Dec 8, 2009

Generasi Rabbani Darimana Memulainya?

Tausiyah Bulanan Desember 2009
Tempat: Sentra Dakwah Ketintang Surabaya.


Dari Al-Qur’an al Karim adalah firman Alloh ta’alaa:
1. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa: 9).
a. Dalam Iman dan Ilmu mereka selaku sarana yang mengantar pada ketinggian derajat mereka (QS. Al-Mujadilah: 11)
b. Sebab mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan syahwat. (QS. Maryam: 59)

2. “…Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79)

Rabbani bahasa ini dinisbatkan kepada bahasa Ar Rabb di luar qiyasnya sebab orang tersebut mengenal Tuhannya (Ar Rabb) sekaligus selalu taat kepada-Nya.
Dikatakan bahwa Rabbani adalah seorang yang mentarbiyah (mendidik) manusia ilmu, amal, semangat dan mencontohkan kepribadiannya. Hal-hal tersebut berdiri di atas dua dasar:
a. Mengajarkan Al-Qur’an (karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab). Karena inilah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki perhatian besar terhadap pengajaran Al-Qur’an khususnya bagi anak-anak kecil. Ini adalah tingkatan bagi pemula (al Mubtadi).
b. Mengkaji Al-Qur’an (dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya) artinya menghafal atau merenungi maknanya. Dari sini bisa dimengerti bahwa bahasa mempelajari (Ad Dars) lebih spesifik daripada bahasa yang pertama (ta’lim). Bahasa Ad Dars juga menuntut adanya kondisi betul-betul memahami dengan kuat (tamakkun). Ini adalah tingkatan bagi seorang yang telah berada di tingkatan atas (al muntahi) karena Al-Qur’an adalah ensiklopedi dan gudang pengetahuan pertama kali yang dikenal oleh manusia.

Prinsip ini memberikan faedah:
a. Mengarahkan anak-anak untuk menyakini sesungguhnya Alloh adalah Tuhan mereka dan bahwa Al-Qur’an ini adalah firman-Nya.
b. Meresapnya ruh Al-Qur’an ke dalam hati mereka dan bersinarnya cahaya Al-Qur’an dalam hati, pemahaman dan indera mereka.
c. Mentalqin mereka Aqidah Al-Qur’an sejak usia dini.
d. Mereka akan tumbuh berkembang dalam kecintaan kepada Al-Qur’an dan memiliki ikatan dengannya; menjalankan perintah-perintahnya, menajauhi larangan-larangannya, berakhlak dengan akhlaknya serta berjalan sesuai manhaj-manhajnya sehingga mereka tumbuh di atas fitrah dan berikutnya cahaya-cahaya hikmah akan menerangi hati mereka sebelum dikuasai oleh hawa nafsu dan sebelum hati menjadi hitam oleh kotoran-kotoran maksiat dan kesesatan sebagaimana dikatakan dalam syair:

Datang kepadaku keinginan kepadanya sebelum aku mengerti apakah sebenarnya keinginan itu. Keinginan itu akhirnya mengenai hati yang kosong sehingga melekat begitu kuat.


3. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” Ini memberikan isyarat Manhaj Rabbani dalam mendidik generasi seperti dalam rumus ini:



Dari hadits Nabawi adalah sabda Beliau shallallahu alaihi wasallam:
“Pokok ilmu ada tiga macam sedang selain itu adalah fadhl; yaitu ayat muhkamah, sunnah qa’imah, dan hukum warisan yang adil.” (HR. Abu Dawud Ibnu Majah Hakim dari Ibnu Amar bin Ash ra. Hadits shahih/lihat Faidhul Qadiir 4:386)

Muhkamah artinya jelas tak ada samar sama sekali (qa’imah) artinya tetap dan langgeng, terjaga dan terus diamalkan (adilah) artinya adil (fadhl):
- yang jamaknya adalah fudhuul yaitu sesuatu yang tiada kebaikan di dalamnya sehingga orang yang sibuk dengan sesuatu tak berguna disebut fudhuuli.
- Atau jamaknya fadhaa’il yaitu sesuatu yang ada kebaikkan di dalamnya dan memang dianjurkan.


***

Nov 27, 2009

Bertayamum Dengan Bedak

Pertanyaan:
Saya ingin menanyakan persoalan yang masih menjadi ganjalan selama ini, yaitu hukum bertayammum dengan bedak tabur. Apakah diperbolehkan atau tidak, karena kalau memakai debu ada rasa risih dan takut kotor?
Kamil, Lawang Malang

Jawaban:
Syariat mengenai Tayammum dijelaskan dalam firman Allah: “Dan jika kalian sakit, atau dalam perjalanan atau datang dari kakus, lalu tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan debu (Sho’id) yang suci…” QS. an Nisa’: 43.

Ayat ini turun pada tahun 6 Hijriyyah tepatnya dalam perang Muroisi’/Banil Mushtholiq di mana Aisyah ra kehilangan kalung. Saat sedang mencari kalung Aisyah ra., waktu shalat tiba dan kebetulan ketika itu tidak ada air hingga turunlah firman Allah tersebut. Menanggapi hal ini Used bin Hudher berkata: “Wahai Aisyah, semoga Allah mengasihimu, sebab tidak terjadi sesuatu yang tidak engkau sukai melainkan Allah menjadikannya jalan keluar bagi umat islam”.

Tayammum juga menjadi salah satu keistimewaan dan kemurahan yang hanya diberikan oleh Allah kepada umat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.”Diberikan kepadaku lima hal yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku… dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid serta mensucikan…” Muttafaq Alaihi.


Semestinya Tayammum itu harus dengan debu, tidak boleh dengan yang lain. Ini pendapat Madzhab Syafii dan Hambali serta Dawud az Zhahiri. Sementara madzhab Maliki dan Hanafi memperbolehkan Tayammum dengan segala jenis tanah atau yang berada di atas tanah seperti debu, pasir, batu, kapur, celak (sebelum dipindah dari sumbernya) dan salju. Pendapat ini menilik pada asal makna Sho’iid yang artinya setiap sesuatu yang ada di atas tanah. Juga berpegang pada hadits riwayat Abu Hurairah ra. bahwa sebagian orang kampung datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengadu: “Kami berada di tanah berpasir, dan di antara kami ada orang yang junub dan haid, sementara sejak empat bulan kami tidak mendapatkan air?” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib bagi kalian menggunakan tanah” HR. Ahmad.

Dari sini bisa dimengerti bahwa tidak ada dari ulama madzhab manapun yang memperbolehkan bertayammum dengan tepung atau segala yang keluar dari tanah dan sudah melalui proses pembakaran seperti pecahan batu bata, genteng atau gamping. Dalam istilah fiqih disebutkan tidak bolehnya bertayammum dengan remukan Khozaf (Kereweng. Jawa)

Mengenai bertayammum dengan bedak, maka jelas tidak sah sebab apapun bahan bedak itu yang jelas dia telah mengalami proses pembakaran yang otomatis sudah tidak lagi dinamakan debu atau sesuatu yang berada di atas tanah. Soal rasa risih menggunakan debu maka ada baiknya jika diketahui betapa para sahabat begitu tunduk dan patuh dengan apa yang telah diperintahkan. Tiada sedikitpun rasa enggan untuk melakukan. Amar bin Yasir bercerita: “Aku junub, lalu aku menggosok seluruh tubuhku dengan debu, kemudian aku kabarkan ini kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga Beliau bersabda: “Mestinya cukup bagimu seperti ini”, Beliau lalu memukulkan dua tangannya di bumi dan mengusap wajah serta dua tangan” Muttafaq Alaihi.

Nov 11, 2009

Peniadaan

Di antara metode yang diterapkan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam dalam Tarbiyah adalah memberikan deskripsi nilai-nilai tinggi yang esesnsial di belakang pemahaman-pemahaman yang telah berkembang secara luas. Ini bertujuan mengarahkan kemauan kepada segala sesuatu yang tinggi dan maksud yang mulia. Contoh-contoh dari metode ini adalah sebagaimana sabda Beliau Shalallahu alaihi wasallam:

1. “Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan hati.” (HR. Ahmad-Bukhari Muslim). Imam Muslim meriwayatkan dari Mutharrif dari ayahnya yang berkata, “Aku datang kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam saat Beliau sedang membaca “al haakumt takaatsur/Menumpuk-numpuk harta menjadikan kalian lupa”. Beliau berkata, “Anak Adam berkata, “Hartaku, hartaku.” Beliau melanjutkan, “Wahai Anak Adam, bukanlah tiada harta yang kamu miliki dari hartamu kecuali apa yang telah kau makan dan kamu lalu kamu menghabiskannya, atau apa yang telah kamu memakainya dan lalu kamu membuatnya menjadi usang, atau apa yang kamu sedekahkan dan kamu mengabadikannya?””

2. “Orang yang kuatlah bukanlah orang yang banyak membanting musuhnya. Orang yang kuat hanyalah orang yang mampu menahan diri ketika marah.” (HR. Ahmad- Bukhari Muslim)

3. “Bukanlah disebut penyambung sanak famili seorang yang hanya membalas kunjungan, penyambung sanak famili sesungguhnya adalah seorang yang jika tali sanak familinya terputus maka ia menyambungnya.” (HR. Ahmad-Bukhari Muslim)



4. “Bukanlah orang buta seseorang yang buta matanya. Orang buta sesungguhnya adalah orang yang buta mata hatinya.” (HR. Baihaqi dalam Syuabul Iman)

5. “al Birr (kebaikan) bukanlah busana dan penampilan bagus, tetapi kebaikan adalah ketenangan dan kesantunan.” (HR. Dailami dalam Musnadul Firdaus)

6. “al Bayan bukanlah banyaknya ucapan, tetapi ucapan yang lugas dalam hal yang disukai Alloh dan Rasul-Nya. Gagap bukanlah gagap lisan, tetapi minimnya pengetahuan akan kebenaran.” (HR. Dailami dalam Musnadul Firdaus). Sejalan dengan ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya sebagian dari al Bayan adalah sihir.”

7. “Pembohong bukanlah orang yang mendamaikan manusia; ia lalu menyampaikan kebaikan (pihak pertama kepada pihak kedua) dan mengucapkan kebaikan (pihak kedua kepada pihak pertama)" (HR. Ahmad-Bukhari Muslim Abu Dawud Turmudzi)

8. “Puasa bukan hanya dari makan dan minum. Puasa sebenarnya adalah dari lagh dan rafats; jika ada orang mencacimu atau berbuat bodoh kepadamua maka ucapkanlah, “Sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa.” (HR. Hakim-Baihaqi)

9. “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling (kesana kemari meminta sedekah) kepada manusia sehingga ia mendapatkan sesuap dua suap atau sebutir dua butir kurma, tetapi miskin yang sebenarnya adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang membuatnya puas, tidak pula diketahui akan kondisinya sehingga bisa diberikan sedekah kepadanya dan tidak pula ia bangkitkan lalu meminta-minta kepada manusia.” (HR. Malik Ahmad Bukhari Muslim Abu Dawud Hakim)

10. “Bukanlah orang terbaik di antara kamu seorang yang meninggalkan dunia demi akhirat atau meninggalkan akhirat demi dunia sehingga ia mampu mendapatkan keduanya sebab sesungguhnya dunia adalah sarana menuju akhirat. Jangan kalian menjadi beban orang lain.” (HR. Ibnu Asakir)

Sepadan dengan hal di atas adalah ucapan syair:

1. Kehidupan bukan sekedar nafas-nafas yang engkau hembuskan. Kehidupan sesungguhnya adalah kehidupan ilmu dan budi pekerti.

2. Anak yatim bukanlah anak yang ditinggal oleh bapaknya. Anak yatim sesungguhnya adalah orang yang ditinggalkan ilmu dan budi pekerti.

Imam Syafii ra. Berkata:
Ilmu bukanlah sesuatu yang diambil. Ilmu sebenarnya adalah sesuatu yang bermanfaat.

Oct 24, 2009

Dimana Memakai Cincin

Saya pemuda yang suka memakai cincin. Tetapi bukan cincin emas karena itu dilarang keras. Saya melihat umumnya masyarakat cincin diletakkan pada jari-jemari tangan kiri. Saya juga melihat meski tidak banyak orang yang memakai cincin pada jari-jemari tangan kanan. Nah, yang saya tanyakan sunnah memakai cincin itu di tangan yang sebelah mana? Apakah dahulu Rasulullah suka memakai cincin? Dan di mana beliau meletakkan cincinnya? Ustadz, sebelumnya terimakasih banyak atas jawaban pertanyaan ini.

Budi Kurniawan, Megaluh Jombang.

Jawab:

Menurut Imam asSubky, menurut Rasulullah dalam hal kesehariannya termasuk sunnah, seperti meniru cara makan, cara berpakaian, cara bersisir dan lain sebagainya. Dari berbagai riwayat, terlihat Rasulullah suka memakai cincin (takhottum). Artinya, memakai cincin adalah sunnah. Beliau suatu saat pernah memakai cincin di jari kelingking tangan kanan dan suatu saat yang lain beliau memakainya pada tangan sebelah kiri, sebagaimana dalam hadits shohih, yang artinya:

"Adalah beliau bercincin pada tangan kanannya." (HR. Bukhori dan Tirmidzi)
"Adalah beliau bercincin pada tangan kirinya." (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dari sini memakai cincin baik di tangan kanan maupun tangan kiri sama-sama sunnahnya. Imam As Syafi’i berpendapat bahwa memakainya di sebelah kanan itu lebih utama. Sementara Imam Malik berpendapat sebaliknya. Imam Bukhori dan Imam Al Munawi memilih meletakkan cincin pada jari kelingking tangan kanan dengan alas an tangan kanan lebih pantas untuk diperindah. Sedang hadits lain yang menyatakan cincin Rasululla dipakai pada tangan kanan lalu diubah pada tangan kiri adalah hadits dhoif. Oleh karena itu tidak bisa dipakai hujjah. (Lihat Al Munawi: Fadlul Qodir Jilid V Dar. Al Ma’rifah, cet II Beirut).[]

Sep 18, 2009

Khutbah Idul Fitri

Para pembaca yang budiman,

Insya Alloh Abi Ust.H.M. Ihya' Ulumiddin akan khutbah Idul Fitri 1430 H di masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya. Sholat akan dimulai pukul 06.00 wib. Semoga informasi ini bermanfaat.

Sep 8, 2009

Ya Alloh... Berikanlah Tambahan Jangan Pernah Mengurangi!

Seorang mukmin yang terbina wajib memahami bahwa setiap ibadah memiliki dimensi eksoteris dan esoteris (zhahir dan batin) atau memiliki kulit dan isi sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallâhu 'alahi wasallam kepada seorang yang berbuat jelek dalam shalatnya: "Kembalilah melakukan shalat, sebab engkau belum melakukan shalat!" Muttafaq alaih.

Juga sabda Rasulullah shallallâhu 'alahi wasallam berikut ini: "Betapa banyak seorang yang melakukan Qiyamullail tetapi tidak mendapatkan apapun selain kecapekan dan kepayahan." HR. Ahmad.

"Betapa banyak orang yang berpuasa dan tidak ada bagian untuknya dari puasa tersebut kecuali lapar dan dahaga." HR. Thabarani.

Ulama zhahir menetapkan syarat-syarat zhahir bagi suatu amal ibadah karena keterkaitan syarat-syarat tersebut dengan kemurahan dan kemudahan agama ini. Bagi mereka, yang terpenting adalah segala bentuk beban syariat (takâlif) bisa mudah dilaksanakan oleh mayoritas orang-orang yang lupa. Jadi fokus perhatian mereka adalah bagaimana ibadah itu sah dan bisa diterima sebagai sebuah amal batin terpusat kepada bagaimana ibadah itu bisa diterima dalam arti bisa membawa kepada maksud dan tujuan pokok yang berupa rahasia-rahasia ibadah sebagai buah dari keikhlasan dalam menjalankannya sebagaimana contoh berikut:

1. Rahasia Thaharah
a. Mensucikan anggota tubuh dari kriminalitas dan dosa-dosa.
b. Mensucikan hati dari etika-etika tercela.
c.Mensucikan hati dari segala sesuatu selain Alloh.

Ini semua berdasarkan firman Alloh, "...Alloh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Maidah: 6)

Rasulullah shallallâhu 'alahi wasallam bersabda, "Bersuci adalah separuh keimanan." HR. Turmidzi.


2. Rahasia Shalat
Shalat disyariatkan sebagai media bermunajat kepada Alloh ta'âlâ, menyegarkan kembali dzikir, takbir, ta'zhîm, tahmid dan pujian kepada-Nya. "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 45-46)

Karena itulah Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata, "Shalat menjadi sempurna bila disertai konsentrasi hati (hudhûr), berusaha memahami makna bacaan, perasaan ta'zhîm, haebah, pengharapan dan rasa malu."

3. Rahasia Zakat dan Sepadannya
Berakhlak dengan salah satu akhlak Alloh berupa rahmat yang seringkali diucapkan oleh lidah setiap muslim, Bismillâhirrahmânirrahîm. Hal ini memiliki maksud terciptanya suasana saling menyayangi satu dengan yang lain dalam komunitas kaum muslimin meski hanya dengan sedikit kebaikan sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu 'alahi wasallam, "Sungguh janganlah kalian meremehkan sedikit apapun kebaikan." HR. Abu Dawud.

Beliau juga bersabda:
"Sesungguhnya para wali Abdâl umatku tidak masuk surga dengan amal ibadah, tetapi mereka masuk surga hanya karena rahmat Alloh, jiwa yang dermawan (lowprofile), hati yang bersih dan kasih sayang kepada seluruh kaum muslimin." (al Mundziri berkata: Hadits Mursal riwayat Ibnu Abi Dun'ya/Kasyful Ghummah hal. 54)

4. Rahasia Puasa
a. Berakhlak dengan salah satu akhlak Alloh yang berupa shamadiyyah yang memiliki arti dzat yang tidak makan. Abu Amar mengatakan dalam Lisanul Arab; Shamad adalah seorang yang tidak merasakan haus dan lapar di medan peperangan.
b. Menteladani malaikat dalam mencegah diri dari syahwat sebisa mungkin. Atas dasar inilah para ulama membagi puasa menjadi tiga tingkatan:
- Puasa Umum. Mengekang perut dan kemaluan dari dorongan syahwat.
- Puasa Khushush. Menjaga pendengaran, penglihatan, lidah tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari dosa-dosa.
- Puasa Khushûshul khushush. Hati berpuasa dari segala keinginan rendah, pemikiran-pemikiran keduniaan, menjaga hati dari segala hal selain Alloh serta hal-hal lain dari berbagai rahasia ibadah yang menjadi rencana utama terciptanya kita umat manusia di mana hal ini justru sedikit orang yang memahaminya kecuali kelompok al-ârifûn, para pemilik mata hati yang terang benderang. Ini bertolak belakang dengan kondisi orang-orang yang lupa dan orang-orang yang mencampur adukkan kebaikkan dan keburukan yang mayoritas keinginan mereka adalah segala sesuatu yang menopang urusan penghidupan, memudahkan mereka memperturutkan syahwat dan kelezatan badan dari urusan makanan, minuman, pakaian dan kebutuhan biologis serta mengumpulkan dan menyimpan harta benda.

Ya, Alloh, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kesehatan dalam keimanan. Keimanan dalam keindahan budi pekerti. Keberhasilan yang diikuti keberuntungan. Kasih sayang, afiyah, maghfirah dan ridha dari-Mu. Semoga rahmat ta'zhim selalu tercurah atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya selama orang-orang yang berdzikir mengingat-Nya dan orang-orang yang lupa melupakan-Nya.[]

Aug 21, 2009

After Vertigo

Ikhwani wa Akhwati hafidhokumullah,

Setelah Ust. Ihya' mengalami vertigo 2 bulan ini, vertigo beliau datang, pergi, datang lagi begitu seterusnya. Vertigo beliau tidak dapat dipastikan datangnya. Atas saran seorang akhwat, Ust. Ihya' berobat ke dokter syaraf di rumah sakit haji. Hasilnya, Ust. Ihya' diharuskan CT Scan Kepala, Rekam Otak (EEG) dan cek darah lengkap. Ini untuk melihat efek vertigo yang dialami beliau, bersifat permanen ataukah tidak. Juga untuk melihat efek-efek yang lainnya akibat vertigo yang dialami beliau.

Mohon doa para jamaah sekalian.

Aug 16, 2009

Sholat Tak Ada Air dan Debu

Kalau akan sholat sementara tidak air, ada jalan yang dituntukan syariat yaitu bertayamum dengan debu. Sekarang kalau terjadi misalnya keadaan seseorang hendak sholat sedang tidak air dan debu pun tidak ada. Apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut? Menunda sholat sambil mencari air dan debu ataukah ia sholat dalam keadaan ala kadarnya, yakni tanpa berwudlu atau bertayamum. Sebagai antisipasi hukum terhadap keadaan darurat, saya mohon dikasih keterangan pengasuh Fas'alu sejelas-jelasnya. Sebelumnya jazakumulloh.

Ahmad Taufiq, Lumingser Adiwarna Tegal Jawa Tengah.

Jawaban:
Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi menjelang sholat fardu ialah menutup aurat, menghadap kiblat, dan berdiri. Satu syarat lainnya ialah bersuci (bebas dari najis), dengan terlebih dahulu berwudhu dengan air atau bertayamum manakala tidak ada air atau berhalangan.

Kalau tidak ada air, sementara bertayamum pun tidak bisa karena tidak ada debu (terlepas dari pendapat madzhab Maliki yang membolehkan tertayamum dengan benda apa saja di muka bumi), maka tindakan yang dilakukan ialah, sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi pengikut madzhab Syafi'i, yaitu memilih di antara empat pilihan berikut ini:
1. Wajib sholat seketika itu bagaimana pun keadaanya. Sholat ini disebut dengan sholat lihurmatil wakti (sholat untuk memulikan waktu). Jika mendapati air ataupun debu kemudian, maka kewajiban dia mengulang sholat.
2. Tidak wajib sholat, hanya dianjurkan, tetapi wajib qodlo (mengganti) di lain waktu.
3. Wajib sholat seketika itu bagaimana pun keadaanya dan tidak wajib mengulangi.
4. Haram sholat seketika itu, tetapi wajib mengqodlo di lain waktu.

Di antara empat pilihan ini pilihan pertama menurut madzhab Syafi'i paling valid. Dengan sekian pilihan ini menunjukkan hendaknya kapan dan dimana saja tidak sampai meninggalkan sholat. Di balik ini tampak pula kemurahan dan keringanan dari ajaran Islam. (Lihat Majmu' An Nawawi, jilid II hal. 278).[]

Aug 15, 2009

Menyia-nyikan Amanat

Allah tabaraka wa ta'alaa berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" QS al Ahzaab:72.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Tiada Iman bagi seorang yang tidak memiliki integritas " (HR Abu Dawud at Thayalisi). Seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ia bertanya: "Kapankah kiamat tiba?" Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: "Ketika amanat disia-siakan maka tunggulah kiamat" Badui itu bertanya: "Bagaimana amanat bisa disia-siakan?" Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jika urusan dikuasakan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat!"(HR Bukhari)

Amanat adalah sebuah etika yang merupakan lawan kata Khianat.
Menyia-nyiakan amanat memiliki makna:

Khianat
Tidak menunaikan tugas kewajiban dan keteledoran dalam menjalankan ketaatan
Menyerahkan dan menyandarkan urusan kepada selain ahlinya sebagaimana ketika posisi khilafah, pimpinan pemerintahan, mahkamah dan fatwa serta tannggung jawab apa saja dipegang oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Sebuah contoh, syarat memegang kepemimpinan umum kaum muslimin adalah 1) ilmu syara' yang mengantarkan kepada ijtihad fiqih dan 2) keadilan sebagai lawan kefasikan yakni melakukan dosa besar atau terus menerus melakukan dosa kecil.


Pertama kali tanda ini muncul adalah di masa tabiin kemudian terus meluas dan tersebar di masa-masa berikutnya sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Kehancuran umatku berada di tangan seorang anak muda dari quresy" HR Bukhari. Permulaan orang-orang muda yang bodoh itu adalah Yazid bin Muawiyah (meninggal pada tahun 67) sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari Kitabul Fitan. Tentu saja di samping hal yang harus kita mengerti di antara sunnah-sunnah alamiah adalah ketika manusia itu berbuat zhalim maka Allah pasti menguasakan mereka kepada seorang hakim/penguasa yang zhalim seperti diisyartakan firman Allah: "Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan." QS al An'aam: 129. dan seperti disebutkan dalam atsar: "Sebagaimana keadaan kalian seperti itu pula dikuasakan atas kalian" dalam sebuah versi riwayat: "Sebagaimana keadaan kalian seperti itu pula diberikan kepemimpinan atas kalian" (HR Baihaqi. Ia berkata: Hadits ini munqathi. Seorang perowinya yaitu Yahya bin Hasyim masuk dalam kategori dho'if)

Dalam Bukhari Muslim disebutkan dari Hudzaifah ra. Ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan dua hadits (dua statement) kepadaku di mana aku telah menyaksikan (realitas) salah satunya sementara satu lagi selalu aku menantikannya;(Pertama) Beliau memberitahukan kepadaku bahwa amanat menetap di relung hati para tokoh (Rijaal). Alqur'an pun turun sehingga mereka bisa mengerti Alqur'an sekaligus mengerti As Sunnah.(Kedua) Beliau bersabda kepadaku tentang sirnanya Amanat. Beliau bersabda: "Sebentar seseorang tidur lalu Amanat tercabut dari hatinya. Bekas Amanat itupun tetap ada laksana noktah. Kemudian seseorang itu kembali tidur sebentar. Amanat lalu tercabut dari hatinya. (Meski begitu) bekasnya tetap ada laksana bengkak air - seperti halnya bara api yang kamu geserkan (jatuhkan) atas kakimu sehingga kaki itu melepuh dan kamu melihatnya bengkak padahal di dalamnya tak ada sesuatu apapun – sehingga (sampai pada tingkat) manusia melakukan jual beli maka hampir tak ada seorangpun yang mau menunaikan amanat hingga dikatakan; "Sesungguhnya di kalangan suku ini ada seorang lelaki yang bisa dipercaya", hingga ada komentar untuk lelaki itu; "Betapa teguh dirinya, betapa cerdas dan cerdik dirinya", padahal tiada sedikitpun iman di dalam hatinya" (HR Bukhari/6497)

Hadits ini memberikan peringatan akan musnahnya Amanat dan sesungguhnya orang yang dianggap Amanatpun bisa tercerabut darinya sehingga ia menjadi seorang pengkhianat setelah sebelumnya menjadi orang yang bisa dipercaya di mana ini semua bisa terjadi karena dirinya banyak bersentuhan dengan para pengkhianat.

Menyia-nyiakan Amanat adalah ciri khas orang-orang munafik (secara amal) sebagaimana dalam hadits: "Tanda orang munafiq ada tiga; jika berbicara ia bohong, jika berjaji ia mengingkari dan jika dipercaya ia mengkhianati" Muttafaq Alaih. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengkhabarkan bahwa barang siapa mengkhianati Amanat dan mengambil sesuatu dari pengkhianatan itu maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan memikul sesuatu tersebut di pundaknya. Beliau bersabda: "Demi Allah, seorang kalian tidak mengambil sesuatu apapun tanpa hak kecuali ia bertemu dengan Allah sambil membawa sesuatu tersebut di hari kiamat, maka jangan sampai aku melihat salah seorang dari kalian bertemu Allah sambil memikul unta, sapi atau kambing yang terus bersuara" HR Bukhari.

Cukup kiranya bagi kita untuk mengerti bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika berhijrah ke Madinah justru meninggalkan Ali bin Abi Thalib ra agar menggantikan Beliau menunaikan Amanat orang-orang kafir Quresy yang ada pada Beliau. Padahal mereka telah mengusir Beliau dari tanah kelahiran, menyakiti dan mendustakan Beliau. Kendati begitu hal ini tidak menjadi alasan bagi keabsahan mengkhianati Amanat. Beliau-lah manusia yang bersabda: "Tunaikanlah Amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu"(HR Bukhari dalam Tarikhnya, Abu Dawud, Turmudzi dan Hakim) sebagaimana sesungguhnya Alqur'an telah memberikan bimbingan akan pentingnya tidak menyia-nyiakan Amanat dengan perintah tulisan dan persaksian dalam akad hutang piutang. Allah berfirman: " Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya –sampai firman Allah; Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ".QS al Baqarah: 282 – 283.

Begitulah, Amanat turun di hati para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian perlahan-lahan menghilang dari hati orang-orang sedikit demi sedikit sehingga sampai pada kita kondisi seperti sekarang ini di mana orang-orang yang bisa dipercaya dapat dihitung dengan jari...Subhaanallah!

Aug 10, 2009

Mohon Doa

Para pembaca setia al-wasath,

Mohon doa untuk kesembuhan Abina Ust. Ihya' Ulumiddin. Beliau mengalami vertigo sudah 2 minggu ini. Semoga beliau dapat beraktifitas kembali dan hadir ditengah-tengah kita. Amiin.

Jul 7, 2009

Hukum Memakai Diapers

Pengasuh Fas’alu yang dimuliakan Alloh. Saya ingin menanyakan mengenai hukum memakai diapers pada anak-anak balita. Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

Santi, santi.surabaya@xxx.com

Jawaban

Berbicara masalah najis berhubungan dengan ketika najis itu menjadi mani’ (penghalang). Ketika anak dipakaikan diapers, berarti anak tersebut membawa (‘nggembol) air seni dan kotoran. Di sisi lain, ada maksud untuk menjaga agar najis tidak menyebar ke tempat lain. Tapi anaknya yang menjadi korban.

Najis tidak boleh jika berhubungan dengan amalan yang ada pengaruh hukumnya terhadap najis. Tetapi jika ada najis dalam aktivitas yang bebas hukum, maka dibolehkan. Misalnya membawa anak saat sedang sholat, sedangkan anak tersebut memakai diapers, maka hal itu tidak boleh. Tetapi jika tidak dalam sholat maka boleh-boleh saja. Karena sebenarnya pada hakekatnya, setiap diri manusia selalu membawa kotoran (jumbleng mlaku). Masalah apakah menjijikan atau tidak, itu tidak termasuk dalam pembahasan tentang hukum.

Menurut Imam Syafii, dalam melakukan sholat, mutlak harus suci dari najis atau termasuk syarat sahnya sholat. Tapi menurut Imam Malik, kesucian dari najis adalah hanya untuk kesempurnaan sholat.


Terlepas dari ketentuan hukum menurut Imam Syafii dan Imam Malik, kenyataan dalam riwayat, Rasulullah menggendong Sayyidina Hasan Husein waktu sholat dan beliau juga menggendong Umamah putrinya Sayyidina Zainab. Dan saat beliau sujud, anak tersebut diletakkan. Menurut ahli hadits, tidak ada keterangan yang menjelaskan anak tersebut dalam keadaan suci atau najis. Pada kenyataannya Rasululloh menggendongnya. Jadi kalaupun ada najis maka dimaafkan.

Namun, ahli fikih yang mempermasalahkannya. Kalau kondisinya jelas-jelas diketahui ada najis, menurut Imam Syafii, maka untuk mendapatkan hal yang utama maka lebih baik najis tersebut disucikan.

Dalam kehidupan sehari-hari, bagi kita yang memiliki anak balita memang serba repot untuk menghindari najis. Tidak mungkin kita benar-benar steril dari najis, karena setiap hari bergelut dengan anak. Mungkin pendapat Imam Malik bisa menjadi solusi, bahwa kesucian dari najis adalah untuk kesempurnaan sholat, tidak sampai membatalkan sholat.

Dapat disimpulkan mengenai hukum pemakaian diapers pada balita, kembali pada apakah ada pengaruhnya terhadap aktivitas ibadah seperti sholat. Jika demikian akan dihukumi boleh atau tidak. Tetapi jika diapers dipakaikan pada balita dan balita tidak diajak sholat, maka diserahkan kepada masing-masing orang apakah mau atau tidak (boleh-boleh saja) untuk memakaikannya.[]

Hakikat Cinta Kepada Alloh

Cinta bukan sekedar diucapkan dengan kata-kata. Namun cinta itu mesti dibuktikan dengan tindakan nyata. Lebih-lebih cinta kepada sang Khalik Alloh swt. Betapa banyak orang mengikrarkan cinta pada-Nya, tapi hakikatnya perasaan mahabbah itu semu tidak nyata.

Al Hubb Lillaah
Alloh ta’ala berfirman: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh”. QS. al-Baqarah: 165.

Ini terkait hubungan seorang muslim dengan diri sendiri yang berupa kewajiban membangun kepribadian Islam yang mencakup: 1) Pola pikir Islami yang berpikir dengan logika Islam ketika memberikan penilaian terhadap segala sesuatu, kejadian-kejadian, pribadi-pribadi dengan aneka ragam sikap. 2) Pola jiwa Islami yang memberikan gambaran bagaimana berinteraksi dengan orang sekitar dan segala yang ada di kanan kirinya sesuai manhaj.

Ini berarti tidak ada pilihan kecuali melakukan pembinaan kepada generasi muslim yang kelak akan mengemban Risalah Islam dengan pemikiran yang jelas di kepalanya, aqidah kuat menancap dalam hatinya, ibadah yag murni untuk Tuhannya dan amal shaleh yang memberikan manfaat kepada selainnya.


Al Hubb Fillaah
Alloh ta’ala berfirman, “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara…” QS. Hujurat: 10. Ini terkait hubungan seorang muslim dengan saudaranya yang berupa kewajiban mewujudkan ikatan Ilsam seperti yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat yang disebutkan oleh Alloh dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”

Sikap tegas mereka terhadap orang-orang kafir adalah sebagai buah dari tindakan melarang kemungkaran dalam makna luas, sementara berkasih sayang di antara mereka merupakan buah aktivitas memerintahkan yang baik dalam makna yang luas pula seperti terkandung dalam sabda Rasulullah sholallahu alaihim wasallam, “Setiap kebaikan adalah sedekah”. HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud. Sementara sedekah bisa menolak bencana. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Orang yang pengasih akan selalu dikasihi Dzat Maha Pengasih tabbaraka wata’aalaa. Kasihanilah orang yang ada di bumi niscaya orang yang ada di langit akan selalu mengasihi kalian!” HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Hakim. (al Jami’ as Shagir 2/25). “Perlakuan baik akan menjaga dari kematian-kematian buruk, bencana-bencana dan kerusakan-kerusakan…” HR. Hakim dalam al Mustadrak/Kasyful Ghummah: hal. 12).

Al Hubb Ma’allah

Alloh ta’alaa berfirman, “Maka pernakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…” QS. Jatsiyah: 22.

Ini terkait hubungan seorang muslim dengan amalnya. Ia menyangka telah beramal karena Alloh, padahal dalam dirinya ada syirik yang tidak menampak baginya meski ia tahu itu termasuk hal-hal yang merusak amal. Ibnu Taimiyah dalam sebagian fatwa-fatwanya berkata:
“Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya memiliki kecintaan sebagaimana kaum musyrikin mencintai tuhan-tuhan mereka dan sebagaimana kecintaan para penyembah kepada anak sapi emas. Inilah kecintaan Ma’allah, bukan kecintaan Lillaah. Dan inilah kecintaan pada ahli syirik. Hawa nafsu terkadang mengaku mencintai Alloh, meski pada kenyataannya itu adalah kecintaan syirik. Ia hanya cinta kepada sesuatu yang disukainya yang terbungkus dalam kecintaan bersama Alloh. Dan memang keinginan itu sendiri terkadang tidak jelas bagi nafsu sebab sesungguhnya kecintaan anda akan sesuatu bisa menjadikan buta dan menyebabkan tuli. Begitulah amal yang oleh manusia disangka bahwa telah menjalankannya karena Alloh, padahal di sana adal syirik terselubung yang sebenarnya ia mengetahuinya. Hal itu karena kecintaan akan kekuasaan (riyasah), atau kecintaan akan harta benda, atau kecintaan akan popularitas. Karena inilah para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena keberanian, dorongan emosional dan karena pamer. Manakah yang berbeda di jalan Alloh? Beliau sholallahu alai wasallam menjawab, “Barang siapa yang berperang agar kalimat Alloh menjadi mulia maka dialah yang berada di jalan Alloh””. (Tafsir al Qosimi, Mahasin at Ta’wiil I/462). Dan inilah yang dinamakan Syirik Khafi yang harus diwaspadai oleh seorang muslim yang terbina.[]

Jun 28, 2009

Apakah Hati Kita Masih Hidup?

Tausiyah Abi Ihya' Ulumiddin pada Multaqo Sanawy 1430 H Persyarikatan Dakwah Al Haromain, Tulungagung 27-28 Juni 2009.

Allah tabaaraka wataala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan (hati) kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan". QS. al Anfaal: 24

Hati yang hidup merupakan sisi pandang Allah ta'alaa sekaligus sasaran saputan cahayaNya. Tanpa hati yang hidup, dan ramai oleh iman serta kilau keyakinan ini, manusia sebenarnya telah mati meski masih berada di kalangan orang-orang yang hidup. Allah ta'alaa berfirman: "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?... QS. al An'aam: 122.

Atas dasar inilah tarbiyah kita dalam jamaah ini mengarah kepada pelestarian kehidupan hati agar tidak mati, memakmurkannya supaya tidak sepi dan melunakkannya agar tidak keras (tandus). Sungguh Allah telah menegur ahli iman dengan firmanNya:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk (luluh) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka..." QS. al Hadiid: 16. Dan adalah Nabi shalallahu alaihi wasallam memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak tunduk (luluh), amal yang tidak diangkat (diterima) dan doa yang tidak dikabulkan.


Hati manusia tidak berbeda dengan tubuhnya dalam selalu membutuhkan tiga hal:
1. Penjagaan agar selamat.
2. Makanan agar hidup
3. dan Pengobatan agar sembuh.

Pertama, menjaganya dari hal yang disebut oleh Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dengan Wahan, kecintaan akan dunia yang merupakan pangkal segala kesalahan dan akar semua penyakit, dan Karahiyyatul maut, enggan dengan kematian yang menafikan kenyakinan akan akhirat serta menggerus perasaan selalu mengingat janji pahala di sisi Allah serta siksaan dariNya.

Dengan Wahan manusia terseret kepada sesuatu yang lebih berbahaya bagi dirinya; yaitu kemauan-kemauan hati dan keinginan-keinginan nafsu yang berupa cinta kedudukan dan kekuasaan, mencari popularitas dan sanjungan, menuhankan makhluk Allah, hanya berusaha mendapatkan tepuk riuh massa dan ngatok (asal bapak senang) dengan para tokoh, serta berbagai corak perkara maknawi yang bisa menghancurkan individu dan jamaah. Hal-hal yang menghancurkan (muhlikat) maknawi ini lebih berbahaya dibanding dengan muhlikaat zhahir seperti halnya mencuri, berzina dan meminum miras.Jadi hawa nafsu adalah tuhan terburuk yang disembah di bumi sebagaimana Alloh berfirman, "...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun..." QS. al Qashash: 50.

Kedua, memberinya makanan berupa kontinuitas, senantiasa mengingatNya, bersyukur kepadaNya, dan berbuat Ihsan dalam beribadah kepadaNya sebagai sarana meraih Izza, kemuliaan yang memang diperintahkan oleh Allah agar kita mencarinya. Allah berfirman, "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkanNya..." QS. Fathir: 10.

Jadi kemuliaan bukan dengan harta benda, pangkat, kedudukan dan keturunan, tetapi kemuliaan bisa diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi) untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga, masyarakat dan negara). Sementara keutamaan berdzikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid,takbir dll. Justru semua orang yang beramal ketaatan karena Allah ia termasuk orang yang berdzikir kepada Allah.

Karena itulah setiap dari kita hendaknya betul-betul memperhatikan keharusan-keharusan secara individu atau jamaah (iltizamaat fardiyyah atau jama'iyyah) khususnya;

1. Menghadiri majlis taklim yang disabdakan Rasulullah sholallahu alaihi wassallam:
"Barangsiapa keluar mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali". HR. Turmidzi.
Persamaan mencari ilmu dengan jihad fi sabilillah adalah realitas mencari ilmu yang merupakan usaha menghidupkan agama dan menghinakan setan, memayahkan diri serta memecahkan hawa nafsu dan kelezatan. (Dalil al Falihin 4/197).

2. Mengagungkan dan mendirikan syiar-syiar Allah. Berdasarkan firmanNya:
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". QS. al Hajj: 32.

Ketiga, mengobatinya dengan sesuatu yang bisa menjadikannya baik dan bersih guna membangkitkan perasaan beragama (as syu'ur ad diinii), mengembangkan dorongan dari dalam diri sendiri, dan memenangkan an nafs al lawwaamah atas an nafs al ammaarah bi as suu'. Sesuatu itulah yang disebut jadwal "Muhasabah", jadwal yang memuat beberapa pertanyaan yang diajukan oleh seseorang kepada diri sendiri dan harus dijawabnya sendiri dengan "ia" atau "tidak" agar ia mengetahui sampai di mana tingkat penjagaan atau keteledorannya. Inilah Muhasabah yang secara sempurna hanya terjadi dalam internal dirinya sendiri tanpa ada pengawas kecuali Allah ta'aalaa. Di antara pertanyaan itu umpamanya:

Apakah anda telah menjalankan sholat maktubah tepat waktu?
Apakah anda menjalankannya dengan berjamaah?
Apakah anda menjalankan Qiyamullail?
Apakah anda telah membaca wirid harian, alQuran atau yang lain?
Apakah anda telah mengunjungi saudara fillaah? Apakah...? Apakah...?

Begitu pula halnya atas ketelodoran di sisi Allah ta'alaa supaya amal shalehnya tidak tertimpa bencana-bencana seperti ujub, riya', kibr, ghurur, ghuluw fiddin, iri hati, melihat diri sendiri, merendahkan orang lain dll. dari berbagai macam penyakit hati.

Dan saya berikan tadzkirah kepada anda sekalian tentang hadits Rasulullah sholallahu alaihi wasallam: "Barangsiapa yang bergembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar) beriman". HR. Thabarani.

Dan ungkapan Ali ra.:
"Keburukan yang menyebabkan kamu susah lebih baik daripada kebaikan yang menjadikanmu berbangga"

Dan ucapan Ibnu Atho'lillah as Sakandari pengarang kitab "al-hikam":
"Seringkali terbuka pintu ketaatan bagimu tetapi tidak terbuka (bersamaanya) pintu penerimaan (qabuul). Seringkali kamu terlibat dalam kemaksiatan yang justru kemaksiatan yang menyebabkan rasa hina dan rendah diri lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan bangga diri dan rasa sombong".

Allohu yatawli al jamii'u biro'aa yatih.

Jun 18, 2009

Wasiat Komplit

Allah Subhana wata’ala berfirman yang artinya

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”

Allah Subhana wata’ala menutup surat ini dengan beberapa pesan yang komplit kepada orang-orang yang beriman di mana jika mereka bisa melaksanakan pesan-pesan tersebut, mereka menjadi yang paling berhak meraih keberuntungan dunia akhirat. Pesan yang dimaksud adalah seperti berikut:

1. Sabar
Sabar akan menjadi sumber segala keutamaan dan aneka ragam kesempurnaan.

2. Mushobaroh
Mushobaroh berarti berusaha maksimal menahan semua hal yang tidak menyenangkan yang diterima dari orang lain. Hal-hal yang termasuk dalam kategori mushobaroh ini adalah:
a. Tabah akan rasa sakit karena ulah keluarga dan tetangga.
b. Tidak membalas perlakuan buruk orang lain.
c. Mendahulukan (mengalah dari) orang lain/Itsar.
d. Memaafkan kedholiman orang lain.
e. Menghadang, mencegah, dan memberikan jawaban atas tindak pengaburan para pendusta serta memberantas keragu-raguan yang mereka sebarkan.


3. Murobathoh
Kata murobathoh memiliki makna asli mengikat kuda untuk berjaga di benteng pertahanan. Meski begitu, yang dimaksud dengan kata murobathoh adalah menyiapkan seluruh potensi kekuatan yang kita miliki secara total untuk menghadapi musuh Islam dengan berbagai macam sarana, baik material (madiyyah), atau nonmaterial (ruhiyyah) secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Selain ini, murobathoh juga memiliki arti lain, seperti diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththo’ dari Abu Hurairoh ra. bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Apakah aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian yang karenanya Allah menghapus dosa dan meninggikan derajat-derajat?” “Ya, wahai Rasulullah,” jawab para sahabat. Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi tak menyenangkan, banyak langkah ke masjid, menanti shalat demi shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.”

Pertama (menyempurnakan wudhu) merupakan isyarat adanya peperangan dengan nafsu. Kedua, (banyak langkah ke masjid sebagai isyarat adanya pengawasan ketat (muroqobah) terhadap hati dan anggota tubuh. Ketiga, (menanti shalat) menjadi isyarat adanya penjagaan terhadap waktu serta mencari dan memanfaatkan kesempatan.

4. Taqwa
Taqwa dimaksudkan sebagai upaya menjaga diri dari kebencian dan kemarahan Allah yang tidak terwujud kecuali setelah mengenal-Nya dan mengetahui apa yang membuat keridhoan-Nya atau menyebabkan kebencian-Nya.

Semoga Allah Subhana wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk bisa melakukan aktivitas yang membuat-Nya ridho sehingga kita akan mengapai keberuntungan dunia akhirat dengan anugerah, kebaikan, dan kemurahan-Nya. Washolallahu ‘ala Sayydina Muhammad wa’ala alihi washohbihi wasallam.[]

Jun 8, 2009

Muhasabah

Tausiyah bulan Juni 2009, Abi Ust. Ihya’ Ulumiddin menyampaikan materi tausyiah yang berjudul Muhasabah, bertempat di Ketintang Surabaya. Seluruh anggota jamaah Persyadha hadir, baik yang dari luar kota maupun dalam kota Surabaya. Tausiyah ini juga diadakan di Malang.

Berikut materi tausyiah:
Koreksi diri adalah pohon yang membuahkan taubat yang merupakan salah satu pintu dari berbagai pintu rahmat yang telah disipakan oleh Allah bagi setiap orang yang memiliki keinginan meniti jalan lurus dalam suluk menuju ridho Allah dan tidak berbuat teledor di sisiNya demi kelanggengan hubungan dengan Tuhannya.Inilah dasar beramal dan sumber segala kesholehan amal perbuatan. Karena itulah Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“QS al Hasyr:18.

Seorang mukmin yang terbina sangat bertanggung jawab kepada dirinya yang kelak akan dihisab oleh Allah. Ini karena ia memahami sebab-sebab yang memperbaiki hatinya untuk mengingat Allah. Di antara sebab-sebab itu ialah:

1). Pemahamannya bahwa kemuliaan seluruhnya hanyalah milik Allah sebagaimana pujian tidak seyogya kecuali bagiNya. Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” QS Fathir:10.

Jadi kemuliaan bukan dengan harta benda, pangkat kedudukan ataupun keturunan, tetapi kemuliaan bisa diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi) untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga, masyarakat dan negara).


2). Pemahamannya bahwa seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai olehNya dari mereka adalah mereka yang paling memberi manfaat kepada keluargaNya sebagaimana diriwayatkan dalam hadits-hadits. Karena itulah Fudhel bin Iyadh mengatakan: “Di kalangan kami orang yang mendapatkan (derajat kewalian) tidak mendapatkannya dengan banyak puasa atau shalat. Tetapi ia mendapatkan dengan jiwa yang dermawan (sakha’ an nafs), hati yang selamat (salamatusshadri) dan berkehendak baik untuk umat (an nush lil ummah). Ini karena ibadah orang yang beribadah hanya menjadi miliknya sendiri sementara kedermawanan orang yang dermawan menjadi milik banyak orang. Sungguh telah dikatakan: Sesuatu yang menular lebih utama daripada yang tidak menular”.

Musa bin Isa Ad Dinawari berkata: “Berderma dengan apa yang ada merupakan puncak kedermawanan. Sedang kikir dengan apa yang ada adalah bentuk buruk sangka kepada Dzat yang disembah”

3). Pemahamannya akan kewajiban merespon anugerah dan rahmat Allah dengan kegembiraan yang diikuti dengan pujian atasNya serta pengakuan akan pemberianNya. Bukan malah berbangga diri menyambut anugerah dan rahmat tersebut. Ini berdasarkan firman Allah yang artinya, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembir kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" QS Yunus:58. Inilah Nabi Sulaiman alaihissalam, Beliau berkata: “Ini adalah dari anugerah Tuhanku apakah aku bersyukur atau kufur…” QS an Nahl: 4, berbeda dengan Qarun yang berkata: “diberikan kepadaku (semua ini) adalah hanya karena ilmu yang ada padaku “ QS al Qashash: 78.

Beginilah, bangga diri (ujub) memang serupa dengan bergembira (farah). Karenanya barang siapa yang bergembira dengan kataatan karena ketaatan itu muncul dari dirinya maka sungguh ia telah kedatangan ujub. Berdasarkan firman Allah yang artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…“ QS al Bayyinah: 5.

Kesempurnaan Maqam Ikhlash didapatkan dengan kesaksian seorang hamba bahwa peranannya di dalam sebuah amal shaleh darinya tidak lebih hanyalah nisbat taklif serta tidak pula datang kepadanya bencana amal (aafaatul amal) yang ada tiga; ujub, riya’ dan sombong. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Barang siapa yang bergembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar) beriman”(HR Thabarani- al Jami’ as Shaghir 2/173) maksudnya bergembira sebab ketaatan dan sedih akibat kehilangan ketaatan adalah di antara tanda-tanda keimanan. Tetapi, kegembiraan sebab ketaatan itu harus berasal dari sisi di mana ketaatan itu adalah anugerah Allah dan taufiq dariNya sebagaimana kesedihan atas hilangnya ketaatan juga harus dibarengi dengan usaha menjalankannya atau sedih karena kendor dan teledor menetapinya.

Adapun seorang yang tidak merasa sedih atas hilangnya ketaatan dan tidak menyesal karena telah bermaksiat maka itu menjadi pertanda kematian hatinya.

4). Pemahamannya bahwa shidiq bersama Allah adalah dasar keberuntungan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Ia pasti beruntung jika ia jujur” Muttafaq alaih. Sungguh Alqur’an telah mendorong kepada pertemanan dengan ahli shidiq karena pertemanan ini memiliki nilai kemuliaan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tempatkanlah dirimu bersama orang-orang yang jujur” QS at Taubah: 119 sebagaimana pula diisyaratkan dalam do’a Nabi Yusuf alaihissalam: “…wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh “ QS Yusuf:101.

Atas dasar ini maka memilih teman, sahabat dan kawan akrab yang shaleh adalah bagian dari urgensi kehidupan -di masa seperti sekarang ini yang tepat dikatakan, “Masa seperti halnya pelakunya sementara pelakunya seperti yang kamu lihat”- semata demi keselamatan agama dan berlari dari ujian-ujiannya. Dikatakan: ”Halal itu sebelum harta, tetangga sebelum rumah dan teman sebelum perjalanan” Lantas, siapakah teman dan sahabat anda? Dialah orang jujur kepada anda dan bukan orang yang selalu membenarkan anda.

Seseorang dikenal dengan temannya sebagaimana dikatakan:
”Jangan bertanya tentang seseorang, tanyakanlah tentang temannya, karena setiap teman selalu mengikuti orang yang bersamanya”
[]

Jun 3, 2009

Kepimpinan Dalam Islam, Istiqomah, dan Paradigma Figuritas

Di dalam kitab Al Muwatto' karya Imam Malik bin Anas diceritakan pemimpin kaum muslimin, khalifah Umar bin Khattab berjumpa seorang wanita yang ditimpa penyakit kusta (lepra) hendak melakukan thawaf di Baitulloh. Khalifah berkata kepadanya, "Wahai hamba Alloh perempuan, jangan kamu membuat susah manusia. Andai kamu duduk-duduk di rumahmu (tentu lebih baik)." Wanita ini menuruti nasehat khalifah sehingga ia tidak jadi thawaf, tapi dirumah saja. Beberapa tahun kemudian, setelah khalifah Umar bin Khattab wafat, seseorang mendatanginya dan berkata, "Hai wanita, sesungguhnya orang yang dulu mencegahmu kini telah mati. Maka keluarlah kamu (untuk thawaf)". Wanita itu menjawab yang artinya:

Tidaklah aku mentaati khalifah semasa hidupnya, sementara setelah beliau wafat, aku mendurhakainya.
(HR. Malik dari Ibnu Abi Mulaikah, hadits mauquf, lihat syarah Az Zarqani: II/399, hadits nomor 979)


Kepemimpinan (qiyadah, imarah) dalam Islam merupakan masalah penting yang mendasar. Masalah kepemimpinan adalah masalah agama (syara'), bukan masalah duniawi semata. Al Islam dinun wa daulah. Jangankan kepemimpinan yang lingkupnya luas, dalam lingkup kecil pun agama mengajarkan dan menyerukan kepemimpinan. Misalnya kepemimpinan diwaktu berpergian. Di dalam hadits disebutkan yang artinya:

Dari Nafi, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Jika tiga orang berpergian, maka hendaklah mengangkat pimpinan salah satu dari mereka." Nafi berkata, "Lalu kami berkata kepada Abu Salamah, "Kalau begitu, anta amiruna (engkau pimpinan kami)". HR Abu Dawud: III/36 hadits nomor 2609

Syekh Ahmad bin Ruslan, seorang yang memadukan amaliah fiqh dengan tasawuh pun mengangkat wajibnya menegakkan kepemimpinan yang artinya

Dan apa saja yang terjadi di antara sahabat, kita tidak mengomentarinya. Kita menetapkan kepada mereka pahala berijtihad. Kewajiban bagi manusia menegakkan atau mendirikan pemimpin. Dan tidaklah ada sesuatu apapun diwajibkan bagi Tuhan. (Az Zubad bait ke-41 & ke-42)

Pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dari peristiwa dialog dan musyawarah pada sahabat di Saqifah (balai pertemuan) Bani Saidah, saat Rasulullah saw. wafat. Setelah problem kepemimpinan selesai dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar Asshiddiq sebagai pemimpin diforum itu, barulah Rasulullah saw. dimakamkan. Dan pemakaman ini menunggu bahkan sampai tiga hari. Seperti diketahui Rasulullah saw. wafat pada hari Senin, 13 Rabiul Awal 11/8 Juni 632 M sementara dimakamkan pada hari Rabu, 15 Rabiul Awal.

Dari peristiwa Saqifah Bani Saidah terdapat sekian pelajaran, di antaranya kesadaran perlunya stabilitas kepemimpinan, baik di masa Rasulullah saw. maupun masa-masa setelahnya. Di masa gesang beliau maupun setelah wafatnya. Tidak adanya beliau tidak mempengaruhi proses kelangsungan perjalanan kepemimpinan. Madzhab ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan tidak boleh ada kevakuman kepemimpinan sesaat pun.

Di sinilah jamaah dakwah yang sudah mengikat diri dengan qiyadah, hendaknya konsisten dengan qiyadah itu kapan dan di mana saja. Ada tidaknya figur yang diidolakan maupun pasca regenerasi kelak seandainya terjadi. Dari semula disepakati, keikutsertaan dan penggabungan terhadap qiyadah jamaah adalah atas dasar kesamaan pemikiran fiqhiyan wa siyasiyan, kesatuan visi dan misi untuk berdakwah, menjalin rasa kebersamaan, menciptakan karya, mengemban perjuangan, melangsungkan pendidikan dan pengabdian kepada kaum muslimin. Bukan atas dasar figur. Adanya figur syeikh. Hidupnya figur guru. Sementara tidak adanya figur dan wafatnya figur menjadikan diri berlepas dan qiyadah rusak.

Figuritas memang naluri manusia. Wajar, syeikh membina, membimbing, dan mengarahkan, di samping memotivasi dan memberikan dorongan. Abi Yazid Al Busthomi mengatakan, "Barangsiapa tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan". Namun, selanjutnya, hasil dari pembinaan, bimbingan dan pengarahan syeikh akan kembali kepada jiwa (hati nurani) masing-masing, berupa kesungguhan, keseriusan (azimah), dan kesemangatan hati (roghbah qolbiyah) yang bersumber dari sikap istiqomah dalam perilaku (suluk).

Istiqomah dalam suluk merupakan tuntutan keimanan seseorang, di samping istiqomah dalam aqidah, istiqomah dalam perangai dan istiqomah dalam perbuatan. Istiqomah dalam suluk perwujudannya adalah melanggengkan perilaku diri, baik dalam ibadah maupun muamalah. Konsisten dengan kesepakatan. Memahami dan mematuhi peraturan. Kapan dan di mana saja. Apapun yang terjadi. Istiqomah inilah penegak qiyadah kejamaahan. Sahabat-sahabat senoir dahulu, kalau tidak atas dasar istiqomah dalam perilaku ini, niscaya mereka enggan atau malah menolak mentah-mentah kala Rasulullah saw. mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah yang baru 17 tahun menjadi pimpinan. Istiqomah dalam suluk ini pula kiranya yang mendasari wanita lepra tersebut di muka mentaati saran khalifah Umar bin Khattab, menjaga betul saran itu dijiwanya, sampai pun khalifah yang muhdats ini wafat, ketaatan kepadanya pun tetap dipatuhi.

Wallahu subhhanahu wata'ala 'alam.

May 27, 2009

Syakhshiyah Islamiyah (Tamat)


Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?

1. Islam memberikan suatu cara pemecahan problem hidup bagi manusia dengan pemecahan yang sempurna untuk mewujudkan suatu syakhshiyah yang istimewa, yang lain dari yang lain. Pemikiran-pemikiran manusia itu dipecahkan Islam dengan aqidahnya. Sebab, dalam Islam, aqidah dijadikan sebagai landasan berpikir (qa’idah fikriyah) yang menjadi dasar manusia dalam membangun pemikiran-pemikiran, dan membina mafahim serta muyulnya yang sekaligus membentuk aqliyah dan nafsiyahnya. Dan aqidah dijadikan sebagai landasan berpikir yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia.

Pada saat yang sama, Islam menangai perbuatan manusia yang muncul dari kebutuhan jasmani dan gharizahnya dengan hukum-hukum syara’ yang memancar dari aqidah Islam. Penanganan dan pengaturan yang dilakukan Islam adalah pengaturan yang benar, ia mengatur gharizah, tidak menindasnya; ia pun mengarahkan dan menyalurkannya, tetapi tidak membiarkannya liar tanpa kendali, dan ia pun menyiapkan pemenuhan kebutuhan dengan pemenuhan yang teratur yang mengantarkan kepada ketentaraman dan ketenangan.


2. Dari sini kita dapati, bahwasannya Islam membentuk Syakhshiyah Islamiyah dengan aqidah Islamiyah. Dengan aqidah itu dibentuklah aqliyah dan nafsiyah. Jelaslah bahwa aqliyah Islamyah adalah berpikir atas asas Islam. Artinya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum tentang berbagai pemikiran mengenai kehidupan. Tetapi aqliyah Islamiyah tidaklah dikhususkan untuk akal orang-orang cerdik pandai atau kaum pemikir semata. Sebab, dengan samata-mata menjadikan Islam sebagai asas bagi seluruh pemikiran secara praktis dan faktual, berarti seseorang telah membentuk suatu aqliyah Islamiyah dalam dirinya.

Nasfiyah Islamiyah terbentuk dengan dijadikannya Islam sebagai asas bagi seluruh kecenderungan. Artinya, ia dijadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan. Nafsiyah ini bukan nafsiyah mutabattilah (yang tidak mau menikah) atau mutasyaddidah (yang menyiksa diri). Sebab hanya dengan menjadikan Islam sebagai standar bagi seluruh aktifitas pemenuhan kebutuhannya secara praktis dan faktual, berarti seseorang telah membentuk nafsiyah Islamiyah dalam dirinya.

Dengan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah tersebut, terbentuklah Syakhshiyah Islamiyah tanpa memandang tingkatan dan ragamnya. Sebab, setiap orang yang berpikir di atas asas Islam dan menjadikan hawa nafsunya patuh terhadap Islam, berarti telah terwujud dalam dirinya suatu Syakhshiyah Islamiyah.

3. Islam memerintahkan melakukan penambahan penguasaan tsaqofah Islamiyah untuk mengembangkan pemikiran tersebut, sehingga memiliki kemampuan menstandarisasi setiap pemikiran. Islam pun memerintahkan untuk melakukan amal-amal fardu dan sunnah serta amal-amal yang dicintai Allah ta’ala, mencegah sebanyak mungkin mengerjakan hal-hal yang haram, makruh, atau syuhbat demi memperkuat nafsiyah tersebut, sehingga ia memiliki kemampuan untuk menolak setiap kecenderungan yang berlawanan dengan Islam. Tetapi, semua itu adalah berfungsi untuk meningkatkan derajat Syakhisiyah Islamiyah dan menjadikannya berjalan di jalan yang luhur dan terhormat di dunia ini, dan memperoleh ridlo Allah ta’ala di dunia dan akhirat. Tidak berarti yang tidak mengerjakan itu semua telah kehilangan Syakhsiyah Islamiyah. Kita maklumi bahwa syakhshiyah seseorang berbeda tingkatannya, ada yang kuat ada yang terpisah.


Salah besar mereka menyangka bahwa Islam itu suatu khayalan; bahwa Islam itu mustahil diterapkan. Islam itu ibarat sesuatu yang sangat luhur yang tidak mungkin manusia mampu menerapkan atau sabar terhadapnya. Mereka menghalangi manusia dari Islam, dan melumpuhkan banyak orang untuk berbuat.

Padahal Islam datang ke dunia untuk diterapkan secara praktis. Islam itu adalah sesuatu yang nyata, tidaklah sulit untuk menerapkannya. Islam ada dalam jangkuan setiap manusia, betapapun lemah pemikirannya, dan bagaimanapun kuatnya naluri serta kebutuhan jasmaninya. Bagi orang tersebut mungkin saja menerapkan Islam pada dirinya dengan mudah, setelah ia memahami aqidah Islam dan membentuk kepribadian Islam dalam dirinya.

Setelah itu semua tidak wajib atasnya, kecuali mencari nilai tambah dengan meningkat tsaqofah Islamiyah untuk mengembangkan aqliyahnya, dan sanggup melaksanakan syariat Islam untuk memperkokoh nafsiyahnya. Dengan demikian dia beridentitas dengan sifat-sifat khusus yang dia miliki dan dikenal di kalangan orang banyak serta terlihat seperti gunung yang menjulang tinggi. Sifat-sifat khusus tadi adalah hasil (natijah) yang pasti bagi dirinya, didasarkan atas pemahaman silah (hubungan) dan tsiqoh (kepercayaan penuh) pada Allah ta’ala. Karena itu ia tidak terikat dengan syara’ kecuali untuk menggapai keridloan Allah ta’ala semata. Dengan syakhshiyah Islamiyah ia mampun bersikap keras dan kasih sayang dalam waktu yang sama (pada saat ia bergerak dalam bidang militer dan kepemimpinan), ia juga mampu bersikap zuhud dan memanfaatkan kenikmatan. Ia memahami kehidupan dunia ini dengan pemahaman yang benar dan menguasai dunianya menurut hak yang berlaku, serta memacu dirinya untuk memperoleh kehidupan akhirat yang baik. Karena itu ia tidak terlena dalam perbuatan dan sifat yang di perbuat dan dimiliki oleh para penyembah dunia, tidak terpengaruh pula oleh sikap yang mengesampingkan keduniaan dan berpakaian agar dianggap zuhud (yang sebenarnya bukan zuhud tetapi taqossuf/hindy).

Al Qur’anul Karim menyebutkan beberapa contoh syakhshiyah dalam beberapa ayat, seperti ketika Allah ta’ala menyebutkan sahabat-sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wasallam, orang-orang mukmin, hamba-hamba Allah ar Rahman dan para mujahiddin, di antaranya:

1. Firman Allah ta’ala yang artinya

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. QS. Al Fath: 29

2. Firman Allah ta’ala yang artinya

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. QS. At Taubah: 100

3. Firman Allah ta’ala yang artinya

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat. QS. Al Mu'minun: 1-4

4. Firman Allah ta’ala yang artinya

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". QS. Al Furqon: 63-65

5. Firman Allah ta’ala yang artinya

Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama Dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. dan mereka Itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. QS. At Taubah: 88-89

6. Firman Allah ta’ala yang artinya

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. QS. At Taubah: 112


***


Doa Ikhtitam


Ya Alloh, sucikanlah hati kami dari kemunafikan, sucikanlah pekerjaan kami dari riya’, sucikanlah lidah kami dari berbohong, sucikanlah mata kami dari pengkhianatan, sesungguhnya Engkau mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi di balik dada.

Ya Alloh, sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kesusahan. Kami berlindung kepadaMu dari kebodohan dan kebakhilan. Kami berlindung kepadaMu dari rongrongan hutang dan orang-orang yang hendak memaksa.

Ya Alloh, lapangkanlah hati dada kami dengan iman yang meruah kepadaMu dan dengan kepasrahan yang baik kepadaMu. Hidupkanlah kami dengan pengetahuanMu, dan matikanlah kami dengan mati syahid di jalanMu.

Ya Alloh, jadikanlah kami laskar Islam yang ikhlas, pendukung Islam yang mau berbuat. Jadikanlah kami orang-orang yang mau berjihad di jalanMu dan tidak gentar cercaan orang-orang yang suka mencerca.

Amîn Ya Rabbal ‘Alamin.

May 26, 2009

Masa Iddah dan Mengqodlo Shalat

Ana baru saja ditinggal mati suami. Yang ana mau tanyakan adalah 1) Berapa lama masa iddah ditinggal suami? 2) Apa saja yang harus ana lakukan selama masa iddah dan adakah suatu larangan selama masa itu? 3) Ana ingin tahu cara dan niat shalat untuk mengqodlo shalat suami ana. Atas jawabannya ana ucapkan jazakumullah khorin katsir.

Uswatun Hasanah, Delik RT 32 Madiredo Pujon Malang


Jawaban:
Bila ditinggal mati suami maka iddah bagi seorang istri adalah empat bulan sepuluh hari. Berdasarkan firman Allah ta'ala yang artinya:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. QS. Al Baqarah: 234

Sementara bila ditinggal suami dalam keadaan hamil (mengandung), maka iddah bagi seorang istri adalah menunggu hingga kelahiran bayi yang dikandungnya. Allah ta'ala berfirman:

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan. QS. Ath Thalaq: 4.

