Seorang yang sudah meninggal (mayit) meninggalkan hutang sholat fardu. Apakah anaknya atau ahli warisnya boleh mengqodlo hutang shalat fardu tersebut? Dan bagaimana kalau itu adalah wasiat?
Abdullah, Sampang.
Jawaban:
Ibadah shalat adalah kewajiban individu yang harus dipelihara pada kondisi apapun selama kita masih hidup baik sewaktu di rumah, berpergian, waktu aman, maupun waktu tidak aman seperti peperangan. Hanya saja teknis pelaksanaannya ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan situasi kondisi. Bisa di atas kendaraan. Jika tidak dapat berdiri, boleh duduk. Tidak bisa duduk, dapat dengan berbaring. Tidak bisa berbaring, boleh dengan tidur telentang, berikutnyaa boleh dengan isyarat tubut atau dengan isyarat mata. Walhasil dalam kondisi apapun shalat sekali-kali tidak boleh ditelantarkan karena waktu-waktu shalat telah ditetapkan dengan jelas. Menelantarkan shalat setidak-tidaknya mengindikasikan dilakukannya sikap dan perilaku laksana sikap dan perilaku orang-orang yang kafir. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Atas dasar ini para ulama sepakat orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan hutang shalat fardu yang belum ditunaikan maka kerabat dekatnya dan juga orang lain tidak boleh melakukan shalat dalam rangka menebus atau mengganti shalat mayit yang dihutang tersebut. Tidak bisa pula menebus dan menggantinya dengan memberi makan (fidyah) kepada orang-orang miskin. Karena sekali lagi shalat fardu adalah ibadah individual yang pelaksanaannya tidak bisa digantikan oleh orang lain. Meski pun melalui kekuatan wasiat. Karena wasiat tidak wajib dilestarikan pada hal yang tidak ada tuntunannya.
Sahabat Ibnu Abbas berkata yang artinya:
“Seseorang tidak boleh shalat dalam rangka menggantikan shalat orang lain.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).
Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan. Bila mayit memiliki hutang puasa sebab udzur tertentu, menurut Imam Ahmad dan sebagian Syafi’iyah, wali atau famili terdekat bisa menebus dan mengganti puasanya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ats Tsauri, dan sebagian Syafi’iyah, kerabat dekat tidak usah menggantinya dengan puasa, namun cukup menebusnya dengan membayar fidyah. (Ahkâmus Shiyam: 77 dan Al Fiqh Al Islam: 682).
Demikian itu berdasarkan riwayat yang artinya:
“Barangsiapa mati meninggalkan puasa, hendaklah walinya berpuasa sebagai gantinya.” (HR. Bukhari Muslim).
Pada riwayat lain yang artinya:
“Seseorang tidak boleh puasa dalam rangka menggantikan puasa orang lain. Tetapi dia memberikan makan satu mud gandum sehari.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).
Meskipun kerabat dekat tidak diperkenankan mengganti tanggungan shalat fardu mayit yang ditinggalkan, namun mereka agaknya bisa mendoakan semoga dosa-dosa ayahnya atau yang lain akibat meninggalkan shalat fardu diampuni oleh Allah ta’ala. Tidak ada doa yang baik sebaik doa anak kepada orang tuanya.[]
May 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment