Jun 3, 2009

Kepimpinan Dalam Islam, Istiqomah, dan Paradigma Figuritas

Di dalam kitab Al Muwatto' karya Imam Malik bin Anas diceritakan pemimpin kaum muslimin, khalifah Umar bin Khattab berjumpa seorang wanita yang ditimpa penyakit kusta (lepra) hendak melakukan thawaf di Baitulloh. Khalifah berkata kepadanya, "Wahai hamba Alloh perempuan, jangan kamu membuat susah manusia. Andai kamu duduk-duduk di rumahmu (tentu lebih baik)." Wanita ini menuruti nasehat khalifah sehingga ia tidak jadi thawaf, tapi dirumah saja. Beberapa tahun kemudian, setelah khalifah Umar bin Khattab wafat, seseorang mendatanginya dan berkata, "Hai wanita, sesungguhnya orang yang dulu mencegahmu kini telah mati. Maka keluarlah kamu (untuk thawaf)". Wanita itu menjawab yang artinya:

Tidaklah aku mentaati khalifah semasa hidupnya, sementara setelah beliau wafat, aku mendurhakainya.
(HR. Malik dari Ibnu Abi Mulaikah, hadits mauquf, lihat syarah Az Zarqani: II/399, hadits nomor 979)


Kepemimpinan (qiyadah, imarah) dalam Islam merupakan masalah penting yang mendasar. Masalah kepemimpinan adalah masalah agama (syara'), bukan masalah duniawi semata. Al Islam dinun wa daulah. Jangankan kepemimpinan yang lingkupnya luas, dalam lingkup kecil pun agama mengajarkan dan menyerukan kepemimpinan. Misalnya kepemimpinan diwaktu berpergian. Di dalam hadits disebutkan yang artinya:

Dari Nafi, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Jika tiga orang berpergian, maka hendaklah mengangkat pimpinan salah satu dari mereka." Nafi berkata, "Lalu kami berkata kepada Abu Salamah, "Kalau begitu, anta amiruna (engkau pimpinan kami)". HR Abu Dawud: III/36 hadits nomor 2609

Syekh Ahmad bin Ruslan, seorang yang memadukan amaliah fiqh dengan tasawuh pun mengangkat wajibnya menegakkan kepemimpinan yang artinya

Dan apa saja yang terjadi di antara sahabat, kita tidak mengomentarinya. Kita menetapkan kepada mereka pahala berijtihad. Kewajiban bagi manusia menegakkan atau mendirikan pemimpin. Dan tidaklah ada sesuatu apapun diwajibkan bagi Tuhan. (Az Zubad bait ke-41 & ke-42)

Pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dari peristiwa dialog dan musyawarah pada sahabat di Saqifah (balai pertemuan) Bani Saidah, saat Rasulullah saw. wafat. Setelah problem kepemimpinan selesai dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar Asshiddiq sebagai pemimpin diforum itu, barulah Rasulullah saw. dimakamkan. Dan pemakaman ini menunggu bahkan sampai tiga hari. Seperti diketahui Rasulullah saw. wafat pada hari Senin, 13 Rabiul Awal 11/8 Juni 632 M sementara dimakamkan pada hari Rabu, 15 Rabiul Awal.

Dari peristiwa Saqifah Bani Saidah terdapat sekian pelajaran, di antaranya kesadaran perlunya stabilitas kepemimpinan, baik di masa Rasulullah saw. maupun masa-masa setelahnya. Di masa gesang beliau maupun setelah wafatnya. Tidak adanya beliau tidak mempengaruhi proses kelangsungan perjalanan kepemimpinan. Madzhab ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan tidak boleh ada kevakuman kepemimpinan sesaat pun.

Di sinilah jamaah dakwah yang sudah mengikat diri dengan qiyadah, hendaknya konsisten dengan qiyadah itu kapan dan di mana saja. Ada tidaknya figur yang diidolakan maupun pasca regenerasi kelak seandainya terjadi. Dari semula disepakati, keikutsertaan dan penggabungan terhadap qiyadah jamaah adalah atas dasar kesamaan pemikiran fiqhiyan wa siyasiyan, kesatuan visi dan misi untuk berdakwah, menjalin rasa kebersamaan, menciptakan karya, mengemban perjuangan, melangsungkan pendidikan dan pengabdian kepada kaum muslimin. Bukan atas dasar figur. Adanya figur syeikh. Hidupnya figur guru. Sementara tidak adanya figur dan wafatnya figur menjadikan diri berlepas dan qiyadah rusak.

Figuritas memang naluri manusia. Wajar, syeikh membina, membimbing, dan mengarahkan, di samping memotivasi dan memberikan dorongan. Abi Yazid Al Busthomi mengatakan, "Barangsiapa tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan". Namun, selanjutnya, hasil dari pembinaan, bimbingan dan pengarahan syeikh akan kembali kepada jiwa (hati nurani) masing-masing, berupa kesungguhan, keseriusan (azimah), dan kesemangatan hati (roghbah qolbiyah) yang bersumber dari sikap istiqomah dalam perilaku (suluk).

Istiqomah dalam suluk merupakan tuntutan keimanan seseorang, di samping istiqomah dalam aqidah, istiqomah dalam perangai dan istiqomah dalam perbuatan. Istiqomah dalam suluk perwujudannya adalah melanggengkan perilaku diri, baik dalam ibadah maupun muamalah. Konsisten dengan kesepakatan. Memahami dan mematuhi peraturan. Kapan dan di mana saja. Apapun yang terjadi. Istiqomah inilah penegak qiyadah kejamaahan. Sahabat-sahabat senoir dahulu, kalau tidak atas dasar istiqomah dalam perilaku ini, niscaya mereka enggan atau malah menolak mentah-mentah kala Rasulullah saw. mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah yang baru 17 tahun menjadi pimpinan. Istiqomah dalam suluk ini pula kiranya yang mendasari wanita lepra tersebut di muka mentaati saran khalifah Umar bin Khattab, menjaga betul saran itu dijiwanya, sampai pun khalifah yang muhdats ini wafat, ketaatan kepadanya pun tetap dipatuhi.

Wallahu subhhanahu wata'ala 'alam.

0 comments: