
Dewasa ini banyak orang tua yang mengeluhkan problem anak-anaknya. Di antara mereka merasa heran, sebab problem yang menimpa anak semakin lama semakin menjadi-jadi, kompleks dan tak jarang aneh.
Betapa tidak? Penyakit lahiriah yang bisa menyerang anak-anak misalnya tambah beragam, padahal obat dan berbagai solusi kesehatan yang diiklankan televisi bertambah gencar dan seabrek banyaknya. Begitu pula penyakit batiniah, semacam malas ibadah, nakal, bandel, lemah daya nalar dan lain-lain. Padahal lembaga dan sistem pendidikan disebut-sebut semakin bonafid dan modern. Nah, apakah ada kesalahan? Dimanakah letak kesalahan itu?
Menyimpang dari Fitrah
Islam menetapkan suatu aturan sesuai dengan fitrah manusia. Jika kemudian aturan itu tidak diterapkan dan malah beralih pada alternatif lain, maka hal itu berarti keluar dari fitrah. Jika keluar dari fitrah, maka konsekuensinya tidak diragukan lagi adalah munculnya berbagai problem. Semakin bertambah melenceng dari fitrah, maka bertambah pula problem-problem itu.
Munculnya berbagai problem pada anak itu barangkali lebih bijak bila disebut sebagai akibat saja, dan bukan sebagai penyebab. Lantas apa penyebabnya? Penyebabnya boleh jadi karena orang tua telah menjauhkan diri dari fitrah yang telah ditetapkan oleh Islam. Ketika orang tua menjauhkan diri dari fitrah, maka akibatnya adalah munculnya berbagai problem yang menimpa anak-anaknya. Dan diantara fitrah itu adalah penggunaan air susu ibu (ASI) selama dua tahun penuh. Hal itu telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan …” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Dewasa ini betapa banyak orang tua yang menggunakan alternatif lain di luar ASI atau kalaupun menggunakan ASI, namun tidak sampai sempurna 2 tahun. Salah satu dampak negatifnya adalah orang tua setiap saat disuguhi kondisi fisik dan kondisi mental anaknya yang tidak menyenangkan. Abdul Mun'im Qudzail dalam bukunya “At-Tadâwy bil-Qur'ân” halaman 79 menyebutkan, "Bayi yang disusui selain ASI akan lebih mudah diserang aneka ragam penyakit dibandingkan dengan bayi yang disusui langsung oleh ibunya dengan ASI."
Memang penggunaan ASI tidak berhukum wajib. Namun seharusnya bukan soal wajib dan tidaknya itu yang menjadi standar, melainkan oleh karena sangat banyaknya pengaruh positif ASI pada anak, disebabkan kelebihan-kelebihannya, berikut rahasia-rahasia ilahiahnya. Alangkah indahnya jika saat ini orang tua bergegas kembali kepada fitrah. Bergegas untuk menyusui bayinya selama 2 tahun penuh.
Kelebihan ASI
ASI merupakan makanan bayi yang kaya akan protein. Di dalamnya terkandung tenaga atau energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan pengganti lainnya. Di dalam ASI terdapat zat anti bodi atau zat anti infeksi. Zat ini memberikan ketahanan tubuh bayi dari serangan penyakit.
ASI adalah satu-satunya zat makanan bagi bayi yang steril. Berbeda dengan makanan pengganti lainnya yang harus disterilkan terlebih dahulu. Tidak ada seorang dokterpun yang membantah bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Tidak ada jenis makanan buatan yang mendekati atau semutu dengan air susu ibu ini. ASI mulai dari tetes pertama sampai tetes terakhir, yang dapat diproduksi oleh ibu, ternyata mengandung semua zat-zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, yaitu zat pembangun, zat pengatur, dan zat tenaga.
Tentang kelebihan ini Rasulullah Saw. bersabda: "Tidak ada penyusuan kecuali penyusuan yang menyembulkan tulang dan menumbuhkan daging." (H.R. Abu Dawud).
Hadits ini menyiratkan bahwa untuk membentuk tulang yang kuat serta menumbuhkan daging yang bagus diperlukan penyusuan dengan ASI. Ulama' As-Syafi'iyah dengan argumentasinya mengatakan, "Air kencing bayi (laki-laki) dihukumi najis mukhoffafah (najis yang ringan) selama belum makan sesuatu kecuali air susu ibu dan belum sampai pada umur dua tahun." Persyaratan "belum makan selain ASI" itu menyiratkan bahwa dengan mengkonsumsi ASI saja berarti bayi masih bersih. Bila sudah tercampur dengan makanan lain atau air susu buatan (formula), maka air kencingnya sudah tidak dianggap bersih, sehingga dihukumi seperti air kencingnya orang dewasa (najis mutawassithah). Hadits itu juga menyiratkan bahwa apabila dikehendaki oleh orang tua, ASI mampu mencukupi segala kebutuhan bayi selama dua tahun penuh walaupun tanpa ditambahi makanan apapun.
ASI di samping menguntungkan bayi juga menguntungkan ibu yang menyusukannya. Rahim ibu lebih cepat pulih seperti sebelum hamil, kemungkinan ibu terserang kanker buah dada menjadi berkurang, serta dapat menjarangkan kehamilan (KB Islami).
Dalam proses penyusuan, banyak hal yang bermanfaat bagi ibu dan bayi. Oleh sebab itu, menyusui bukan semata-mata hanya untuk memberikan makanan bagi bayi demi kelangsungan hidupnya, akan tetapi menyusui juga berfungsi memberikan kepuasan emosional yang dibutuhkan bagi bayi. Hubungan psikologi yang kontinyu secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara ibu dan anak . Di sinilah letak pentingnya menyusui, yaitu sebagai kunci keberhasilan dalam membentuk kepribadian si anak dalam proses melakukan penyusuan langsung oleh ibu.
Dengan penyusuan ASI akan tumbuh keterikatan antara ibu dan bayi. Kemudian dari rasa keterikatan itu, bayi akan lebih mengenal lingkungannya. Karena lingkungan pertama yang dijumpai adalah ibu, maka bayi sudah dapat membedakan antara puluhan wanita lain dengan ibunya. Tidak jarang dijumpai, anak akan menangis tatkala sedang mesranya diemban oleh ibunya lalu diambil alih orang lain. Dengan keterikatan itulah bayi dapat mengembangkan suatu mental image mengenai ibunya, terutama pada wajah ibunya yang setiap hari menyusuinya. Hal ini memberikan reaksi pada bayi, ia merasa takut bila ada orang asing mendekatinya, karena belum kenal dan belum ada rasa keterikatan.
Dengan adanya rasa keterikatan itu, seorang ibu akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri. Ibu akan mempunyai kesempatan yang lebih leluasa untuk memeluk, melimpahkan rasa kasih sayang dan merapatkan tubuhnya (hanânatul Umm) untuk memberikan support (dorongan) pada bayi dan juga perangsang pada alat indra bayi, sehingga bayi lebih aktif dalam memberikan respon gerakan ibu. Dari pihak bayi, tingkah laku lengket tadi ditandai dengan tangisan jika ibunya suatu saat pergi meninggalkannya. Anak akan merasa senang bila obyek kelekatannya datang menghampiri dan menggendongnya. Bila anak sudah betah dengan lingkungan yang ada dan merasa terikat, maka terjadilah hubungan batin dengan ibunya yang tidak akan terputuskan.
Mengapa Harus 2 Tahun?
Islam menganjurkan ibu untuk menyusui anaknya secara terus-menerus sampai dua tahun penuh. Barangkali rahasia batasan itu sebagaimana argumentasi yang dikemukakan oleh ulama' As-Syafi'iyah seperti disampaikan di atas. Batasan itu menyiratkan bahwa penyusuan itu selayaknya dilakukan selama masa dua tahun penuh dan hanya dengan ASI saja tidak dicampuri makanan lain. Jika ibu mulai menyusui bayinya tanggal 1 Syawal 1428 misalnya, maka dua tahun kemudian bertepatan tanggal 30 Ramadhan 1430 bayi tersebut harus disapih. Di samping itu, menurut penelitian para ahli, ibu yang menyusui secara baik dan benar selama 2 tahun penuh, maka 90% tidak terjadi kehamilan. Kalau Islam memerintahkan untuk menyusui bayi selama dua tahun penuh, maka berarti Islam sebenarnya menghendaki pengaturan keluarga atau penjarangan kehamilan (tahdid an-nasl) secara alamiah.
Penyusuan selama dua tahun penuh adalah sempurnanya. Bila dikurangi atau ditambah dapat tidak bertambah baik. Sayyidina Umar berkata, "Sesuatu jika telah sampai pada puncak kesempurnaannya, kemudian diubah, maka akan rusaklah sesuatu itu."
Hasil Jerih Payah
Seorang ibu yang menyusui bayinya dengan ASI selama dua tahun penuh tentu mendapati kesulitan-kesulitan. Karena itu, dirinya butuh perhatian ekstra. Ibu harus menjaga porsi makan dengan teratur (ibu bisa jadi cepat lapar), menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat serta menambah kesempurnaan makan agar ASI tetap lancar. Juga diperlukan kesabaran, jika perlu juga sampai menahan kantuk untuk menyusui bayinya, dan lain sebagainya.
Barangkali karena beratnya menyusui bayi itu, maka Islam kemudian memberikan dispensasi boleh tidak berpuasa Ramadhan kepada para ibu yang sedang menyusui bayinya. Bertambah berat beban yang ditanggung seorang ibu yang menyusui, maka bertambah ringanlah kaffaratnya. Imam As-Syafi'i berpendapat, ibu yang menyusui kemudian tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya saja, maka ia wajib meng-qadha (mengganti) puasanya, ditambah membayar fidyah sebanyak hari yang ditinggalkan. Jika mengkhawatirkan dirinya dan bayinya, maka ia hanya wajib qadla saja. Ini artinya Islam menghargai ibu yang mau menyusui bayinya dengan ASI.
Kesulitan-kesulitan di atas adalah mujahadah atau riyadloh-nya seorang ibu. Tentu saja dengan mujahadah dan riyadlohnya sedemikian rupa itu, bayi yang disusuinya akan menjadi generasi yang unggul fisik dan mentalnya serta tidak mudah terserang penyakit, baik penyakit lahir maupun penyakit batin. Hal demikian sebagai balasan dari Allah Swt. atas jerih payah ibunya.
Zaman sekarang, ibu kebanyakan tidak mau sulit-sulit, tidak mau berpayah-payah, dan ingin praktisnya saja. Karena itu, penyusuan bayinya pun dialihkan tidak dengan ASI, melainkan dengan air susu sapi atau susu olahan lainnya. Jika pada akhirnya anaknya menjadi kader koplo, pendurhaka pada orang tua dan lain sebagainya, maka hal itu sebenarnya konsekuensi atas penyimpangannya dari fitrah yang telah menjadi sunnatullah. Oleh karena itu, hendaklah para ibu menyadari bahwa "bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian" adalah lebih baik daripada “bersenang-senang dahulu, tetapi sakit kemudian.”
Lebih-lebih dengan banyaknya kejadian ditemukannya zat-zat berbahaya pada susu formula untuk balita akhir-akhir ini, maka agaknya inilah momen yang sangat tepat untuk kembali kepada fitrah. Kembali pada penyempurnaan penyusuan bayi dengan ASI selama 2 tahun penuh.
Wallôhu a’lamu bish-showâb.
***
0 comments:
Post a Comment