Nov 20, 2008

10 Karakter Sahabat Dalam al-Quran

Ketika Rasulullah Saw. Ditetapkan sebagai Khaatamun Nabiyin (penutup para Nabi), Allah Swt. Telah menjamin kemurnian agama ini dari berbagai tabdil (pergantian) dan tahrif (perubahan) hingga hari kiamat. Untuk itu, disiapkanlah manusia-manusia pilihan, manusia-manusia terbaik. Mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw.. Oleh karena perubahan itu berpangkal dari hawa nafsu, maka mereka pun diproduksi sedemikian rupa untuk mengemban tugas menegakkan agama dan menjaganya bagi para penghuni alam.

Dilihat dari namanya, sahabat bentuk jama’nya menjadi ashhaab berasal dari kata “shuhbah”, yakni berteman. Mereka diberi gelar sahabat karena mereka selalu menemani Rasulullah di kala bagaimanapun kondisi beliau. Di kala senang dan susah, di kala yakin dan bimbang. Mereka selalu “kintil” dengan Rasulullah, dalam arti selalu memperhatikan kepentingan Rasulullah dan segala aktifitasnya. Mereka sami’na wa atho’na pada apa yang didawuhkan Tuhannya maupun junjungannya (Rasulullah Saw.). Secara maksimal mereka kerahkan kekuatan untuk bersabar dan bersyukur sebagai dua ini ajaran agama.

Mereka bersabar tidak hanya dalam menahan gejolak nafsu, namun mereka juga bersabar dalam menjalankan keta’atan. Titah apapun mereka laksanakan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab, kecuali bila titah itu memang berada di luar kemampuan mereka. Bisa dibayangkan betapa sabarnya mereka dalam menerima titah jihad, bahwa muslim satu tidak boleh mundur selama musuh tidak lebih dari 10 orang. Padahal saat ini jihad lawan 2 musuh saja terasa berat sekali (Q.S. al-Anfaal: 65-66). Betapa sabarnya mereka saat qiyamullail (shalat malam) diwajibkan atas mereka selama satu tahun. Dan ketika setahun berlalu mereka tetap kontinu menjalankannya walaupun hukum qiyamullail telah berganti sunnah. Maka Madinah sebagai markas sahabat dikeal sebagai tempat singa di siang hari dan tempatnya para pendeta di malam harinya. Singa, karena mereka begitu lincah, giat, dan berani dalam aktifitas perjuangan, dengan harta maupun jiwanya. Mereka disebut pendeta, karena mereka melakukan shalat malam beserta munajat-munajatnya dengan penuh khusyu; dan tadlarru’. Suara tangis mereka menyusup sela-sela angkasa Madinah laksana suara kumbang. Alangkah agungnya mereka. Dikatakan, “Pendeta di malam hari, dan menjadi singa di siang harinya.”

Ketika turun ayat, “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan menghisabnya.” (Q.S. al-Baqarah: 284) mereka mengakui keberatannya. Mereka tidak mampu menjalankan titah itu. Tetapi ketidakmampuannya tidak menjadikan mereka putus asa, atau menjauhkan diri dari Nabi, mereka malah mendatangi junjungannya itu untuk kemudian minta saran dan petunjuk. “Ya Rasulullah, telah dibebankan kepada kami berbagai amalan; shalat, puasa, jihad dan shadaqah, kami telah sanggupi. Tetapi titah ayat ini ya Rasul tidak mungkin kami sanggup. “Maka Rasulullah menegurnya, “Apakah kalian menghendaki ucapan sebagaimana diucapkan oleh Yahudi dan Nasrani, “Kami mendengar tetapi kami tidak mau mengerjakan?”. Ucapkanlah sami’na wa atho’na dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu.” Teguran itu menyadarkan mereka untuk kembali pada posisi sami’na wa atho’na walaupun dalam puncak kondisi ketidakmampuan.

Selang beberapa lama setelah itu ketika lisan-lisan mereka telah tunduk dengan titah ayat itu, Allah Ta’ala lalu menurunkan ayat, “Rasul telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, dan rasul-rasulNya.” Q.S. al-Baqarah: 285.

Setelah diketahui kesabaran mereka menerima titah, seberat apapun titah itu. Allah Ta’ala kemudian memberikan dispensasi (rukhshoh) dengan menghapus (menasakh) hokum kedua ayat di atas melalu firmannya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.” Dispensasi untuk mereka tidak hanya itu saja, berkat ketabahannya beberapa permintaan mereka juga dikabulkanNya, sebagaimana dalam doa, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hokum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Q.S. al-Baqarah: 286.

Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak memcampuradukkan iman mereka dengan dhulm (kedhaliman), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Sahabat mengadukan ihwalnya kepada junjungannya, takut-takut jikalau mereka tersangkut dalam khitob “dhulm” ayat itu. “Siapa di antara kami yang tidak pernah melakukan dhulm, ya Rasulullah?” Mereka memahami bahwa dhulm adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mengambil sesuatu tanpa izin yang punya. Padahal disebut dalam ayat, orang yang melakukan dhulm tidak akan mendapatkan keamanan serta tidak termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Melihat keresahan sahabat, Rasulullah kemudian menjelaskan, “Dhulm buka seperti yang kalian maksudkan. Dhulm dalam ayat itu adalah kata lain dari perbuatan syirik. Perhatikanlah perkataan Luqman al Hakim pada putranya, “Sesungguhnya Syirik adalah dhulm yang agung” H.R. al-Bukhori, lihat tafsir Ibnu Katsir, II, 187.

Ketika turun ayat, “Wain minkum illa waariduhaa (Dan tidak seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu”, secara spontan mereka menangis sekeras-kerasnya. Betapa tidak ayat itu telah mewajibkan setiap orang, termasuk mereka memasuki neraka. Lantas Rasulullah menetramkan dengan kelanjutan ayat, “Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa.” Q.S. Maryam: 71-72. Tafsir Ibnu Katsir, III, 165. Anehnya ketika kita membaca ayat itu, tidak terlintas apapun di dalam hati. Itulah salah satu bedanya kita dengan sahabat.

Ihwal tersebut di atas mengindikasikan bahwa sahabat-sahabat itu identik dengan karakter mujaahidin (pejuang), auliyaa’ (kekasih Allah) dan du’aat (pengemban dakwah) sesuai dengan keberadaan mereka yang senantiasa berjuang, mendekatkan diri pada Allah dan mengemban dakwah agama Islam. Gelar sahabat mengecualikan manusia yang hidup pada zaman Nabi tetapi tidak mau berjuang, tidak mendekatkan diri pada Allah, dan tidak mengemban dakwah agamanya.

Ketika Rasulullah Saw. Wafat, terlihat kegigihan mereka dalam mempertahankan agama ini. Mereka relakan nyawanya untuk menumpas nabi-nabi palsu (mutanabbi) berikut para pendukungnya. Mereka menumpas habis gerakkan maker yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dari mereka keluar ratusan syuhada saat peperangan yang terpusat di Yamamah itu.

Keagungan yang demikian itu tidak terlepas dari tarbiyah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Bagaimana mereka itu tidak agung, gurunya saja Rasulullah Saw. sendiri.

Masa para sahabat habis hingga tahun 100 Hijriyah bersamaan dengan wafatnya sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah (wafat di Makkah tahun 100 Hijriyah). Imam Muslim bin Hajjaj mengakui bahwa beliau adalah sahabat yang paling akhir wafatnya, pendapat itu didukung pula oleh Imam Ibnussholah. Dalam hal ini Ahli Ilmu menggubah baik syi’ir sebagai berikut:

Paling akhirnya sahabat yang meninggal adalah Abu Thufail Amir bin Watsilah.

Lihat al-Manhal al-Lathif, 194.

[]


0 comments: