Serial Siroh
Selama ini belum ada seorang ahli yang memastikan berapa jumlah hamba Allah semenjak Nabi Adam as. hingga akhir zaman di muka bumi ini. Di zaman sekarang saja, umat manusia diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih enam miliar. Lalu, berapa hitungannya bila hamba Allah seluruhnya digabung semenjak lahirnya Nabi Adam as. atau semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw. hingga zaman yang mengiringi kiamat? Hanya Allah Ta’ala yang mengetahui secara pasti.
Di antara hamba-hamba Allah yang jumlahnya tak terhitung itu, ada yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai hamba pilihan. Makna pilihan secara sunattulah berarti hamba tersebut lebih unggul, lebih tinggi, dan lebih mulia dibanding dengan hamba-hamba yang lain. Siapakah hamba-hamba pilihn itu? Allah Ta’ala berfirman yang artinya
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.“ (QS. An Naml: 59)
Hamba-hamba Allah pilihan yang dimaksud di dalam ayat tersebut menurut pendapat Sufyan At Tsuariy dan As Suddy yang dinukil dari pendapat Abdullah bin Abbas adalah para sahabat Rasulullah saw. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thobariy. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir III/448, dan Mukhtashar Tafsir Ath Thobariy II/44).
Pelajaran yang dapat diambil adalah para sahabat oleh Allah dijadikan sebagai hamba-hamba pilihan? Derajat ini satu sisi tidak lepas merupakan fadl (anugerah) yang dikehendaki oleh Allah. Jadi, terhadap derajat ini manusia tidak boleh iri. Sisi lain fadl yang berharga tersebut tidak akan dilimpahkan begitu saja. Dalam diri sahabat pasti ada kelebihan perbuatan yang dilakukan dalam kaitannya sebagai hamba Allah yaitu dalam hal aktivitas penghambaan kepada-Nya. Sisi ini yang seharusnya diteladani.
Imam An Nawawiy menceritakan bahwa para sahabat di Madinah bila umur telah mencapai 40 tahun maka mereka jungkung (tafarrugh) untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Mereka menghabiskan umurnya semenjak itu khusus untuk kegiatan ibadah. Tidak ada aktifitas bagi mereka yang lebih diutamakan selain beribadah kepada-Nya. Istfghfar, taat dan menghadap Allah Ta’ala menjadi prioritas utama dalam hidup mereka agar di akhir umurnya mereka menggapai khusnul khotimah sebab akhir umur itulah yang menjadi penilaian. Bukan malah “tua-tua keladi”, makin tua makin menjadi-jadi dalam menggeluti kemaksiatan. Ini sebagai bentuk pengamalan “keprihatinan” firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fâthir: 37)
Sayyidah Fathimah, sahabat wanita sekaligus putri Nabi saw. digelari Al Batûl karena beliau memanfaatkan hidupnya untun beribadah secara total (bukan memforsir diri sampai jenuh). Bagi istri sahabat Ali bin Abi Thalib ini, tiada waktu tanpa beribadah. Sekalipun beliau putri manusia paling mulia, beliau tidak mengandalkan derajat orang tuanya. Beliau menggali sendiri derajatnya melalui mobilisasi ibadah secara habis-habisan, baik ibadah langsung maupun ibadah tidak langsung. Ibadah tidak langsungnya, seperti dimaklumi, adalah husnuttaba’ul yakni khidmah kepada suaminya di dalam urusan rumah tangga. Sekalipun ini tidak besar namun kedudukannya agung menurut Allah Ta’ala sebab Nabi Sholallahu Alaihi Wassallam pernah menjawab pengaduan sahabat wanita bernama Ummu Salamah dan kawan-kawannya, “Kebaikkan di dalam khidmah urusan rumah tangga (husnuttaba’ul) sama nilainya dengan jihadnya laki-laki di medan perang.”
Kesabaran para sahabat di dalam ketaatan beribadah diimbangi dengan kesabaran melakukan ketaatan dalam menjauhi dosa sekecil apapun. Sahabat Anas bin Malik pernah menceritakan ihwal para sahabat dalam hal menjauhi dosa. Ia berkata di hadapan tabi’in, yang artinya:
“Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan (dosa) yang lebih lembut menurut pandangan matamu, padahal sesunggunya kami di masa Rasullah Sholallahu Alaihi wassalam mengganggap perbuatan dosa yang lembut itu sebagai muubiqot (perbuatan yang merusak amal).” HR. Bukhory, lihat Riyadl, 63.
Sahabat Bilal bin Saad berkata, “Kamu jangan melihat kecilnya dosa namun lihatlah keagungan Dzat yang berbuat dosa kepada-Nya. Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang mukmin melihat dosanya seperti berada di lereng gunung. Ia takut kejatuhan gunung itu. Sedang orang fajir melihat dosanya seperti lalat menghampiri hidungnya.” (Dalilul Falihin, I/292). Perkataan dua sahabat ini menunjukkan bagaimana sikap sahabat di dalam menjauhi perbuatan dosa.
Bagi sahabat, jangankan berbuat dosa, mengamalkan perkara subhat saja dianggap sebagai bentuk kemaksiatan. Diceritakan oleh Imam Malik bin Anas bahwa seseorang memberikan susu kepada sahabat Umar bin Khottob. Ketika beliau mengetahui bahwa susu yang diminumnya itu sumbernya tidak jelas maka sahabat yang menjadi kholifah setelah Abu Bakar ini memaksa dirinya untuk memuntahkan susu yang telah diminumnya tersebut dengan cara memasukkan jari-jari tangan ke mulut beliau.” (Muwatha’: Tanwirul Hawalik I/257).
Keunggulan sahabat dari sisi penghambaan ditunjukkan pula oleh sikap pasrah (tawakkal) kepada Alloh Ta’ala dalam menerima musibah dan takdir buruk yang terbukti mengagumkan. Menurut lumrahnya manusia, ketika sakit ia akan berobat dan ini dibolehkan oleh syara’. Tidak demikian halnya dengan sahabat, sekalipun ditakdirkan sakit, mereka tetap sabar dan ridho menerimanya (tidak berobat). Ini disebabkan keyakinan mereka bahwa kondisi sakit merupakan ujian, dan ujian merupakan pintu kenaikan tingkat. Sakit sesungguhnya tidak berpahala, yang menjadikan berpahala adalah kesabaran menerima penyakit itu. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari orang-orang yang mencapai hakikat sebagaimana dicontohkan oleh sahabat Imron bin Hushein.
Sahabat Imron bin Hushein pernah menderita sakit bawasir (ambien). Nabi Sholallahu alahi wassalam menjenguknya dan minta sahabatnya ini memilih di antara dua pilihan: sembuh dari penyakit atau tidak sembuh namun malaikat setiap hari mengucapkan salam kepadanya. Oleh sahabat yang digelari Abu Nujaid ini, memilih yang kedua sekalipun ia harus menderita sakit selama 30 tahun.
Kejadian yang hampir sama dengan sahabat Imron bin Hushein adalah seorang sahabat wanita. Sahabat wanita tersebut berkulit hitam bernama Su’airoh. Ia menderita penyakit epilepsi (ayan). Ia matur kepada Nabi Sholallahu alaihi wassalam,
“Sesungguhnya aku adalah penderita epilepsi.Berkali-kali terbuka auratku. Mohonlah Tuan mendoakanku agar di saat kambuh, auratku tidak terbuka.” Sabda Nabi, “Jika kamu menghendaki sabar maka kamu akan mendapatkan surga; Jika menghendaki sembuh maka akan aku doakan.” “Aku pilih bersabar saja, tapi doakanlah agar tidak sampai terbuka auratku.” Nabi kemudian mendoakan supaya tidak terbuka auratnya di saat penyakitnya kambuh. HR. Muttafaq Alaih, lihat Riyald. Hadits no. 35.
Kesabaran sahabat di dalam ujian ini merupakan nilai tersendiri. Nabi Sholallahu alaihi wasallam menyebut bahwa ciri-ciri hamba Alloh yang akan masuk surga tanpa hisab adalah manusia yang tidak mempercayai praktik jampi (pengobatan), tidak mau dijampi, tidak gugon tuhon, dan kuat tawakalnya kepada Allah Ta’ala. (Muttafaq Alaih, lihat hadits Riyadl, no.74).
Salam Penghormatan
Kedudukan sahabat sebagai hamba-hamba Alloh pilihan menjadikan mereka pantas untuk diberikan salam baik di dunia maupun di akhirat. Salam di akhirat sudah jelas, yakni berupa kebahagian di surga. Sedang di dunia, sala itu berupa penghormatan. Seluruh alam menaruh hormat kepada generasi lapisan pertama ini setelah hormat kepada Nabi Sholallohu alaihi wasallam dan ahlul bait. Karena itu, sudah menjadi sunnah di saat mengawali setiap pidato, diucapkan, yang artinya:
“Segala puji bagi Alloh Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan terlimpahkan kepada semulia-mulianya para nabi dan para utusan, kepada keluarganya, dan kepada para sahabatnya semua."
Imbalan
Atas penghambaan yang sedemikian tinggi, para sahabat di dalam hidupnya oleh Allah Ta’ala diberikan imbalan berupa tidak akan ditimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan banjir, sebagaimana yang pernah menimpa pengikut-pengikut nabi sebelum mereka. Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bersabda
“Aku memohon kepada Tuhanku agar tida menghancurkan umatku dengan bencana banjir dan Dia mengabulkan; Aku juga memohon kepada-Nya agar tidak menghancurkan umatku dengan paceklik dan Dia mengabulkan.” HR. Muslim.
Hamba seperti kita tidak mungkin menggapai kedudukan sebagaimana sahabat. Walaupun demikian, masih ada kesempatan bagi kita untuk meneladani kiprahnya dengan cara memobilisasi ibadah secara habis-habisan, menjauhi dosa sekecil-kecilnya, serta pasrah diri secara penuh kepada Alloh yang mempunyai hak preogratif untuk memilih hamba-Nya. Dengan harapan, mudah-mudahan memperoleh limpahan berkah sebab tasyabbuh (menyerupai) pada perbuatannya. Sebuah bait syi’ir menyatakan:
“Jika kalian tidak mampu seperti mereka maka bertasyabbuhlah. Sesungguhnya bertasyabbuh dengan orang-orang mulia merupakan keberuntungan.” (Mukaddimah Rawai’ul Bayan, Ali Ash Shobuniy: I/10).[]
May 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment