Mar 3, 2009

Batasan-batasan Alloh dalam Rumah Tangga

Kehidupan yang kita cari adalah kehidupan yang tenang damai seperti harapan kita saat bertemu dan mendiami perkampungan yang sangat damai karena ridho Alloh Ta’ala yaitu surga yang kita harapkan.
Alloh Ta’ala mempunyai sifat As Salam seperti dalam doa “Allohumma antassalaam, waminkassalaam, tabaarokta yaa dzaljalaali wal ikrom”.
Artinya, Alloh yang maha memberikan keselamatan, kedamaian, ……..”

Ketika memberikan aturan hidup kepada manusia seluruhnya, Alloh Ta’ala telah menentukan khudud/batasan–batasan sebagaimana yang disabdakan Rasululloh saw. yang artinya, “Bahwa Alloh Ta’ala telah menetapkan batasan–batasan, maka kalian jangan melampauinya/menyimpang dari batasan–batasan itu”.

Oleh karena itu, adamul i’tida’ (tidak melewati batas ini) akan menghantarkan pada keseimbangan (yuaddi attawazzun) dan keseimbangan itulah yang membawa kedamaian dan keselamatan bersama.

Jika suami/isteri bisa melaksanakan khududulloh tersebut dengan baik maka Insya Alloh dalam kekeluargaan ini tidak akan terjadi ketimpangan–ketimpangan. Jika terjadi ketimpangan–ketimpangan dalam keluarga kita, maka mau tidak mau kita harus mengakui dan mengoreksi adanya al i’tida’/melewati batas itu saja, apalagi jka dihubungkan dengan tangung jawab kita masing–masing. Rasululloh saw. bersabda yang artinya, “seluruh kalian itu adalah penggembala dan tiap–tiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya.”


Berarti ada yang digembala. Kalau tidak pun --seperti tidak ada yang digembala-- maka diri kita masing–masing yang harus menggembala diri kita. Kita mengatakan bahwa diri kita mengarahkan nafsu kepada yang diridhoi oleh Alloh swt. Masing-masing mempunyai tanggung jawab dari apa yang ia gembalakan. Wal amiiru ro’in, maka pimpinan adalah penggembala. Warrojulu ro’in ala ahli baitihi, laki-laki /suami adalah penggembala atas keluarga rumahnya. Wal mar’atu roiyatun ala baiti zaujiha wawaladihi, wanita/istri adalah penggembala atas rumah suaminya dan anak-anaknya.

Rasululloh menyebutkan bahwa warrojulu ro’in ala ahli baitihi, dan suami yang menjadi tanggung jawabnya adalah keluarga yang ada di rumahnya, termasuk isteri dan anak-anaknya dan tingkat riayahnya ini yang terpenting adalah seperti firman Alloh. Ya ayyuhal ladziina amanuu quu anfusakum wa ahliikum naaro. Hal ini sangat berat karena bukan masalah harta, tetapi bertanggung jawab apakah isteri masuk neraka atau tidak, bertanggung jawab pada anak-anaknya apakah masuk neraka atau tidak. Kalau isteri dan anaknya masuk neraka berarti dia juga masuk neraka karena tidak memperhatikan penuh terhadap isteri dan anaknya. Apabila suami sudah menyampaikan riayahnya, lalu isterinya/anaknya tidak mau mendengar, ini lain masalahnya.

Diperlukan adanya wiqoyah, yaitu penjagaan yang terus-menerus. Tidak ada cara lain bagi suami kecuali harus menjaganya terus. Hal in berat sekali karena memerlukan semacam muroqobah yang terus-menerus agar keluarga kita ini tidak masuk neraka. Proses ini harus dimulai sejak dini, yaitu dari permulaan memilih jodoh kemudian bagaimana melanjutkan perjodohan lalu bagaimana isteri sedang hamil, melahirkan, dan mendidik anak itu melalui proses yang sangat panjang.

Apa artinya hidup dalam keadaan yang baik kemudian ujung-ujungnya hanya masuk neraka. Jadi, di sini yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan isteri dan anak-anak dari api neraka. Dan ini merupakan proses yang berat sekali seperti firman Alloh mengatakan Arrijaalu qowwaamuuna ‘alan nisaa’, Al qiwamah ini betul-betul berat.

Wal mar’atu ro’iyatun ‘ala baiti zaujiha, wanita bertanggung jawab atas rumah suaminya yang nanti mempunyai nilai yang sangat tinggi di sisi Alloh swt. karena sebagai ibadah. Ini yang penting kita catat karena tidak sekedar riayah, yaitu merawat tapi Alloh menilainya sebagai ibadah yang cukup membandingi ibadah-ibadah berat yang dilakukan oleh laki-laki. Ijadul bait, mewujudkan rumah adalah kewajiban laki-laki, apa kontrak atau milik sendiri. Sedangkan tanggung jawab merawat rumah dan sarana-sarananya, seperti kursi, lemari, televisi yang dibeli laki-laki adalah isteri, mulai dari kebersihan, kerapihannya, keserasian, keindahan, menata isi lemari.

Di dalam rumah harus ada kehidupan. Yang mewujudkan sarana kehidupan adalah tugas/ kewajiban suami. Jadi, sebaiknya yang wajib membelanjai adalah suami. Menurut Islam, sebaiknya wanita itu berada di rumah. Pasar-pasar di Hijaz, Mekkah dipenuhi oleh laki-laki yang belanja. Wanita hanya memasak. Kalau suami menyerahkan tanggung jawab belanja dan memasak kepada isteri itu namanya laki-laki pemalas/koplo.

Karena itu, Rasulullah keluar membawa tas sendiri untuk belanja sendiri. Alangkah senangnya isteri diajak belanja ke plaza. Hal-hal kecil, kalau bisa menambah keharmonisan keluarga, sebaiknya dilakukan. Karena itu, kita akan membicarakan batasan Islam. Kita tidak mengaca pada kehidupan yang sudah berjalan sekarang ini. Kalau ingin mendapat ridho Alloh swt., kembalilah kepada batasan-batasan Islam, jangan menggunakan ukuran-ukuran orang banyak.

Sudah tentu dengan berbagai upaya dan latihan-latihan pada akhirnya memberikan kedudukan semestinya, mana tempat laki-laki dan tempat wanita. Kalau kemudian yang terjadi adalah isteri belanja sekaligus memasak, laki-laki harus minta maaf/ridhonya isteri. Hal ini seperti juga ketika kita makan bersama-sama, maka pertama kali rezekimu adalah yang di mukamu. Makanlah apa yang disampingmu. Kalau yang di depan kita kebetulan berupa sambel saja, jangan tangannya mengambil ke sana, terus ke gule. Inilah Islam. Islam memberikan sekian banyak batasan sampai pada tingkat kita ini makan bersama.

Kalau dalam hal-hal seperti tersebut di atas ada khudud/batasan, maka sudah tentu masalah kerumahtanggaan ada khudud. Bisa jadi suatu saat suami/isteri mengeluh bila tidak tahu akan hak-hak dan khudud-khududnya. Kalau dipikir, banyak sekali hak-hak yang mestinya pada laki-laki dilimpahkan kepada wanita. Menyapu adalah tugas wanita, mengepel tugas wanita, mencuci tugas wanita (suami beli mesin cuci).

Melihat sekian banyaknya tugas yang harus dilakukan oleh isteri bahkan kadang-kadang sampai menumpuk, maka suami perlu untuk meringankanya seperti mendatangkan pembantu sesuai dengan madzhab Syafii. Sebab yang kita bicarakan adalah wanita yang kata Rasulullah Saw mempunyai tugas haamilatun (hamil), waalidatun (beranak), raahimatun (kasih sayang). Jadi, tidak cukup beranak saja, tetapi yang mengurusi anaknya dari kecil sampai besar ini sangat berat. Dan Alloh tidak akan pernah menyia-nyiakan amal seseorang. Rasululloh menyebutkan bahwa husnu tabaa’ulaki yuaddi bidzaalik. Para isteri berbuat untuk suaminya dan anaknya, pahalanya seperti ibadah yang dilakukan oleh laki-laki, apakah jihad fisabilillah atau yang lain.

Orang dahulu memberikan patokan 4 M (maca’, mapan, manak, masak). Menyuguhkan makanan membawa pengaruh besar dalam membentuk ta’liiful quluub. Akan tetapi, sebetulnya ada perasaan lebih senang apabila suami makan dari apa yang dimasakoleh isterinya dan ini yang membentuk ta’liiful quluub. Jadi, ith’aamuth tho’aam ini merupakan sarana untuk membentuk ta’liiful qulub.

Kenyataan yang ada, yaitu masyarakat Indonesia ini bisa guyub sebab sering selametan, kenduren. Karena itu, hubungan antartetangga bisa jadi baik dengan hal-hal seperti itu. Hal ini sangat jauh dengan masyarakat luar yang hidupnya individualistis. Rasululloh memberikan tuntunan bagi para tetangga, yaitu tahaaduu tahaabuu, saling memberikan hadiah pada tetangganya maka akan menjalin kecintaan bersama. Itu hadis Rasululloh saw. yang telah dijalankan oleh orang-orang dahulu yang akhirnya bergeser sehingga masyarakat menjadi lebih hidup.

Artinya, dari batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Alloh swt. dan Rasululloh saw. kalau kita jalankan sebetulnya tidak akan memunculkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Jadi, kembalilah kita semua pada khududulloh maka selesailah permasalahan ini semua. Maknanya, apabila ada ketimpangan-ketimpangan yang muncul dalam keluarga maka harus koreksi diri sedini mungkin. Jadi harus terus dikoreksi, sebab pertautan hati ini sudah diciptakan oleh Alloh SWT. Tidak seperti kita mempunyai kesalahan pada orang lain dengan kita mempunyai kesalahan pada isteri.

Kesalahan yang terjadi antara suami isteri, kita bisa melaksanakan attaghooful (wis koyok gak ono opo-opo). Hal itu lain dengan kita dengan orang lain. Penyelesaiannya memerlukan waktu yang lama dan proses yang panjang untuk bisa memaafkan atau tidak memaafkan. Sedangkan dengan isteri karena Alloh sudah mempertautkan dan Alloh lebih tahu pasangannya masing-masing. Kita ini tidak perlu membuat rumah tangga ini jadi repot sendiri. Jadi, kalau ada di dalam rumah tangga muncul kesukaran yang dialami, kita harus kembali pada diri kita bahwa kesukaran itu kita buat sendiri, kecuali kalau ada gangguan-gangguan eksternal.

Tidak menutup kemungkinan, dalam keluarga itu di antaranya ada orang lain. Kemudian setan itu mempunyai target pada manusia ini. Pertama, mengajak manusia untuk syirik dan kufur. Apabila ini tidak berhasil, selanjutnya diajak bid’ah. Apabila tidak berhasil, disuruh diajak berbuat dosa besar. Apabila tidak berhasil, selanjutnya diajak berbuat dosa kecil dan menganggap bahwa melakukan dosa kecil itu seperti tidak dosa sampai pada tingkat seperti itu. Kalau sudah tidak bisa, maka sekiranya seorang ini melakukan atau disibukkan dengan hal-hal yang mubah sampai orang tersebut tidak mendapat pahala sama sekali.

Padahal, seorang muslim ketika melakukan hal-hal yang mubah itu tetap mendapatkan pahala dari hal-hal yang mubah itu, misalnya duduk di masjid saja. Akan tetapi, kalau kita niati i’tikaf, pasti ada pahala untuk i’tikaf itu. Menyikat gigi kalau kita niati bersiwak kepada rasul maka akan menjadi sunnah. Apabila tidak bisa, maka diajak melakukan hal-hal yang tidak utama dan mubah, misalnya makan dengan tangan kanan tetapi kita lakukan dengan tangan kiri. Kita tahu bahwa makan itu dengan tangan kanan.

Rasululloh sampai pernah tidak senangnya pada orang makan dengan tangan kiri. Ketika ada seorang sahabat makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda: qul biyamiinik, makanlah kamu dengan tangan kananmu. Tidak bisa, ya Rasululloh. Memang saya sudah begini kalau makan. Kata Rasululloh:. Maa fa’alta, kamu tidak bisa berbuat apa-apa, maka tangannya langsung menjadi lumpuh. Atau diajak oleh setan melakukan hal-hal yang tidak berpahala sama sekali. Kalau sudah tidak bisa, maka setan mengumpulkan bala tentaranya untuk memfitnah orang itu sehingga ia difitnah, digosipkan macam-macam sehingga keluarga yang semula harmonis dan indah kemudian terjadi keretakan keluarga. Itulah model jin dalam menggoda manusia.

Jadi, ini perlu diketahui. Memang begitulah dalam kehidupan rumah tangga ini. Kadang-kadang, subhanalloh, tidak ada angin, tidak ada apa-apa, tetapi kemudian terjadi suatu hal di luar kemampuan kita. Tahu-tahu terjadi sesuatu yang meretakkan dan repot diselesaikan. Padahal, tidak ada apa-apa. Perlu diketahui bahwa di situ termasuk usaha setan untuk menghancurkan seseorang. Jadi, kembali kepada masalah, kapan kita mempunyai keluarga yang sakinah dan tidak.

[]

0 comments: