Mar 31, 2009

Mar 24, 2009

Doa Untuk Orang Mati

Ust., apakah doanya ahli waris yang dikirimkan kepada orang yang sudah mati bisa diterima (sampai)?

Lailatul Badriyah, Ds. Jombok No. 35 Ngantang, Malang

Jawaban:
Orang yang sudah mati maka terputuslah amalnya. Hal ini maklum karena dia sudah mati. Sementara amal yang berasal dari orang lain yang masih hidup, misalnya ahli waris yang ditujukan kepadanya tentu bisa sampai. Mengapa tidak. Sementara kita diajarkan membaca doa sebagaimana termaktub pada QS. Al Hasyr: 10 yang maksudnya memintakan ampun saudara-saudara kita seiman yang telah mendahului kita. Apalagi kita pun diajarkan menyelenggarakan sholat jenazah. Dan bukankah sholat jenazah hakikatnya adalah mendoakan orang mati?

[]

Mar 20, 2009

Mar 19, 2009

Al Mabda’

Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?

Al Mabda’ menurut lughoh (bahasa Arab) adalah suatu bentuk (shighat) mashdar “mimy” dari kata “bada’a” “yabda’u” wa “mabda’an”, yang artinya memulai. Dalam istilah orang banyak. Dalam istilah orang banyak: al mabda’ berarti pemikiran mendasar (asasi) yang di atasnya dibangun pemikiran lain, yang tidak didapatkan pemikiran apapun sebelumnya secara mutlak (artinya: pemikiran yang tidak pernah meniru pemikiran lain atau menjiplak.

Dari sini dapat dipahami bahwa fikrah menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan (al kaun, al insan, al hayah) adalah pemikiran yang mendasar, yang mana pemikiran asasi tersebut dinamakan aqidah (keyakinan tentang sesuatu). Hanya perlu diketahui bahwa suatu aqidah tidak akan terlahir daripadanya berbagai pemikiran dan tidak akan dapat dibangun di atasnya pemikiran-pemikiran lain, kecuali aqidah tersebut merupakan fikir (pemikiran), yaitu berupa hasil pembahasan yang bersifat aqly. Adapun aqidah tersebut ditelan begitu saja (dogmatis) maka aqidah itu tidak akan menjadi pemikiran, dan tidak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang menyeluruh (fikroh kulliyah), meskipun bisa saja ia disebut sebagai aqidah. Oleh karena itu tidak bisa tidak, seorang harus memperoleh pemikiran menyeluruh tersebut dengan metode aqly. Artinya ia harus merupakan hasil penelitian secara aqly. Dengan cara ini diperoleh suatu aqidah yang bersifat aqliyah.


Dari sini terlahir pemikiran-pemikiran lain, berupa berbagai cara pemecahan problematika kehidupan. Dia adalah seperangkat hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Ketika telah terwujud suatu aqidah aqliyah, dan terlahir darinya hukum-hukum untuk memecahkan problematika kehidupan, maka terwujudlah suatu mabda’. Maka definisi mabda’ adalah aqidah aqliyah yang terlahir dari nidzom (sistem). Dari sini dapat diketahui, Islam adalah suatu mabda’ sebab dia adalah aqidah aqliyah yang darinya terlahir nidzom, yaitu hubungan syar’i yang digunakan untuk memecahkan problematika kehidupan. Komunisme adalah suatu mabda’ karena dia aqidah aqliyah yang di atasnya dibangun suatu nidzom, yaitu pemikiran-pemikiran yang dipergunakan untuk memecahkan problematika kehidupan. Demikian juga kapitalisme adala suatu mabda’ karena dia adalah aqidah aqliyah yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran pemecah problematika kehidupan (masyakilul hayah).

Dengan ini dapat dijelaskan, bahwa al qoumiyah (kesukuan) bukanlah suatu mabda’, al wathoniyah (nasionalisme; kebangsaan) demikian pula patriotisme, faham partai Nazi (Nazisme), dan eksistensialisme. Sebab masing-masing faham tersebut bukanlah aqidah aqliyah dan di atas faham itu tidak dibangun berbagai pemikiran pemecah problematika kehidupan. Karena itu mabda’ diterjemahkan dalam arti idiologi belum tepat sasaran sebab mabda’ adalah prinsip pemikiran dasar yang darinya terlahir pemikiran-pemikiran pemecah problematika ummah.

Sedangkan agama-agama yang ada, jika aqidahnya, bersifat aqidah aqliyah yang diperoleh dengan jalan berfikir, dan darinya terlahir nidzom yang memecahkan problematika kehidupan, atau di atasnya dibangun berbagai pemikiran, maka agama itu adalah suatu mabda’ yang sesuai dengan ta’rif mabda’ dalam pembahasan ini. Tetapi jika aqidahnya tidak bersifat aqliyah karena diperoleh dengan cara naluriah (wijadaniyah) dan diterima begitu saja oleh pemeluknya tanpa melalui pembahasan akal; darinya tidak terlahir nidzom; dan di atasnya tidak dibangun berbagai pemikiran, maka agama ini bukanlah suatu mabda’. Sebab, aqidah agama itu tidak bersifat aqliyah dan darinya tidak terlahir aturan-aturan kehidupan (andhimatul hayah).

[]

Mar 17, 2009

Menata Niat

Firman Allah swt. dalam QS. Adz-Dzâriyât: 56’ yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”

Jamaah Jum’at yang berbahagia, hafidlokumulloh,

Pertama-tama dari atas mimbar ini wasiat bersama untuk diri saya sendiri dan yang hadir di tempat yang berkah ini yang terkait dengan penghambaan kita kepada Allah Swt. sebatas mana kita telah melaksanakan penghambaan ini yang mestinya hamba seharusnya patuh terus kepada Allah swt. yang telah menciptanya, yang mengatur hidupnya. Sudah tentu yang demikian, Allah swt. haknya untuk disembah dan dipatuhi ini akan memberikan berkah dalam kehidupannya.

Seorang muslim, melakukan pekerjaan sekecil apapun harus mengetahui apakah hukumnya hal ini sangat penting. Halal ataukah haram, makruh atau sunnah. Keterikatan inilah yang disebut dengan takwa. Takwa yang memiliki arti menaati segala perintah-perintahNya dan menjauhi segala larangan-larangannnya.

Jamaah Jum’at yang berbahagia, hafidlokumulloh,

Pada muqoddimah khutbah, kami menyampaikan di antara firman Allah swt. yang terkait dengan tahrirun niyah (menata niat) terkait dengan ibadah karena kita diciptakan ini oleh Allah yang untuk beribadah seperti yang difirmankan Allah swt. dalam. Adz-Dzâriyât: 56 yang artinya

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”


Artinya, Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengenal Aku, setelah mengenal Aku mengagungkan Aku, setelah mengagungkan Aku, menyembah Aku. Menyembah yang bersifat khusus yang disebut ibadah makhdo (sholat, puasa, haji dan lain-lain) dalam aturan-aturan tertentu. Menyembah bersifat umum, segala kegiatan dan aktifitas kita selama berdekatan dengan Allah, Allah al-Qorib (Maha Dekat).

Pekerjaan kita sehari-hari sekecil apapun selama itu dekat dengan Allah disebut ibadah. Peran Basmallah dan Hamdalah sangat penting dalam aktifitas tersebut agar dapat menjadi ibadah. Dimulai dengan Basmalah maka, makan kita ingat Allah diakhiri dengan Alhamdulillah yang telah memberikan makan. Hidup yang ibkah (hidup yang berberkah) adalah hidup yang diberi oleh Allah sesuatu yang baik menurut Allah, menurut aturan-aturan Allah tidak hidup dengan aturan-aturan dan pikiran kita sendiri, tidak juga seukuran kemampuan kita. Tips berkah itu sendiri adalah kita tidak pernah lepas dari kehidupan kita ini untuk ibadah atau tidak. Sementara jika kita mengandalkan kemampuan atau pikiran kita sangat terbatas berbeda jika mengkaitkan segala aktifitas dan kegiatan kita kepada Allah maka dia akan bernilai ibadah. Tidak semata-mata tujuan kita hanya mendapatkan uang sebagai contoh, tidak juga bertujuan mendapatkan keberuntungan tetapi yang kita kerjakan adalah semata-mata untuk beribadah karena Allah.

Jika seseorang makan umpamanya kemudian dalam makan itu dia mengingat Allah swt. Semoga dengan makan ini diberi kekuatan untuk beribadah kepada Allah maka makannya itu memiliki status ibadah. Di sinilah kemudian ayat Alquran yang saya bacakan di atas menentukan selalu dalam kehidupan kita ini dan menjadikan berkah kehidupan ini karena Allah berfirman, yang artinya:

“Barangsiapa berniat untuk mendapatkan akhirat (pekerjaan yang segalanya memenuhi akhirat) maka pada Allah kami akan menambahkan kelapangan pada pekerjaannya itu”

Menambahkan artinya cukup Allah melipatkan gandakan 10 kali kebaikan dalam pekerjaannya itu bahkan bisa sampai 700 kali Siapa yang dapat memberikan balasan sebaik itu kalau tidak Allah swt. “Barangsiapa menghendaki semata dunia, Saya akan memberikan yang sudah tentu Allah telah menentukan kadar rezekinya, jika ia sempit rezekinya maka ia akan sempit, jika sudah ditentukan lapang rezeki maka ia akan lapang rezekinya. Permasalahannya, sempit atau lapang rezeki bagi Allah tidak masalah, semuanya itu merupakan ujian, kalau toh ia lapang rezeki bukan berarti ia dimuliakan oleh Allah, bersyukur atau tidak jika ia lapang rezeki sementara yang diberi kesempitan rezeki, sabar atau tidak dengan hal tersebut. Lapang atau sempit rezeki tidak ada bedanya. Begitu juga, kaya atau miskin, sama saja. Karena itu sangat sayang jika kehidupan yang kita jalani tidak diniatkan untuk akhirat sama sekali. Sangat rugi.

Rasulullah saw. berkata “Barangsiapa akhirat itu menjadi tujuan niatnya maka hal-hal yang menjadi tujuannya akan dikumpulkan oleh Allah entah darimana jalannya, tahu-tahu datang dari sana dan sini”.

Subhanallah. Dan Allah menjadikan kaya hati di dalam hatinya, semuanya merasa cukup, jika mendapatkan uang sedikit cukup, mendapatkan banyak cukup, itulah jika tujuan akhirat menjadi tujuannnya. Tiba-tiba dunia datang dengan sendirinya, dunia mengejarnya karena niat akhiratnya itu. Sementara itu barang siapa tujuannya adalah dunia, maka Allah akan mengocar-ngacir. Terkadang yang dituju tidak dapat malahan berlari menjauh. Jika dapatpun maka hatinya tidak pernah puas. Betapa pun mendapatkan uang yang banyak. Padahal tidak datang urusan dunianya kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah swt. kepadanya. Jika kita melihat orang-orang sholeh, tidak pernah ngoyo, selalu mensyukuri, tidak pernah lepas dari Allah swt. ada atau tidak tetap bersyukur dan cukup. Sementara orang yang menjadikan siang jadi malam atau malam menjadi siang, kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki, toh tetap dapatnya segitu saja. Menjadikan hidup berkah ini sangat penting dan sangat terkait dengan niat yang kita pasang, niat yang kita gotong, niat menjadi salah jika kita wirid-an yang banyak agar dagangan kita laris. Aneh. Semestinya kita mencukupi dunia untuk kekuatan beribadah. Sholat dhuha, sholat tahajjud seumpama agar lancar rizki. Terbalik. Padahal sing dunaini dapat mengakhirati sementara yang akhirati ternyata duniani. Segala aktifitas yang kelihatan seperti dunia dapat menjadi aktifitas akhirat. Dan sebaliknya aktifitas yang kelihatan seperti akhirat ternyata bersifat dunia. Ini semua terletak pada niat awal yang dipasang. Niat yang dipasang di awal inilah yang harus di tata kembali. Keberkahan akan kita dapatkan jika meletakkan nait kita di awal sebagai ibadah.

Walaupun seseorang duduk di masjid, hendaknya dia tidak sembarang duduk, jika niat awal adalah itikaf, maka duduknya itu bernilai ibadah. Contoh lain, jika seseorang sikat gigi kemudian dia ingat Rasulullah selalu membawa sikat untuk mengosok gigi maka itu dapat bernilai ibadah dengan niat mengikuti sunnah Nabi.

Dalam satu kaidah di katakan
“Dengan niat yang baik dan tulus maka kegiatan sehari-hari itu dapat bernilai ibadah.”

Alangkah indahnya jika seluruh aktifitas kita sehari-hari bernilai ibadah dan kita akan mendapatkan ganjaran di akhirat dikarenakan karena setiap kebaikan akan bernilai 10 kali dan akan berlipat sesuai dengan janji Allah.

Kembali kepada firman Allah di atas mari kita pahami bersama dan menata kembali niat agar setiap aktifitas kita berkah dan diberkahi Allah swt.

[]

Mar 12, 2009

Hukum Merokok

Saya termasuk orang yang terbiasa merokok. kayaknya kebiasaan ini sulit saya tinggalkan. Dalam dunia luas pun kini saya melihat merokok juga menjadi kebiasaan yang umum walaupun publikasi antirokok digemakan dimana-mana. Bapak pengasuh fas'alu, lalu apa hukumnya kebiasaan saya merokok ini? Benarkah haram?

Mubarrok Ali, Giligenting Sumenep.


Jawaban:

Mudah-mudahan Alloh merahmati kita semua. Sesungguhnya merokok yang dikenal sekarang ini tidak dijumpai pada masa Nabi dan juga pada masa sahabat. Dari itu, tidak pula dijumpai dalam kitab Alquran maupun As-Sunnah dalil yang tegas atas keharaman menghisap benda dari tembakau ini. Sementara hasil ijtihad pada ulama ber-ikhtilaf, antara yang menghukumi haram dan yang menghukumi makruh.

Al Imam As Sayid Alawi Al Maliki (1328-1391) mengatakan jika seseorang berkeyakinan merokok membahayakan kesehatan dirinya atau menurutnya merokok dapat menutupi fungsi akalnya, seperti banyak dinasihati banyak para dokter maka menjaga kesehatan dan melestarikan fungsi akal adalah suatu keharusan. Kebiasaan merokok seyogyanya juga harus ditinggalkan jika timbul efek negatif, seperti bertumpuk-tumpuknya hutang, terputusnya nafkah atas keluarganya, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, sebagaimana yang anda sebutkan pada pertanyaan, merokok telah menjadi gejala umum masyarakat, baik dikota maupun di desa, baik fakir maupun kaya, laki-laki atau perempuan. Hardikan tidak lagi didengar dan nasihat tidak juga akan berguna. Seakan-akan secara kasar merokok telah membentuk menjadi baliyyah aammah (bencana yang umum). Oleh karena itu, kayaknya tidak bilhikmah jika harus dikatakan kepada mereka itu merokok adalah haram. Dengan kenyataan seperti ini, diambil hukum merokok adalah makruh sesuai dengan kaidah:

Jika suatu perkara sempit, maka ia menjadi luas.

Sikap orang-orang yang wira'i (berusaha selalu menjaga diri dari haram) dahulu mereka senantiasa menjauhi menghisap benda yang diduga mengandung racun nikotin itu meskipun hukumnya setengah makruh. Cukup bagi mereka bahwa asap rokok mempunyai pengaruh bau yang tidak sedap, sementara malaikat tidak mau bergaul bersama bau yang tidak baik itu. Artinya, dari pada jiwa kosong dari malaikat maka lebih baik tubuh dijauhkan dari merokok. Itu pertimbangan mereka.

Wallahu a'lam.

[]

Mar 11, 2009

Bahaya Mengkonsumsi Khomr, Efek Pergaulan Bebas dan Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anaknya

Mohon dijelaskan tentang bahaya minum dan efek lainnya. Begitu juga tentang pergaulan bebas dan peran orang tua terhadap anaknya?

08564832xxxx

Jawaban:

Sebuah keyakinan harus ditanamkan bahwa semua hal yang diperintahkan pasti di dalamnya ada banyak kebaikan yang terpendam. Sebaliknya larangan diberlakukan semata sebagai tindakan antisipatif terhadap bahaya. Salah satunya larangan minum arak atau sejenisnya. Meski secara medis bahaya dari Khomar (minuman keras dan segala bentuk minuman yang mengandung zat adiktif) sudah sangat jelas, akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa sebelum dunia medis menemukan dan menyarankan agar Khomr dijauhi, Islam telah lebih dahulu mengeluarkan larangan mengkonsumsi Khomr. Larangan ini menjadi salah satu program kerja Risalah yang dibawa oleh Rosululloh SAW. Ketika itu meminum Khomr merupakan suatu hal yang membudaya di kalangan masyarakat, termasuk para sahabat Rosululloh SAW. Hingga pada suatu ketika orang-orang bertanya tentang Khomr, lalu Alloh menurunkan firmanNya, “Mereka bertanya kepadamu tentang Khomr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” QS al Baqoroh: 219. Mendengar ini orang-orang berkata, “Arak dan judi tidak diharamkan, hanya saja Alloh menjelaskan bahwa dosanya (dampak negative yang mengantar pada dosa) lebih besar daripada manfaatnya.”


Budaya minum Khomr terus berjalan hingga pada suatu saat seorang sahabat menghadiri undangan yang disitu juga disuguhkan arak. Sahabat tersebut lalu minum dan tak lama kemudian dating waktu sholat. Dia lalu ditunjuk menjadi Imam dan ketika itulah dia melakukan kesalahan fatal dalam membaca Alqur’an. Hingga lalu turunlah firman Alloh, “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian melakukan sholat, sedang kalian dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan…” QS an Nisa’:43. Setelah turun ayat ini, para sahabat lalu tidak lagi meminum arak dalam waktu-waktu sholat. Baru sesudah sholat Isya’, mereka baru mau minum dan bangun tidur saat pengaruh arak sudah hilang. Larangan meminum arak secara total, akhirnya berlaku setelah turun firman Alloh, “Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya arak, judi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” QS al Ma’idah: 90.

Salah satu rahasia kenapa Khomr, yang begitu membudaya pada saat itu, diharamkan karena Khomr merupakan awal dari segala keburukan dan kejahatan prilaku manusia yang pada intinya justru merugikan diri sendiri. Dalam keadaan mabuk maka tanpa sadar bisa saja seorang mentalak istrinya, dan itu sah serta terjadi. Khomr, dengan zat adiktifnya membikin orang ketagihan hingga dengan cara mencuri atau merampok dan lain-lain. Karen atulah Ustman bin Affan ra pernah berkata, “Jauhilah Khomr, sebab ia pokok segala keburukan (Ummul Khoba’its)” Menantu Rosululloh SAW itu melanjutkan, “Dulu ada seorang lelaki ahli ibadah dan melakukan Uzlah. Ada seorang wanita kaya raya yang jatuh cinta kepadanya. Wanita itu kemudian menyuruh sahaya wanitanya agar dating ke ahli ibadah tersebut untuk mengundangnya sebagai saksi. Setelah tiba di rumah yang mengundang, ahli ibadah itu menyaksikan seorang wanita jelita sedang duduk bersanding dengan seorang anak muda dan di hadapannya juga ada botol-botol Khomr. Melihat tamunya dating, wanita berkata, “Demi Alloh, saya tidak mengundang anda untuk bersaksi. Tetapi agar anda menyetubuhi saya, atau membunuh anak muda ini atau meminum arak ini!” Lelaki ahli ibadah yang kini terkurung dalam ruangan terkunci itu akhirnya terpaksa melakukan pilihan. Dia lalu meminum arak hingga kesadarannya hilang dan akhirnya menyetubuhi si wanita serta membunuh anak muda. Karena itulah jauhilah Khomr, sebab Khomr tidak bisa berkumpul dengan keimanan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ayat 90 QS al Ma’idah)

Pergaulan bebas adalah ungkapan dari realitas di mana seorang bergaul dengan siapapun dan apapun model kelakuannya, atau pergaulan lelaki dan perempuan secara bebas tanpa batas sedikitpun terhalangi oleh sekat etika dan budaya. Di sini orang tua harus melakukan usaha maksimal agar anak-anak terhindar dari penyakit yang sudah mewabah tersebut.

[]

Mar 9, 2009

Ukuran Perbuatan

Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami?

Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. QS. Al An’am: 116

Sebagian besar manusia berjalan dalam kehidupan ini tanpa pegangan (petunjuk). Mereka mengerjakan suatu amal perbuatan tanpa adanya ukuran (standar) yang digunakan untuk menilai perbuatan tersebut. Oleh karenanya mereka melakukan perbuatan buruk (qobihah) namun beranggapan perbuatan tersebut adalah suatu kebaikan (hasanah). Demikian juga, mereka menjauhi amal kebaikan karena beranggapan bahwa amal tersebut adalah suatu keburukan.


Mereka menjadikan akal sebagai ukuran (standar) perbuatan, sedangkan akal kadangkala memandang sesuatu sebagai kebaikan pada hari ini, kemudian menilainya sebagai keburukan di hari esok. Dan kadangkala akal menilai sesuatu sebagai kebaikan disuatu negeri, dan menilainya sebagai suatu keburukan di negeri yang lain. Mereka tidak konsisten, karena sesuatu dianggap sebagai kebaikan pada suatu keadaan, dan menganggapnya kejelekan pada keadaan yang lain. Sehingga terjadilah suatu penetapan hukum atas sesuatu masalah dengan tanpa adanya ukuran yang jelas (terbawa tiupan angin). Sehingga menjadilah kebaikan dan keburukan sebagai suatu yang nisbi dan tidak hakiki.

Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. QS. Al Kahfi: 103-105.

Islam telah menetapkan suatu standar nilai (ukuran perbuatan) untuk mengukur segala macam perbuatan manusia, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang buruk dan mana yang baik. Sehingga hal ini dapat mencegah manusia dari perbuatan yang buruk dan membimbing manusia melakukan perbuatan baik.

Standar nilai tersebut adalah hukum syara’ bukan yang lainnya. Maka dari itu apapun yang dinilai baik oleh syara’, ia adalah kebaikan, dan apapun yang dinilai buruk oleh syara’, ia adalah keburukan. Standar ini bersifat abadi (dâimy) sehingga suatu yang baik tidak akan berubah menjadi buruk, dan sebaliknya.

Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. QS. Al An’am: 153.

Tetapi sayang, di antara kaum muslimin ada yang pura-pura lupa dari standar perbuatan ini, seakan-akan dia tidak merasa terikat dengannya.

Kenyataan yang kita lihat, banyak para wanita muslimah yang berada sepanjang jalan ibu kota negeri-negeri Islam seperti Beirut, Damaskus, Baghdad, Jakarta dan lain-lainnya, berkeliaran sambil memperlihatkan betisnya, serta memperlihatkan keindahan tubuhnya. Mereka menyangka dengan melakukan perbuatan tersebut mereka telah melakuan suatu kebaikan. Demikian pula dengan seorang laki-laki wara’ yang senantiasa berdiam di masjid, mengharamkan dirinya mencampuri urusan pemerintahan, dengan alasan bahwa hal itu termasuk urusan politik (as siyasah). Ia menganggap bahwa turut campur dalam masalah politik termasuk perbuatan tercela.

Sesungguhnya, keduanya telah terjebak dalam perbuatan dosa. Si wanita mempertontonkan auratnya, sedangkan si laki-laki tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin, karena keduanya tidak mau mengambil standar untuk dirinya dalam menilai perbuatannya. Sekiranya mereka mau mengambil standar dalam hal tersebut maka tidak akan terjadi paradoksi antara perilakunya dengan mabda’ (prinsip dasar hidup/idiologi) yang mereka ikrarkan sebagai keyakinan yang dipeluknya.

Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari tidak adanya ketetapan suatu standar nilai bagi amal perbuatan mereka. Oleh karena itu, adanya standar nilai yang berfungsi sebagai alat ukur perbuatan manusia adalah suatu keharusan, sehingga manusia akan mengetahui hakekat suatu amal sebelum dia mengerjakannya. Standar perbuatan tersebut adalah syara’ dan tidak ada yang lainnya.

Alloh Subhana wata’alah berfirman, yang artinya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. QS. Al Jâtsiyah: 18.

[]

Transfer Penyakit ke Hewan

Bagaimana Islam memandang penyembuhan penyakit dengan mentransfer penyakit itu ke hewan?

Abdullah, Malang


Jawaban:

Dalam islam ada satu prinsip:

“Tidak boleh membahayakan orang lain juga tidak boleh membalas bahaya dari orang lain” HR. Ibnu Majah – Daru Quthni.

Dari sini kemudian muncul kaidah bahwa bahaya (Dhoror) harus dihilangkan. Meski begitu menghilangkan bahaya tidak diperbolehkan dengan memunculkan bahaya yang lain. Tidak dipekenankan menenggelamkan perahu orang lain demi keselamatan perahunya. Tidak diperbolehkan mengambil makanan orang lain yang juga terdesak seperti dirinya. Selain itu juga jika tidak ada pilihan maka diperbolehkan melakukan atau memilih bahaya yang lebih ringan. Ada sebuah kaidah dalam:

“Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menghindari bahaya yang lebih besar” (Lihat al Wajiiz Fi Ushul Fiqih/228. DR Wahbah Zuhaili)

Karena itu dipersilahkan diam dari kemungkaran apabila justru menimbulkan bahaya besar jika dilakukan tindakan pencegahan. Berdasarkan hal–hal tersebut, mentransfer penyakit ke hewan merupakan hal yang sah dilakukan kalau memang tidak ada pilihan selain itu. Apalagi jika kembali pada prinsip bahwa hewan (dalam hal ini adalah ternak) diciptakan untuk kemanfaatan manusia, maka tanpa terkebih berpegang pada azas di atas pun tidak masalah. “ Dan mereka memperoleh padanya (ternak – ternak) manfaat–manfaat dan minuman–minuman....”QS Yasin: 73. Hanya saja agar tidak terjadi penganiayaan terhadap hewan maka sebaiknya setelah penyakit dipindahkan maka hewan itu sebaiknya disembelih dan kemudian dagingnya disedekahkan. Dengan begitu upaya penyembuhan juga dilakukan dengan sedekah. “ Obatilah orang – orang sakit kalian dengan sedekah”.

[]

Menuju Jalan Keteguhan

Termasuk pengaruh positif (atsar) rasa saling mencintai karena Allah adalah ketika Allah mengumpulkan kita dalam Kutlah yang indah ini. Kutlah yang berdiri untuk Islam dengan mendermakan segala kemampuan demi menyelamatkan umat ini dari aneka ragam pemikiran yang merusak demi mencetak generasi muslim yang terbina, berangkat dari firman Allah swt.,”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kami dikembalikan.” QS. Al-Baqarah: 245.


Telah dimaklumi bahwa lipatganda pahalah adalah bagian dari anugerah Allah dan anugerah Allah itu luas. Allah Maha Pemilik anugerah yang agung. Lipatganda pahala terpaut sesuai dengan jerih payah orang yang beramal karena Allah. Lipatganda pahala menjadi motivasi untuk giat beramal karena Allah di samping melawan kedodoran (Futur) serta rasa malas. Lipatganda pahala juga menjadikan muslim sebagai seorang Raghib, Shadiq, dan Mukhlish. Keterpautan tersebut dijelaskan oleh Allah:

1. ”Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang merek sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” QS. Al-An’am: 160.

2. ”Dan Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” QS. Al-Baqarah: 265.

3. ”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 261.

4. Sesuatu (pahala) yang terus mengalir setelah manusia meninggal dunia seperti sabda Rasulullah saw.,”Ketika anak Adam meninggal maka amal-amal terputus darinya kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.” HR. Muslim Bab Ma Yalhaq al Ihsan min ats tsawab ba’da wafatih). Hadits ini semestinya bisa dipergunakan memotivasi dan meneguhkan diri kita berada dalam Kutlah ini yang secara bersama-sama mengikat dan menghubungkan kita dengan tiga hal tersebut; Sedekah jariyah demi perluasan dalam kepengurusan, Ilmu yang bermanfaat demi memperdalam wawasan keIslaman kita yang mempunyai modul, ciri khas tersendiri atas dasar penyatuan fikrah sebagai suatu aktifitas bersama, Anak yang shaleh yang selalu mendoakan demi mencetak generasi yang memiliki keimanan kuat sebagaimana diperingatkan Allah, ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” QS. An-Nisa’: 9.

Catatan:
a. Sabda Rasulullah saw.,”Yad’u lahu (yang selalu mendoakannya)” teks ini tidak bersifat mengikat (taqyiid), tetapi hanya sekedar dorongan (tahridh), sebab orang tua tetap mendapatkan pahala (poin) dari anak shalehnya setiap kali si anak beramal shaleh baik ia berdoa untuk orang tuanya maupun tidak berdoa atau sekedar menunjukkan makna taghlib (kebanyakannya) sesuai keberadaan anak sebagai seorang yang paling peduli memperbanyak doa untuk orang tuanya.

b. Sesuatu (pahala/poin) yang dikumpulkan untuk orang yang menyeru kepada petunjuk ketika ia juga mendapatkan pahala sepadan dengan pahala orang-orang yang mengikutinya seperti disebutkan dalam hadits, (Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk maka baginya pahala sepadan dengan pahala orang-orang yang mengikutinya, sedikitpun itu tidak mengurangi pahala mereka. Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa sepadan dengan dosa orang yang mengikutinya, sedikitpun itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka.” HR. Ahmad Muslim.
Seperti yang berkembang pada masa ini berupa akad dengan sistem MLM (Multi Level Marketing).

Abuya As Sayyid al Habib Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani dalam Dzikrayat wa Munasabat hal 137 mengatakan:

Dan itu semua menjadi berlipat ganda dengan keberadaan penyeru petunjuk atau perintis suatu sunnah hasanah yang mendapat pahala dari orang yang mengikuti dan menjalankannya sesuai dengan jumlah mereka yang kemudian lipat ganda tersebut juga berlaku bagi Nabi kita Muhammad saw. Selaku manusia yang menunjukkan sekaligus diutus kepada orang tersebut. Jadi tiada seorang Arif dari umat ini kecuali Rasulullah saw. Juga mendapat pahala yang sepadan dengan pahala makrifatnya serta digabungkan dengan makrifat-makrifat Beliau saw. Tiada seorang pemilik Hal dari umat ini kecuali Rasulullah saw. Juga mendapat pahala sepadan dengan pahala Halnya seraya digabungkan dengan Ahwaal Beliau saw. Tiada Maqalah yang mengantarkan kepada kedekatan dengan Allah swt. Kecuali Rasulullah mendapatkan pahala sepadan Maqalah tersebut seraya digabungkan dengan Maqalah dan penyampaian Risalah Beliau. Tiada amal yang mengantarkan kepada kedekatan dengan Allah Azza wajalla yang berupa shalat, zakat, memerdekakan budak, jihad, berbakti, berbuat baik, dzikir, sabar, dan memaafkan kecuali Rasulullah saw. Mendapatkan pahala sepadan dengan orang yang menjalankan amalan tersebut seraya digabungkan dengan amal-amal Beliau. Tiada derajat tinggi dan martabat mulia yang dicapai seseorang dari umat ini atas bimbingan dan petunjuk Beliau kecuali Beliau juga mendapatkan pahala sepadannya seraya digabungkan dengan derajat Beliau saw.

Karena itulah dikatakan:

Cintailah Nabimu, agungkanlah derajatnya.
Bersikaplah pelit dengan agamamu, selamat terlihat ada dosa pada dirimu.


[]

Mar 3, 2009

Batasan-batasan Alloh dalam Rumah Tangga

Kehidupan yang kita cari adalah kehidupan yang tenang damai seperti harapan kita saat bertemu dan mendiami perkampungan yang sangat damai karena ridho Alloh Ta’ala yaitu surga yang kita harapkan.
Alloh Ta’ala mempunyai sifat As Salam seperti dalam doa “Allohumma antassalaam, waminkassalaam, tabaarokta yaa dzaljalaali wal ikrom”.
Artinya, Alloh yang maha memberikan keselamatan, kedamaian, ……..”

Ketika memberikan aturan hidup kepada manusia seluruhnya, Alloh Ta’ala telah menentukan khudud/batasan–batasan sebagaimana yang disabdakan Rasululloh saw. yang artinya, “Bahwa Alloh Ta’ala telah menetapkan batasan–batasan, maka kalian jangan melampauinya/menyimpang dari batasan–batasan itu”.

Oleh karena itu, adamul i’tida’ (tidak melewati batas ini) akan menghantarkan pada keseimbangan (yuaddi attawazzun) dan keseimbangan itulah yang membawa kedamaian dan keselamatan bersama.

Jika suami/isteri bisa melaksanakan khududulloh tersebut dengan baik maka Insya Alloh dalam kekeluargaan ini tidak akan terjadi ketimpangan–ketimpangan. Jika terjadi ketimpangan–ketimpangan dalam keluarga kita, maka mau tidak mau kita harus mengakui dan mengoreksi adanya al i’tida’/melewati batas itu saja, apalagi jka dihubungkan dengan tangung jawab kita masing–masing. Rasululloh saw. bersabda yang artinya, “seluruh kalian itu adalah penggembala dan tiap–tiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya.”


Berarti ada yang digembala. Kalau tidak pun --seperti tidak ada yang digembala-- maka diri kita masing–masing yang harus menggembala diri kita. Kita mengatakan bahwa diri kita mengarahkan nafsu kepada yang diridhoi oleh Alloh swt. Masing-masing mempunyai tanggung jawab dari apa yang ia gembalakan. Wal amiiru ro’in, maka pimpinan adalah penggembala. Warrojulu ro’in ala ahli baitihi, laki-laki /suami adalah penggembala atas keluarga rumahnya. Wal mar’atu roiyatun ala baiti zaujiha wawaladihi, wanita/istri adalah penggembala atas rumah suaminya dan anak-anaknya.

Rasululloh menyebutkan bahwa warrojulu ro’in ala ahli baitihi, dan suami yang menjadi tanggung jawabnya adalah keluarga yang ada di rumahnya, termasuk isteri dan anak-anaknya dan tingkat riayahnya ini yang terpenting adalah seperti firman Alloh. Ya ayyuhal ladziina amanuu quu anfusakum wa ahliikum naaro. Hal ini sangat berat karena bukan masalah harta, tetapi bertanggung jawab apakah isteri masuk neraka atau tidak, bertanggung jawab pada anak-anaknya apakah masuk neraka atau tidak. Kalau isteri dan anaknya masuk neraka berarti dia juga masuk neraka karena tidak memperhatikan penuh terhadap isteri dan anaknya. Apabila suami sudah menyampaikan riayahnya, lalu isterinya/anaknya tidak mau mendengar, ini lain masalahnya.

Diperlukan adanya wiqoyah, yaitu penjagaan yang terus-menerus. Tidak ada cara lain bagi suami kecuali harus menjaganya terus. Hal in berat sekali karena memerlukan semacam muroqobah yang terus-menerus agar keluarga kita ini tidak masuk neraka. Proses ini harus dimulai sejak dini, yaitu dari permulaan memilih jodoh kemudian bagaimana melanjutkan perjodohan lalu bagaimana isteri sedang hamil, melahirkan, dan mendidik anak itu melalui proses yang sangat panjang.

Apa artinya hidup dalam keadaan yang baik kemudian ujung-ujungnya hanya masuk neraka. Jadi, di sini yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan isteri dan anak-anak dari api neraka. Dan ini merupakan proses yang berat sekali seperti firman Alloh mengatakan Arrijaalu qowwaamuuna ‘alan nisaa’, Al qiwamah ini betul-betul berat.

Wal mar’atu ro’iyatun ‘ala baiti zaujiha, wanita bertanggung jawab atas rumah suaminya yang nanti mempunyai nilai yang sangat tinggi di sisi Alloh swt. karena sebagai ibadah. Ini yang penting kita catat karena tidak sekedar riayah, yaitu merawat tapi Alloh menilainya sebagai ibadah yang cukup membandingi ibadah-ibadah berat yang dilakukan oleh laki-laki. Ijadul bait, mewujudkan rumah adalah kewajiban laki-laki, apa kontrak atau milik sendiri. Sedangkan tanggung jawab merawat rumah dan sarana-sarananya, seperti kursi, lemari, televisi yang dibeli laki-laki adalah isteri, mulai dari kebersihan, kerapihannya, keserasian, keindahan, menata isi lemari.

Di dalam rumah harus ada kehidupan. Yang mewujudkan sarana kehidupan adalah tugas/ kewajiban suami. Jadi, sebaiknya yang wajib membelanjai adalah suami. Menurut Islam, sebaiknya wanita itu berada di rumah. Pasar-pasar di Hijaz, Mekkah dipenuhi oleh laki-laki yang belanja. Wanita hanya memasak. Kalau suami menyerahkan tanggung jawab belanja dan memasak kepada isteri itu namanya laki-laki pemalas/koplo.

Karena itu, Rasulullah keluar membawa tas sendiri untuk belanja sendiri. Alangkah senangnya isteri diajak belanja ke plaza. Hal-hal kecil, kalau bisa menambah keharmonisan keluarga, sebaiknya dilakukan. Karena itu, kita akan membicarakan batasan Islam. Kita tidak mengaca pada kehidupan yang sudah berjalan sekarang ini. Kalau ingin mendapat ridho Alloh swt., kembalilah kepada batasan-batasan Islam, jangan menggunakan ukuran-ukuran orang banyak.

Sudah tentu dengan berbagai upaya dan latihan-latihan pada akhirnya memberikan kedudukan semestinya, mana tempat laki-laki dan tempat wanita. Kalau kemudian yang terjadi adalah isteri belanja sekaligus memasak, laki-laki harus minta maaf/ridhonya isteri. Hal ini seperti juga ketika kita makan bersama-sama, maka pertama kali rezekimu adalah yang di mukamu. Makanlah apa yang disampingmu. Kalau yang di depan kita kebetulan berupa sambel saja, jangan tangannya mengambil ke sana, terus ke gule. Inilah Islam. Islam memberikan sekian banyak batasan sampai pada tingkat kita ini makan bersama.

Kalau dalam hal-hal seperti tersebut di atas ada khudud/batasan, maka sudah tentu masalah kerumahtanggaan ada khudud. Bisa jadi suatu saat suami/isteri mengeluh bila tidak tahu akan hak-hak dan khudud-khududnya. Kalau dipikir, banyak sekali hak-hak yang mestinya pada laki-laki dilimpahkan kepada wanita. Menyapu adalah tugas wanita, mengepel tugas wanita, mencuci tugas wanita (suami beli mesin cuci).

Melihat sekian banyaknya tugas yang harus dilakukan oleh isteri bahkan kadang-kadang sampai menumpuk, maka suami perlu untuk meringankanya seperti mendatangkan pembantu sesuai dengan madzhab Syafii. Sebab yang kita bicarakan adalah wanita yang kata Rasulullah Saw mempunyai tugas haamilatun (hamil), waalidatun (beranak), raahimatun (kasih sayang). Jadi, tidak cukup beranak saja, tetapi yang mengurusi anaknya dari kecil sampai besar ini sangat berat. Dan Alloh tidak akan pernah menyia-nyiakan amal seseorang. Rasululloh menyebutkan bahwa husnu tabaa’ulaki yuaddi bidzaalik. Para isteri berbuat untuk suaminya dan anaknya, pahalanya seperti ibadah yang dilakukan oleh laki-laki, apakah jihad fisabilillah atau yang lain.

Orang dahulu memberikan patokan 4 M (maca’, mapan, manak, masak). Menyuguhkan makanan membawa pengaruh besar dalam membentuk ta’liiful quluub. Akan tetapi, sebetulnya ada perasaan lebih senang apabila suami makan dari apa yang dimasakoleh isterinya dan ini yang membentuk ta’liiful quluub. Jadi, ith’aamuth tho’aam ini merupakan sarana untuk membentuk ta’liiful qulub.

Kenyataan yang ada, yaitu masyarakat Indonesia ini bisa guyub sebab sering selametan, kenduren. Karena itu, hubungan antartetangga bisa jadi baik dengan hal-hal seperti itu. Hal ini sangat jauh dengan masyarakat luar yang hidupnya individualistis. Rasululloh memberikan tuntunan bagi para tetangga, yaitu tahaaduu tahaabuu, saling memberikan hadiah pada tetangganya maka akan menjalin kecintaan bersama. Itu hadis Rasululloh saw. yang telah dijalankan oleh orang-orang dahulu yang akhirnya bergeser sehingga masyarakat menjadi lebih hidup.

Artinya, dari batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Alloh swt. dan Rasululloh saw. kalau kita jalankan sebetulnya tidak akan memunculkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Jadi, kembalilah kita semua pada khududulloh maka selesailah permasalahan ini semua. Maknanya, apabila ada ketimpangan-ketimpangan yang muncul dalam keluarga maka harus koreksi diri sedini mungkin. Jadi harus terus dikoreksi, sebab pertautan hati ini sudah diciptakan oleh Alloh SWT. Tidak seperti kita mempunyai kesalahan pada orang lain dengan kita mempunyai kesalahan pada isteri.

Kesalahan yang terjadi antara suami isteri, kita bisa melaksanakan attaghooful (wis koyok gak ono opo-opo). Hal itu lain dengan kita dengan orang lain. Penyelesaiannya memerlukan waktu yang lama dan proses yang panjang untuk bisa memaafkan atau tidak memaafkan. Sedangkan dengan isteri karena Alloh sudah mempertautkan dan Alloh lebih tahu pasangannya masing-masing. Kita ini tidak perlu membuat rumah tangga ini jadi repot sendiri. Jadi, kalau ada di dalam rumah tangga muncul kesukaran yang dialami, kita harus kembali pada diri kita bahwa kesukaran itu kita buat sendiri, kecuali kalau ada gangguan-gangguan eksternal.

Tidak menutup kemungkinan, dalam keluarga itu di antaranya ada orang lain. Kemudian setan itu mempunyai target pada manusia ini. Pertama, mengajak manusia untuk syirik dan kufur. Apabila ini tidak berhasil, selanjutnya diajak bid’ah. Apabila tidak berhasil, disuruh diajak berbuat dosa besar. Apabila tidak berhasil, selanjutnya diajak berbuat dosa kecil dan menganggap bahwa melakukan dosa kecil itu seperti tidak dosa sampai pada tingkat seperti itu. Kalau sudah tidak bisa, maka sekiranya seorang ini melakukan atau disibukkan dengan hal-hal yang mubah sampai orang tersebut tidak mendapat pahala sama sekali.

Padahal, seorang muslim ketika melakukan hal-hal yang mubah itu tetap mendapatkan pahala dari hal-hal yang mubah itu, misalnya duduk di masjid saja. Akan tetapi, kalau kita niati i’tikaf, pasti ada pahala untuk i’tikaf itu. Menyikat gigi kalau kita niati bersiwak kepada rasul maka akan menjadi sunnah. Apabila tidak bisa, maka diajak melakukan hal-hal yang tidak utama dan mubah, misalnya makan dengan tangan kanan tetapi kita lakukan dengan tangan kiri. Kita tahu bahwa makan itu dengan tangan kanan.

Rasululloh sampai pernah tidak senangnya pada orang makan dengan tangan kiri. Ketika ada seorang sahabat makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda: qul biyamiinik, makanlah kamu dengan tangan kananmu. Tidak bisa, ya Rasululloh. Memang saya sudah begini kalau makan. Kata Rasululloh:. Maa fa’alta, kamu tidak bisa berbuat apa-apa, maka tangannya langsung menjadi lumpuh. Atau diajak oleh setan melakukan hal-hal yang tidak berpahala sama sekali. Kalau sudah tidak bisa, maka setan mengumpulkan bala tentaranya untuk memfitnah orang itu sehingga ia difitnah, digosipkan macam-macam sehingga keluarga yang semula harmonis dan indah kemudian terjadi keretakan keluarga. Itulah model jin dalam menggoda manusia.

Jadi, ini perlu diketahui. Memang begitulah dalam kehidupan rumah tangga ini. Kadang-kadang, subhanalloh, tidak ada angin, tidak ada apa-apa, tetapi kemudian terjadi suatu hal di luar kemampuan kita. Tahu-tahu terjadi sesuatu yang meretakkan dan repot diselesaikan. Padahal, tidak ada apa-apa. Perlu diketahui bahwa di situ termasuk usaha setan untuk menghancurkan seseorang. Jadi, kembali kepada masalah, kapan kita mempunyai keluarga yang sakinah dan tidak.

[]