Pengantar
Alhamdulillah, ke sekian kalinya, Ust. Muhammad Ihya' Ulumiddin menelorkan buku untuk dipersembahkan kepada khalayak kaum muslimin. Buku-buku beliau, meski bertema-tema biasa, bahasannya selalu segar (inspiratif) dan memunculkan hal-hal baru (inovatif). Seperti dalam buku qunut ini. Di saat kebanyakan buku cenderung fanatik kepada salah satu sikap, antara sikap menerima atau sikap menolak, beliau dengan kearifannya, justru melakukan konvergensi (perpaduan) dan moderasi (mengambil jalan tengah). Kedua belah pihak dijelaskan sama-sama memiliki argumentasi yang kuat sekaligus mempunyai akar tradisi sejarah yang lama.
Kini yang diperlukan dalam hal perbedaan masalah furu', menurut beliau, adalah menampakkan rasa tasamuh yang tinggi sebagai bagian dari jalinan Ukhuwah Islamiyah. Seperti sikap Asy-Syafi'i ra. yang berada dipihak pro qunut. Begitu beliau menjadi imam shalat shubuh di masjid Baghdad yang didominasi jamaah bermadzhab Hanafi, beliau tidak melakukan qunut, dengan alasan toleransi dan bertata krama dengan Abu Hanifah ra. (Al Maliki, Insan Kamil: 310). Bila begitu, maka terciptalah rahmat dalam perbedaan cabang bukan 'laknat' dalam perbedaan hal-hal furu' tersebut. Perbedaan dalam hal kecil itu menjadi nikmat, bukan niqmat (malapetaka).
Buku ini dipersembahkan agar turut memberikan iluminasi (pencerahan) pemikiran dan perilaku yang menjadi faktor penting bangkit dan bersatunya umat Islam di dunia menjadi satu umat khoriyah, umat yang memiliki izzah, seperti masa-masa lalu.
Dan segala jenis puji bagi Allah swt. di awal maupun di akhir.
***
Muqoddimah
Persoalan qunut dalam syari’at Islam sebenarnya bukanlah persoalan prinsip melainkan persoalan furu’iyah. Namun, berangkat dari persoalan yang bukan prinsip ini sebagian umat Islam menjadikan qunut sebagai dasar mukholafah (berpecah belah) antara sesama mereka. Fakta ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang saja. Di Cordova pada masa akhir Khilafah Islamiyah dahulupun mukholafah akibat ikhtilaf fil furu’ ini telah terjadi, mengesampingkan persoalan yang lebih besar, yaitu jihad, sehingga dengan mudah waktu itu Cordova diserbu oleh musuh.
Mukholafah pada masalah furu’iyah oleh sebagian umat Islam mengesankan agama Islam tidak jauh berbeda dengan agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani di mana antara kelompok satu dan lainnya selalu berpecah belah dan tidak pernah bersatu. Seperti diketahui antara sekte-sekte Yahudi dan Nasrani selalu terjadi pengharaman beribadah di tempat ini dan tempat itu bahkan terjadi pertumpahan darah hanya akibat perbedaan persoalan yang remeh. Dalam Islam adanya berbagai madzhab malah menandakan bahwa Islam mengakomodasi pemikiran manusia, asal tidak keluar dari prinsip Aqidah Islamiyah. Dengan demikian Islam akan tampil elastis mampu mengikuti perkembangan zaman. Dikatakan oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki, bahwa:
Madzâhibu arba’atu laisat mutabâ’idatan
Madzhab empat (dalam Islam) tidaklah berjauhan.
Di Indonesia, khilafiyah furu’iyah tampak membentuk cultural barrier (penghalang, perintang dan kendala budaya) yang memisahkan antara kelompok-kelompok kaum muslimin. Tetapi, kini didapati fenomena yang mengembirakan dengan kesadaran baru untuk menghancurkan cultural barrier sedikit demi sedikit oleh generasi muda Islam yang mempunyai ghoiroh yang besar untuk membangkitkan Islam.
Pada saat tumbuh ghoiroh yang besar inilah hendaknya disertakan ilmu yang benar tentang berbagai persoalan khilafiyah furu’iyah, dalam hal ini termasuk persoalan qunut, sebab bila tidak, maka cultural barrier yang telah hancur bisa jadi akan kambuh kembali.
***
Apr 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment