuali Alloh meratakan siksa atas mereka” HR Ahmad. Ummu Salamah ra., isteri Rosululloh saw. meriwayatkan sabda Beliau saw. yang artinya: “Jika kemaksiatan menampak (merajalela) pada umatku maka Alloh pasti meratakan atas mereka adzab dari-Nya” Ummu Salamah ra. bertanya, “Wahai Rosululloh, bukankah di antara mereka ada manusia – manusia yang saleh?” Nabi saw. menjawab, “Ia” Ummu Salamah ra. mengejar, “Lantas perlakuan bagaimana yang mereka terima?” Nabi saw. menjawab, “Mereka juga tertimpa apa yang menimpa manusia, kemudian mereka kembali kepada ampunan dan ridho dari Alloh” HR. Ahmad.

Bencana Umat Terdahulu

Dalam Alqur’an banyak dikisahkan drama bencana yang menimpa umat–umat terdahulu karena dosa-dosa yang sudah merajalela dan membudaya di kalangan mereka. Kaum Nabi Nuh as., Aad kaum Nabi Hud as.,Tsamud kaum Nabi Sholeh as., Sadum kaum Nabi Luth as., Madyan kaum Nabi Syu’aib as. serta Bani Isro’il pada masa Nabi Musa as. Begitu pula para penguasa durjana seperti Namrudz dan Fir’aun atau para konglomerat bangsat sebagaimana Qorun. Mereka ini sekali lagi dihancurkan secara total dan mengenaskan akibat kemaksiatan yang mereka lakukan, “Dan Kami jadikan bagi mereka masing–masing perumpamaan dan masing–masing mereka itu benar–benar telah Kami binasakan dengan sehancur–hancurnya” QS. al Furqon: 39. Alloh juga berfirman:

“...maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Alloh meratakan mereka dengan tanah” QS. asy Syams: 14.

Kalau mau meneliti dan mau jujur tentu kita semua mengakui bahwa umat ini sudah semestinya tertimpa apa yang telah menimpa umat–umat terdahulu. Kemaksiatan–kemaksiatan yang menyebabkan mereka tertimpa adzab Alloh sebenarnya telah cukup lama tumbuh subur dan membudaya dalam umat ini. Kasih sayang dan anugerah Alloh–lah yang menjadikan umat ini belum dibinasakan oleh-Nya, sebab umat ini adalah umat Nabi terkasih-Nya, Rosululloh Muhammad saw. Dia Berfirman:

“Dan tiada akan menyiksa mereka selama engkau (Nabi Muhammad SAW) ada di tengah – tengah mereka. Dan Alloh tidak (pula) akan menyiksa mereka selama mereka mau memohon ampunan” QS. al Anfaal: 33.

Para ahli tafsir menyatakan bahwa maksud Adzab di sini adalah adzab pemusnahan. Artinya umat Rosululloh saw. sudah dijamin oleh Alloh tidak akan mendapat adzab seperti adzab yang Dia timpakan atas umat terdahulu. Adanya bencana dan musibah yang menimpa umat in1i tak lebih hanyalah sebuah tindakan pemurnian (Tamhish) dari-Nya. “Dan agar Alloh membersihkan orang–orang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang – orang kafir” QS. Ali Imron: 141. Karena itulah ketika menghadapi segala bencana semestinya orang beriman berpasrah diri kepada Alloh dalam artian hati meyakini dengan sepenuhnya bahwa tiada yang berbuat kecuali Dzat-Nya, Dia sempurna ilmu, kuasa dan kasih sayang-Nya. Tak ada ilmu, kuasa dan kasih sayang yang melebihi ilmu, kuasa dan kasih sayang-Nya. Sesungguhnya segala yang dilakukanNya adalah baik. Jika hati belum bisa seperti ini maka hal itu disebabkan oleh salah satu dari dua hal; 1) lemahnya keyakinan, 2) hati lemah karena dikuasai oleh ketakutan yang disebakan oleh bayang–bayang. Akhirnya bisa diambil kesimpulan bahwa Tawakkal atau kepasrahan kepadaNya tidak pernah akan sempurna kecuali dengan keyakinan yang kuat dan hati yang teguh.

Lemah dan kuatnya hati dalam kepasrahan ini terbagi menjadi tiga tingkat (Darojaat); 1) manusia yang keberadaannya dengan Alloh seperti kepasrahannya kepada wakil, 2) manusia yang keberadaannya dengan Alloh laksana bayi dalam buaian ibunda, dan yang ke 3) manusia yang keberadaan dengan Alloh tak ubahnya seperti jenazah di tangan orang yang memandikan, ia tidak pernah berpisah dengan-Nya. Ketiga Maqom ini memang nyata ditemukan pada manusia. Hanya saja semuanya tak ada yang terus berkesinambungan (Dawaam), apalagi Maqom yang ketiga yang oleh orang – orang yang mencapai Maqom tertinggi ini diungkapkan dengan bahasa, “Hasbii Robbi Jallalloh” yang artinya Tuhanku Dzat Yang Mencukupiku, Alloh Maha Mulia. Atau dengan bahasa, “Ilmu Tuhanku cukup bagiku untuk tidak meminta dan berusaha. Do’a dan penghambaan (Ibtihaal)ku adalah saksi akan kebutuhanku (kepadaNya)”. Mereka inilah yang disebut oleh Alloh sebagai manusia–manusia sabar dalam firmanNya:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah – buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang – orang yang sabar” QS. al Baqoroh: 55.

Dalam lanjutan ayat disebutkan pula pahala bagi orang – orang yang sabar yang berupa, a) Shalawaat dari Tuhan Alloh. Artinya mendapat pujian dari-Nya, b) Rahmat dan c) mendapat Hidayah dari-Nya. Dalam at Tadzkiirul Mushthofa, Sayyid Abu Bakar al Atthos meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali ra. menuturkan sebuah sabda Rosululloh SAW:

Bukhtunasshor datang dan memerintahkan supaya Nabi Daniyal ditangkap. Selanjutnya ia memasukkan Nabi Daniyal ke dalam kubangan seperti sumur bersama dua ekor harimau buas. Setelah itu selama lima hari ia membiarkan Nabi Daniyal di dalam sumur tersebut dalam keadaan tertutup. Sesudah itu Buktunasshor memerintahkan supaya kubangan itu kembali dibuka dan ternyata ia mendapatkan Nabi Daniyal berdiri sholat sementara dua harimau duduk di pojok kubangan dan sama sekali tidak mengusik Nabi Daniyal. Heran dengan pemandangan tersebut, Bukhtunasshor bertanya, “Beritahukan kepadaku apa yang kamu ucapkan sehingga engkau terlindungi?” Nabi Daniyal menjawab, “...Segala puji bagi Alloh Dzat yang tidak rugi orang yang meminta kepadaNya...segala puji bagi Alloh Dzat yang menjadi kepercayaan kami ketika upaya – upaya sudah tidak bisa lagi dilakukan...”

Terlepas akan validitasnya, kisah ini memberi gambaran kepada kita tentang prilaku orang–orang yang telah sampai pada Maqom ini (Maqom tawakkal yang ketiga) dalam menghadapi musibah dan bencana yang melanda.

[]

Feb 22, 2009

Tidak Datang Kematian Kecuali dengan Sampainya Ajal

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya

Banyak manusia yang berprasangka bahwa kematian (al Maut adalah satu, penyebab dari kematian itu banyak atau bermacam-macam. Terkadang suatu kematian terjadi karena sebab penyakit yang mematikan seperti antraks (tho'un), tertikam pisau belati, terpenggal kepala, terhenti kerja jantung secara mendadak, dan lain sebagainya. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah sebab-sebab yang nyata (asyab mubasyiroh) yang menyebabkan datangnya kematian. Artinya, kematian itu datang karena sebab-sebab tersebut. Dengan dasar pandangan seperti itu kemudian mereka mengatakan sebuah aksioma: "Banyak sebab untuk mati tetapi mati itu tetap satu."

Tetapi pada hakekatnya bahwa kematian itu dan sebab kematian adalah satu. Sebab kematian adalah sampainya ajal, tidak ada sebab lain. Berbagai hal di atas (penyakit yang mematikan dan sebagainya) hanyalah suatu keadaan (al haal) yang kebiasaannya terjadi kematian pada al haal itu, bukan sebab-sebab kematian (asbabul maut).


Berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat), suatu sebab akan menghasilkan musabab atau akibat dengan pasti, dan satu musabab tidak akan terjadi melainkan dengan satu-satunya sebab baginya sendiri (suatu pasangan yang khas). Beriman dengan keadaan atau al haal ia merupakan suatu kondisi tertentu yang dapat menghasilkan sesuatu berdasarkan kebiasaan dan kelayakan. Tetapi al haal tersebut terkadang menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan (takholluf: meleset) atau tidak menghasilkan sesuatu apapun. Kadang-kadang ditemukan adanya al haal, tetapi kematian tidak terjadi, dan terkadang ditemukan kematian tetapi tidak ada al haal.

Seseorang telah menemukan sebab-sebab kematian yang dapat menyebabkan datangnya kematian, tetapi kematian tidak terjadi. Kadang-kadang terjadi kematian tanpa sebab-sebab (yang jelas). Suatu misal, seseorang tertikam pisau dengan tusukan yang mematikan dan para dokter telah sepakat bahwa kejadian itu akan menyebabkan kematiannya. Tetapi kenyataannya ia tidak mati bahkan sembuh dan sehat wal afiat. Dan kadang terjadi kematian tanpa sebab yang jelas seperti berhentinya jantung manusia secara mendadak, sehingga orang tersebut mati pada saat itu juga tanpa diketahui penyebab berhentinya jantung, walaupun telah diteliti oleh para dokter secara mendetail. Peristiwa semacam ini sering disaksikan oleh para dokter dan dapat dijumpai di rumah sakit kejadian yang serupa, diduga adanya penyebab kematian yang sudah biasa (tertabrak mobil, tertembak, minum racun, menggantung diri, dan lain sebagainya), tetapi tidak bisa menyebabkan kematian.

Di sinilah para dokter mengatakan bahwa seseorang pasien tidak dapat ditolong menurut ilmu kedokteran, tetapi kenyataannya dapat sembuh: "Ini diluar kemampuan kita." Kadang-kadang mereka mengatakan pasien ini sehat tidak apa-apa, sudah lewat masa kritisnya tetapi keadaannya berbalik dan ternyata pasien tersebut mati mendadak.

Semua itu adalah fakta yang disaksikan dengan mata oleh sekian banyak manusia dan para dokter. Di sini jelas, bahwa keadaan (al haal) yang menjadi perantara kematian bukan merupakan penyebab kematian. Jika ia (tertabrak mobil, berhentinya jantung, tertembak, minum racun, dan lain-lain) dikatakan penyebab kematian, kenapa ia dapat menghasilkan keadaan yang berbeda (takhalluf) atau kenapa kematian dapat terjadi tanpa sebab itu atau dengan sebab yang lain? Adanya kematian yang terjadi dengan sebab selain itu atau melesetnya al haal walaupun hanya sekali, merupakan petunjuk yang pasti (qoth'i) bahwa peristiwa-peristiwa tersebut bukan penyebab tetapi al haal. Jadi penyebab kematian (sebagai musabab) bukanlan peristiwa-peristiwa tersebut di atas, tetapi di luar semua itu.

Sebab yang hakiki dari kematian tak dapat diselidiki oleh akal karena sebab itu berada di luar jangkauan indra manusia. Oleh karena itu manusia harus mencari petunjuk kepada Al Kholiq Allah Subhana wata'ala. Sehingga masalah ini harus dibuktikan secara naqli berdasarkan dalil-dalil qoth'i (baik tsubut maupun dilalah), yakni berdasarkan Al Quran dan Hadits.

Berbagai ayat Al Quran telah menjelaskan bahwa sebab dari kematian adalah satu, yaitu sampainya ajal. Dan dzat yang mematikan adalah Allah Subhana wata'ala. Kematian hanya datang karena ajal dan hanya Allah Subhana wata'ala yang mematikan. Allah Subhana wata'ala berfirman:

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya". (QS. Ali Imron: 145)

"Allah Ta'ala memegang jiwa (orang) ketika matinya". (QS. Az Zumar)

"...Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan". (QS. Al Baqarah: 258)

"Dan Allah yang Menghidupkan dan Mematikan". (QS. Ali Imron: 156)

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kehidupan kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh". (QS. An Nisa': 78)

"Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) akan mematikan kamu". (QS. As Sajdah: 11)

"Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu". (QS. Al Jumu'ah: 8)

"Kami telah menentukan kematian di antara kamu..." (QS. Al Waqi'ah: 60)

"Dan sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan". (QS. Nuh: 4)

"Maka jika telah datang batas waktunya (ajal), mereka tak dapat mengundurkan barang sedetikpun dan tidak dapat memajukannya". (QS. Al A'raaf: 34)

Semua ayat di atas adalah qoth'i tsubut, sebab ia berasal dari Allah Subhana wata'ala, dan qoth'i dilalah karena semua itu menunjukkan dengan jelas bahwa Allah Subhana wata'ala adalah dzat yang mematikan dan sebab kematian adalah sampainya ajal, bukan al haal yang menyebabkan kematian. Atas dasar semua itu, adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim agar mengimani secara akal dan syara' bahwa apa yang dianggapnya sebagai sebab-sebab kematian (seperti contoh-contoh di atas) adalah al haal (bahasa Jawa: jalaran), dan sebab-sebab kematian bukan al haal itu. Menurut syara' (dari dalil qoth'i) bahwa kematian itu berada di bawah kekuasaan Allah Subhana wata'ala. Allah Subhana wata'ala adalah dzat yang mematikan dan sebab kematian adalah datangnya ajal. Ketika ajal datang, maka kematian tak dapat diundurkan atau dimajukannya sedikitpun, sebab secara mutlak kematian pasti datang.

Adapun yang diperintahkan kepada manusia untuk menjauhkan diri dari kematian sebenarnya adalah menghindar dari al haal yang menjadi perantara terjadinya kematian. Dia tidak mungkin berpaling dari salah satu keadaan untuk mati. Manusia tidak perlu takut atau lari dari kematian. Sebab tidak mungkin ia selamat dari kematian.

Manusia tidak akan mati kecuali jika telah sampai ajalnya. Tak ada bedanya apakah ia mati biasa, mati terbunuh, mati terbakar dan sebagainya. Yang jelas kematian dan ajal berada di bawah kekuasaan Allah Subhana wata'ala.

***

Fungsi dan Ramalan Bintang

Bolehkah mempercayai ramalan bintang yang biasa disebut dengan Zodiak?

Hamba Alloh di Surabaya

Jawaban:

Bintang diciptakan oleh Alloh memiliki tiga fungsi. Ingin mengerti lebih dari itu maka merupakan sebuah upaya memaksakan diri. Imam Qotadah mengatakan: Alloh Menciptakan bintang–bintang (Nujuum) untuk tiga fungsi; 1). Ziinah, hiasan bagi langit. 2). Rujuum, alat untuk melempar setan – setan yang mencuri dengar kabar langit. “Sesungguhnya Kami telah Menghias langit dengan hiasan yaitu bintang–bintang (Kawaakib) dan sebagai pemelihara dari setan–setan yang sangat durhaka....” QS. Shooffaat: 6-7. 3). Petunjuk jalan dan arah(Ma’aalimut Thoriiq) “....dan dengan bintang mereka mendapat petunjuk“ QS. An Nahl: 16. Imam Qotadah melanjutkan: Barang siapa berkata selain ini maka sungguh ia memaksakan diri berkata tentang sesuatu yang tidak ia ketahui. (Lihat Tafsiirul Baghowi Tafsir QS An Nahl/16).


Dari sini bisa dimengerti bahwa mempercayai fungsi bintang selain tiga hal di atas yang berupa hubungan bintang dengan suatu kejadian dan nasib seseorang adalah haram hukumnya. Imam Ibnu Hajar al Haitami menyatakan: Ilmu yang terkait dengan perbintangan memiliki tiga hukum; pertama, wajib demi mengetahui arah kiblat dan waktu serta perbedaan dan persatuan Matla’. kedua, jawaz (boleh) untuk mengetahui Manaazil Qomar (tempat–tempat rembulan) dan ketiga, haram jika untuk dalil akan terjadinya sesuatu yang ghoib. (Lihat Fataawii Hadiitsiyyah/47).

[]

Feb 20, 2009

Perayaan Maulid dan Acara Haul

Pertanyaan:

Bagaimana hukum perayaan Maulid Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam dan acara Haul para wali dan kiyai serta orang – orang yang telah meninggal?

Aca, Laren Lamongan


Jawaban:

a. Pada dasarnya perayaan Maulid secara resmi baru muncul dan dilakukan oleh al Malik al Muzhoffar penguasa Irbil daerah Syiria pada tahun 603 H. Itu dilatarbelakangi keinginan membakar semangat pasukan Islam yang sedang dalam suasana perang dengan tentara Salib dari Perancis. Pada tahun berikutnya (604 H) Syekh Ibnu Dihyah, ulama dari Maroko yang sedang dalam perjalanan keliling singgah di Irbil, mendapati ada acara peringatan Maulid yang meriah Beliau lalu menyusun sebuah buku Maulid yang diberi judul At Tanwiir bi Maulidin Nabiyyil Basyiir an Nadziir. Buku ini kemudian tercatat sebagai buku Maulid pertama. Tentang keabsahan perayaan Maulid maka cukup bila saat itu tak ada seorang ulama umat Islam yang melarangnya. Bahkan Syekh Abu Syamah, guru Imam Nawawi, memberikan pujian kepada Al Malik al Muzhoffar. Jika ditelusuri lebih jauh maka perayaan Maulid pada dasarnya dibenarkan oleh banyak sekali dalil. Antara lain hadits tentang Abu Lahab yang mendapat keringanan siksa pada hari senin karena ia bergembira akan kelahiran Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam dengan memerdekakan Tsuwaibah. Jika orang kafir yang bergembira mendapat manfaat maka tentu orang beriman justru akan lebih banyak mendapat manfaat jika bergembira. Dan salah satu wujud kegembiraan itu bisa diwujudkan dengan perayaan Maulid.

b. Pada intinya acara Haul adalah berkirim do’a, aktivitas memberi hadiah kepada orang yang telah meninggal dengan aneka ragam kebaikan seperti bacaan Alqur’an, dzikir, tahlil dan sedekah dll di mana hal ini diperbolehkan dan telah disepakati oleh mayoritas umat Islam. Selain itu dalam acara Haul juga mengandung misi mengenang jasa–jasa orang dihauli/pemilik haul (Shohibul Haul) yang hal ini dengan jelas diperintahkan oleh Alloh dalam firmanNya:

“Dan orang – orang yang datang setelah mereka. ( orang – orang itu ) berdo’a: “ Ya Tuhan kami ampunilah kami dan saudara – saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu daripada kami...” QS al Hasyr : 10.

Sungguh mengenang dan membicarakan kebaikan orang yang telah tiada serta berbakti kepadanya dengan mengharumkan namanya pasca kepergiannya sangat dianjurkan oleh Islam. Acara Haul, sekali lagi, mengandung hal seperti ini. Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam sendiri seringkali memuji–muji Sayyidah Khodijah al Kubro dan tak terkadang mengirim hadiah kepada teman dan kerabat Khodijah ra.

[]

Jumlah Takbir dalam Sholat Jenasah

Saya pernah menjumpai seseorang melakukan sholat jenasah dengan lima kali takbir. Sepanjang yang saya tahu, bukankah sholat jenasah itu hanya dilakukan dengan empat kali takbir. Adakah tuntunan untuk lima kali takbir? Jazakumulloh atas penjelasan yang diberikan.

Kholid alal Huda, Muncar Banyuwangi


Jawab:

Sholat jenasah (sholat untuk orang mati) ada dua pendapat di kalangan ulama. Imam Syafii, Imam Hanafi dan Imam Hambali berpendapat bahwa sholat jenasah adalah sholat sebenarnya sekalipun pelaksanaannya tidak seperti sholat pada umumnya. Imam Bukhori memilih sholat jenasah dengan empat rokaat berdasarkan amaliah Nabi Sholallohu alaihi wassalam ketika menyolati Ashamah bin Sahar (Raja Najasy) {Lihat Shohih Al Bukhori, Sindi, Jilid I/230).

Pendapat kedua dipelopori oleh Imam Malik bin Anas. Menurut beliau, sholat jenasah tidak lebih adalah doa biasa, karena itu boleh melakukannya tanpa berwudlu, hal ini berdasarkan bahwa pada masa Rosululloh para sahabat melakukan sholat jenasah dengan takbir yang berbeda-beda; ada yang 7 kali takbir, 6 kali takbir, 5 kali takbir dan 4 kali takbir.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khottob, setelah seluruh ulama dikumpulkan pada masa itu, dengan berbagai pertimbangan yang disepakati bahwa sholat jenasah dengan empat kali takbir. Dengan demikian yang lebih utama adalah melakukan sholat jenasah dengan empat takbir, sekalipun bertakbir 7, 6 dan 5 kalu juga diperbolehkan dengan alasan yang jelas, misalnya untuk menghormati yang disholati. Untuk penghormatan kepada Hamzah, Rosululloh menyolati paman yang syahid di perang Uhud itu dengan empat puluh kali takbir. (Lihat Irsyadus Saari: III/349).

Dengan adanya perbedaan ini, maka seyogjanya seseorang bisa memilih pendapat yang lebih aman sehingga perbuatannya tidak menjadikan fitnah (gangguan/prasangka) dalam agama dan tidak membuat kegelisahan (kebingungan) umat awam yang belum luas wawasan keislamannya. Rosululloh Sholallohu alaihi wassalam selalu memberi peringatan agar memberi pengajaran kepada umat sesuai dengan kadar pemikiran umat tersebut. Lebih tidak baik lagi jika melakukan kegiatan yang tidak umum --sekalipun ada dasarnya-– hanya karena ingin terkenal, seperti pepatah khoolif tu’rof (berbedalah niscaya kamu dikenal).

[]

Feb 19, 2009

Shirothol Mustaqim, dan Berbagai Aliran Sempalan di Sekitarnya

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa". QS. Al-An’aam: 153

Uraian Ayat

Shirothol Mustaqim, adalah jalan para nabi, shiddiiqiin, syuhada’ dan orang – orang sholeh. Mereka inilah manusia–manusia yang mendapatkan limpahan nikmat Alloh Maha Pemberi Anugerah. Inti dan ciri khas prilaku dan ajaran yang mereka jalani adalah berpegang teguh dengan tali–tali Alloh Subhaanahu wata’aalaa.

“Barang siapa berpegang teguh dengan Alloh maka sungguh ia telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus (shirothol mustaqiim)“. QS. Ali Imron: 103.

Dalam meniti Shirothol Mustaqim, berpegang teguh dengan tali Alloh yang berupa melakukan hal–hal yang menjadikan Alloh ridho dengan menjalankan perintah–perintahNya dan menjauhi keburukan prilaku, manusia harus berjuang ekstra. Ia harus mampu menciptakan sistem filterisasi yang tangguh dan akurat sehingga mampu memilih jalan yang benar pada saat berada di persimpangan banyak jalan. Sebab sungguh hanya satu rute jalan saja yang benar sementara rute–rute lain yang terpampang di depan mata adalah jalan yang salah. Semua adalah rute setan guna mengarahkan manusia ke dalam kesesatan sedang jalan menuju Alloh hanyalah satu. QS Al An’aam: 153 di atas juga merupakan satu Nubuwwat, berita masa depan tentang akan muncul dan menjamurnya berbagai kelompok dan aliran yang seluruhnya mengklaim sebagai yang benar, masing–masing dari mereka berjuang keras menggiring manusia memasuki kelompok dan aliran mereka. Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu bercerita: “Suatu hari Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam membuat untuk kami satu garis lalu Beliau bersabda, “Ini adalah jalan Alloh“ kemudian Beliau membuat garis–garis di samping kiri kanan (garis yang pertama) lalu bersabda, “Ini adalah jalan–jalan di mana di setiap jalan ada setan yang mendorong ke sana“ HR Ahmad Nasa’i Darimi. Jabir bin Abdillah rodhiyallohu anhuma juga bercerita: “Kami sedang berada di sisi Nabi Shollallohu alaihi wasallam lalu Beliau membuat satu garis dan membuat lagi dua garis di samping kiri dan kanan (garis pertama/garis tengah) lalu Beliau menaruh tangan di garis tengah seraya bersabda, “Ini adalah jalan Alloh“ Kemudian Beliau membaca ayat ini (QS al An’aam: 153)”. HR. Ahmda Ibnu Majah.


Inilah kira–kira gambaran garis tersebut:
Secara garis besar, aliran–aliran yang di sana disebut oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam sebagai tempat–tempat bercokol setan terdiri dari dua kelompok;

a) Kelompok dalam Islam misalnya kelompok Khowaarij yang cikal bakalnya adalah Dzul Khuwaishiroh at Tamimi yang dulu pernah merasa tidak puas dan memprotes kebijakan Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam dalam pembagian Ghonimah perang Hunain. Ketika itu Dzul Khuwaishiroh mengatakan, “Hai Rosululloh, berlakulah adil!” mendengar ini Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda, “Celakalah kamu, jika aku tidak adil lalu siapakah yang berbuat adil. Sungguh aku merugi jika tidak berbuat adil“ menyaksikan ini Umar ra. juga marah dan mengatakan, “Rosululloh, biarkanlah saya memenggal kepala orang ini!” Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam melarang, “Biarkanlah, sungguh ia akan memiliki teman – teman di mana sholat dan puasa kalian sangat kecil dibandingkan dengan sholat dan puasa mereka. Mereka selalu membaca Alqur’an tetapi Alqur’an tidak bisa melewati kerongkongan mereka (tidak masuk ke dalam hati)”. HR. Muslim dalam riwayat lain disebutkan sabda Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam:

“Sesungguhnya dari keturunan orang ini adalah orang–orang yang selalu membaca Alqur’an tetapi Alqur’an tidak bisa melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuh (memerangi) pemeluk islam dan membiarkan penyembah berhala“. HR. Muslim/1064.

Jika Dzul Khuwaishiroh pernah memprotes dan mencela kebijakan Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam maka pewaris Dzul Khuwaishiroh ini adalah kelompok–kelompok yang memiliki ciri khas selalu menghina dan melecehkan prilaku dan budaya umat Islam. Semua yang berlaku dan telah menjadi tradisi yang telah dilewati oleh umat Islam secara turun temurun diklaim sebagai bid’ah–bid’ah sesat yang harus diberantas. Acara peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabawi, do’a bersama setelah sholat, berkumpul dan berdzikir bersama (Istighotsah), dan berdzikir dengan memakai Tasbih adalah hal–hal bid’ah menurut hemat mereka. Untuk itulah mereka melakukan propaganda dengan berbagai cara melalui penerbitan buku – buku, media dan bahkan kini mereka banyak mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan dengan formalitas pesantren atau lembaga pendidikan yang terfokus pada mempelajari dan mendalami Alqur’an.

Selain Khowaarij, kelompok sempalan dalam Islam lain yang sangat berbahaya bagi keselamatan beragama umat Islam adalah kelompok Syi’ah. Jika selama ini kelompok ini identik dengan republik islam Iran dan sebagian besar masyarakat Bahroin, maka perlu dimengerti bahwa Syi’ah telah cukup jauh merambah bumi Indonesia. Dulu mungkin hanya pesantren YAPI Bangil yang dikenal, tetapi kini mereka mulai banyak mendirikan pesantren dan pengurus cabang di seluruh kepulauan dan kota besar Indonesia. Bahkan baru–baru ini mereka membuat langkah yang sangat mengagetkan dan membuat umat Islam gemas dengan menggelar peringatan tragedi Karbala’ di sebuah gereja di malang. Dan masih banyak lagi kelompok–kelompok dan aliran menyimpang yang bermunculan dan memang sengaja diekspos dan dibesar–besarkan oleh media masa yang notabenenya adalah milik orang–orang yang sangat senang jika Islam mengalami kehancuran.

b) Kelompok di luar Islam. Kapitalisme, Liberalisme, Sekularisme, Pluralisme, Humanisme dll. Kemunculan faham–faham ini juga merupakan senjata mematikan yang diarahkan oleh setan – setan dalam bentuk manusia kepada umat Islam sehingga siapapun yang terkena senjata ini maka dipastikan ia akan menjadi seorang muslim yang sama sekali tidak memiliki karakter islami. Cara berfikir, pola jiwa dan prilakunya sama sekali jauh dari ajaran islam. Sungguh kelompok yang mengusung ideologi–ideologi tersebut sangat getol bersuara melalui cara–cara dan sarana–sarana yang mereka miliki yang tergolong lengkap dan modern. Di antara cara yang mereka lakukan adalah dengan menyebarkan ideologi mereka melalui tangan–tangan sebagian umat islam sendiri yang telah mereka cuci otaknya ketika sebagian umat Islam itu menjalani studi di negeri mereka. Cara lain yang mereka tempuh adalah dengan berusaha turut campur dalam menentukan dan merubah kurikulum di lembaga pendidikan Islam Dampak dari semua itu adalah munculnya banyak penyeru–penyeru ke nereka di kalangan umat Islam sendiri seperti disabdakan oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam yang artinya, “Para penyeru menuju pintu–pintu Jahannam. Mereka berkulit sejenis dengan kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita". HR. Muslim.

Munculnya kelompok dan aliran di atas sangat nyata menjadikan banyak orang gelap hati sehingga tidak mampu lagi melihat dan membedakan perbedaan dan penyimpangan yang terjadi. Semua dianggap sebagai suatu yang wajar. Merespon adanya sesuatu yang tidak lazim mereka dengan enteng mengatakan, “Perbedaan tidak perlu dipermasalahkan karena memang itu suatu hal yang alamiah". Mestinya harus disadari bahwa adanya madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam Fiqih adalah sebuah perbedaan yang masih ditolerir. Sementara faham bahwa semua agama itu benar, faham tidak ada hubungan antara agama dan negara, sholat dengan dua bahasa, aqidah syi’ah, dan keyakinan ada nabi pasca Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam adalah penyimpangan yang tidak boleh dibiarkan tetapi harus dipatahkan. Karena itulah dalam menghadapi realitas multi golongan dan aliran, manusia harus melakukan langkah tepat guna melindungi keimanan yang merupakan anugerah Alloh paling berharga. Di antara langkah itu adalah:

1) Menetapkan dan meneguhkan diri dalam kelompok besar (As Sawaadul A’zhom) kaum muslimin. Mengikuti arah pandang dan jejak langkah yang telah dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin sebab sungguh Alloh tidak mengumpulkan umat manusia dalam kesesatan. Sungguh sikap menjauh dan bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin merupakan sikap membawa diri berjalan menuju bencana. Dari Muadz bin Jabal ra bahwa Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:

“Seungguhnya setan adalah srigala manusia seperti srigala kambing yang memangsa kambing yang jauh dan menyingkir“. HR. Ahmad.

2) Berusaha meneliti, menggali, memahami dan meneladani Sunnah Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam. Khulafa’urrosyidin dan sunnah para sahabat rodhiyallohu anhum. Selain dengan mengkaji kitab-kitab hadits maka hal yang mesti harus dilakukan demi tujuan ini adalah dengan bergaul dekat dan hidup bersama para ahli hadits. Imam Syafii berkata, “Sesungguhnya jika melihat seorang dari ahli hadits maka aku seperti melihat para sahabat Nabi Shollallohu alaihi wasallam“. Ibnu Syaudzab berkata,“Sesungguhnya termasuk nikmat lain yang diberikan oleh Alloh kepada pemuda ahli ibadah ialah ia bisa berkawan (menjadi murid) seorang ahli sunnah yang selalu mendorongnya mengikuti sunnah“. (Lihat Talbiis Ibliis/17). Singkat kata jika ingin selamat dan tetap berada pada jalur Shirothol Mustaqim, seseorang harus memiliki Murobbi, guru yang selalu memantau dan memberikan bimbingan. Sayyid Masyhur dalam Miftaahul Jannah/156 menyebutkan, “Barang siapa yang tidak memiliki guru (Murobbi) maka ia tidak ubahnya seperti orang yang kebingungan di jalan. Barang siapa yang tidak memiliki guru pembimbing dan penunjuk maka dipastikan setan akan membimbingnya ke jalan yang sesat”.

3) Dua hal di atas merupakan usaha nyata, agar semakin efektif hasilnya maka sangat ditekankan agar setiap kali dalam sholat dan membaca al Fatihah ketika sampai pada bacaan, “Ihdinas Shiroothol Mustaqiim“ hendaknya hati khusyu’ dan mengingat bahwa saat itu ia memohon agar Alloh Meneguhkan hati dan menancapkan kakinya untuk berdiri dan berjalan meniti jalan yang lurus (Shirothol Mustaqim).

[]

Feb 14, 2009

Masa Iddah

Jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, berapa lamakah masa iddah bagi wanita tersebut dan apakah ada perbedaan masa iddah tersebut dengan wanita yang sedang mengandung? Adakah larangan-larangan selama masa iddah itu? Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

Iin, Pamekasan Madura


Jawab:
Bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya maka iddah bagi seorang isteri adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa ta'ala .” Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendakalah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari .” QS. Al Baqoroh : 234

Bagi wanita yang sedang mengandung (hamil) maka iddahnya adalah menunggu hingga kelahiran bayi yang dikandungnya. Alloh berfirman : “Dan perempuan-perempuan yang hami, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan.”QS.Ath Thalaq : 4
Pada masa iddah seorang isteri hendaknya melakukan ihdad; yaitu tidak memperhias diri, memakai wangi-wangian, keluar rumah, memakai pacar dan menampakkan diri diri untuk dipandang oleh orang-orang yang hendak meminang. Hal ini dalam rangka “bela sungkawa” dan “rasa duka” terhadap suami yang telah hidup bersamanya selama itu.

[]

Feb 11, 2009

BAB 6: Qodho dan Qodar

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Memahaminya

Manusia hidup dilingkupi dua lingkaran (dairotain) yaitu:

1. Lingkaran pertama adalah lingkaran yang dikuasai oleh manusia, yaitu lingkaran yang ada di bawah batasan tingkah lakunya, yang di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan yang timbul karena keinginannya sendiri. Contohnya berjalan, makan, minuman, dan berpergian di saat kapan saja dia kehendaki. Di dalam lingkaran ini manusia bebas memilih untuk melakukan perbuatan baik ia merupakan sesuatu yang disyaratkan maupun yang tidak disyaratkan, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut, karena dia memiliki akal yang dapat membedakannya. Alloh Ta'ala menjadikan akal sebagai sandaran pembebanan kewajiban syara' (taklif syar'iy). Oleh karena itu Alloh Ta'ala memberikan pahala terhadap pelaku perbuatan baik dan memberikan siksa terhadap pelaku perbuatan buruk. "Apabila perbuatan itu baik maka dibalas dengan kebaikan dan apabila perbuatan itu buruk maka akan dibalas dengan keburukan."


2. Lingkaran kedua adalah lingkaran yang menguasai manusia, yang dalam hal ini dibagi menjadi dua:

a. Kejadian yang ditentukan oleh nidhom wujud (hukum alam), misalnya ia datang ke dunia ini dan akan meninggalkannya tidak atas kemauannya, ia tidak dapat terbang di udara (hanya) dengan tubuhnya, ia tidak dapat berjalan di atas air (tanpa alat), ia tidak mampu menciptakan bentuk tubuhnya sendiri, dan lain sebagainya.

b. Perbuatan yang di luar kemampuan manusia, perbuatan ini timbul dirinya atau menimpa dirinya, tetapi dia tidak mampu menolaknya. Seperti orang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain sehingga mati, menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga tewas.

Dalam lingkaran ini manusia mengalaminya dengan terpaksa (majbur) dan tersetir (musayar), ia bukan pemilih (mukhoyar), dan inilah yang dinamakan qodho'. Manusia wajib mengimaninya, bahwa sesungguhnya qodho' itu berasal dari Alloh Subhanawata'ala.

Alloh Ta'ala telah menciptakan naluri (ghorizah) dan kebutuhan anggota badan (al haajatul 'udhwiyah) dengan kekhususannya seperti menciptakan api berkhasiat untuk membakar, kebutuhan biologis (ghorizatun baqo') memiliki khasiat mempertahankan diri atau membela diri, sedangkan untuk al haajatul 'udhwiyah diciptakan rasa haus, lapar, ingin membuang air besar atau kecil dan lain sebagainya.

Kekhususan ini telah ditentukan oleh Alloh Subhanawata'ala dan dijadikan kebiasaan menurut aturan alam. Inilah yang dinamakan Qodar. Manusia berkewajiban mengimani bahwa sesungguhnya qodar itu dari Alloh Subhanawata'ala. Melalui perantara kekhususan ini manusia dapat melakukan perbuatan baik dan buruk, yang semuanya akan dihisab. Beriman pada qodho' dan qodar menyebabkan manusia tidak akan merasa resah terhadap sesuatu yang menimpanya, tidak susah terhadap musibah yang dialaminya, tidak takabbur ketika mendapatkan anugerah. Anda akan kesungguhannya dalam bertawakkal kepada Alloh Subhanawata'ala, di saat ia tetap mengambil cara-cara berusaha yang telah diatur ketentuannya oleh Alloh Subhanawata'ala. Ia selalu memohon pertolongan kepada Alloh Ta'ala terhadap hal-hal yang tidak berada dalam kemampuannya. Dan begitulah kehendak Alloh Ta'ala dalam menciptakan makhluk dan menentukannya dengan ketentuan-ketentuan dan sifat-sifat yang terbatas.

Sebagaimana firman Alloh Ta'ala:

"Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya". (QS. Al Furqon: 2).

Alloh Subhanawata'ala Maha Mengetahui terhadap sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Untuk itu Alloh Subhanawata'ala menyuruh Al Qolam untuk mencatat di Lauhul Mahfud terhadap sesuatu yang akan terjadi hingga yaumul qiyamah. Hal ini sebagai pernyataan (ta'bir) akan ilmu Alloh yang Maha Luas yang meliputi segala sesuatu. Ini bukan yang memaksa (jabr) kepada hamba-Nya dalam melakukan aktivitas sesuai dengan yang tertulis dalam Lauhul Mahfud itu.

[]

Feb 10, 2009

Buah Iman dan Amal Shaleh

Di antara buah seseorang yang memadukan antara Iman dan Amal Shaleh adalah sebagai berikut:

1. Allah dan Kaum Beriman Mencintainya

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, untuk mereka Allah Dzat Maha Pengasih akan Menjadikan kecintaan (dihati para hamba”. QS. Maryam: 96.

Dari Abdurahman bin Abi Laila, Ia berkata, “Abu Darda’ ra. Berkirim surat kepada Maslamah bin Mukhallad al Anshari Az Zurqi, wafat tahun 63 H, gubenur Mesir era Muawiyah ra.:

[Salam sejahtera atas Anda. Amma ba’du. Sesungguhnya jika seseorang hamba menjalankan ketaatan kepada Allah maka Allah pasti mencintainya. Ketika Allah telah mencintainya maka Dia akan menjadikan para hamba-Nya menjadi para pecintanya. Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kemaksiatan maka Allah pasti membencinya dan bila Allah membencinya niscaya Dia akan menjadikan para hamba-Nya ikut serta membencinya.] (Disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam al Asma ‘wa Shifaat).

Agar buah ini dihasilkan, sebagian ahli makrifat memberikan petunjuk pentingnya seorang muslim yang terbina mewujudkan diri memasuki pintu ini dengan jiwa yang pemurah (Sakhawatnnafsi) hati yang bersih dari penyakit (Salamatus shadri), serta kasih sayang kepada umat (Rahmatul Ummah). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kalian tidak pernah beriman sehingga kalian saling mengasihi”. Para sahabat bertanya, “Kita semua adalah manusia penyayang”. Beliau bersabda, “Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang dari kalian kepada temannya, melainkan kasih sayang kepada sesama seluruhnya”. HR. Thabarani.


Sebagian ahli makrifat juga menjelaskan bahwa buah ini akan menampak ketika lima hal berikut telah terwujud, 1. setia (wafa’) pada janji, 2. menjaga dan mengindakan batasan-batasan, 3. rela dengan apa yang ada, 4. sabar akan sesuatu yang telah hilang, 5. Menurut pada Dzat yang disembah.

Hal ini karena dengan semua, disertai dengan ikhlas, shidiq, dan raghbah, ia telah berdiri dalam Maqam Ubudiyyah, sebuah maqam yang aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Iman. Apalagi jika ia telah sampai pada Maqam Ubuudah, maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Ihsan, yaitu ketika ia telah sirna melupakan dirinya serta amal ketaatan yang dilakukannya. Allah berfirman, “Tetapi Allah-lah yang memberikan anugerah atas kalian karena Dia telah menunjukkan kalian kepada keimanan”. QS. Al Hujurat: 17. “Dan tidak-lah kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. QS. Al Anfaal: 170.

Di bawah kedua maqam tersebut adalah Maqam Ibadah, yaitu ketaatan berupa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang merupakan aktivitas dan tugas (wazhifah) Ahlul Islam.


2. Kehidupan yang Baik (al Hayah at Thayyibah)

Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa beramal shaleh baik lelaki atau perempuan dan dia seorang yang beriman maka sungguh niscaya Kami akan memberikannya kehidupan yang baik dan niscaya Kami akan memberikan balasan pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan”. QS. An Nahl: 97.

Al Hasan Al Basri berkata, “Kehidupan yang baik adalah Qana’ah”, atau dengan bahasa lain kekayaan hati. Said bin Juber dan Atha’ berkata, “Kehidupan yang baik adalah rizki yang halal”. Mujahid dan Qatadah berkata, “Kehidupan yang baik adalah surga karena surga adalah kehidupan tanpa kematian, kekayaan tanpa kemiskinan, sehat tanpa sakit, kekuasaan tidak pernah hancur, dan keberuntungan tanpa kesengsaraan”. Allah berfirman, “Dan Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”. QS. As Sajdah: 17.



Maraji:
1. Kasyul Ghummah fi Isthina’il Ma’ruf wa Rahmatil Ummah, Abuya al Walid al Habib Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani.
2. al Manhajus Sawiy Syam Ushul Thariqah as Sâddâh Aali Bâ Alawi. Al Habib Zen bin Ibrahim bin Semith.

[]

Pelopor Kebaikan

Dihadapan sahabat, Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya kalian berada di zaman di mana seseorang meninggalkan sepersepuluh ajaran yang diperintahkan adalah rusak; Kemudian akan tiba suatu zaman di mana seseorang mengerjakan sepersepuluh ajaran yang diperintahkan adalah sukses". (HR. Tirmidzi dari Abi Hurairoh)

Hadits tersebut menunjukkan pada masa Nabi saw. tumbuh semangat tinggi di dalam mengerjakan kebaikan, sehingga disebutkan bahwa meninggalkan sepersepuluh dari ajaran agama sudah termasuk kerusakan. Memang, bagi sahabat mengamalkan 90% ajaran agama sudah termasuk hal yang tidak layak. Sementara di zaman lain, umat mengamalkan 10% sudah termasuk kesuksesan yang luar biasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada masa sahabat tumbuh persaingan (yang positif) untuk berlomba-lomba mengamalkan ajaran agama. Dengan adanya persaingan ini mereka terpacu untuk menjadi yang terdepan dalam kebaikan.


Gambaran sahabat yang demikian ini telah disebut di dalam Al Quran sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad saw. yang bergelar Sabiqun bil Khairat (manusia yang berlomba-lomba dengan kebaikan). Allah swt. berfirman:

"Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Dhalimun linafsihi, Muqtashid, dan Sabiqun bil Khairat, dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir: 32)

Kebaikan oleh para sahabat diterjemahkan dalam konteks yang sesuai dengan Syariat Islam, yakni menjadikan kebaikanitu sebagai sarana menuju Allah swt., menggapai surga-Nya, serta memperoleh ridha-Nya, sehingga tumbuh kemuliaan berIslam karena ajaran-ajarannya teramalkan. Sementara pada zaman ini konteks kebaikan tidak diamalkan, malah sering diterjemahkan dalam bentuk kegiatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Kalaupun sekedar tidak sesuai itu masih lumayan, sekarang yang lebih parah lagi, tumbuh dan berkembang upaya membalut keburukan di balik kegiatan keagamaan.

Dengan demikian, sedikit di zaman ini umat yang menjadi pelopor kebaikan, yang sering dijumpai adalah pelopor keburukan.

Para sahabat benar-benar pelopor kebaikan. Ketika Rasulullah saw. hendak ekspansi dakwah ke Khaibar dan akan menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang mencintai Allah Dan Rasul-Nya, para sahabat berebutan. Sayidina Umar tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin, namun demi untuk tujuan membuktikan Hubbulloh dan Hubburrasul ia siap bersaing dengan sahabat lainnya. Sementara Sayidina Ali Karramallohu Wajhahu yang sedang sakit, ketika ditunjuk mengibarkan bendera dakwah dakwah itu segera bangkit tanpa satu pun alasan tidak setuju keluar dari lisannya. Demikian pula ketika Rasulullah saw. bersabda pada saat perang Uhud: "Siapa yang mau menggunakan pedang ini?" Para sahabat berebutan mengangkat tangannya. "Siapakah yang mau menggunakan pedang ini sesuai dengan haknya?" dengan lincah tampillah Abu Dujanah merebut pedang itu untuk dipakai menebas leher-leher kaum musyrikin. (HR. Muslim)

Rabi'ah bin Ka'ab Al Aslamy sahabat yang selalu mendampingi Rasulullah baik diwaktu berpergian maupun dirumah pada suatu malam bersama Rasulullah. Di malam itu ia sungguh-sungguh melayani beliau dengan menyiapkan segala sesuatunya termasuk menyediakan air wudhu dan batu untuk istinja'. Atas pelayanan sahabatnya itu Rasulullah Sholallohu alahi wassalam merasa senang, sehingga beliau bersabda, "Mintalah kepadaku apa yang kamu suka". Sahabat yang cerdas itu tidak minta apa-apa, hanya mengucapkan: "Aku memohon kelas dapat mendampingi engkau di surga". (HR. Muslim).

Sahabat Handzolah, setelah melangsungkan akad nikah dengan wanita yang dicintainya ia lalu bersenang-senang dengan istrinya itu. Tiba-tiba terdengar pengumuman untuk berjihad, maka segera ia cepat-cepat turun ke medan laga dan akhirnya menjumpai syahid di sana sebelum sempat mandi janabat. Atas kepeloporannya ini ia diberikan karamah; janazah beliau dimandikan janabat oleh malaikat, yang kemudian menjadi julukannya, yakni Handzolah Ghasilul Malaikah (Handzolah yang dimandikan malaikat).

Saat perang Badar, Umair bin Al Hammam sahabat Anshar sedang asyik menikmati kurmanya. Tiba-tiba terdengar suara, "Wahai sahabatku, rebutlah surga yang panjangnya bagaikan langit dan bumi". Sahabat tersebut meloncat menghampiri Nabi, "Benarkah surga panjangnya bagaikan langit dan bumi?" "Benar" "Amboi, andaikan aku mendapatkannya". Ia lalu mati mendapatkan syahid setelah puluhan musuh terbunuh ditangannya. (Muttafaq Alaih)

Perihal berinfak juga menjadi persaingan. Suatu hari Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu ketika dirinya kalah dalam perlombaan infaq dengan sahabat Abu Bakar. Waktu itu Umar berkata, "Tiap kali aku bersaingan denganmu wahai Abu Bakar, kamulah pemenangnya". Beda dengan umat lain dimana persaingan berdasar pada materi.

Kepeloporan dalam kebaikan ini juga ditunjukkan dengan tumbuhnya berbagai aktivitas keagamaan. Di masjid Nabawi, sahabat mendirikan halqoh-halqoh untuk kegiatan keagamaan yang digemari. Di antara mereka mendirikan halqoh mudzakaroh, halqoh dzikir dan lainnya. Melihat banyak halqoh itu, Rasulullah Sholallohu Alaihi wassalam besabda, "Apakah yang kamu lakukan?" "Ya Rasulullah, kami berkumpul bersama untuk dzikir kepada Alloh". "Jika begitu, mudah-mudahan Alloh mengampuni dosa-dosamu".

Perihal kebaikan ini, sahabat-sahabat wanita tidak ketinggalan. Menyadari kesempatan dalam menuntut ilmu dari Nabi Sholallohu Alahi wassalam kurang, ibu-ibu lalu meminta waktu sendiri untuk mengaji. (HR. Al Bukhari)

Kepeloporan dalam hal kebaikan yang luar biasa ini tiada lain karena dorongan iman yang kuat bahwa dunia adalah tempat ujian bukan tempat selamanya di samping tauladan yang besar dicontohkan oleh bagindanya. Modal ini mendasari sahabat untuk mempergunakan kesempatan hidup di dunia sebaik-baiknya guna mencapai kesuksesan di akhirat. Kesuksesan di akhirat adalah memperoleh surga setelah di dunia berhasil merebut maghfirah dan mempertahankan ketakwaan.

Karakter yang demikian ini menjadikan sahabat akan terus mendapatkan kiriman pahala sebab sunnah-sunnah kebaikannya, baik berupa ide (teori) maupun praktek dijadikan teladan (manhaj) oleh umat Islam sedunia, sebagaimana hadits:

"Barangsiapa mengukir perbuatan yang baik, maka baginya pahala kebaikan itu ditambah pahala orang yang melaksanakan sunnah itu setelahnya tanpa satupun pahala-pahala itu dikurangi". (HR. Muslim)

Kepeloporan dalam kebaikan ini barangkali juga pengabulan doa para sahabat yang didengarkan siang malam:

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan dan keturunan kami sebagai qurrotu a'yun. Dan jadikanlah kami sebagai pelopor (terdepan) dalam kebaikan bagi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al Furqon: 74)

Berangkat dari ayat itu, Sayyidina Abdullah bin Umar, sahabat yang senantiasa menapaktilasi kehidupan Rasulullah sampai hal-hal yang kecil selalu berdoa agar dijadikan sebagai pelopor kebaikan bagi orang lain. Doa beliau adalah

"Ya Alloh. jadikanlah aku termasuk pelopor orang-orang yang bertakwa di dalam mengerjakan kebaikan". (HR. Malik, Tanwirul Hawalik I/220)

[]

Menuju Rumah Idaman

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum ayat 21

Dalam ayat tersebut terkandung adanya proses kholaqo yang berarti bahwa suami-isteri merupakan pasangan yang telah ditakdirkan Alloh dengan bermacam-macam cara Alloh mempertemukannya. Yang jelas, tetap kembali pada proses kholaqo sebagaimana Alloh menciptakan langit, bumi, hidup, dan mati yang semuanya itu merupakan kehendak Alloh tanpa ada campur tangan manusia. Jika kita mengerti bahwa semuanya adalah ketentuan Alloh, maka tidak ada hal-hal di dunia ini yang kita tidak senang kepadanya. Karena itu, jika ada musibah, hendaknya dikembalikan kepada Alloh yang selanjutnya ditanggapi dengan ridho, tawakkal, dan pasrah diri. Kita jangan sampai merasa ngersula (mengeluh, Jawa), nelangsa, dan sebagainya.


Alloh pernah menimpakan ujian berupa isteri kepada Nabi Luth Alaihissalam. Isteri beliau bukanlah sebagai pendamping yang setia dan menyenangkan, tetapi merupakan pendamping yang menyakitkan hati. Ujian itu dihadapinya dengan sabar, dan tawakkal kepada Alloh. Tentu saja, setiap suami tidak mengharapkan ujian seperti yang dialami Nabi Luth Alaihissalam. Para suami tentu mengharapkan isterinya menjadi isteri yang sholihah, menjadi qurrota a'yun (penyejuk mata). Karena itu, kita hendaknya senantiasa berdoa sebagaimana yang diajarkan Alloh dalam QS. Al Furqon: 74 yang artinya :

“Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Di samping menjadi qurrota a'yun, seorang isteri bisa juga menjadi musuh dan fitnah. Alloh berfirman dalam QS. At Taghobun ayat 14 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Isteri menjadi fitnah bisa saja karena salah memilih jodoh yang bukan karena dien-nya. Kalau kita memilih jodoh karena harta, kecantikan, atau pangkatnya, maka tunggu saja kalau nantinya malah diuji oleh Alloh. Misalnya, kalau kita memilihnya karena ingin cepat kaya, bisa jadi malah tidak cepat kaya karena hal ini berkaitan dengan syahwat, dan syahwat adalah sebab dari munculnya fitnah. Jadi, apa yang menjadi niatnya, nanti akan bisa berbalik dari tujuannya.

Perjodohan memang sudah menjadi sunnah Alloh. Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan tujuan hidup yang mawaddah warahmah Alloh menggunakan lafadz ja'ala yang berbeda prosesnya dengan lafadz kholaqo. Kholaqo berkaitan dengan qodlo' dan qodar, sedang ja'ala berkaitan dengan usaha manusia. Jadi, sebuah keluarga menjadi mawaddah warahmah sebagai pondasi/asas rumah teladan merupakan ikhtiar/usaha manusia (suami-isteri).

Rumah teladan merupakan rumah yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-isteri. Banyak resep yang selalu dijalankan untuk mencapainya. Tetapi, tentu saja resep itu tidak bisa mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Memang, untuk mencapai rumah idaman dibutuhkan figur teladan, contoh yang telah sukses mencapai keluarga sakinah. Sebagai seorang muslim, figur teladan itu tidak ada yang lain kecuali figur Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam sebagaimana yang difirmankan Alloh dalam QS. Al Ahzab ayat 21 yang artinya :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.”

Hal-hal di bawah ini bisa dijadikan panduan untuk mencapai rumah teladan:

1. Basiitun fii jawaanibihi, mencari yang mudah-mudah saja, tidak perlu repot-repot, baik dari sisi materi maupun dari sisi maknawi. Dari sisi materi berarti jauh dari sifat berlebihan dalam hal makanan, minuman, dan perabot rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam Al Qur'an surat Al A'rof ayat 31 yang artinya: " Makan dan minumlah kamu semua dan janganlah kamu semua berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." Jadi, dalam masalah ini tidak perlu melihat orang lain. Rezeki tiap orang tidaklah sama. Kebahagiaan hidup kita harus diukur dengan diri sendiri, tidak dengan ukuran orang lain.

Dari sisi maknawi sikap ini tecermin dalam cara perilaku dan berpikir yaitu yang gampang-gampang saja, tidak perlu berpikir yang repot-repot. Sayyidah Aisyah ra. mengatakan bahwa : "Rosululloh saw. tidak diminta untuk memilih di antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling gampang."

Hidup ini hanya beribadah kepada Alloh, bukan untuk manusia. Jadi, terserah mereka apakah mau senang atau benci kepada kita. Misalnya, dalam urusan rumah tempat tinggal, mereka mau masuk atau tidak ke rumah kita, itu terserah mereka. Rumah kita diatur sesuai dengan selera kita. Merupakan hal yang tidak mungkin membuat semua orang ridlo kepada kita.

Kita bisa melihat kembali, bagaimana Lukmanul Hakim mengajari anaknya dalam masalah menuruti kemauan manusia. Suatu ketika, Lukmanul Hakim mengajak anaknya sambil membawa seekor himar berkeliling kampung. Ketika itu Lukman dan anaknya tidak menunggangi himar. Orang kampung berkata, "Membawa himar kok tidak dinaiki." Maka, Lukman menaiki himar tersebut dan anaknya yang menuntun. Ketika sampai di kampung kedua, orang kampung berkata, "Ayah itu tidak sayang pada anaknya." Maka ganti anaknya naik himar dan ayahnya yang menuntun. Sampai di kampung berikutnya orang kampung berkata, "Anak itu kurang ajar, bapaknya menuntun himar sementara dia yang naik.” Kemudian Lukman dan anaknya menaiki himar. Pada kampung berikutnya orang kampung berkata, "Himar kecil kok dinaiki dua orang." Akhirnya Lukman berkata pada anaknya, "Tinggal satu lagi Nak, sekarang biar himar itu yang naik di atas kita.” Kemudian orang-orang berkata, "Gila itu." Itulah manusia. Kita tidak mungkin memuaskan semuanya. Jadi, ukuran kebahagian adalah diri kita sendiri. Yang penting kita senang; kita tidak mengganggu, merepotkan orang, dan membebani orang lain.

2. Baitun Thoohirun Wanadhiifun, rumah yang suci dan bersih.
Walaupun rumah itu kecil, tetapi hendaknya bersih dan rapi. Rumah jangan kelihatan kotor. Kita tahu bahwa Alloh mencintai orang-orang yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian. Bila kita menjumpai anak-anak kita mencoret-coret tembok maka kita harus segera menghapusnya sebab anak itu juga kadang-kadang sebagai ujian.

3. Dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah warohmah kita telah diajarkan agar menghindari suara yang keras dan berteriak. Seperti disebutkan Alloh dalam surat Lukman ayat 19 yang artinya: "Hendaklah kamu rendahkan suaramu karena yang paling tidak disenangi dalam suara ini adalah suara himar." Dengan merendahkan suara bisa membentuk rumah teladan. Jika kita memarahi anak tidak perlu teriak-teriak karena tidak baik didengar tetangga.

Rasululloh saw. suatu waktu memberitahu seluruh umat bahwa di surga nanti Sayyidah Khodijah ra. mempunyai rumah dari bambu yang tenang, tidak ada suara keras dan teriakan-teriakan. Dalam hadits itu disebutkan bambu surga dengan disifati tidak ada suara keras dan teriakan. Mengapa demikian? Ulama memberi komentar bahwa ketika Sayyidah Khodijah diajak masuk Islam, ia tidak pernah membantah sama sekali, tidak pernah bersuara apapun sekaligus mengiyakan dan tanpa komentar. Karena itu, di surga nanti rumah yang paling tenang adalah rumah Sayyidah Khodijah.

Kita sendiri berusaha membuat suasana rumah yang tenang sekalipun kedatangan banyak saudara yang sudah lama tidak berjumpa atau bertemu. Untuk menciptakan mawaddah warohmah diperlukan suatu tadrib (latihan diri). Kecintaan itu akan selalu tumbuh di antara kita kalau kita tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Misalnya, jika terjadi su'ut tafahhum (kesalahpahaman) antara suami dan isteri tentang suatu masalah sehingga terjadi pertengkaran maka terapi yang paling mujarab adalah attaghooful (semua dilupakan) seperti tidak terjadi apa-apa dan segera minta maaf.

Sebenarnya sifat orang itu tidak sama. Ada orang yang cepat marah tapi cepat kembali. Yang repot yaitu kalau cepat marah dan lama kembali. Ada juga orang yang tidak bisa marah. Sudah berkali-kali dibuat marah tapi tidak marah juga. Dalam rangka memberikan pelajaran (tadrib), seseorang harus bisa marah. Misalnya, jika suatu saat suami serong maka isteri harus bisa marah. Begitu juga jika isteri bertindak yang tidak baik , suami juga harus bisa marah. Kalau marah hendaknya cepat kembali. Tetapi yang susah kalau sudah menjadi watak (cepat marah), ya hendaknya diterima sebagai ujian, harus sabar. Jangan sampai dijadikan alasan sebagai pertengkaran yang berlanjut sampai pada tingkat menggoyangkan 'arsy.

Hal-hal kecil lainnya yang perlu diperhatikan misalnya masalah makanan. Rasulullah tidak pernah mencela makanan, menanyakan ada makanan atau tidak. Kalau kita belum bisa pada tingkat itu, tetapi yang penting jangan sampai mencela makanan. Karena bisa jadi akhirnya yang masak bisa tersinggung, terutama isteri, sehingga bisa mengundang pertengkaran.

Rasulullah memang pernah menanyakan makanan, tetapi ada hubungannya dengan memberitahu hukumnya pada orang banyak. Dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa ketika Rasulullah sedang berada di rumah Bariroh. Pada waktu itu Bariroh memasak bubur. Rasulullah tahu, tetapi kok lama tidak dihidangkan. Akhirnya, Rasullah bertanya, mengapa tidak dikeluarkan? Ternyata, tidak dikeluarkannya makanan tersebut karena bubur tersebut dari daging zakat atau shodaqoh bagi Bariroh. Kemudian Rasulullah bersabda : "Itu shodaqoh bagi Bariroh, tetapi bagi saya hadiah."

Di sini Rasulullah memberi pelajaran pada kita tentang hukum makanan yang semula adalah zakat/shodaqoh tetapi jika diberikan pada orang lain berubah menjadi hadiah.