Pada masa iddah bagi seorang istri hendaknya ia melakukan ihdad (bhs. Jawa: ngusut), yaitu tidak memperhias diri, memakai wangi-wangian, ke luar rumah, memakai pacar, dan menampakkan diri dipandang orang-orang yang hendak meminang. Hal ini dalam rangka "bela sungkawa" dan "rasa duka" (berkabung) terhadap suami yang hidup bersamanya selama itu.

Mengenai mengqodlo shalat suami yang ditinggalkannya, hal ini tidak ada tuntunannya karena shalat adalah ibadah yang kedudukannyua tidak bisa ditinggalkan di waktu kapanpun dan tidak bisa digantikan oleh orang lain. Agar dosa dan kesalahan suami selama hidupnya diampuni, seorang istri dapat berdoa dan beristighfar memohonkan ampunan kepada Allah ta'ala bagi suaminya.[]

May 22, 2009

Bersin Diwaktu Shalat

Kepada ustadz pengasuh Fas’alu. Kita diajarkan manakala bersin kita bersyukur dengan mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah). Persoalannya kemudian bila bersin terjadi di tengah-tengah melangsungkan shalat fardlu. Apakah dianjurkan juga membaca alhamdulillah sementara kita kan dituntut tenang (khusyu’) sewaktu shalat? Nah, apa yang saya harus lakukan ketika sedang melangsungkan shalat lalu saya bersin? Saya harus memilih mengucapkan tahmid atau saya memilih diam saja? Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban ustadz terima kasih.

Muzammil Arif, Jl. Barito Pandean No. 6 Sumenep Madura


Jawaban:
Seorang sahabat bernama Rifa’ah bin Rafi bersin kala ia sedang shalat yang dipimpin oleh Rasulullah. Waktu itu ia mengucapak doa tahmid, yang teksnya berbunyi: “Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih mubarokan alaih kama yuhibbu roabbuna wayardloh” usai bersin. Usia shalat beliau lantas memuji sahabat ini bahwa terdapat lebih dari 30 malaikat berebut membawa naik pahala tahmidnya kepada Allah ta’ala. (HR. Tirmidzi, Sunan Tirmidzi I, 251, nomor hadits 402).

Atas dasar hadits ini mufakat para ulama menyatakan membaca tahmid bagi orang yang bersin sewaktu shalat hukumnya diperbolehkan. Hanya dalam membaca tahmid itu apakah keras atau secara pelan, di sini para ulama berbeda pendapat. Satu pihak membolehkan membaca tahmid secara keras (artinya dengan mengangkat suara) dengan alasan karena maslahah (ada kebaikannya). Sementara pihak lain tidak membolehkan membaca tahmid kecuali dengan suara pelan (di dalam hati), karena dikhawatirkan mengganggu jamaah shalat yang lain.

Dari pendapat ini kiranya bila kita shalat secara berjamaah maka lebih bagus membaca tahmid usai bersin secara pelan atau dalam hati saja agar tidak mengganggu orang lain. Sedang dalam shalat sendiri, misalnya shalat-shalat sunnah, bolehlah membaca tahmid dengan mengangkat suara. Atau kita juga boleh memilih diam saja, tidak membaca dengan keras juga tidak membaca pelan, dengan alasan keluar dari perbedaan pendapat. Dari sini ternyata kita dipersilahkan memilih dari sekian keluasan ajaran agama Islam. Maka sesuaikan pilihan kita dengan situasi kondisi dan lingkungan di mana kita berbeda.[]

May 16, 2009

Mengqodlo Shalat Orang yang Sudah Meninggal

Seorang yang sudah meninggal (mayit) meninggalkan hutang sholat fardu. Apakah anaknya atau ahli warisnya boleh mengqodlo hutang shalat fardu tersebut? Dan bagaimana kalau itu adalah wasiat?

Abdullah, Sampang.

Jawaban:
Ibadah shalat adalah kewajiban individu yang harus dipelihara pada kondisi apapun selama kita masih hidup baik sewaktu di rumah, berpergian, waktu aman, maupun waktu tidak aman seperti peperangan. Hanya saja teknis pelaksanaannya ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan situasi kondisi. Bisa di atas kendaraan. Jika tidak dapat berdiri, boleh duduk. Tidak bisa duduk, dapat dengan berbaring. Tidak bisa berbaring, boleh dengan tidur telentang, berikutnyaa boleh dengan isyarat tubut atau dengan isyarat mata. Walhasil dalam kondisi apapun shalat sekali-kali tidak boleh ditelantarkan karena waktu-waktu shalat telah ditetapkan dengan jelas. Menelantarkan shalat setidak-tidaknya mengindikasikan dilakukannya sikap dan perilaku laksana sikap dan perilaku orang-orang yang kafir. Allah ta’ala berfirman yang artinya:


“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Atas dasar ini para ulama sepakat orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan hutang shalat fardu yang belum ditunaikan maka kerabat dekatnya dan juga orang lain tidak boleh melakukan shalat dalam rangka menebus atau mengganti shalat mayit yang dihutang tersebut. Tidak bisa pula menebus dan menggantinya dengan memberi makan (fidyah) kepada orang-orang miskin. Karena sekali lagi shalat fardu adalah ibadah individual yang pelaksanaannya tidak bisa digantikan oleh orang lain. Meski pun melalui kekuatan wasiat. Karena wasiat tidak wajib dilestarikan pada hal yang tidak ada tuntunannya.

Sahabat Ibnu Abbas berkata yang artinya:

“Seseorang tidak boleh shalat dalam rangka menggantikan shalat orang lain.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).

Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan. Bila mayit memiliki hutang puasa sebab udzur tertentu, menurut Imam Ahmad dan sebagian Syafi’iyah, wali atau famili terdekat bisa menebus dan mengganti puasanya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ats Tsauri, dan sebagian Syafi’iyah, kerabat dekat tidak usah menggantinya dengan puasa, namun cukup menebusnya dengan membayar fidyah. (Ahkâmus Shiyam: 77 dan Al Fiqh Al Islam: 682).

Demikian itu berdasarkan riwayat yang artinya:

“Barangsiapa mati meninggalkan puasa, hendaklah walinya berpuasa sebagai gantinya.”
(HR. Bukhari Muslim).

Pada riwayat lain yang artinya:
“Seseorang tidak boleh puasa dalam rangka menggantikan puasa orang lain. Tetapi dia memberikan makan satu mud gandum sehari.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).

Meskipun kerabat dekat tidak diperkenankan mengganti tanggungan shalat fardu mayit yang ditinggalkan, namun mereka agaknya bisa mendoakan semoga dosa-dosa ayahnya atau yang lain akibat meninggalkan shalat fardu diampuni oleh Allah ta’ala. Tidak ada doa yang baik sebaik doa anak kepada orang tuanya.[]

May 11, 2009

Hamba Pilihan Allah

Serial Siroh

Selama ini belum ada seorang ahli yang memastikan berapa jumlah hamba Allah semenjak Nabi Adam as. hingga akhir zaman di muka bumi ini. Di zaman sekarang saja, umat manusia diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih enam miliar. Lalu, berapa hitungannya bila hamba Allah seluruhnya digabung semenjak lahirnya Nabi Adam as. atau semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw. hingga zaman yang mengiringi kiamat? Hanya Allah Ta’ala yang mengetahui secara pasti.

Di antara hamba-hamba Allah yang jumlahnya tak terhitung itu, ada yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai hamba pilihan. Makna pilihan secara sunattulah berarti hamba tersebut lebih unggul, lebih tinggi, dan lebih mulia dibanding dengan hamba-hamba yang lain. Siapakah hamba-hamba pilihn itu? Allah Ta’ala berfirman yang artinya

Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.“ (QS. An Naml: 59)

Hamba-hamba Allah pilihan yang dimaksud di dalam ayat tersebut menurut pendapat Sufyan At Tsuariy dan As Suddy yang dinukil dari pendapat Abdullah bin Abbas adalah para sahabat Rasulullah saw. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thobariy. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir III/448, dan Mukhtashar Tafsir Ath Thobariy II/44).


Pelajaran yang dapat diambil adalah para sahabat oleh Allah dijadikan sebagai hamba-hamba pilihan? Derajat ini satu sisi tidak lepas merupakan fadl (anugerah) yang dikehendaki oleh Allah. Jadi, terhadap derajat ini manusia tidak boleh iri. Sisi lain fadl yang berharga tersebut tidak akan dilimpahkan begitu saja. Dalam diri sahabat pasti ada kelebihan perbuatan yang dilakukan dalam kaitannya sebagai hamba Allah yaitu dalam hal aktivitas penghambaan kepada-Nya. Sisi ini yang seharusnya diteladani.

Imam An Nawawiy menceritakan bahwa para sahabat di Madinah bila umur telah mencapai 40 tahun maka mereka jungkung (tafarrugh) untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Mereka menghabiskan umurnya semenjak itu khusus untuk kegiatan ibadah. Tidak ada aktifitas bagi mereka yang lebih diutamakan selain beribadah kepada-Nya. Istfghfar, taat dan menghadap Allah Ta’ala menjadi prioritas utama dalam hidup mereka agar di akhir umurnya mereka menggapai khusnul khotimah sebab akhir umur itulah yang menjadi penilaian. Bukan malah “tua-tua keladi”, makin tua makin menjadi-jadi dalam menggeluti kemaksiatan. Ini sebagai bentuk pengamalan “keprihatinan” firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fâthir: 37)

Sayyidah Fathimah, sahabat wanita sekaligus putri Nabi saw. digelari Al Batûl karena beliau memanfaatkan hidupnya untun beribadah secara total (bukan memforsir diri sampai jenuh). Bagi istri sahabat Ali bin Abi Thalib ini, tiada waktu tanpa beribadah. Sekalipun beliau putri manusia paling mulia, beliau tidak mengandalkan derajat orang tuanya. Beliau menggali sendiri derajatnya melalui mobilisasi ibadah secara habis-habisan, baik ibadah langsung maupun ibadah tidak langsung. Ibadah tidak langsungnya, seperti dimaklumi, adalah husnuttaba’ul yakni khidmah kepada suaminya di dalam urusan rumah tangga. Sekalipun ini tidak besar namun kedudukannya agung menurut Allah Ta’ala sebab Nabi Sholallahu Alaihi Wassallam pernah menjawab pengaduan sahabat wanita bernama Ummu Salamah dan kawan-kawannya, “Kebaikkan di dalam khidmah urusan rumah tangga (husnuttaba’ul) sama nilainya dengan jihadnya laki-laki di medan perang.”

Kesabaran para sahabat di dalam ketaatan beribadah diimbangi dengan kesabaran melakukan ketaatan dalam menjauhi dosa sekecil apapun. Sahabat Anas bin Malik pernah menceritakan ihwal para sahabat dalam hal menjauhi dosa. Ia berkata di hadapan tabi’in, yang artinya:

“Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan (dosa) yang lebih lembut menurut pandangan matamu, padahal sesunggunya kami di masa Rasullah Sholallahu Alaihi wassalam mengganggap perbuatan dosa yang lembut itu sebagai muubiqot (perbuatan yang merusak amal).” HR. Bukhory, lihat Riyadl, 63.

Sahabat Bilal bin Saad berkata, “Kamu jangan melihat kecilnya dosa namun lihatlah keagungan Dzat yang berbuat dosa kepada-Nya. Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang mukmin melihat dosanya seperti berada di lereng gunung. Ia takut kejatuhan gunung itu. Sedang orang fajir melihat dosanya seperti lalat menghampiri hidungnya.” (Dalilul Falihin, I/292). Perkataan dua sahabat ini menunjukkan bagaimana sikap sahabat di dalam menjauhi perbuatan dosa.

Bagi sahabat, jangankan berbuat dosa, mengamalkan perkara subhat saja dianggap sebagai bentuk kemaksiatan. Diceritakan oleh Imam Malik bin Anas bahwa seseorang memberikan susu kepada sahabat Umar bin Khottob. Ketika beliau mengetahui bahwa susu yang diminumnya itu sumbernya tidak jelas maka sahabat yang menjadi kholifah setelah Abu Bakar ini memaksa dirinya untuk memuntahkan susu yang telah diminumnya tersebut dengan cara memasukkan jari-jari tangan ke mulut beliau.” (Muwatha’: Tanwirul Hawalik I/257).

Keunggulan sahabat dari sisi penghambaan ditunjukkan pula oleh sikap pasrah (tawakkal) kepada Alloh Ta’ala dalam menerima musibah dan takdir buruk yang terbukti mengagumkan. Menurut lumrahnya manusia, ketika sakit ia akan berobat dan ini dibolehkan oleh syara’. Tidak demikian halnya dengan sahabat, sekalipun ditakdirkan sakit, mereka tetap sabar dan ridho menerimanya (tidak berobat). Ini disebabkan keyakinan mereka bahwa kondisi sakit merupakan ujian, dan ujian merupakan pintu kenaikan tingkat. Sakit sesungguhnya tidak berpahala, yang menjadikan berpahala adalah kesabaran menerima penyakit itu. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari orang-orang yang mencapai hakikat sebagaimana dicontohkan oleh sahabat Imron bin Hushein.

Sahabat Imron bin Hushein pernah menderita sakit bawasir (ambien). Nabi Sholallahu alahi wassalam menjenguknya dan minta sahabatnya ini memilih di antara dua pilihan: sembuh dari penyakit atau tidak sembuh namun malaikat setiap hari mengucapkan salam kepadanya. Oleh sahabat yang digelari Abu Nujaid ini, memilih yang kedua sekalipun ia harus menderita sakit selama 30 tahun.

Kejadian yang hampir sama dengan sahabat Imron bin Hushein adalah seorang sahabat wanita. Sahabat wanita tersebut berkulit hitam bernama Su’airoh. Ia menderita penyakit epilepsi (ayan). Ia matur kepada Nabi Sholallahu alaihi wassalam,

“Sesungguhnya aku adalah penderita epilepsi.Berkali-kali terbuka auratku. Mohonlah Tuan mendoakanku agar di saat kambuh, auratku tidak terbuka.” Sabda Nabi, “Jika kamu menghendaki sabar maka kamu akan mendapatkan surga; Jika menghendaki sembuh maka akan aku doakan.” “Aku pilih bersabar saja, tapi doakanlah agar tidak sampai terbuka auratku.” Nabi kemudian mendoakan supaya tidak terbuka auratnya di saat penyakitnya kambuh. HR. Muttafaq Alaih, lihat Riyald. Hadits no. 35.

Kesabaran sahabat di dalam ujian ini merupakan nilai tersendiri. Nabi Sholallahu alaihi wasallam menyebut bahwa ciri-ciri hamba Alloh yang akan masuk surga tanpa hisab adalah manusia yang tidak mempercayai praktik jampi (pengobatan), tidak mau dijampi, tidak gugon tuhon, dan kuat tawakalnya kepada Allah Ta’ala. (Muttafaq Alaih, lihat hadits Riyadl, no.74).

Salam Penghormatan

Kedudukan sahabat sebagai hamba-hamba Alloh pilihan menjadikan mereka pantas untuk diberikan salam baik di dunia maupun di akhirat. Salam di akhirat sudah jelas, yakni berupa kebahagian di surga. Sedang di dunia, sala itu berupa penghormatan. Seluruh alam menaruh hormat kepada generasi lapisan pertama ini setelah hormat kepada Nabi Sholallohu alaihi wasallam dan ahlul bait. Karena itu, sudah menjadi sunnah di saat mengawali setiap pidato, diucapkan, yang artinya:

“Segala puji bagi Alloh Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan terlimpahkan kepada semulia-mulianya para nabi dan para utusan, kepada keluarganya, dan kepada para sahabatnya semua."

Imbalan
Atas penghambaan yang sedemikian tinggi, para sahabat di dalam hidupnya oleh Allah Ta’ala diberikan imbalan berupa tidak akan ditimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan banjir, sebagaimana yang pernah menimpa pengikut-pengikut nabi sebelum mereka. Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bersabda

“Aku memohon kepada Tuhanku agar tida menghancurkan umatku dengan bencana banjir dan Dia mengabulkan; Aku juga memohon kepada-Nya agar tidak menghancurkan umatku dengan paceklik dan Dia mengabulkan.” HR. Muslim.

Hamba seperti kita tidak mungkin menggapai kedudukan sebagaimana sahabat. Walaupun demikian, masih ada kesempatan bagi kita untuk meneladani kiprahnya dengan cara memobilisasi ibadah secara habis-habisan, menjauhi dosa sekecil-kecilnya, serta pasrah diri secara penuh kepada Alloh yang mempunyai hak preogratif untuk memilih hamba-Nya. Dengan harapan, mudah-mudahan memperoleh limpahan berkah sebab tasyabbuh (menyerupai) pada perbuatannya. Sebuah bait syi’ir menyatakan:

“Jika kalian tidak mampu seperti mereka maka bertasyabbuhlah. Sesungguhnya bertasyabbuh dengan orang-orang mulia merupakan keberuntungan.”
(Mukaddimah Rawai’ul Bayan, Ali Ash Shobuniy: I/10).[]

Apr 20, 2009

Saudara Sepersusuan Menikah

Saya ingin menanyakan sebuah kasus. Si A menikah dengan si B. Hubungan pernikahan ini terjalin cukup lama. Hingga suatu ketika seorang ibu memberitahukan bahwa si A dan si B di masa kecilnya dahulu pernah disusuinya. Setelah mengetahui ini, apa yang harus dilakukan oleh pasangan A dan B tersebut? Apakah pernikahannya terus atau berpisah?

Salman, Surabaya

Jawaban:
Seperti dimaklumi bahwa saudara sepersusuan dilarang untuk dinikahi selamanya (tidak temporer). Sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan.” QS. An Nisâ’: 23.

Dari larangan ini bila seseorang karena tidak tahu lalu menikahi saudara sepersusuan sendiri, maka ketika ia tahu hubungan sepersusuan dengannya, pada saat itu pernikahan harus putus. Suami harus melakukan firaq (pisah) terhadap istrinya.

Hal ini pernah terjadi pada pasangan Uqbah bin Haris dengan putri Abu Ihab bin Azis. Setelah beberapa waktu berjalan, seorang perempuan tua datang dan berkata, “Sesungguhnya aku dahulu pernah menyusui Uqbah dan istrinya itu.” Uqbah berkata, “Aku tidak tahu ini dan engkau tidak memberitahukan.” Ketika kasus ini dihaturkan pada Rasulallah sholallohu ‘alahi wassalam beliau bersabda, “Yah, bagaimana lagi, toh kejadiannya (realitasnya) begitu.” Uqbah lalu berpisah dengan istrinya dan menikahi wanita yang lain. (HR. Bukhari II: 3).

[]

Apr 18, 2009

Syakhshiyah (Kepribadian Manusia)

Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?

1. Syakhshiyah (kepribadian) dalam diri setiap orang, terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak ada hubungannya dengan wajah, tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu adalah kulit (asesoris) semata. Manusia dapat dibedakan dengan akal dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat seseorang.

2. Tingkah laku (suluk) manusia dalam kehidupan ini terikat erat dengan mafahimnya dan berjalan secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan jiwa)nya. Oleh karena itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah penyangga syakhshiyahnya atau menjadi nilai syakhshiyahnya.


3. Mafahim adalah makna-makna pemikiran (ma'anil afkar) bukan makna-makna lafadz (ma'anil alfadz). Lafadz adalah ucapan-ucapan yang menunjukkan makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan mungkin tidak ada dalam kenyataan. Adapun arti yang ditunjukkan oleh pemikiran adalah bahwa apabila makna yang dikandung oleh suatu lafadz, memiliki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan dalam benak sebagai sesuatu yang dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau menggambarkannya dalam benak.

Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ucapan yang ia baca atau ia dengar, dengan cara berfikir (taqqiyan fikriyyan) dengan kata lain hendaklah ia memahami makna-makna kalimat dan pada saat yang sama ia harus memahami pula fakta dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut sehingga makna-makna itu menjadi mafahim baginya.

4. Muyul adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri (ghorooiz)nya dan kebutuhan jasmaninya (haajah 'udhwiyyah).

5. Mafahim ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila kita ingin memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (setiap) pengetahuan dengan kenyataan (bila ingin mengetahui realitasnya) menurut tolok ukur yang dijadikan landasan untuk fakta dan pengetahuan tersebut ketika berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas bila ia memiliki cara berpikir tertentu terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki). Maka di sinilah akan terbentuk pada orang tersebut suatu pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata, kalimat dan serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya yang disebut sebagai aqliyah. Dari sinilah timbul perbedaan pola pikir (aqliyah); seperti pola pikir Islami, pola pikir komunis, pola pikir kapitalis, pola pikir anarkis dan pola pikir yang teratur. Apabila kecenderungan (muyul) ada keterikatan dengan mafahim maka akan terbentuk pola sikap yang disebut sebagai nafsiyah, sedang yang menimbulkan kecenderungan itu adalah energi yang dinamis (ability) yang mendorongnya memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya, serta daya pikir yang mengkaitkan antara ability dan mafahim.

6. Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah (kepribadian manusia). Walaupun akal dan pemikiran ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan aqliyah terjadi dari hasil manusia sendiri. Demikian juga dengan muyul (kecenderungan) walaupun ia ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan nafsiyah terjadi dari hasil usaha manusia sendiri.

7. Mengingat yang menentukan keinginan sehingga ia menjadi suatu kecenderungan adalah gabungan (kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim, maka adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, merupakan pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqliyah dan nafsiyah. Apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang sama dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, yaitu satu atau lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia tersebut suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda dengan yang lain (syakhshiyah mutamayyizah). Tetapi apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang berbeda dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah yaitu dengan satu atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, dalam arti pola sikap berbeda dengan pola pikirnya, maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia suatu kepribadian yang tidak menunjukkan corak dan warna tertentu, karena ada perbedaan antara mafahim dengan muyul.

Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan pembentukkannya adalah dengan cara mewujudkan satu landasan ideologi tertentu yang digunakan sekaligus bagi aqliyah dan nafsiyahnya. Dengan kata lain memilih landasan untuk dijadikan landasan tolok ukur terhadap pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, harus digunakan sekaligus untuk mengkaitkan (menggabungkan) antara kecenderungan atau mafahim. Sehingga dengan cara ini terbentuklah sebuah kepribadian yang dibangun atas suatu landasan (ideologi) tertentu serta tolok ukur tertentu. Dengan cara demikian, maka akan terbentuklah suatu kepribadian/syakhshiyah yang mempunyai corak dan warna tertentu. (bersambung)

***