Nov 25, 2008

Zakat kepada Orang Tua

Pertanyaan:

Saya seorang ibu rumah tangga yang kebetulan memiliki penghasilan. Ketika tiba akhir tahun saya pun alhamdulillah secara rutin mengeluarkan zakatnya. Ada hal yang perlu kami tanyakan kepada pengasuh Fas’alu, bolehkan saya memberikan zakat tersebut kepada ibu saya yang tidak tinggal serumah dengan saya dan hanya tinggal sendiri secara mandiri?

Muthahharah
Pujon Malang

Jawaban:

Di antara persyaratan orang yang berhak menerima zakat adalah hendaknya bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh orang yang berzakat. Jadi tidak sah memberikan zakat kepada kedua orang tua, kakek dan seterusnya atau kepada anak cucu sebab mereka wajib dinafkahi oleh muzakki. Sementara hak menerima zakat adalah atas dasar kebutuhan, dan kebutuhan itu hilang dengan adanya kewajiban menafkahi. Atau karena masing-masing dari kedua orang tua, kakek nenek, anak cucu semuanya berhak memanfaatkan harta benda muzakki (meski tanpa melalui zakat). Ini semua jika pemberian zakat tersebut atas nama Fakir Miskin. Jadi bila ada alasan lain, misalnya Gharim atau Amil, maka sah saja memberikan zakat meski kepada orang yang wajib dinafkahi.

Berbeda dengan kedua orang tua, kakek nenek dan seterusnya serta anak cucu dan seterusnya, zakat bolah diberikan kepada kerabat dekat seperti saudara perempuan, saudara lelaki, bibi dari ayah atau dari ibu dan kerabat lainnya atas nama Fakir Miskin berdasarkan hadits:

“Sedekah (zakat) kepada orang miskin adalah sedekah. Sedang kepada kerabat adalah sedekah dan shilah (menyambung sanak).” (HRThabarani dari Salman bin Amir. Lihat al Fiqhul Islami 2/885. Cet ke 3 Darul Fikr 1989)

Jadi secara mudah bisa dijelaskan bahwa zakat itu distribusinya adalah ke samping kanan dan kiri, bukan ke atas dan ke bawah.

[]

Memaknai Usia

Hadirin Sidang Jumat yang berbahagia hafizhakumullah,

Matahari terbit tiap hari. Siang malam susul-menyusul datang bergantian. Detik, menit, dan jam terus berjalan tiada berhenti. Hari berganti hari. Hari-hari menjadi minggu, bulan, dan tahun. Itu semua adalah manifestasi usia. Ia terus bergerak dan bergulir dan bila berlalu tidak akan kembali.

Usia ibarat mesin di sebuah perusahaan. Ia senantiasa beroperasi, dari tahun alif hingga tahun dal. Bila mesin yang terus beroperasi itu tidak dimanfaatkan, maka hitunglah berapa kerugian yang diderita perusahaan tersebut. Saat ini bukanlah saat kemarin. Dan saat ini tidaklah sama dengan esok dan lusa.

Oleh karena terus berjalan, pergerakan usia berarti sangat cepat dan singkat. Tiap dengus nafas yang kita keluarkan adalah bagian dari usia kita. Ia adalah pedang yang sangat tajam. Ia tidak menanti orang lengah lagi berpaling hingga ia sadar. Orang yang lengah dan siapapun yang tidak sadar akan digilasnya.

Hasan al-Bashri berkata, “Setiap hari ketika fajar merekah ada penyeru dari sisi Tuhan memanggil, ‘Wahai anak Adam, aku adalah makhluk baru dan aku menjadi saksi atas perbuatan kalian. Maka berbekallah dariku dengan amal shaleh. Sesungguhnya jika aku berlalu, maka aku tidak akan kembali lagi sampai hari Kiamat.” (Khuluqul Muslim, hal. 227)

Setiap hari matahari terbenam. Ada yang bekerja dan berhasil, dan ada yang bekerja namun merugi. Dan hari yang misterius ini akan menjadi saksi bagi manusia.

Hasan al-Bashri berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah hari-hari. Bila satu hari lepas, maka lepaslah sebagianmu.” Dia juga bertutur memberikan kesan, “Aku mendapati satu kaum (generasi sahabat) yang dalam hal waktu mereka lebih sigap dan disiplin dibanding dengan sigap dan disiplinmu saat ini dalam mencari dirham dan dinar.”

Pergerakan usia yang cepat dan singkat akan bertambah cepat dan singkat temponya manakala zaman telah menjelang akhir seperti sekarang ini. Rasanya pagi hari baru tadi kita rasakan, kini sudah masuk malam. Sepertinya baru kemarin tahun 2000, kini sudah 2008. Seakan-akan baru kemarin usia kita 25 tahun, kini sudah menapaki 45 tahun. Subhanallah. Rasulullah Saw. bersabda,

Tidak akan tiba hari Kiamat sehingga tempo zaman menjadi pendek (singkat). Tahun menjadi seperti bulan. Bulan menjadi seperti minggu. Minggu seperti hari. Hari seperti sesaat. Sesaat seperti laksana nyala api. (H.R. Tirmidzi)

Hadirin Sidang Jumat yang berbahagia hafizhakumullah,

Pergerakan usia yang cepat tentunya harus diikuti dengan kesigapan dan kedisiplinan memanfaatkan dan mengelolanya. Bila tidak, seperti dominannya kebiasaan menunda-nunda waktu, tentunya kerugian dan penyesalan yang akan diterima. Hidup hanya sekali, maka hiduplah yang berarti. Usia hidup kita saat ini tidak akan kembali untuk kedua kalinya.

Karena itu, kita harus mengikat usia itu dengan berbagai aktivitas yang diridlai Allah Swt., baik dengan ibadah, dzikir, berdakwah, mencari ilmu, bekerja mencari sumber penghidupan (maisyah), membaca al-Qur’an, tafakkur, dan sebagainya. Usia jangan sampai terbuang sia-sia tanpa aktivitas yang berguna, menganggur, atau digunakan justru dengan aktivitas kedurhakaan, atau ditunda-tunda. Usia adalah peluang. Peluang itu harus direbut, sebab bila telah lewat, ia tidak akan bisa lagi kita dapati.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Aku tidak menyesal kepada sesuatu melebihi penyesalanku kala matahari terbenam, ajalku berkurang, sedang amalku tidak bertambah.” (Qîmah az-Zamân ‘inda al-Ulamâ’, hal. 27)

Usia yang kita miliki merupakan hujjah bagi kita. Maknanya, usia akan menjadi pembantah dari berbagai alasan yang akan kita kemukakan kelak di yaumil mizan. Usia akan dimintai pertanggungan jawabnya. Kita bisa mendapatkan siksa dari Allah Swt. manakala usia tidak kita manfaatkan dengan baik dan benar. Mari kita renungkan bantahan Allah Swt. terhadap argumentasi orang-orang kafir, ketika mereka meminta dikeluarkan dari neraka dan berjanji akan mengerjakan amal shaleh.

Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan." Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun. (Q.S. Fâthir: 37)

Hadirin Sidang Jumat yang berbahagia hafizhakumullah,

Usia adalah tempo (tenggang waktu) yang dikaruniakan Allah Swt. agar kita manfaatkan. Kita masing-masing tidak tahu berapa tempo usia yang menjadi jatah kita. Sementara ajal kematian selalu mengintai setiap detak napas kita. Saat kita sehat, kesehatan itu bisa disusul oleh sakit dan saat kita longgar (punya waktu luang), kelonggaran itu bisa disusul oleh berbagai kesibukan dan kendala. Maka, kapan lagi kita memanfaatkan usia, kalau tidak sekarang ini. Senyampang masih diberikan kesehatan dan waktu luang. Tempo usia kita kelak dari saat ke saat akan dihisab. Sabda Rasulullah Saw.,

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bisa menapak pada hari Kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara; tentang usianya bagaimana dia menghabiskannya, tentang masa mudanya bagaimana ia mempergunakan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan ke mana dia mendistribusikan, serta tentang ilmunya, apa yang dia amalkan dari ilmunya itu. (H.R. Tirmidzi dari sahabat Abu Barzah al-Aslami)

Alangkah menyesalnya kita di akhirat kelak ketika menyadari bahwa banyak dari tempo usia kita yang kita sia-siakan. Tidak kita manfaatkan kecuali untuk kedurhakaan atau untuk hal-hal yang tidak berguna. Kelak, penduduk surga akan menyesali diri atas satu waktunya yang berlalu tanpa digunakan berdzikir kepada Allah Swt. Jika ahli surga saja merasa rugi dengan satu waktunya yang berlalu tanpa digunakan berdzikir, bagaimana dengan orang yang belum tentu menjadi penghuni surga yang sekian banyak waktunya terbuang sia-sia. Lalu bagaimana pula dengan orang-orang kafir penghuni neraka, betapa nyata rugi mereka atas usianya, yang berlalu dengan kelalaian (al-ghaflah wa al-nisyan), yang melampaui batas kepada Allah Swt.

Sahabat Muadz bin Jabal ra. menceritakan hadits dari Rasulullah Saw.,

Tidak ada yang membuat penghuni surga menyesal atas kehidupannya di dunia, kecuali atas berlalunya beberapa saat tanpa diisi dengan dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla di dalamnya. (H.R. Thabarani)

Sebelum terlambat, tempo usia semestinya diantisipasi dengan memberi makna-makna yang anggun di dalamnya, sebelum usia itu habis jatah temponya, atau senyampang belum datang ketuaan, pikun, sakit, kesibukan, kefakiran, dan lainnya yang merintangi kita memanfaatkan usia secara leluasa.

Usia semestinya juga tidak disia-siakan dengan menunda-nunda aktivitas yang positif (amal shaleh), karena sikap menunda-nunda sendiri akan menggerogoti usia kita. Ironisnya, sikap menunda-menunda dan tidak ambil peduli dengan usia merupakan fenomena kebanyakan umat manusia sekarang ini. Mereka sama tertidur (tidak sadar) dan baru tersadar ketika maut menjemputnya. Rasulullah Saw. memperingatkan,

Ada dua kenikmatan yang banyak membuat manusia terpedaya, yaitu kesehatan dan kesempatan (waktu luang). (H.R. Bukhari)

***

Merangkai Umur Kedua di Dunia

Bismillahirrahmanirrahim


“Dan jadikanlah untukku buah tutur yang baik bagi orang – orang ( yang datang ) kemudian.“ Q.S. Asy-Syu’ara’: 84.


Uraian Ayat

Do’a di atas adalah salah satu rangkaian permohonan yang diajukan oleh Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Dan kiranya permohonan beliau telah dikabulkan oleh Allah Swt. Ibadah haji yang dilakukan oleh jutaan manusia dari penjuru dunia, ritual pokoknya adalah menapaktilasi jejak Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. Nama beliau senantiasa disebut oleh setiap generasi yang pernah hidup sesudahnya hingga sekarang. Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam sendiri guna menghormati do’a Nabi Ibrahim di atas juga mengajarkan kepada umat agar membaca shalawat Ibrahimiyyah dalam setiap kali shalat. Dan yang terpenting dari wujud pengabulan do’a di atas adalah keberadaan Nabi Ibrahim a.s. yang diakui dan dicintai oleh setiap pemeluk agama dan bahkan mereka mengklaim sebagai keturunan dan penerus sah agama Nabi Ibrahim a.s.. Lisan shidq, sebutan baik dan namanya yang senantiasa dikenang tidak lain adalah pahala Allah yang diberikan kepada Nabi Ibrahim a.s. di dunia sebagaimana firman Allah:

“...dan Kami memberikan pahala kepadanya di dunia ...“ Q.S. Al-Ankabut: 27.


Terkabulnya do’a Nabi Ibrahim a.s. ini bukanlah seperti tumbuhnya jamur di musim hujan. Semuanya adalah sebagai penghargaan atas perjuangan, langkah dan usaha keras yang telah dilakukan. Sejak muda beliau hidup di tengah komunitas yang tak satupun menyembah Allah. Beliau adalah satu - satunya manusia yang mengesakan Allah. Kendati demikian, semangat tetap membara untuk mengenalkan manusia kepada Allah dengan segala resiko yang harus dihadapi. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat yang patuh kepada Allah, hanif dan dia tidak pernah menjadi termasuk orang - orang musyrik “ Q.S. An-Nahl: 120.

Do’a Nabi Ibrahim a.s. di atas mengajarkan kepada umat manusia supaya berusaha dan berjuang agar namanya selalu dikenang sapanjang zaman, meski tubuhnya telah terpendam di dalam tanah. Hal ini bisa tercapai dengan meneliti dan mempelajari lebih jauh tentang Nabi Ibrahi a.s., manusia pertama yang mengajukan permohonan tersebut, tentang para tokoh generasi penerus beliau dari para Nabi ‘alaihimussalam anak keturunan beliau serta para pewaris para nabi yang tidak lain adalah para ulama rahimahumullah. Dari meneliti dan mempelajari kehidupan mereka secara otomatis akan memunculkan motivasi untuk meniru dan meneladani gerak langkah, usaha dan perjuangan yang mereka lakukan sehingga mereka mendapatkan (qabul) penerimaan dari Allah dan pahala yang terus menerus mengalir, di mana hal ini bisa dibuktikan dengan sebutan harum, jasa-jasa mereka yang senantiasa disebut dan dikenang sepanjang masa.

Jika apa yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. tidak mendapatkan qabul tentu nama dan usaha beliau dan keluarga tidak akan pernah disebut-sebut lagi. Jika yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. tidak mendapatkan qabul dari Allah, tentu Allah dan malaikat-Nya tidak akan bershalawat serta memerintahkan supaya kaum beriman senantiasa bershalawat kepada Rasululllah Saw. Jadi perintah bershalawat merupakan bagian dari bab ““...dan Kami memberikan pahala kepadanya di dunia ...“ Q.S. Al-Ankabut: 27. Kasus pada Nabi Ibrahim dan Rasulullah ‘alaihimasshalatu wassalam bisa menjadi cemin bagi kita semua untuk melihat apa yang terjadi dan dialami oleh para ulama pejuang seperti halnya wali songo, atau para pendiri ormas Islam dan para pendiri pesantren dan lembaga pendidikan Islam seperti halnya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, NU, Muhammadiyyah dan lain sebagainya. Jika apa yang dilakukan oleh para pendiri tidak mendapatkan qabul, tentu komunitas yang mereka rintis akan berhenti di tengah jalan dan nama para perintis pun tidak akan pernah disebut-sebut lagi.

Lisan Shidq & Sunnah Hasanah

Lisan Shidq, sebutan yang baik dari uraian di atas bisa dipahami sebagai tidak lain adalah langkah merintis sebuah usaha yang memberikan manfaat (Sunnah Hasanah) secara berkesinambungan, terus menerus, tidak pernah berhenti hingga melewati batas masa kehidupan di dunia. Islam, dalam hal ini Rasulullah Saw., telah memberikan petunjuk secara gamblang langkah–langkah yang menjadikan pemiliknya terus dikenang, namanya selalu disebut dan memperoleh pahala yang terus mengalir.

“Sesungguhnya amal kebajikan yang selalu menyusul seorang yang beriman setelah kematiannya adalah: 1) ilmu yang ia sebarkan, 2) anak shaleh yang ia tinggalkan, 3) mushaf yang ia wariskan, 4) masjid yang ia dirikan, 5) rumah yang ia bangun untuk musafir, 6) sungai yang ia alirkan, dan 7) sedekah yang ia keluarkan dari hartanya semasa sehat dan hidupnya.“ (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah r.a.)

Mengomentari hadits ini, Imam Suyuthi mengatakan: Dalam hadits Ibnu Majah ini disebutkan ada tujuh perkara, sementara jika mengikutkan hadits lain, maka akan terkumpul menjadi sepuluh yaitu: [Jika anak Adam mati maka amal-amalnya tidak berjalan kecuali sepuluh: Ilmu yang ia sebarkan, do’a anak keturunan, menanam kurma, sedekah jariyah, mewariskan mushaf, benteng pertahanan, menggali sumur, mengalirkan sungai, rumah yang dibangunnya untuk persinggahan pengembara, atau membangun tempat berdzikir.]

Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi menambahkan lagi satu hal hingga jumlahnya menjadi sebelas, beliau berkata: Dan mengajarkan Al-Qur’an yang mulia. Maka ambillah semuanya (sebelas perkara) dari hadits-hadits dengan ringkas.

Dari sebelas perkara di atas jika dirinci juga akan menjadi lebih banyak lagi. Apalagi ada hadits dari Rasulullah Saw.:

“Barang siapa membuat suatu sunnah hasanah (perbuatan baik) dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang – orang yang melakukan setelahnya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka...” (H.R. Muslim, Ahmad, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah)

Bahasa Sunnah Hasanah tentu saja bisa dipahami sebagai bahasa umum yang tidak terbatas pada aktivitas tertentu. Bahasa ini tidak lebih hanya memberikan standar yang maknanya bisa dijabarkan dengan berbagai macam merintis aktivitas yang bernilai ibadah, baik berupa aktivitas tubuh atau hanya sekedar ucapan saja seperti halnya membuat atau merangkai suatu wirid tertentu yang kemudian wirid itu diamalkan banyak orang, semisal Tahlil, Dzikir Jama’i dan aneka ragam Ratib dan Hizib. Jadi barang siapa membuat Sunnah Hasanah, berarti ia berpeluang mendapatkan Lisan Shidq, pahala yang terus mengalir dan tentu saja derajat yang terus meningkat. Analogi dari hal ini adalah undang-undang dalam bisnis MLM (Multi Level Marketing) di mana orang pertama yang berhasil membuat jaringan akan terus mendapatkan poin dan semakin banyak jaringan itu berkembang dan bercabang, maka poin yang didapatkannya semakin besar.

Kenyataan Sunnah Hasanah di atas memberikan makna akan ketinggian derajat Rasulullah Saw. “Tidak ada orang yang setiap detik naik derajat kecuali Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam” Demikian Prof. DR. Abu As-Sayyid Muhammad menyatakan. Ini karena dalam setiap detik pasti ada orang yang berbuat baik dan mendapat pahala yang berarti ada poin untuk beliau shollallôhu ‘alaihi wasallam selaku manusia pertama yang mengajak dan menjadikan kebaikan tersebut mempunyai nilai.

Dalam Dzikrayat wa Munâsabât hal 136 disebutkan: Di antara keistimewaan Rasulullah Saw. adalah bahwa Allah menulis pahala untuk setiap nabi sesuai dengan amal-amal, aktivitas dan ucapan umatnya. Sementara umat Nabi Saw. adalah separuh penduduk surga, selain mereka disebutkan oleh Allah sebagai umat terbaik. Mereka menjadi umat terbaik karena memiliki suatu makrifat, hal, ucapan dan amal yang menjadikan mereka mendekat kepada Allah atas petunjuk dan ajakan Rasulullah Saw. yang berarti beliau berhak mendapat bagian pahala sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Barang siapa mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala – pahala para pengikutnya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka...” (H.R. Imam Muslim, Imam Ahmad, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i dari riwayat Abu Hurairah r.a.)

Wallôhu a’lamu.

Nov 24, 2008

Nov 22, 2008

Adzab Kubur dalam Al-Qur’an

Pertanyaan:

Adzab kubur merupakan salah satu aqidah ahlu sunnah wal jama’ah karena begitu banyak hadits yang menjelaskan terkait hal itu. Sebagai seorang da’i beberapa kali saya ditanya di manakah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang adzab kubur?

Ikhwan di Ngantang

Jawaban:

Imam al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah menyebutkan banyak ayat yang menjelaskan siksa kubur. Ayat-ayat tersebut adalah:

1) Firman Allah:

“Dan siksaan yang buruk mengitari keluarga fir’aun. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang...” Q.S. Al-Mu’min/Ghafir: 46.

Maksud siksaan dalam ayat di atas adalah siksa kubur.

2) Firman Allah:

“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).“ Q.S. At-Takatsur: 3-4.

Ibnu Abbas r.a. berkata, “...kelak kamu akan mengetahui...” yang pertama maksudnya adalah siksa kubur. Sedang ”...kelak kamu akan mengetahui...” yang kedua adalah siksa akhirat.
Zirr bin Hubesy meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata, “Dulu kami ragu tentang siksa kubur sehingga turun firman Allah (di atas).”

3) Firman Allah:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..." Q.S. Thaha: 124.

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: Orang beriman dalam kuburnya berada dalam pertamanan. Diluaskan kubur untuknya seluas 70 dziro’ dan diberikan penerangan baginya laksana bulan malam purnama. Tahukah kalian tentang apakah ayat ini turun, “maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit"? Para sahabat menjawab, “Allah dan utusan-Nya yang lebih mengerti.” Beliau bersabda:

“Siksaan orang kafir dalam kuburnya. Demi Dzat yang diriku berada dalam tangan-Nya, sesungguhnya dikuasakan atas orang kafir itu 99 ular besar yang menyembur dalam tubuhnya, menyengat dan mematuknya hingga Hari Kiamat.” (H.R. Abu Ya’la, al-Ajuri, Ibnu Mandah)

Selain disebutkan oleh Imam al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah, hadits tentang kaitan ayat Q.S. Thaha 124 di atas juga disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam Syarhus Shudûr hal 147 hadits ke 713.

Wallôhu a’lamu.

[]

Khitan bagi Wanita

Pertanyaan:

Badan kesehatan dunia WHO mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa Khitan bagi wanita secara medis sebaiknya tidak dilakukan. Bagaimanakah sebenarnya prinsip Islam terkait Khitan bagi wanita?

Akhawat
di Surabaya

Jawaban:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi lelaki. Imam Sya’bi, Rabi’ah, al-Auzai, Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa khitan hukumnya wajib. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan, “Barang siapa yang belum berkhitan, maka tidak boleh menjadi Imam dan persaksiannya tidak diterima.” Sementara Imam Abu Hanifah dan Hasan al-Bashri menyatakan bahwa khitan hukumnya sunah bagi laki-laki. Ada banyak dalil bagi masing-masing pendapat terkait dengan ijtihad mereka yang di sini bukan tempat untuk menyebutkannya.

Sementara itu, seluruh ulama fiqih dan para imam mujtahid sepakat bahwa khitan bagi wanita hukumnya Mustahab (sunah). Kecuali dalam sebuah versi (dari dua versi) riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal bahwa khitan wajib hukumnya bagi wanita (Tarbiyatul Aulâd fil Islâm 1/114). Pendapat wajibnya berkhitan bagi wanita ini dikuatkan oleh Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi dalam kitab Ahkâmunnisâ’ bab keenam, “Di antara dalil bahwa berkhitan itu hukumnya wajib bagi wanita adalah kenyataan bahwa dalam berkhitan ada tindakan menyakiti diri (Iilâm) dan juga membuka aurat. Andai khitan tidak diwajibkan tentu kedua hal tersebut tidak diperbolehkan seperti halnya bertato.”

Dari sini bisa dimengerti bahwa khitan (bagi pria/wanita) dalam Islam mendapatkan cukup perhatian. Buktinya, tidak ada hukum kecuali wajib dan sunnah di mana keduanya mengandung unsur memberikan dorongan. Ini karena khitan itu sendiri merupakan ciri khas agama Nabi Ibrahim a.s. yaitu agama Islam. Imam Qatadah berkata, “Orang Yahudi mencetak dan mencelup anak-anak mereka dengan celupan Yahudi, Nashrani mencelup anak-anak mereka dengan celupan Nashrani, dan sesungguhnya celupan Allah adalah Islam.”

Karena menjadi salah satu ciri khas Islam, maka khitan harus dibudayakan di kalangan anak-anak perempuan Islam seperti dipahami dari hadits, “Jika kedua khitan bertemu, maka wajiblah mandi.” Imam Ahmad berkata, “Ini menunjukkan bahwa para wanita tempo dulu (generasi sahabat) juga berkhitan.”

Kenyataan bahwa wanita generasi sahabat juga berkhitan ditunjukkan pula oleh hadits dari Ummu Athiyyah al-Anshari, “Sesungguhnya ada perempuan melakukan khitan di Madinah, kemudian Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam bersabda:

‘Janganlah berlebihan dalam mengikis, karena hal itu menjadikan lebih baik bagi isteri dan lebih disukai suami.’” H.R. Abu Dawud.

[]

Susui Bayi dengan ASI 2 Tahun Penuh


Dewasa ini banyak orang tua yang mengeluhkan problem anak-anaknya. Di antara mereka merasa heran, sebab problem yang menimpa anak semakin lama semakin menjadi-jadi, kompleks dan tak jarang aneh.

Betapa tidak? Penyakit lahiriah yang bisa menyerang anak-anak misalnya tambah beragam, padahal obat dan berbagai solusi kesehatan yang diiklankan televisi bertambah gencar dan seabrek banyaknya. Begitu pula penyakit batiniah, semacam malas ibadah, nakal, bandel, lemah daya nalar dan lain-lain. Padahal lembaga dan sistem pendidikan disebut-sebut semakin bonafid dan modern. Nah, apakah ada kesalahan? Dimanakah letak kesalahan itu?


Menyimpang dari Fitrah

Islam menetapkan suatu aturan sesuai dengan fitrah manusia. Jika kemudian aturan itu tidak diterapkan dan malah beralih pada alternatif lain, maka hal itu berarti keluar dari fitrah. Jika keluar dari fitrah, maka konsekuensinya tidak diragukan lagi adalah munculnya berbagai problem. Semakin bertambah melenceng dari fitrah, maka bertambah pula problem-problem itu.

Munculnya berbagai problem pada anak itu barangkali lebih bijak bila disebut sebagai akibat saja, dan bukan sebagai penyebab. Lantas apa penyebabnya? Penyebabnya boleh jadi karena orang tua telah menjauhkan diri dari fitrah yang telah ditetapkan oleh Islam. Ketika orang tua menjauhkan diri dari fitrah, maka akibatnya adalah munculnya berbagai problem yang menimpa anak-anaknya. Dan diantara fitrah itu adalah penggunaan air susu ibu (ASI) selama dua tahun penuh. Hal itu telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:


“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan …” (Q.S. Al-Baqarah: 233)

Dewasa ini betapa banyak orang tua yang menggunakan alternatif lain di luar ASI atau kalaupun menggunakan ASI, namun tidak sampai sempurna 2 tahun. Salah satu dampak negatifnya adalah orang tua setiap saat disuguhi kondisi fisik dan kondisi mental anaknya yang tidak menyenangkan. Abdul Mun'im Qudzail dalam bukunya “At-Tadâwy bil-Qur'ân” halaman 79 menyebutkan, "Bayi yang disusui selain ASI akan lebih mudah diserang aneka ragam penyakit dibandingkan dengan bayi yang disusui langsung oleh ibunya dengan ASI."

Memang penggunaan ASI tidak berhukum wajib. Namun seharusnya bukan soal wajib dan tidaknya itu yang menjadi standar, melainkan oleh karena sangat banyaknya pengaruh positif ASI pada anak, disebabkan kelebihan-kelebihannya, berikut rahasia-rahasia ilahiahnya. Alangkah indahnya jika saat ini orang tua bergegas kembali kepada fitrah. Bergegas untuk menyusui bayinya selama 2 tahun penuh.

Kelebihan ASI


ASI merupakan makanan bayi yang kaya akan protein. Di dalamnya terkandung tenaga atau energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan pengganti lainnya. Di dalam ASI terdapat zat anti bodi atau zat anti infeksi. Zat ini memberikan ketahanan tubuh bayi dari serangan penyakit.

ASI adalah satu-satunya zat makanan bagi bayi yang steril. Berbeda dengan makanan pengganti lainnya yang harus disterilkan terlebih dahulu. Tidak ada seorang dokterpun yang membantah bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Tidak ada jenis makanan buatan yang mendekati atau semutu dengan air susu ibu ini. ASI mulai dari tetes pertama sampai tetes terakhir, yang dapat diproduksi oleh ibu, ternyata mengandung semua zat-zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, yaitu zat pembangun, zat pengatur, dan zat tenaga.

Tentang kelebihan ini Rasulullah Saw. bersabda: "Tidak ada penyusuan kecuali penyusuan yang menyembulkan tulang dan menumbuhkan daging." (H.R. Abu Dawud).

Hadits ini menyiratkan bahwa untuk membentuk tulang yang kuat serta menumbuhkan daging yang bagus diperlukan penyusuan dengan ASI. Ulama' As-Syafi'iyah dengan argumentasinya mengatakan, "Air kencing bayi (laki-laki) dihukumi najis mukhoffafah (najis yang ringan) selama belum makan sesuatu kecuali air susu ibu dan belum sampai pada umur dua tahun." Persyaratan "belum makan selain ASI" itu menyiratkan bahwa dengan mengkonsumsi ASI saja berarti bayi masih bersih. Bila sudah tercampur dengan makanan lain atau air susu buatan (formula), maka air kencingnya sudah tidak dianggap bersih, sehingga dihukumi seperti air kencingnya orang dewasa (najis mutawassithah). Hadits itu juga menyiratkan bahwa apabila dikehendaki oleh orang tua, ASI mampu mencukupi segala kebutuhan bayi selama dua tahun penuh walaupun tanpa ditambahi makanan apapun.

ASI di samping menguntungkan bayi juga menguntungkan ibu yang menyusukannya. Rahim ibu lebih cepat pulih seperti sebelum hamil, kemungkinan ibu terserang kanker buah dada menjadi berkurang, serta dapat menjarangkan kehamilan (KB Islami).

Dalam proses penyusuan, banyak hal yang bermanfaat bagi ibu dan bayi. Oleh sebab itu, menyusui bukan semata-mata hanya untuk memberikan makanan bagi bayi demi kelangsungan hidupnya, akan tetapi menyusui juga berfungsi memberikan kepuasan emosional yang dibutuhkan bagi bayi. Hubungan psikologi yang kontinyu secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara ibu dan anak . Di sinilah letak pentingnya menyusui, yaitu sebagai kunci keberhasilan dalam membentuk kepribadian si anak dalam proses melakukan penyusuan langsung oleh ibu.

Dengan penyusuan ASI akan tumbuh keterikatan antara ibu dan bayi. Kemudian dari rasa keterikatan itu, bayi akan lebih mengenal lingkungannya. Karena lingkungan pertama yang dijumpai adalah ibu, maka bayi sudah dapat membedakan antara puluhan wanita lain dengan ibunya. Tidak jarang dijumpai, anak akan menangis tatkala sedang mesranya diemban oleh ibunya lalu diambil alih orang lain. Dengan keterikatan itulah bayi dapat mengembangkan suatu mental image mengenai ibunya, terutama pada wajah ibunya yang setiap hari menyusuinya. Hal ini memberikan reaksi pada bayi, ia merasa takut bila ada orang asing mendekatinya, karena belum kenal dan belum ada rasa keterikatan.

Dengan adanya rasa keterikatan itu, seorang ibu akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri. Ibu akan mempunyai kesempatan yang lebih leluasa untuk memeluk, melimpahkan rasa kasih sayang dan merapatkan tubuhnya (hanânatul Umm) untuk memberikan support (dorongan) pada bayi dan juga perangsang pada alat indra bayi, sehingga bayi lebih aktif dalam memberikan respon gerakan ibu. Dari pihak bayi, tingkah laku lengket tadi ditandai dengan tangisan jika ibunya suatu saat pergi meninggalkannya. Anak akan merasa senang bila obyek kelekatannya datang menghampiri dan menggendongnya. Bila anak sudah betah dengan lingkungan yang ada dan merasa terikat, maka terjadilah hubungan batin dengan ibunya yang tidak akan terputuskan.

Mengapa Harus 2 Tahun?

Islam menganjurkan ibu untuk menyusui anaknya secara terus-menerus sampai dua tahun penuh. Barangkali rahasia batasan itu sebagaimana argumentasi yang dikemukakan oleh ulama' As-Syafi'iyah seperti disampaikan di atas. Batasan itu menyiratkan bahwa penyusuan itu selayaknya dilakukan selama masa dua tahun penuh dan hanya dengan ASI saja tidak dicampuri makanan lain. Jika ibu mulai menyusui bayinya tanggal 1 Syawal 1428 misalnya, maka dua tahun kemudian bertepatan tanggal 30 Ramadhan 1430 bayi tersebut harus disapih. Di samping itu, menurut penelitian para ahli, ibu yang menyusui secara baik dan benar selama 2 tahun penuh, maka 90% tidak terjadi kehamilan. Kalau Islam memerintahkan untuk menyusui bayi selama dua tahun penuh, maka berarti Islam sebenarnya menghendaki pengaturan keluarga atau penjarangan kehamilan (tahdid an-nasl) secara alamiah.

Penyusuan selama dua tahun penuh adalah sempurnanya. Bila dikurangi atau ditambah dapat tidak bertambah baik. Sayyidina Umar berkata, "Sesuatu jika telah sampai pada puncak kesempurnaannya, kemudian diubah, maka akan rusaklah sesuatu itu."

Hasil Jerih Payah

Seorang ibu yang menyusui bayinya dengan ASI selama dua tahun penuh tentu mendapati kesulitan-kesulitan. Karena itu, dirinya butuh perhatian ekstra. Ibu harus menjaga porsi makan dengan teratur (ibu bisa jadi cepat lapar), menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat serta menambah kesempurnaan makan agar ASI tetap lancar. Juga diperlukan kesabaran, jika perlu juga sampai menahan kantuk untuk menyusui bayinya, dan lain sebagainya.

Barangkali karena beratnya menyusui bayi itu, maka Islam kemudian memberikan dispensasi boleh tidak berpuasa Ramadhan kepada para ibu yang sedang menyusui bayinya. Bertambah berat beban yang ditanggung seorang ibu yang menyusui, maka bertambah ringanlah kaffaratnya. Imam As-Syafi'i berpendapat, ibu yang menyusui kemudian tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya saja, maka ia wajib meng-qadha (mengganti) puasanya, ditambah membayar fidyah sebanyak hari yang ditinggalkan. Jika mengkhawatirkan dirinya dan bayinya, maka ia hanya wajib qadla saja. Ini artinya Islam menghargai ibu yang mau menyusui bayinya dengan ASI.

Kesulitan-kesulitan di atas adalah mujahadah atau riyadloh-nya seorang ibu. Tentu saja dengan mujahadah dan riyadlohnya sedemikian rupa itu, bayi yang disusuinya akan menjadi generasi yang unggul fisik dan mentalnya serta tidak mudah terserang penyakit, baik penyakit lahir maupun penyakit batin. Hal demikian sebagai balasan dari Allah Swt. atas jerih payah ibunya.

Zaman sekarang, ibu kebanyakan tidak mau sulit-sulit, tidak mau berpayah-payah, dan ingin praktisnya saja. Karena itu, penyusuan bayinya pun dialihkan tidak dengan ASI, melainkan dengan air susu sapi atau susu olahan lainnya. Jika pada akhirnya anaknya menjadi kader koplo, pendurhaka pada orang tua dan lain sebagainya, maka hal itu sebenarnya konsekuensi atas penyimpangannya dari fitrah yang telah menjadi sunnatullah. Oleh karena itu, hendaklah para ibu menyadari bahwa "bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian" adalah lebih baik daripada “bersenang-senang dahulu, tetapi sakit kemudian.”

Lebih-lebih dengan banyaknya kejadian ditemukannya zat-zat berbahaya pada susu formula untuk balita akhir-akhir ini, maka agaknya inilah momen yang sangat tepat untuk kembali kepada fitrah. Kembali pada penyempurnaan penyusuan bayi dengan ASI selama 2 tahun penuh.

Wallôhu a’lamu bish-showâb.

***


Poligami: Dilakukan Boleh, Dianggap Mudah Jangan


Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan menjadikan ujian bagi perempuan mempunyai kecemburuan kepada madunya dan jihad atas laki-laki. Barangsiapa sabar dari mereka dengan penuh meminta ridho pada Allah, maka baginya syahid.”


Salah satu bagian dari ujian manusia adalah poligami. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisâ’ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Muqaddimah ayat ini adalah soal keadilan. Bagaimana hubungannya dengan anak yatim yang dikawini? Hal itu adalah praktek untuk memperhatikan anak yatim, baik perempuan maupun laki-laki. Betapa mereka harus diperhatikan, dari mulai ditinggal mati oleh ayah mereka ketika masih kecil. Mereka perlu dirawat agar kehidupannya berlanjut dengan baik. Ketika orang yang merawatnya menghendaki si anak perempuan yatim ini kemudian dikawini, maka Hal ini boleh dilakukan sebagai melanjutkan atau menyempurnakan berbuat baik. Pada waktu itu, tingkatan orang berbuat baik pada anak yatim memang adalah sampai pada tingkat mengawininya.

Tetapi apa yang kemudian terjadi?


Ketika praktek memperhatikan dan merawat anak yatim ini telah dilakukan, yaitu dengan merawatnya, membiayainya hingga mengawininya, lalu muncullah sifat buruk orang tersebut. Karena merasa sudah berbuat baik, timbul sifat sewenang-wenang. Akhirnya putri-putri yatim yang dikawini tadi mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika dulu begitu kasih sayang, tetapi setelah menjadi istrinya -- karena merasa telah berbuat baik -- istrinya tersebut diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Akhirnya Allah berpesan dalam surat An-Nisa: Jangan begitu! Jangan mengorbankan anak yatim. Coba, kalau berani, kawinilah yang lain (selain anak yatim), dua, tiga atau empat. Karena kalau dengan selain anak yatim, tidak akan seperti itu. Dengan selain anak yatim, tidak bisa seseorang meng-klaim bahwa dia telah berbuat baik, sehingga tidak akan berbuat sewenang-wenang. Sekarang coba, kawinlah dengan wanita yang lain.

Dari sini timbullah hukum bolehnya mengawini wanita: dua, tiga atau empat. Selain itu, ada juga kenyataan yang harus kita hadapi:
- Perempuan diciptakan lebih banyak dari laki-laki.
- Adanya resiko peperangan, dimana yang banyak mati adalah laki-laki.
- Perkawinan adalah demi kepentingan wanita itu sendiri. Ada hak dari Allah Swt. bahwa wanita adalah tanggung jawab laki-laki. Dengan begini, sebenarnya hidup itu mudah, jika kita mau mengikuti aturan Islam.

Lalu bagaimana kenyataannya setelah terjadi perkawinan poligami?

Berangkatnya perkawinan poligami seperti dijelaskan di atas adalah berhubungan dengan masalah seseorang tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Oleh karena itu, tidak ada seorang muslim yang boleh melakukan poligami kecuali karena alasan “dhoruroh”. Maknanya, tidak dibenarkan kalau menikah hanya sekedar memenuhi nafsu.

Mari kita perhatikan surat An-Nisa’ di atas, … kalau kamu takut tidak bisa berbuat adil, cukup kawini satu saja. Kalau tidak kuat mengawini perempuan merdeka, maka kawinilah budak-budak. Takut tidak dapat berbuat adil berkaitan dengan agar tidak berbuat aniaya. Sebab perbuatan aniaya berkaitan dengan kegelapan-kegelapan di yaumul qiyamah. Berbuat kezhaliman adalah kegelapan-kegelapan di akhirat. Jangan berpikir bahwa setelah berpoligami akan terbebas di akhirat karena perlakuan yang tidak adil. Contohnya seperti tersebut di dalam hadits, orang tersebut diancam akan “sengkleh pundake.” Seperti juga contoh orang yang membunuh dengan batu, maka di akhirat nanti dia akan memukuli kepalanya sendiri dengan batu.

Jadi, keputusan untuk berpoligami harus dipikir dulu masak-masak: apa ada kebutuhan yang sangat mendesak (darurat) yang melatarbelakanginya? Tidak hanya didasari oleh hawa nafsu belaka. Allah sudah memperingatkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 129 tentang hal ini:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebagai misal – dan ini banyak terjadi-- mengapa setelah menikah lagi, tidak pernah atau jarang mengunjungi istri pertama? Katanya istrinya, tetapi mengapa tidak pernah didatangi? Hal ini jelas berangkatnya bukan karena kebutuhan yang mendesak, melainkan lebih cenderung kepada yang satunya dan membiarkan yang lain terkatung-katung. Kenyataan ini sangat banyak terjadi, jika nafsu yang mendasari seseorang berpoligami. Ini adalah kezhaliman yang ada siksanya tersendiri di hari akhir kelak.

Lalu apa kebutuhan yang sangat puncak (azh-zhorûrotul quswâ) yang bisa mendasari seseorang untuk berpoligami? Diantaranya adalah:
1. Laki-laki ada yang syahwatnya besar, tengah-tengah, biasa, dan dingin. Ini namanya keberagaman hidup dari sisi syahwat yang diberikan Allah kepada manusia. Kita hidup sebagai seorang muslim. Dan suatu saat kebetulan ternyata kita mempunyai suami yang besar syahwatnya. Maka suami tidak cukup hanya mengawini seorang saja. Jika dia tidak menikah lagi, maka kemungkinan besar dia akan menyalurkan ke tempat lain atau berzina. Bayangkan, kira-kira ridhakah seorang istri jika suaminya berzina?

Padahal tujuan pernikahan adalah nanti bersama-sama di surga. Apalagi jika berkaitan dengan pekerjaan suami yang sering bepergian. Jika istri malah ridha suaminya masuk neraka (karena berzina), maka dia bukanlah muslimah yang baik.

Jadi, bila dimungkinkan ada alasan ini, maka berangkatnya dibolehkan. Hal ini dianggap termasuk kebutuhan yang sangat mendesak, dan bukan karena nafsu.

Jika niatnya tidak karena nafsu, maka suami tentu tidak akan meninggalkan istri yang satunya terkatung-katung. Buktinya, setelah menikah lagi, kepada istri pertama tetap mencintai, tetap baik seperti biasa. Memang, mencari orang yang seperti ini sangat sulit, yaitu orang yang sholeh dan baik. Karena jangan-jangan kalau tidak menikah lagi, si suami akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Untuk menghadapi hal ini, memang harus ada pihak yang berani menerima kenyataan.

2. Allah menakdirkan ada perempuan yang tidak bisa punya anak. Masalah anak adalah rezeki. Janganlah kita berpikir, jikalau mengikuti KB pasti tidak punya anak. Karena azl pun, jika Allah menghendaki terjadinya anak, maka tetap akan punya anak. Anak adalah urusan Alloh.

Bukan tidak mungkin ada kondisi seorang perempuan ternyata mandul. Dilihat dari ukuran secara zhahir, perempuan tersebut tidak bisa mempunyai anak. Walaupun tetap bisa terjadi punya anak, menurut ketentuan Allah. Akhirnya dengan demikian, kembali pada hikmah nikah adalah untuk mempunyai keturunan. Maka alasan ini bisa mendasari seseorang untuk menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Para ulama membolehkan hal ini. Tetapi jangan berpikir bahwa jika ada alasannya, maka pasti terjadi poligami. Masalah berpoligami atau tidaknya tetap kembali kepada tadbir Allah.

3. Target pernikahan adalah membentuk keluarga sakinah, mawaddah warohmah. Sedangkan mereka yang melakukannya adalah manusianya sendiri. Ini merupakan ujian dari Allah. Nabi Luth tentunya tidak akan kawin dengan wanita yang (ternyata) memusuhi beliau. Tetapi, Allah menguji beliau dari istrinya sedemikian rupa.
Manusia bisa diuji dari istrinya sendiri. Misalnya, seorang suami mendapat istri yang su’ul muamalah (buruk perlakuannya) kepada suami. Tidak ada baiknya dengan suami. Tetapi ternyata, suami tetap ingin sabar. Hal ini sudah menjadi tadbir Allah dan jangan disesali, jika ternyata ada yang tidak sesuai dengan harapan.

Tidak diperkenankan bagi seorang suami/istri mengatakan menyesal telah menikah dengan istri/suaminya. Karena, perkawinan bukan permasalahan yang mudah. Maka jangan dengan mudah pula menyesalinya, jika tidak sesuai dengan harapan. Ini tidak boleh sama sekali. Termasuk dosa besar.

Inilah salah satu yang menyebabkan banyak wanita masuk neraka. Apalagi jika seorang istri sampai mengatakan bahwa suaminya tidak bisa menyenangkan dirinya sama sekali. Dalam kondisi demikian, suami memang tidak bisa menceraikan. Hal ini mengingat bahwa perceraian adalah perkara yang meski halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah (kecuali sampai tidak bisa untuk bersama lagi sama sekali). Apalagi sudah ada anak dan sebagainya. Tetapi jika ternyata istrinya selalu berlaku tidak baik terhadap suaminya, lalu suami berkeinginan untuk membentuk keluarga (lagi), maka perkawinan itu bukanlah untuk selalu berselisih. Bagaimanapun di luar sana ada juga perempuan yang luar biasa perhatian dan mau melayani dengan baik. Maka daripada terus berada pada keadaan yang demikian, suami memilih jalan menikah lagi untuk membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Islam telah mengajarkan bahwa ada jalan keluar untuk setiap permasalahan.

Di samping itu, ada syarat-syarat keadilan yang harus dipenuhi jika seseorang berpoligami:
1. Nafkah (menafkahi istri-istrinya)
2. Liqo’ (bertemu dengan semua istrinya)
3. Mabid (bermalam di tempat istri-istrinya)

Ketika pemberian nafkah sudah mencukupi sesuai kebutuhan, jangan sampai salah satu istrinya terkatung-katung. Dalam hal pemberian nafkah yang adil, ukurannya memang relatif sekali. Dan ulama pun tidak pernah mensyaratkan nafkah batin haruslah sama.

Syarat yang kedua: harus bertemu (liqo’) dan ketiga: bermalam. Hal ini maklum jika satu kota, maka gilirannya 50:50. Tetapi kalau berlainan kota, maka barangkali tidak bisa sama. Dalam hal ini berlaku menggugurkan hak (tanâzul), agar laki-laki tidak dianggap berbuat zhalim. Contohnya, dalam kehidupan Rasulullah Saw., salah satu istri beliau pernah memberikan jatah gilirannya kepada istrinya yang lain.

Sebelum terjadi pernikahan (poligami) harus ada penawaran tentang hal ini. Jangan hanya menikah begitu saja. Harus ada kesepakatan yang berhubungan dengan syarat keharusan bertemu dan bermalam. Berbicara masalah kecenderungan hati, kecintaan dan perasaan, tidak menjadi persyaratan adanya kesamaan antara istri yang satu dengan yang lain.

Dalam pelaksanaan poligami, semua kembali pada ketentuan Allah. Semua kembali pada tadbir Alloh. Bahwa poligami adalah ujian bagi wanita dan jihad bagi laki-laki. Kenyataan ini, suatu saat bisa terjadi pada perempuan, karena memang sudah menjadi sifatnya (cemburu), tapi bagaimana sikapnya setelah itu?

Suatu saat Rasulullah sedang berada di rumah Sayyidatina Aisyah, lalu datang kiriman semangkuk bubur dari istri Rasulullah yang lain. Maka seketika itu juga Aisyah marah dan mengatakan apakah tidak tahu sekarang Rasulullah sedang di rumah siapa? Dan bubur itu pun ditumpahkan di hadapan Rasulullah. Melihat hal ini Rasulullah hanya diam saja, memaklumi kecemburuan Aisyah.

Kembali pada masing-masing, antara istri yang satu dengan yang lain, ada yang bisa bertemu, ada yang berlainan rumah, bahkan ada yang bisa berkumpul satu rumah. Kembali pada masing-masing untuk bisa mengerti.

Poligami memang tidak semudah yang dibayangkan. Segalanya kembali tawakal pada Allah. Begitulah Islam telah mengatur. Itulah ajaran Islam. Sekarang, kembali kepada kita masing-masing, jika bisa menerima keterangan di atas, berarti telah menunjukkan keimanan kita. Jika tidak bisa menerima, berarti hati kita masih perlu perbaikan.

Wallôhu a’lam.


[]

Keterangan foto:
Owner Ayam Bakar Wong Solo beserta istri-istri dan keluarganya.

Salam Sebelum Waktunya

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum orang yang ketinggalan rakaat shalat, tetapi ketika Imam salam orang tersebut ikut salam?

Akhowat, di Bumi Indah Pujon

Jawaban:

Jika orang tersebut sengaja salam, maka jelas shalatnya batal. Jika lupa bahwa dirinya masih belum shalat dengan bilangan rakaat yang tepat, maka bila belum lama, ia langsung meneruskan. Jika sudah lama, maka ia mengulang shalat dari pertama.

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam salam ketika shalat Ashar baru mendapatkan dua rakaat, seorang bernama Kharbaq bin Amar atau yang dikenal dengan Dzul Yadain bangkit dan bertanya, “Apakah shalat diperpendek atau engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah Dzul Yadain benar?” Orang-orang mengiyakan dan Rasulullah Saw. pun langsung bangkit dan meneruskan lagi dua rakaat, kemudian melakukan sujud sahwi.

Kisah terkait ini disebutkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dan Imam Malik dalam al-Muwattho’ pada bab ma yaf’alu man sallam min rak’ataini. (Bab ke-15 dari Kitabus Shalat) .

***

Nov 20, 2008

Memotret Kekinian dengan Kacamata Al-Qur’an



Judul: Seri Tafsir Tematik: Rumah Hati dengan Cahaya Ilahy
Penulis: KH. Muhammad Ihya Ulumiddin
Penerbit: an-Nuha Publishing, Pujon, Malang
Terbit: Sya’ban 1429 H/Agustus 2008
Tebal: +274 hal

Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh ‘Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-Azhim:

“Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang Anda lihat.”


Penulis buku ini pun mengatakan bahwa Al-Qur’an itu laksana samudera luas lagi dalam. Semakin kita menyelaminya akan terlihat keindahan demi keindahan yang begitu dahsyat. Semakin diselami, semakin terasa luas dan dalam, seolah tidak pernah sampai ke dasarnya. Bahkan produk tafsir para ulama dari dulu hingga sekarang sebagai upaya mengungkap dalam dan luasnya samudera Al-Qur’an itu masih belum selesai, akan terus digali, dan tak akan habis-habis hingga akhir zaman. Ini semua merupakan mu’jizat Al-Qur’an sebagai kalam-Nya (hal x).
Berangkat dari kajian tafsir setiap Selasa dan Rabu yang diasuhnya dengan pendekatan atau metode tafsir Riwayah dan Dirayah. Yakni menafsirkan ayat secara tekstual berdasar ayat-ayat lain atau riwayat hadits, kemudian diletakkan secara kontekstual pada kondisi kekinian. Tak jarang hal itu berangkat dari satu topik atau tema yang sedang terjadi di masyarakat sehingga tafsir tersebut bersifat tematik (maudhu’i). Sedangkan metode Dirayah (berdasar ra’yi / logika) dipakai selama tidak keluar dari koridor penafsiran yang telah menjadi kesepakatan para ulama tafsir.
Dari kajian tafsir inilah lahir rubrik Tafsir Tematik pada majalah Al-Mu’tashim.
Diasuh oleh Abina KH. Muhammad Ihya Ulumiddin , Tafsir Tematik senantiasa tidak pernah absen hadir pada setiap edisi majalah tersebut yang kini sudah mencapai edisi ke-138 lebih ini. Jika sekali saja tidak muncul, para pembaca akan langsung menanyakan kepada redaksi perihal ketidakhadirannya.
Kajiannya yang berdasar tema yang sedang terjadi di masyarakat (aktual) lebih mendekatkan kajian tersebut kepada para pembacanya. Apalagi ditunjang dengan bahasa yang sederhana — bahkan bahasa gaul, redaksional yang tidak berbelit, maka kajian tafsir tersebut lebih mudah diterima oleh pembaca. Nah, dari kumpulan Tafsir Tematik itulah lahir buku di tangan Anda ini.
Ada 25 judul yang mewakili 25 tema berbeda dalam buku perdana ini, yang diberi judul Seri Tafsir Tematik: Rumah Hati dengan Cahaya Ilahy. Setiap judul membahas 1-2 ayat, baik asbab nuzul-nya, uraian ayatnya, serta tafsir tematik kontekstualnya. Setiap tema tak lebih dari 9 halaman pembahasan, sehingga pembaca juga tidak segera bosan membaca dan mengikutinya.
Tak jarang penulis menggunakan kata-kata yang tidak biasa untuk memberi judul. Pada bab ke-18 misalnya, untuk membahas ayat QS Al-Ankabut: 69 beliau memberi judul: Over Drive, Upaya Membuka Jalan. Ayat ini berbicara tentang jihad dan mujahadah. Bahwa barangsiapa yang bermujahadah di jalan-Nya akan ditunjukkan jalan-jalan-Nya. Karena itu, upaya itu harus maksimal, dengan segenap kemampuan, gas pol (over drive) dan tidak setengah-setengah jika ingin mencapai target yang dituju. Ciri mujahadah ada tiga, (1) raghiban, rasa mencintai dan menjadikan apa yang dicari dan ditargetkan sebagai kesenangan. (2) shadiqan, kejujuran merupakan syarat mutlak guna mendapatkan keberhasilan. Dan (3) mukhlisan, keikhlasan; karena ikhlas merupakan nyawa ibadah.
Begitulah setiap tema dikiaskan bagai sapu lidi, yang tersusun dari lidi-lidi yang terikat, umpama molekul-molekul air yang terkumpul hingga mampu membentuk formasi heksagonal yang sangat berguna bagi penyembuhan. Membaca dan meresapi tafsir dari ayat demi ayat pada buku ini akan membersihkan dan menjernihkan hati dan pikiran kita tak ubahnya sapu dan air. Jika Anda ingin merasakan hal yang sama, sudah selayaknya membaca buku ini. Tunggu apa lagi?

[bahtiarhs, http://bahtiarhs.net]

***

10 Karakter Sahabat Dalam al-Quran

Ketika Rasulullah Saw. Ditetapkan sebagai Khaatamun Nabiyin (penutup para Nabi), Allah Swt. Telah menjamin kemurnian agama ini dari berbagai tabdil (pergantian) dan tahrif (perubahan) hingga hari kiamat. Untuk itu, disiapkanlah manusia-manusia pilihan, manusia-manusia terbaik. Mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw.. Oleh karena perubahan itu berpangkal dari hawa nafsu, maka mereka pun diproduksi sedemikian rupa untuk mengemban tugas menegakkan agama dan menjaganya bagi para penghuni alam.

Dilihat dari namanya, sahabat bentuk jama’nya menjadi ashhaab berasal dari kata “shuhbah”, yakni berteman. Mereka diberi gelar sahabat karena mereka selalu menemani Rasulullah di kala bagaimanapun kondisi beliau. Di kala senang dan susah, di kala yakin dan bimbang. Mereka selalu “kintil” dengan Rasulullah, dalam arti selalu memperhatikan kepentingan Rasulullah dan segala aktifitasnya. Mereka sami’na wa atho’na pada apa yang didawuhkan Tuhannya maupun junjungannya (Rasulullah Saw.). Secara maksimal mereka kerahkan kekuatan untuk bersabar dan bersyukur sebagai dua ini ajaran agama.

Mereka bersabar tidak hanya dalam menahan gejolak nafsu, namun mereka juga bersabar dalam menjalankan keta’atan. Titah apapun mereka laksanakan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab, kecuali bila titah itu memang berada di luar kemampuan mereka. Bisa dibayangkan betapa sabarnya mereka dalam menerima titah jihad, bahwa muslim satu tidak boleh mundur selama musuh tidak lebih dari 10 orang. Padahal saat ini jihad lawan 2 musuh saja terasa berat sekali (Q.S. al-Anfaal: 65-66). Betapa sabarnya mereka saat qiyamullail (shalat malam) diwajibkan atas mereka selama satu tahun. Dan ketika setahun berlalu mereka tetap kontinu menjalankannya walaupun hukum qiyamullail telah berganti sunnah. Maka Madinah sebagai markas sahabat dikeal sebagai tempat singa di siang hari dan tempatnya para pendeta di malam harinya. Singa, karena mereka begitu lincah, giat, dan berani dalam aktifitas perjuangan, dengan harta maupun jiwanya. Mereka disebut pendeta, karena mereka melakukan shalat malam beserta munajat-munajatnya dengan penuh khusyu; dan tadlarru’. Suara tangis mereka menyusup sela-sela angkasa Madinah laksana suara kumbang. Alangkah agungnya mereka. Dikatakan, “Pendeta di malam hari, dan menjadi singa di siang harinya.”

Ketika turun ayat, “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan menghisabnya.” (Q.S. al-Baqarah: 284) mereka mengakui keberatannya. Mereka tidak mampu menjalankan titah itu. Tetapi ketidakmampuannya tidak menjadikan mereka putus asa, atau menjauhkan diri dari Nabi, mereka malah mendatangi junjungannya itu untuk kemudian minta saran dan petunjuk. “Ya Rasulullah, telah dibebankan kepada kami berbagai amalan; shalat, puasa, jihad dan shadaqah, kami telah sanggupi. Tetapi titah ayat ini ya Rasul tidak mungkin kami sanggup. “Maka Rasulullah menegurnya, “Apakah kalian menghendaki ucapan sebagaimana diucapkan oleh Yahudi dan Nasrani, “Kami mendengar tetapi kami tidak mau mengerjakan?”. Ucapkanlah sami’na wa atho’na dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu.” Teguran itu menyadarkan mereka untuk kembali pada posisi sami’na wa atho’na walaupun dalam puncak kondisi ketidakmampuan.

Selang beberapa lama setelah itu ketika lisan-lisan mereka telah tunduk dengan titah ayat itu, Allah Ta’ala lalu menurunkan ayat, “Rasul telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, dan rasul-rasulNya.” Q.S. al-Baqarah: 285.

Setelah diketahui kesabaran mereka menerima titah, seberat apapun titah itu. Allah Ta’ala kemudian memberikan dispensasi (rukhshoh) dengan menghapus (menasakh) hokum kedua ayat di atas melalu firmannya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.” Dispensasi untuk mereka tidak hanya itu saja, berkat ketabahannya beberapa permintaan mereka juga dikabulkanNya, sebagaimana dalam doa, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hokum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Q.S. al-Baqarah: 286.

Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak memcampuradukkan iman mereka dengan dhulm (kedhaliman), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Sahabat mengadukan ihwalnya kepada junjungannya, takut-takut jikalau mereka tersangkut dalam khitob “dhulm” ayat itu. “Siapa di antara kami yang tidak pernah melakukan dhulm, ya Rasulullah?” Mereka memahami bahwa dhulm adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau mengambil sesuatu tanpa izin yang punya. Padahal disebut dalam ayat, orang yang melakukan dhulm tidak akan mendapatkan keamanan serta tidak termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Melihat keresahan sahabat, Rasulullah kemudian menjelaskan, “Dhulm buka seperti yang kalian maksudkan. Dhulm dalam ayat itu adalah kata lain dari perbuatan syirik. Perhatikanlah perkataan Luqman al Hakim pada putranya, “Sesungguhnya Syirik adalah dhulm yang agung” H.R. al-Bukhori, lihat tafsir Ibnu Katsir, II, 187.

Ketika turun ayat, “Wain minkum illa waariduhaa (Dan tidak seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu”, secara spontan mereka menangis sekeras-kerasnya. Betapa tidak ayat itu telah mewajibkan setiap orang, termasuk mereka memasuki neraka. Lantas Rasulullah menetramkan dengan kelanjutan ayat, “Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa.” Q.S. Maryam: 71-72. Tafsir Ibnu Katsir, III, 165. Anehnya ketika kita membaca ayat itu, tidak terlintas apapun di dalam hati. Itulah salah satu bedanya kita dengan sahabat.

Ihwal tersebut di atas mengindikasikan bahwa sahabat-sahabat itu identik dengan karakter mujaahidin (pejuang), auliyaa’ (kekasih Allah) dan du’aat (pengemban dakwah) sesuai dengan keberadaan mereka yang senantiasa berjuang, mendekatkan diri pada Allah dan mengemban dakwah agama Islam. Gelar sahabat mengecualikan manusia yang hidup pada zaman Nabi tetapi tidak mau berjuang, tidak mendekatkan diri pada Allah, dan tidak mengemban dakwah agamanya.

Ketika Rasulullah Saw. Wafat, terlihat kegigihan mereka dalam mempertahankan agama ini. Mereka relakan nyawanya untuk menumpas nabi-nabi palsu (mutanabbi) berikut para pendukungnya. Mereka menumpas habis gerakkan maker yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dari mereka keluar ratusan syuhada saat peperangan yang terpusat di Yamamah itu.

Keagungan yang demikian itu tidak terlepas dari tarbiyah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Bagaimana mereka itu tidak agung, gurunya saja Rasulullah Saw. sendiri.

Masa para sahabat habis hingga tahun 100 Hijriyah bersamaan dengan wafatnya sahabat Abu Thufail Amir bin Watsilah (wafat di Makkah tahun 100 Hijriyah). Imam Muslim bin Hajjaj mengakui bahwa beliau adalah sahabat yang paling akhir wafatnya, pendapat itu didukung pula oleh Imam Ibnussholah. Dalam hal ini Ahli Ilmu menggubah baik syi’ir sebagai berikut:

Paling akhirnya sahabat yang meninggal adalah Abu Thufail Amir bin Watsilah.

Lihat al-Manhal al-Lathif, 194.

[]


Hukum Membaca Sayyidina

Ana menanyakan hukum membaca sayyidina sebelum mengucap Nabi Muhammad Saw. sekaligus mohon disertai dalilnya. Ini ana tanyakan, mengingat di lingkungan ana perihal membaca sayyidina dan tidak, khususnya di dalam shalat telah menjadi sumber perselisihan antara sesama muslim yang tidak baik dipandang. Atas jawaban al-Mu’tashim ana ucapkan syukran.

Syamsul Maarif, Jl. Raya Maule Km. 7 Cadas Sepatan Tangerang Jabar.


Jawaban:

Mengenai bacaan sayyidina (pemimpin kami) dalam shalawat shalat yakni ketika tasyahud akhir terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama diungkapkan oleh ulama ahli hadits yang berpegang pada riwayat Basyir bin Saad tatkala ia bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, Allah telah memerintahkan kami untuk bershalawat atasmu, lalu bagaimana kami bershalawat?” Beliau tidak segera menjawab sehingga para sahabat berharap Basyir bin Saat tadi tidak bertanya. Kemudian beliau bersabda:

“Ucapkanlah: Ya Allah, berilah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat atas Ibrahim; dan berikanlah keberkahan atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan keberkahan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Memuji lagi Maha Agung.” (H.R. Muslim).

Menurut ahli hadits, sebaiknya mengamalkan shalawat sesuai dengan apa yang tersebut dalam teks riwayat dalam arti tidak perlu menambahkan bacaan sayyidina karena bacaan yang diucapkan Rasulullah di dalam shalat juga tanpa menyebut bacaan sayyidina. Sedang Beliau bersabda

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (H.R. Al-Bukhari, Sindy, I/117).

Ahli hadits berpendapat bahwa melaksanakan perintah dengan mencontoh ibadah shalat yang dilakukan Rasulullah Saw. lebih utama daripada melakukan adab (yakni membaca sayyidina).

Pendapat kedua dikemukakan oleh ulama tasawuf dan ahli adab. Mereka memilih menambah bacaan sayyidina dalam shalat karena berangkat dari perasaan hormat yang tinggi terhadap Rasulullah Saw. Mereka berpendapat bahwa suatu saat melaksanakan adab lebih utama daripada melaksanakan perintah. Hal ini diqiyaskan pada apa yang telah dilakukan Abu Bakar r.a. ketika beliau menjadi imam menggantikan Rasulullah yang sedang sakit waktu itu. Pada saat sedang berlangsungnya shalat, Rasulullah datang dan memerintahkan Abu Bakar untuk tetap menjadi imam. Namun, Abu Bakar memilih mundur, tidak melaksanakan perintahnya karena rasa hormatnya kepada Rasulullah Saw. (H.R. al-Bukhari, Sindy, I/214).

Mengenai hadits yang berbunyi:

“Jangan kamu membaca sayyidina di dalam shalat.”

Hadits ini dikatakan oleh para ahli hadits tidak ada sumber yang jelas. Sebagian mengatakan bahwa hal itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. (Kasyful Khafa’ Wa Muzîlul Ilbâs, Jilid II hal. 354).

Dengan demikian masing-masing pendapat, baik yang menambahkan bacaan sayyidina maupun yang tidak, keduanya mempunyai pedoman sendiri-sendiri. Oleh karena itu, silakan masing-masing beramal sesuai dengan pedomannya. Yang diperlukan umat Islam di dalam perbedaan ini adalah sikap tasamuh (tepa selira) antar sesama.

[]

Nov 19, 2008

Hubungan Haji dan Rukun-rukun Islam Sebelumnya

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,
Di antara teman-teman kita pada bulan Dzulqo’dah ini, mendapatkan taufiq dan pertolongan dari Allah swt. untuk dapat melaksanakan tiang Islam yang kelima yaitu hijjul bait (menuju baitullah) untuk menuju kesempurnaan beribadah dan penghambaan diri (tammin ibadah ubudiyyah) kepada Allah Swt. Pada khutbah kali ini perlu kami sampaikan hubungan tiang haji yang kelima ini dengan tiang-tiang sebelumnya.

Bertolak pada hadits Rasulullah Saw.

”Bangunan Islam dibangun atas tiang yang lima...”

Sudah tentu ketika Islam ini dibangun dengan kokoh maka sudah tentu tiang-tiang ini adalah tiang-tiang yang kokoh. Tetapi kekokohan tiang-tiang tersebut kembali kepada kita sendiri bagaimana memahami tiang-tiang itu. Ketika kita memahami makna yang terkandung dalam 5 tiang-tiang itu. Maka disitulah kita dikatakan kokoh pemahaman keimanan dan keislaman kita.

Dalam khutbah yang singkat ini, perlu kami sampaikan keterkaitan rukun-rukun Islam satu dengan lainnya. Sudah tentu yang perlu kita pahami adalah ’ngaji makno’ bukan ’ngaji wacan’. Ketika kita ngaji makno tentang tiang-tiang yang kokoh ini mampukah kita mengamalkannya? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Pemahaman kita pada tiang-tiang yang kokoh tersebut akan berimplikasi pada kuat dan rapuhnya iman kita.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,
Islam merupakan merek paten. Merek paten ini perlukan karena Islam itu sendiri diperjuangkan mulai sekian ribu tahun yang lalu diturunkan kepada Nabi Adam as. Melewati tantangan dan ujian yang berat hingga akhirnya lolos dari ujian dan tantangan tersebut. Kemudian kesempurnaan Islam ini dibawa Rasulullah Saw. ketika Beliau menerima firman Allah Swt. di hari Arofah yang dikenal dengan nama Haji Wada’.

"...pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu..." QS. Al-Maidah: 3.

Islam ini agama yang diridhoi, karena itu merek paten itu perlu. Alhamdulillah, kita mendapatkan merek paten tersebut. Tanpa merek paten ini jangan harap ada keselamatan. Dengan merek paten ini akan dinilai seluruh aktifitas kita sebagai ibadah oleh Allah Swt. Alangkah sayangnya, orang-orang kafir yang memiliki jasa yang besar dalam perkembangan kemajuan dunia ini, seluruh amalnya tidak dianggap oleh Allah Swt. karena mereka tidak memiliki merek paten itu.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Syahadat, merupakan tiang-tiang kokoh yang pertama. Tiang ini sangat terkait dengan surga. Syahadat laa illaha illallahu merupakan kunci surga. Barangsiapa yang ber-Islam maka dia telah memiliki kunci surga. Untuk membuka dan tidaknya kembali kepada kita. Mengerti dan memahami makna syahadat ini terkait dengan tiang-tiang yang lainnya. Bisa jadi kita telah memegang kunci surga tetapi kita masuk surga diakhir-akhir karena tidak memahami tiang-tiang lainnya. Kita harus memahami kelanjutannya setelah kita memegang kunci surga. Keterkaitan syahadat sebagai kunci surga dengan rukun-rukun Islam yang lain.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Selanjutnya adalah shalat. Shalat merupakan media komunikasi seorang hamba dengan Allah Swt. Mendapatkan merek paten tetapi tidak pernah berhubungan dengan Allah dalam mengarungi kehidupan ini tidak ada artinya. Kita harus terus melakukan hubungan dengan Allah, berkomunikasi dengan Allah, paling tidak 5 kali dalam sehari. Hal ini pertanda bahwa kita mensyukuri adanya merek paten yaitu Islam. Itulah yang menjadi inti ibadah dalam keseharian hidup kita, yaitu shalat sebagai media komunikasi dengan Allah Swt. Kita meminta kepada Allah Swt. agar diampuni dosa-dosa kita, rabbilfighfirli. Kita minta dikasih sayangi Allah, warhamni. Kita meminta diangkat derajat kita, warfa’ni. Kita minta kepada Allah diberi rizki, warzuqni. Wahdini, Wa’afani dan lain sebagainya. Demikian salah satu bacaan doa yang kita lantunkan dalam shalat kita. Shalat ini fardhu karena telah ditentukan oleh Allah,

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." QS. an-Nisaa’: 103.

Kewajiban yang tidak boleh ditinggal. Jika ditinggalkan sudah tentu ada ancaman yang besar. Namun begitu, shalat yang dilaksanakan 5 menit ini dalam sehari 5 kali banyak teledor dan tidak khusyuk dalam menjalankannya. Sungguh sangat jauh dari inti ibadah.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,
Ibadah itu sendiri tidak hanya hubungan manusia dengan Allah Swt. Hubungan manusia dengan manusia juga dinilai Allah Swt. sebagai ibadah. Ketika manusia menyenangkan sesamanya, maka manusia itu berakhlak dengan akhlaknya Allah. Sifat kasih sayang Allah ditiru manusia. Menyenangkan manusia ini diwujudkan dalam ibadah wajib yaitu zakat. Zakat adalah awal proses menyenangkan orang lain. Kita diharuskan menyisikan sebagian rizki yang kita miliki kepada orang lain. Tidak hanya zakat, Allah Swt. berfirman

"Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak". QS. Al-Hadid: 18.

Ada shadaqah yang tidak wajib, yaitu infak dan sedekah. Shadaqah ini tidak hanya berupa harta dan makanan. Mengucapkan kalimat thayyibah juga shadaqah. Kullu tahmid shadaqah, kullu takbiratun shadaqah, wa kullu tashbih shadaqah, wa kalimatun shadaqah.

Berbicara kalimat yang baik, indah, dan menyenangkan didengar adalah shadaqah. Kita juga dianjurkan Rasulullah Saw. untuk selalu berseri wajah ketika bertemu dengan teman,


مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ تُسَلِّمَ عَلَى النَّاسِ وَأَنْتَ طَلِيْقَ الْوَجْهِ
“Termasuk sedekah jika mengucapkan salam kepada orang – orang beserta wajahmu yang ramah berseri – seri “(HR Ibnu Abi Dun’ya. Ini adalah hadits Mursal).

Dan juga,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di (hadapan) wajah saudaramu adalah sedekah” (HR Turmudzi Ibnu Hibban)

Inti ibadah zakat ini adalah bagaimana kita menyenangkan orang lain. Ibadah menyenangkan orang lain yang dapat menumbuhkan sikap kasih sayang bersama, satu dengan yang lain. Tidak ada saling hasut, dan rasa dengki. Hidup guyub dan rukun. Hal ini dapat terwujud jika diantara kita memiliki sifat pandai menyenangkan orang lain. Menyenangakan orang lain merupakan makna yang terkandung dalam rukun Islam yang ketiga yaitu az-zakah. Rukun Islam ketiga ini merupakan ibadah yang terkait hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Selanjutnya, rukun Islam yang keempat, puasa. Setiap muslim pasti dapat tidak melakukan makan, minum dan tidak berkumpul dengan istri mulai pukul 5 pagi hingga pukul 6 sore. Toh setelah itu kita diperbolehkan makan, minum dan juga berkumpul dengan istri. Kita harus mengetahui apa yang sebenarnya makna dari puasa yang kita lakukan. Bukan sekedar menahan tidak makan, tidak minum, dan tidak berkumpul dengan istri. Makna yang dikandung oleh tiang kekokohan Islam yang keempat ini adalah bagaimana kita dapat melawan hawa nafsu. Kita diuji oleh Allah Swt. melalui hawa nafsu, syetan, teman-teman yang seperti syetan serta ingkungan yang tidak mendukung. Kita memiliki akal dan hati. Suatu kita akal kita menang, dilain waktu nafsu yang mengatur kita. Terkadang kita kuat melawan hawa nafsu dan terkadang kita juga terkalahkan oleh nafsu kita. Kuat atau tidak tergantung pribadi kita masing-masing. Selalu dapat mengontrol hawa nafsu yang ada di dalam diri kita. Itulah makna dari puasa yang kita lakukan.

Jamaah yang berbahagia hafidhokumulloh,

Terakhir, rukun Islam yang kelima, haji. Jika keempat rukun Islam dapat kita laksanakan maka orang yang berhaji telah melakukan ”tammamul ibadah ubudiyyah” kesempurnaan beribadah dan penghambaan. Ibadah haji ini dilakukan dengan uang yang tidak sedikit, menguras tenaga, susahnya meninggalkan keluarga, dan membutuhkan waktu yang lama. Namun setibanya di sana kita diperintahkan Allah hanya berputar-putar, berlari-lari kecil, dan berkumpul dipadang Arofah dengan banyak manusia. Suasana hawa yang panas terik. Tidak ada waktu yang menyenangkan. Seluruhnya susah payah. Itulah ibadah haji dan kita diperintahkan Allah Swt. melakukan semua itu. Masuk akal atau tidak. Kita harus tunduk atas perintah itu. Di sanalah kita mengetahui jati diri kita sebenarnya. Seakan Allah Swt. berkata, ”Wahai manusia, kamu itu siapa?” ”Wahai manusia, kamu itu tidak ada apa-apanya.”. Begitu kita memasuki Makkah, kita akan merasa kecil. Siapapun kita. Presiden, jenderal, wali, nabi, seorang penguasa, dan lain-lainnya.


"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia"

Makkah atau Bakkah, yang bermakna qoto’a, bakka, yabukku, bakkan dan qota’a, yaqtho’u, qot’an, berarti memutus leher. Jika kita berangkat menunaikan ibadah haji berarti kita memutus leher kita. Memutus leher dalam arti Allah tidak memandang diri kita siapa. Di sana kita sendiri-sendiri. Presiden sendiri. Jenderal sendiri. Tidak ada pengawal lagi. Hati orang-orang yang beribadah haji digelontor oleh Allah Swt. Sifat manusia jika telah memiliki kemampuan dan kekuasaan selalu melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Jika ia mempunyai ilmu maka akan digunakan menzalimi yang bodoh. Jika ia memiliki harta yang lebih cenderung menzalimi yang kekurangan harta. Dan lain sebagainya.

Allah Swt. tidak pernah melihat kita dari pangkat atau kelebihan yang kita miliki. Tukang sapu dan direktur sama. Presiden dengan Pak RT tidak ada bedanya. Hati yang dimiliki manusia itulah yang dilihat oleh Allah Swt. Hatilah yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Sudah menjadi ketentuan Allah Swt. menjadikan manusia itu kaya, miskin, ganteng, berpangkat dan kelebihan lainnya Bukan ketentuan manusia. Hikmah Allah menjadikan seperti itu agar manusia satu dengan yang lain saling membutuhkan. Ada dokter tentu ada pasien. Ada kyai tentu ada santri. Dan contoh-contoh lainnya. Adanya hal ini menjadikan manusia satu dengan yang lainnya saling melengkapi, membutuhkan dan mengisi. Tidak ada kedudukan yang lebih tinggi antara yang satu dan yang lainnya. Jika salah satu berbuat zalim terhadap yang lain sudah tentu bertentangan dengan saling berkebutuhan, saling mengisi, dan saling melengkapi. Islam tidak pernah mengajarkan menzalimi yang lemah.

Madrasah haji menjadikan orang yang menunaikannya memahami hal tersebut. Manusia tidak ada apa-apanya. Contoh pelaksanaan wukuf di Arofah, setiap laki-laki hanya memakai pakaian dua helai kain saja tidak boleh lebih dari itu. Di akhir ibadah haji, setiap laki-laki memotong rambutnya hingga gundul. Tidak peduli ia presiden, harus gundul. Apakah ia jenderal, juga harus gundul. Walhasil, siapa dan apapun kedudukannya, diakhir ibadah haji diharuskan mencukur rambut hingga gundul.

Ibadah haji memberikan pelajaran bagi yang melaksanakannya. Memahami dengan benar siapa diri mereka sebenarnya. Kecil, kerdil, dan tidak memiliki apapun di hadapan Allah Swt. Suatu pelajaran bagi setiap yang berhaji. Melaksanakan seluruh ritual ibadah haji dengan ikhlas dan dibiayai dari harta yang halal. Walaupun pribadi tersebut sebelum melaksanakan ibadah haji memiliki pribadi yang ‘mbeling’ dan tidak baik, Insya Allah akan berubah. Berubah lebih baik dibandingkan dengan sebelum haji. Rahmat Allah turun berbagai rupa seperti hujan deras yang turun ke bumi. Segala dosa diampuni. Segala yang kurang baik dan buruk akan ditutupi oleh yang baik-baik.

Jika sepulang haji tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, bahkan tambah lebih buruk ketika sebelum berhaji, ada sesuatu yang salah dan patut dipertanyakan. Ada hijab yang menyelimutinya. Hijab yang menghalangi masuknya sentuhan-sentuhan dan rahmat Allah kepada hati. Hijab ini dapat berasal dari mempergunakan harta yang haram dalam menunaikan ibadah haji.

Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.

Inilah para jamaah jumah hafidhokumullah, keterkaitan rukun-rukun Islam satu dengan yang lainnya sebagai tiang-tiang yang kokoh. Kekokohan tiang tersebut kembali kepada diri kita masing-masing menjaganya. Ketika kita dapat memaknai ‘ngaji makno’ yang terkandung di dalamnya untuk selanjutnya kita amalkan.

[]

Nov 17, 2008

Hukum Tissu/Desinfektan dari Air Galon

Pertanyaan:
Ada satu hal yang ingin saya tanyakan tentang kehalalan dari tissu/desinfektan dari air galon. Ana membaca labelnya pada kemasan halal. Padahal biasanya desinfektan itu mengandung alkohol.

Kholishoh Diana, Tuban



Jawaban:
Dalam ilmu kimia yang dimaksud alkohol adalah senyawa organik yang dalam struktur molekulnya memiliki gugus hidroksil (-OH). Namun yang dimaksud alkohol dalam kehidupan sehari-hari adalah Etanol (Etil Alkohol). Sifat farmakologis alkohol adalah begitu masuk ke dalam lambung maka segera akan terjadi absorbsi (penyerapan) oleh darah dibawa ke jantung, yang selanjutnya diteruskan ke otak dan bekerja sebagai depressan (penekan) saraf pusat. Kekuatan aksi menekan ini sangat bergantung kepada kadar alkohol dalam darah yang dipengaruhi oleh jumlah alkohol yang diminum. Semakin kuat tekanan alkohol, maka akan semakin berpengaruh pada keseimbangan, pendengaran, penglihatan dan pembicaraan.

Untuk alkohol dalam arak, hukum alkohol sama halnya dengan hukum arak. Para ulama berbeda pendapat mengenai najis dan tidaknya arak. Jumhur ulama berpendapat bahwa arak itu rijsun (super najis) berdasarkan Q.S. al-Maidah: 90. Sementara itu Imam Al-Muzani (ulama senior madzhab Hanafi) mengatakan bahwa arak itu tidak najis dengan alasan bahwa tidak semua yang diharamkan oleh Allah itu najis. Sedangkan rijsun menurutnya adalah “perbuatan najis.” Jadi menurut pendapat ini, penggunaan desinfektan dalam galon tidak masalah.

Sementara itu jika kita mengacu kepada madzhab Jumhur yang mengatakan bahwa alkohol itu najis, maka dalam kasus di atas kita tetap boleh menggunakan berdasarkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menggunakan hal-hal najis seperti instruksi Rasulullah Saw. kepada delapan orang dari Suku Urainah agar mereka minum susu dan air kencing unta untuk menyembuhkan penyakit mereka. Dalam Madzâhibul Arba’ah 1/25, Syekh Abdurrahman Al-Jaziri menulis bahwa penggunaan cairan najis (baca: alkohol) untuk kepentingan obat atau wewangian adalah diperbolehkan dalam batas-batas kebutuhan. Dalam Fiqh Sunnah juga disebutkan bahwa air, sedikit maupun banyak, yang kejatuhan najis dan sama sekali tidak berubah salah satu sifatnya, baik warna, rasa dan baunya tetap dihukumi suci dan mensucikan berdasarkan hadits dari Abu Sail Al-Khudri r.a. Dikatakan, “Wahai Rasulullah, bolehkan kami berwudhu dari sumur Budho’ah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Air itu mensucikan dan tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu (apapun).” (H.R. Ahmad, Syafi’i, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi).

Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini disahihkan oleh ulama hadits sekaliber Yahya bin Ma’in. Pendapat ini juga diikuti oleh Ibnu Abbas, Abu Huroiroh, Hasan Al-Bashri, Said bin Musayyib, Ikrimah, Abdurrahman bin Abi Laila, Sufyan Ats-Tsauri, Ibrohim Annakhol, Dawud Azh-Zhohiri, Imam Malik dan Imam Al-Ghozali. Bahkan Al-Ghozali bermadzhab Syafi’i pernah mengatakan, “Aku sangat berharap Anda madzhab Syafi’i dalam masalah air seperti madzhab Imam Malik.” Saat mulut galon yang telah diusap dan dibersihkan dengan desinfektan yang mengandung alkohol bercampur air ketika galon tersebut sudah dituang dalam gelas atau dispenser, maka bekas alkohol tersebut umumnya sama sekali tidak mempengaruhi salah satu sifat air baik warna, rasa maupun baunya, yang itu berarti menurut pendapat ini air masih tetap dihukumi suci dan mensucikan.

[]


Asas-asas Dalam Kehidupan Berumah Tangga

Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. Al-Mulk: 2 yang artinya, “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya…”

Termasuk di antara ujian Allah atas manusia adalah kehidupan dalam berkeluarga (al hayah azzanajiah). Dalam kehidupan berkeluarga inilah Allah menguji manusia dengan yang baik dan yang buruk sebagaimana firman Allah dalam alQuran yang artinya, “Kami akan tetap menguji kalian dengan yang baik dan yang buruk dan kepadaNya kamu semua dikembalikan.”


Misalnya, tahu-tahu kita mendapat jodoh dengan wajah yang kurang bagus (cantik/tampan) walaupun kita sudah berusaha memilih-milih. Itu merupakan kenyataan yang tidak bias ditolan dan harus diterima. Semuanya harus dikembalikan pada Allah Ta’ala dengan mengingat kehidupan dunia yang sangat singkat. Maka dari itu, cara mengembalikan ujian jangan memakai ukuran perasaan. Kembalikan semua urusan pada kehidupan akhirat.

Ketika kita masuk kubur, seberat apapun ujian yang ada di dunia akan hilang dan lupa sama sekali. Dan itu adalah ukuran seorang mukmin. Apalagi jika mengingat apa yang telah di ajarkan oleh Rasulullah Saw. Bahw orang yang masuk surga, baik laki-laki maupun perempuan semuannya berseri-seri.

Berseri-seri di sini, berarti semuanya ganteng dan cantik. Rasulullah juga mengatakan bagi laki-laki akan berumur rata-rata 30 tahun dan bagi perempuan rata-rata berumur 17 tahun. Jika kita di dunia ini hanya memakai standar rupa, maka bias jadi ketika muda wajahnya cantik/tampan. Tetapi, ternyata sebentar lagi sudah menjadi keriput, sejalan dengan bertambahnya usia.

Jika Allah sudah men-tadbir (menentukan) satu ketentuan, baik/buruknya ketentuan tersebut bukan menurut ukuran manusia, tetapi menurut ukuran Allah. Apa yang telah ditentukan Allah merupakan sesuatu yang terbaik bagi manusia. Jadi, urusan biyadihil khoir itu menjadi urusan Allah. Kalau manusia yang mengukur, mungkin bias baik bisa juga buruk, termasuk dalam masalah perkawinan/berumah tangga.

Dalam berumah tangga harus dibangun dengan dua asas, yaitu al mawaddah al khoolishoh dan al mahabbah ash shoodiqoh.

1. Al Mawaddah Al Khoolishoh

Berkaitan dengan hal ini dikatakan bahwa kecintaan ini bukan karena A dan B-nya, tetapi karena sudah menjadi tanggung jawab bersama. Bagi suami mengatakan bahwa apapun adanya, dia adalah istri saya. Begitu pula bagi sang istri yang mengatakan bahwa apapun adanya, dia adalah suami saya. Masing-masing pihak harus mau menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangannya masing-masing.

2. Al Mahabbah Ash Shoodiqoh

Untuk mahabbah ash shoodiqoh, ukuran kecintaan itu juga bukan karena apa-apa, tetapi semata-mata karena Allah Ta’ala. Di sampang itu, kecintaan (al Mahabbah) bisa juga terjadi karena wajah dan postur tubuh. Oleh sebab itu, harus ditambah dengan al mawaddatul khoolishoh yang murni. Al Mahabbah Ashoodiqoh itu nanti bisa kekal apabila berdasarkan agamanya.

Berkaitan dengan kelanggengan sebuah rumah tangga danpasangan suami istri bisa merasakan indahnya berumah tangga. Al Quran memberikan dua hal yang sangat penting, yaitu al qiwamah dan tho’atuz zaujah.

A. Al Qiwaamah

Yang dimaksud dengan al qiwaamah adalah sebuah pertanggungjawaban suami atas istrinya, baik bersifat dhohir (al qiwaamah adh dhoohiroh), maupun bersifat batin (al qiwaamah al baatinah),

a. Al Qiwaamah adh dhoohiroh

Al Qiwaamah adh dhoohiroh adalah pemenuhan tanggung jawab terhadap kebutuhan rezeki yang dicari. Dalam hal ini suami tidak akan mempunyai perasaan malas dan mungkin akan mencari pekerjaan apa saja yang halal sekalipun orang lain mengatakan bahwa hal itu termasuk pekerjaan tidak layak/sesuai bagi dirinya. Di sini yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Seorang sarjana pun tidak harus bekerja sesuai dengan bidang studinya. Nyatanya, Allah dalam memberi rezeki juga bukan lantaran sarjananya. Bagi seorang istri, tidak perlu malu jika di mata orang lain pekerjaan suaminya dianggap pekerjaan rendahan. Yang terpenting adalah bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Terkadang, memang karena adanya syahwadud dunya bisa mempengaruhi kehidupan ini. Karena itu, Islam juga mengatur adanya kekufuran dalam mencari pasangan hidup. Masalah kekufuran ini dikenal dalam Madzhab Syafii, sedangkan dalam Madzhab Imam Malik, tidak dikenal adanya kekufuran sebab kalau ada berarti kurang percaya pada Allah. Seorang Sayyid pun harus menikah dengan perempuan tukang sapu, mengapa tidak bisa? Tetapi, menurut Madzhab Syafii tidak begitu. Agama Islam itu adalah dienul fitrah yang juga mengatur kecenderungan manusia dan memberikan kelonggaran sesusai dengan kecenderungannya.

b. Al Qiwaamah al baathinah

Yang namanya kecintaan itu jangan sampai pudar, jangan hanya bermanis-manis dirumah saja, ternyata selingkuh di luar rumah. Hal ini berarti dia tidak mempunyai Al Qiwaamah al baathinah. Sampai-sampai Rasulullah berpesan jagalah pandangan, jangan sampai dilepaskan pada orang lain, dan bahwa farji itu adalah satu.

Memang, tidaklah mungkin bagi seorang laki-laki untuk menutup matanya karena memang aktifitasnya lebih banyak di luar rumah. Yang terpenting dia bisa menahan pandangannya. Yang tidak diperbolehkan adalah memandang terus-menerus. Batasan syara’ adalah “Bagimu yang pertama, jangan sampai diteruskan.”

Dalam hal ini seorang istri jangan sampai mempunyai sifat cemburu yang berlebihan jika mendapati suaminya melihat pada perempuan lain. Cemburu yang berlebihan bisa mengakibatkan selalu curiga pada suami yang pada gilirannya bisa merepotkan diri sendiri. Bagi laki-laki yang mempunyai hak Al Qiwaamah al baathinah jangan sampai tergoda. Dia hendaknya bisa menahan diri dari syahwat. Ingat, Rasulullah sudah memberi pengertian bahwa farji itu satu, dari daerah mana pun asal perempuan itu, apakah dia cantik atau pun jelek. Hal ini dimaksudka untuk mengantisipasi apakah al Qiwaamahal bathinahnya shodiqoh (jujur) atau tidak. Kalau sudah shodiqoh, Insya Allah tidak akan lari kemana-mana. Tidak bertanggungjawabnya laki-laki secara bathin akan mempengaruhi pertanggungjawabnya secara dhohir. Suami yang sudah tertarik pada orang lain (yang bukan istrinya), maka otomatis tanggung jawab secara dhohir akan berkurang. Lain halnya jika ada sesuatu yang dimungkinkan seorang suami harusmenikah lagi (berpoligami), yang terpenting sudah menjadi istrinya.

Jika terjadi penyelewengan al Qiwaamah al bathinah terhadap orang lain yang bukan istrinya, hal itu bisa membahayakan suami karena sudah mentasyarufkan sesuatu pada orang yang bukan istrinya, dan mengurangi/meninggalkan hak suami seperti biasanya. Semuanya itu akan mengakibatkan terjadinya “kiamat” dalam rumah tangga. Perilaku suami bisa jadi akan berubah, yang biasanya lemah lembut terhadap suami berubah menjadi kasar

B.Thoo’ah az Zaujah

Adapun asas yang harus dibangun oleh isri adalah ketaatan pada suami. Dalam menjalankan ketaatan tersebut, istri harus sabar. Rahasianya adalah kalau sudah taat terus, sekeras-kerasnya suami maka luluh jika melihat istrinya yang taat kepadanya. Ketaatan pada suami itu bisa berwujud tidak pernah menentang, mengomeli, dan menuntut apa-apa pada suami. Bila diberi diterima, tidak diberi juga tidak akan menuntut sehingga kata suami, istriku taat seklai. Malah suatu saat, sang sumai akan menawarkan diri untuk memenuhi permintaan istri.

Seorang isti yang taat pada suaminya mempunyai predikat yang agung, yaitu istri yang qoonitah dan haafidhoh.

Qoonitah

Istri yang bersifat qoonitah tidak akan mampu melunturkan kecintaan suami pada istri walaupun istri mempunyai kekurangan/sifat yang kurang baik. Allah menyifati istri yang sholihah dengan sebutan qoonitah. Qoonitah bisa berarti: thoo’iah (taat), saakitah (diam), daa’iyah (berdoa)

1. Thoo’ah (taat)

Masalah ketaatan istri menjadi standart penting. Hal ini bisa dimaklumi untuk mengimbangi suami yang sudah bersusah payah mencari rizekidan tidak termasukyang dikatakan kufur nikmat akan adanya suami yang bertanggung jawab.

2. Saakitah (diam)

Adapun saakitah itu penting. Suami yang sudah bersusah payah dalam bekerja bisa saja menjadi sebab muncul kemarahan. Jika suatau saat suami terlambat pulang kerja, padahal sudah jelas qiwaamahnya, jangan sampai istri langsung bertanya, “Mengapa pulang terlambat?” Hal ini bisa menyebabkan suami menjadi marah. Dalam ini sebaiknya istri diam. Kalau perlu jangan bertanya apa-apa. Kemana pun suami mencari rezeki, yang penting dia sholeh dan jelas. Maka kalau perempuan itu saakitah, Insya Allah akan selamat, terutama bila kepada suaminya.

3. Daa’yah (berdoa)

Dalam hidup ini antara suami dan istri hendaklah saling berbagi. Ketika suami sibuk bekerja di luar, jangan lupa istri di rumah selalu berdoa agar suaminya mendapat rezeki yang barokah. Jadi, harus ada dukungan yang besar dari istri untuk suami.

Haafidhoh (Menjaga)

1. Menjaga Diri

Istri yang bisa menjaga diri termasuk perbuatan yang terpuji sehingga tidak akan terjadi serong dan perselingkuhan. Suami yang telah berbuat baik harus dibalas pula dengan kebaikan. Suami yang sibuk di luar juga tidak boleh berbuat serong atau selingkuh. Dia harus tetap menjaga qiwaamahnya.

2. Menjaga harta suami

Istri ikut membantu menjaga harta suami, jangan sampai malah menggunakan uang di luar kepentingan dan boros dalam membelanjakannya. Jadi, istri bisa mengimbangi suami yang sudah bersusah payah mencari rezeki. Secara umum, Rasulullah Saw. Telah memberikan gambaran umum bahwa suami istri harus mencukupi kebutuhannya terlebih dahulu, setelah itu baru berinfaq. Di sini menurut ukuran umum, bukan maqom. Jadi, jangan sampai memberi peluang untuk menghabiskan uang.

[]

4 Kunci Meraih Keberuntungan di Dunia dan Akhirat

Jamaah Jum’at Hafidhokumulloh,
Pada awal khutbah ini kami menyebutkan firman Allah Swt. Surat Ali Imran: 200 yang berbunyi, yang artinya

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung."

Ayat ini memberikan isyarat kepada kita semua tentang 4 hal kunci keberuntungan di dunia dan akhirat.

Pertama, Sabar. Sabar merupakan sifat yang utama dan mulia. Sabar tidak hanya dalam keadaan tertimpa musibah tetapi kita juga harus sabar dalam keadaan senang. Sering kali kita lupa sabar dalam keadaan lapang. Ketika kita tertimpa musibah, entah itu ada yang meninggal di antara orang-orang yang kita cintai, hampir pasti orang-orang akan menyalami kita dan berucap, “Semoga Allah memberikan kesabaran kepadamu”. Ucapan ini hampir tidak kita jumpai ketika ketika dalam keadaan lapang. Kelapangan kita sering kita pergunakan pada hal-hal yang tidak berguna. Kita tidak sabar dalam menjalani kelapangan yang ada pada kita.

Kita juga dituntut sabar dalam menjalankan segala perintah Allah. Shalat yang kita kerjakan masih diliputi rasa ketidak sabaran. Allah hanya menuntut waktu kita 10 menit namun kita memberikan imbalan yang tidak pantas. Dalam shalat, kita tidak pernah ingat Allah kecuali pada saat takbir awal, selebihnya kita ingat pekerjaan kita, bisnis yang sedang berjalan, atau masalah yang sedang kita hadapi. Shalat yang kita laksanakan seluruhnya merupakan bacaan doa jika kita dengan tartil dan meresapi artinya. Masih banyak contoh sabar yang lain. Kita juga harus sabar dalam menjauhi segala larangan-larangan Allah Swt. Kita tahu kalau alcohol adalah haram. Namun ketika kita berkumpul dengan teman sekerja dalam merayakan suatu keberhasilan proyek dengan minum sampanye. Kita tidak sabar dalam menjauhi segala yang dilarang oleh Allah Swt.

Kedua, Mushabarah. Mirip dengan sabar, namun lebih banyak berasal dari luar kita. Dalam hidup bertetangga tentu kita selalu berinteraksi dengan tetangga. Entah itu diundang tahlilan, atau bentuk undangan lainnya. Atau juga sekali waktu kita mengundang tetangga pada acara hajatan yang kita adakan. Terkadang terselip celetukkan yang membuat merah telinga ketika mendengarnya. Tabah dan tidak emosi dalam menanggapi hal tersebut. Atau juga kita terkena fitnah. Kita harus dapat memberikan jawaban yang tepat tentang inti permasalahan yang sebenarnya dan kita tidak perlu membalas perlakukan buruk tersebut. Memaafkan lebih utama. Contoh tentang ini banyak kita jumpai pada kehidupan Nabi Saw. Dan sahabat. Kita cukup membacanya di buku-buku yang telah banyak ditulis dan beredar di sekitar kita.

Ketiga, Murabathah. Aslinya makna ini adalah mengikat kuda untuk berjaga di benteng pertahanan. Makna lainnya adalah menyiapkan semua potensi kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi musuh Islam, baik sarana itu berupa material (madiyyah) atau non material (Ruhiyyah).

Murabathah juga memiliki arti yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Apakah aku akan menunjukkan kalian sesuatu yang karenanya Allah menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat-derajat?” “Ya, Rasulullah”, jawab para sahabat. Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan wudhu, banyak langkah ke masjid, menanti shalat demi shalat. Itulah ribath, itulah ribath, ituah ribath”.
Dari hadits di atas kita dapatkan tiga isyarat. Pertama, “menyempurnakan wudhu…” merupakan isyarat adanya perperangan terhadap hawa nafsu. Kedua, “banyak langkah…” sebagai isyarat adanya pengawasan ketat (muraqabah) terhadap hati dan anggota tubuh. Ketiga, “menanti shalat…” menjadi isyarat adanya penjagaan waktu serta mencari dan memanfaatkan kesempatan.

Keempat, Taqwa. Kata ini sudah seringkali kita. Makna yang dikandungnya sangat dalam. Takwa ini sudah kami sebutkan dalam muqaddimah khutbah ini dan setiap khotib jum’at pasti menyebutkan juga makna takwa ini. Pemahaman yang mudah dari takwa adalah melaksanakan yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Dengan bekal takwa ini kita berharap mendapatkan ridhaNya.

Demikian khutbah jum’at yang singkat ini. Kita berharap, semoga Allah memudahkan kita melaksanakan 4 hal yang dimaksud dalam surat Ali Imran: 200 tersebut.

[]

Shalat Jenazah dengan Mayat Banyak dan Shalat Ghoib

Bagaimana cara shalat jenazah untuk mayat yang banyak, apakah dilakukan satu per satu ataukah dilakukan sekali untuk mayat banyak? Bila sekali shalat untuk mayat banyak, bagaimana niatnya? Bagaimana pula hokum shalat ghoin? Sebab, saya pernah mendengar ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa shalat ghoib itu tidak ada? Apakah ini masalah ikhtiaf?

Yayak, Sidoarjo.


Jawab:
Shalat jenazah untuk mayat banyak dapat dilaksanakan satu persatu untuk tiap-tiap mayat maupun dengan satu kali shalat untuk mayat banyak. Dalam hal ini lebih utama bila dilaksanakan jadi satu sehingga pemakaman dapat segera dilaksanakan. (Al Majmu’: V/225-226).
Sedangkan, niat untuk shalat jenazah untuk mayat banyak ini bila dilafadzkan sebagai berikut:

Usholi 'ala mauta

Tetapi yang dimaksud niat itu sendiri adalah dalam hati yang dilaksanakan bersamaan dengan memulai pekerjaan.
Tentang hokum shalat ghoib, terjadi ikhtilaf di antara para fuqaha. Imam Asy Syafi’I dan Ahmad menghukumi boleh berdasarkan hadits Rasulullah saw.:

Sesungguhnya Nabi saw. mengumumkan kepada khalayak ramai tentang meninggalnya Najasi. Kemudian Beliau pergi bersama mereka. Maka dibariskan para sahabatnya dan kemudian shalat dengan empat takbir. (Fiqhus Sunnah I/45).

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa hadits tersebut hanya khusus untuk Raja Najasi. Hal ini karena Rasulullah saw. ketika itu diberi kemampuan untuk melihat jenazah Raja Najasi di hadapan Beliau dengan kasyafnya. Dengan demikian, selain hal ini tidak disyariatkan (lihat Al Mizan I/255). Sayyid Sabiq mengatakan bahwa argumentasi Abu Hanifah dan Imam Malik ini lemah karena tidak dapat diterima akal. (Fiqhus Sunnah I/45).
Shalat ghoib ini dilaksanakan untuk jenazah yang berada tidak dalam satu kota dan dilaksanakan di hari kematian itu juga.

[]