Ada lagi yang perlu diperhatikan di antaranya dalam rumah tangga janganlah selalu terlihat dalam suasana yang serius. Jadi perlu diselingi dengan canda. Sekian kali Rasulullah terlihat bercanda dengan isteri dan anaknya. Pernah suatu ketika Rasulullah yang pada waktu itu berusia 50 tahun dan Sayyidah Aisya ra. ? 9 tahun, memperhatikan Sayyidah Aisya RA yang masih senang bermain. Kemudian oleh Rasulullah diajak balapan.

Guyon (bercanda) diperbolehkan, asal tidak sampai pada tingkat yang dilarang oleh Alloh. Semuanya demi untuk menghilangkan ’inqimas (rasa 'mbededeg' dalam hati yang akhirnya bisa menimbulkan masalah. Untuk menyenangkan hati perlu diselingi guyon-guyon. "Adalah Rasulullah saw. itu paling banyak guyon diantara manusia dengan istrinya." Tetapi kalau beliau sedang memberi pelajaran (ta'lim), para sahabat tidak ada yang berani mengangkat kepalanya, apalagi melihat, saking haibahnya Rasulullah. Mereka yang menatap langsung gemetar.

4. Memisahkan tempat tidur anak laik-laki dan perempuan dalam kamar terpisah. Sekalipun saudaranya sendiri, tetapi yang namanya ghorizatun nau' asalnya mungkin sahwat tipis, tetapi Rasulullah memberi pelajaran supaya mulai kecil dipisah. Rasulullah saw. bersabda yang artinya : “Perintahkanlah anak-anakmu untuk sholat ketika berusia 7 tahun, pukullah jika meninggalkan sholat ketika berusia 10 tahun (dengan pukulan yang tidak menimbulkan cacat, bersifat sebagai pelajaran) dan pisahlah tidur mereka dalam ranjang-ranjangnya.”

Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki dalam kitabnya Nidhomul Usroh, diantaranya beliau mengatakan : "Sekolahan yang dari kecil berkumpul antara laki-laki dan perempuan (karena dianggap tidak ada syahwat) sebenarnya malah menanamkan bibit ghorizah.” Jadi mulai kecil mulai sudah kenal. Karena mendidik anak diwaktu kecil sama dengan mengukir, sementara mendidik anak diwaktu besar sama dengan melukis di atas air.

5. Tolong-menolong dari setiap anggota keluarga untuk kepentingan rumah tangga.
Pembagian pekerjaan sesuai dengan kecenderungan masing-masing anggota keluarga. Dibiasakan dari yang kecil sampai yang besar, seluruhnya bersama-sama. Adalah Rasulullah saw. membantu keluarganya dalam urusan rumah. Maka Rasulullah juga sempat menjahit sandalnya sendiri. Memeras susu-susu kambing Rasulullah sendiri dan menggendong anaknya. Dan ini adalah perkara yang mulia. Bahkan ketika ke pasar dan beliau membawa tasnya sendiri, kemudian sahabat ingin membawakan tasnya, beliau berkata : "Yang punya berhak untuk membawanya."

Dalam rumah teladan ini juga diajarkan bagaimana kita mengarahkan tarbiyah anak pada 3 hal :
1. Tarbiyah jasadiyah.
2. Tarbiyah aqliyah.
3. Tarbiyah nafsiyah mustaqimah.

Tarbiyah jasadiyah
adalah tarbiyah tentang fisiknya atau jasadnya. Demi untuk kesehatannya harus diperhatikan makanannya, minumannya, vitaminnya, dll. Jangan eman-eman keluar uang. Barokah. Insya Alloh.

Bagaimana dengan pendidikan akalnya supaya cerdas? Usahakan anak itu kreatif. Maka akalnya juga harus dikembangkan. Karena itu dalam masa bermain jangan terlalu dikekang. Tidak boleh ini, itu, harus tidur jam sekian. Semakin punya kreatifitas, maka simpanan kekuatan kreatifitasnya itu menjadi cerdasnya kelak. Memang resiko punya anak kreatif. Minta ini-itu seenaknya. Selama tidak membahayakan dirinya, jangan dilarang. Penting juga diberi mainan yang mengasah otak.

Tetapi juga jangan lupa nafsiyah mustaqimah (pribadi yang mustaqimah). Arahan-arahan seperti mengambil sesuatu dengan tangan kanan, diberi tahu mana tangan bagus, mana tangan jelek. Sehingga nafsiyah terdidik sejak kecil. Supaya nafsiyahnya kuat, usahakan anak untuk mengerti Al Qur'an, paling tidak hafal juz 'amma. Kalau orang Mesir, Yaman, untuk anak pertama selalu ditempa terus dengan Al Qur'an.

Maka kalau bikin TK pun lebih banyak Al Qur'an-nya daripada yang lain. Malah kalau bisa 2-3 tahun hafal juz 'amma. Imam Syafi'i umur 7 tahun hafal Al Qur'an. Hafal Al Qur'an bisa membantu akalnya. Masalahnya Al Qur'an itu mudah lepas. Jadi kalau sejak kecil sudah hafal, insya Alloh hafalannya akan kuat (njangget). Daripada diberi hafalan lagu-lagu lebih baik Al Qur'an atau do'a-do'a.

Tetapi jangan hanya mengandalkan guru di sekolah. Orang tua harus selalu membiasakan mengiringi anak untuk berdo'a dalam setiap aktifitasnya seperti sebelum makan, tidur, pergi, keluar kamar mandi, dsb. Dari pendidikan nafsiyah mustaqimah ini kita bisa mengarahkan anak supaya punya sifat kasih sayang, kecintaan dan punya rasa tanggung jawab.

Inilah diantaranya gambaran-gambaran tentang membina rumah teladan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam.

[]

Feb 6, 2009

Khutbah Jum’at: Salah Satu Tanda Akhir Zaman

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Pertama-tama dari atas mimbar ini kami sampaikan wasiat bersama. Wasiat yang terkait dengan kehambaan kita kepada Allah Subhanawata’ala. Sebatas mana kita menghambakan diri kepadaNya. Tundukkah kita akan peraturan-peraturannya? Mengertikah kita bahwa Allah Ta’ala adalah Maha Pengasih tetapi Allah juga raja diraja di hari kiamat? Sudah tentu kita harus takut terhadap apa yang akan terjadi di hari kiamat nanti. Karena masing-masing kita ini nantinya diminta pertanggung jawaban tentang amal kita masing-masing selama hidup di dunia ini.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Wasiat yang kami sampaikan di atas sangat terkait dengan kehambaan kita, kehambaan yang memberikan konsekuensi yang selalu terikat dengan hukum-hukum Allah Ta’ala. Dalam arti, seorang muslim tidak melakukan perbuatan sekecil apapun kecuali ia mengetahui hukumnya. Boleh atau tidak boleh, haram atau halal, mubah atau makruh, dan hukum-hukum yang terkait dengannya.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Masih dalam pasca hari raya idul adha. Hari yang di dalamnya tidak lepas dari apa yang dilakukan teman-teman kita yang diberi kesempatan oleh Allah Ta’ala menunaikan ibadah haji. Mereka mencontoh ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wassalam. Ibadah haji yang dikenal dengan “Hujjatul Wada’” Kita juga mengingat khutbah wukuf yang beliau Saw. sampaikan tepat pada hari Jumat kepada seluruh jamaah haji yang yang hadir di Arofah. Namun bukan itu yang akan kami sampaikan.


Diriwayatkan dari Sayyidina Ibnu Abbas ra. Beliau berkata Rasulullah melaksanakan haji wada’ kemudian ketika Beliau berada di ka’bah, sambil memegang handle pintu ka’bah. Beliau berkhutbah, “Wahai para manusia, maukah kalian saya beritahu tanda-tanda datangnya hari kiamat. Kemudian, Salman berdiri dan menjawab, “Beritakanlah kepada kami ya Rasulullah tentang apa yang akan engaku kabarkan.” Berkata Rasululloh, “Termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah menyia-nyiakan shalat.”

Tanda-tanda ini tentunya diperuntukkan untuk kita kaum muslimin. Shalat, ketika awal generasi yang dibimbing langsung oleh Rasulullah, dikenal dengan khoiruh ummah (sebaik-baik umat) telah mengalami pergeseran nilai sedikit demi sedikit. Pada akhirnya tiba pada satu generasi di mana shalat telah disia-siakan. Hal ini sangat sesuai dengan firman Alloh Ta’ala dalam surat Maryam: 59, yang artinya

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan,"

Datang satu generasi di mana generasi ini bukan generasi yang baik, generasi yang buruk. Generasi ini ditandai dengan menyia-nyiakan shalat. Jika seseorang itu dengan shalatnya menganggap sebagai suatu kewajiban adalah untung besar karena ia menganggap antara ia dan Allah ada suatu kewajiban sebagai seorang hamba dengan khaliknya. Apalagi shalat itu dijadikan sebagai media komunikasi dengan Alloh Ta’ala. Orang tersebut termasuk tidak menyia-nyiakan shalat. Pengertian menyia-nyiakan shalat jika seseorang tidak memiliki perasaan kewajiban shalat apalagi mengganggap shalat bukan sebagai media komunikasi dengan Allah Ta’ala.

Sudah tentu jika shalat ini tidak terurus dengan baik, mereka selalu memperturutkan hawa nafsu. Generasi seperti ini oleh Alloh Ta’ala dikatakan menemukan kesesatan di akhirat nantinya.

Kembali kepada hadits di atas. Ketika Rasululloh mengabarkan tanda-tanda hari kiamat. Rasululloh mengatakan “iba’ah sholah” menyia-nyiakan shalat dan kecenderungan memperturukan hawa nafsu. Hawa nafsu menang atas seseorang mengalahkan hak dan kewajiban atas Alloh Subhana wata’ala. Mereka lebih mengagungkan pemilik harta dan orang-orang berduit ketimbang ulama dan orang-orang shaleh.

Kemudian Salman berkata, “Terjadi seperti ini ya Rasululloh?” Rasululloh menjawab, “Iya, demi Alloh, Dzat yang jiwa raga Muhammad di tangan-Nya.” “Pada waktu itu wahai Salman, ada zakat dihutang-hutangkan, datangnya harta menjadi rebutan di sana sini, dan sang pedusta justru dibenarkan dan dipercaya, orang yang jujur justru didustakan, orang yang berkhianat justru dipercaya, orang yang bisa dipercaya malah dianggap berkhianat dan akan berbicara ar roghiboh.” Berkata para sahabat, “Apakah itu ar roghibo?” Rasulullah berkata, “Apa yang berbicara tentang manusia, apa dan siapa yang tidak bisa berbicara.” Dalam hal ini adalah isyarat adanya teknologi canggih. Yang tidak dapat berbicara, berbicara tentang manusia. Apakah itu radio yang benda mati atau tv yang benda mati, ataukah handphone dan lain sebagainya. Semua ini benda mati yang dapat berbicara dengan jelas tentang keadaan dan perilaku manusia. Saat ini kita memasuki dunia 3G dan suatu ketika kita akan masuk dalam teknologi hologram yang berbicara tentang manusia.

Ada keterangan dari Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wassalam bahwa suatu saat ini ada sandal yang dapat berbicara. Di mana sandal ini akan berbicara tentang keadaan keluarga yang ada dirumahnya. Lepas dari hadits ini menjelaskan hakekat sandal yang berbicara atau isyarat adanya benda-benda mati saat ini yang berbicara. Seperti handphone yang dapat berbicara yang kita bawa kesana kemari seperti halnya sandal yang kita pakai. Pada masa itu banyak orang tidak mengutamakan lagi nilai-nilai yang religius. Demikianlah gambarannya.

Berkata guru kami, as Sayyid Muhammad bin Alwy Al Maliki tentang sandal yang berbicara di akhir zaman. Beliau mengartikan secara hakekat bahwa ada sandal berbicara. Di saat teknologi manusia sedemikian canggih yang mana pencapaiannya diperlukan eksperimen bertahun-tahun terlebih dahulu. Radio, televisi, handphone dan lain sebagainya didapatkan melalui eksperimen yang membutuhkan waktu lama. Alloh cukup berkata ‘kun fa yakun’ tidak butuh waktu bertahun-tahun, sebuah sandal yang tidak ada alat-alat yang menempel padanya dapat berbicara. Hal ini menunjukkan kekuasaan dan kekuatan Allah Subhana wata’ala atas manusia yang lemah itu.

Selanjutnya, Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wassalam berkata, “Pada zaman itu kebenaran Islam diingkari lebih dari 90% manusia. Sirna Islam ini. Islam tinggal namanya saja”. Islam hanya sebagai KTP. Tidak ada pengamalan terhadap ajaran-ajaran Islam.

Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wassalam berkata, “Al Quran ada kecuali tinggal tulisannya”. Hadits ini sangat panjang yang tidak mungkin kami sebutkan seluruhnya di mimbar Jumat yang terbatas waktunya ini.

Seiring denga hadits yang kami bacakan sebelumnya, ada hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi, dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wassalam berkata, yang artinya

“Wahai sahabat-sahabatku, kalian hidup di suatu zaman, barangkali di antara kalian meninggalkan 10% saja dari agama ini kalian celaka, tetapi akan datang suatu zaman, seseorang mengamalkan 10% agama ini akan selamat”.

Adanya hadits ini membuat kita lebih berhati-hati hidup di zaman ini. Kita hidup di suatu zaman, pendusta dibenarkan, orang yang jujur dikhianati. Aneh, saat ini orang-orang lebih percaya pada mama Loren, Ki Joko Bodo, Gendeng Pamungkas, dan lainnya ketimbang orang-orang shaleh. Apalagi saat ini banyak iklan-iklan di televisi yang meramal masa depan seseorang melalui sms. Aneh. Itulah gambaran kehidupan pada zaman ini. Kita harus lebih berhati-hati. Bisakah kita mengamalkan agama ini 10% nya? Jangan sampai kita mengamalkan agama ini di bawah 10%. Kita akan mengalami kehancuran di akhirat nanti. Dan jangan-jangan kita meninggal dalam keadaan su’ul khotimah bukannya khusnul khotimah. Na’udzubillah.

Di akhir khutbah ini kami sampaikan sebuah hadits Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,

“Barangsiapa berpegang teguh pada sunnahku di saat umat ini rusak, maka bagi dia seratus pahala orang-orang yang mati syahid.”


Harapan kita bersama, semoga jamaah seluruhnya ini dijaga oleh Allah Subhana wata’ala, di jaga agama kita, dan semoga kita mati tetap dalam khusnul khotimah.

[]

Feb 5, 2009

Feb 4, 2009

BAB 4: Rizki Berada di Tangan Allah swt. Semata

Serial Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya

Rizki tidak bermakna kepemilikan (milkiyah), akan tetapi rizki bermakna pemberian. Rozaqo bermakna a’thoo (memberi). Adapun yang dinamakan kepemilikan (milkiyah) adalah peroleh sesuatu dengan cara tertentu yang diperbolehkan syara’. Rizki dapat berupa rizki halal dan haram. Rezeki yang diperoleh seseorang pekerja sebagai upah kerjanya adalah rizki (yang halal), dan harta yang diperoleh seorang pejudi juga rizki (yang haram). Semuanya itu adalah harta yang diberikan Allah swt. untuk keduanya disaat mereka mengusahakan suatu al haal (keadaan) yang dapat mendatangkan harta (rizki).

Manusia banyak yang menyangka bahwa mereka dapat mendatangkan rizki untuk dirinya sendiri. Seorang pegawai yang menerima (mengambil) gaji tertentu, menyangka ia telah memberi rizki pada dirinya. Dan ketika dia menerima bonus sebagai ganti usahanya, dia menyangka bahwa bonus itu dapat memberi rizki padanya. Seorang pedagang yang mendapatkan keuntungan usahanya menyangka bahwa ia memberikan rizki pada dirinya. Seorang dokter yang menyembuhkan pasiennya mendapat upah, ia menyangka memberikan rizki pada dirinya. Demikian juga tiap-tiap orang yang mengusahakan dan menghasilkan harta, mereka menyangka bahwa mereka telah menghasilkan rizki pada dirinya. Prasangka (dhon) itu muncul pada diri manusia karena mereka tidak memahami hakekat keadaan (al haal) yang datang padanya rizki, tetapi mereka menyangka al haal (keadaan) itu sebagai sebab.


Hakekat yang harus diterima setiap muslim ialah bahwa rizki itu dari Allah swt. semata, bukan dari manusia. Sedangkan al haal hanya suatu perantara datangnya rizki. Ia bukanlah merupakan sebab datangnya rizki. Karena hubungan sebab musabab adalah suatu hubungan yang pasti. Kalau sekiranya al haal itu (dianggap) sebagai sebab, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang berbeda (takholluf). Realitas menunjukkan bahwa al haal menghasilkan sesuatu yang berbeda (meleset). Kadang-kadang ada al haal, namun rizki tidak datang. Kalau sekiranya al haal merupakan sebab maka akan menghasilkan musabab secara pasti yaitu rizki. Dan dengan adanya al haal yang tidak mendatangkan rizki yang pasti, yaitu dengan adanya al haal tersebut kadang-kadang mendatangkan rizki dan kadang-kadang mendatangkan sesuatu yang berbeda (meleset), maka hal ini menunjukkan bahwa al haal bukanlah merupakan sebab (utama), tetapi hanyalah merupakan perantara (bhs. Jawa: jalaran). Di samping itu tidak boleh menganggap, bahwa al haal yang menjadi perantara datangnya rizki sebagai sebab adanya rizki, dan juga bukan orang yang mengusahakan al haal tersebut yang mendatangkan rizki. Karena pengertian ini bertentangan dengan nash-nash Al Quran yang qoth’i baik dilalahnya maupun tsubutnya. Apabila pemikiran atau pemahaman (seseorang) itu bertentangan dengan nash-nash qoth’i dilallah dan qoth’i tsubut maka dimenangkan nash qoth’i dan diambilnya serta menolak (pemahaman) selainnya. Banyak ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan masalah ini dengan keterangan yang jelas dan gamblang, yang tidak mungkin ditakwil lagi, bahwa rizki adalah semata-mata dari Allah swt., bukan dari manusia.

Semua itu memberikan kepastian kepada kita bahwa sesungguhnya apa yang kita saksikan dari sarana-sarana atau cara-cara untuk mendatangkan rizki itu semata-mata adalah al haal, yang menjadi perantara datangnya rizki tersebut. Firman Allah swt. yang artinya:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu”. (QS. Al Mâidah: 88).

“Alloh Ta’ala yang telah menciptakan kamu kemudian memberi rizki kepadamu (QS. Ar Rum: 44)

“Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Alloh Ta’ala kepadamu”. (QS. Yasin: 47)

Sesungguhnya Alloh Ta’ala memberi rizki kepada siapa yang dikehendakinya”. (QS. Ali Imron: 37)

“Alloh Ta’alalah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu”. (QS. Al Ankabut: 60)

“Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka”. (QS. Al An’am: 151)

“Kamilah yang memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu”. (QS. Al Isroo’: 31)

“Benar-benar Alloh Ta’ala akan memberikan rizki kepada mereka”. (QS. Al Hajj: 58)

“Alloh Ta’ala meluaskan rizki kepada siapa yang dikehendaki”. (QS. Al Isroo’: 30)

“Maka mintalah rizki itu dari sisi Alloh Ta’ala”. (QS. Al Ankabuut: 17)

“Dan tak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Alloh Ta’ala yang memberikan rizki”. (QS. Huud: 6)

“Sesungguhnya Alloh Ta’ala. Dialah Maha Pemberi rizki”. (QS. Adz Dzaariyat: 58)

Ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang banyak jumlahnya adalah qoth’i dilalalah, hanya satu makna yang dikandungnya dan tidak menerima takwil apapun. Yakni bahwa rizki itu adalah dari Alloh Ta’ala semata, bukan dari yang lain.

Hanya saja Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang telah diberi kemampuan berikhtiar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan mengusahakan al haal yang dapat menjadi perantara datangnya rizki. Merekalah yang harus mengusahakan segala bentuk al haal tersebut, tetapi bukanlah mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana penjelasan nash-nash tersebut. Alloh Ta’alalah yang memberikan rizki kepada mereka pada keadaan (al haal) ini, tanpa memandang apakah rizki itu halal atau haram, dan tanpa memandang apa.

[]