Apr 11, 2009

Kapankah Kita Berbeda Agar Bisa Bersatu?


Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” QS. Al An’am: 159

Setelah berpesan melalui Rasul-Nya agar umat ini meniti shirathal mustaqim dan bukan mengikuti berbagai jalan selainnya sebagaimana dalam firmanNya,

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. QS. Al An’am: 153


Maka dalam ayat ini Allah memberikan peringatan kepada umat ini tentang apa yang kelak akan mereka alami sebagai satu garis kehidupan berupa tindakan menyia-nyiakan agama, setelah sebelumnya berada di jalan yang benar, yang muncul dalam fenomena perpecahan sekian banyak madzhab, aliran-aliran dan bid’ah-bid’ah di mana hal ini menjadikan mereka terkotak-kotak dalam fanatisme berbagai macam kelompok dan golongan. Akibatnya kebenaran pun lenyap, ikatan persatuan terputus dan persaudaraan seiman berubah menjadi umat yang saling berlawanan dan bermusuhan sebagaimana pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Realitas tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal seperti berikut:
1. Perebutan Kekuasaan. Ini telah terjadi semenjak akhir pemerintahan Khalifah Ar Rasyidah dan berlanjut hingga masa sekarang.
2. Fanatik Ras dan Semboyan Kebangsaan.
3. Fanatisme Madzah dan Aliran dalam dasar-dasar dan cabang-cabang agama sehingga satu sama lain saling mencela.
4. Berkata tentang agama berdasarkan pendapat.
5. Penyusupan dan rekayasa musuh-musuh agama.

Sebagian ahli tafsir generasi terdahulu (salaf) berpendapat bahwa ayat ini turun terkait ahli kitab yang telah memecah belah agama Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa alaihissalam serta merubahnya menjadi agama-agama yang berbeda pula dan masing-masing memiliki madzhab-madzhab dan aliran-aliran yang fanatik di mana antara mereka saling memusuhi dan memerangi (bunuh membunuh).

Dua tafsiran ini bisa saja dipadukan karena ayat tersebut mencakup ahli kitab dan kelompok-kelompok dalam kaum muslimin. Jadi ayat tersebut memiliki misa memberikan peringatan (tahdzîr) akan bahaya perpecahan/perbedaan (tafrîq) yang tidak diperbolehkan (tercela) sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” QS. Ali Imran: 105

Jadi tafrîq yang diperingatkan oleh Allah adalah memisahkan dasar-dasar Islam yang telah menjadi satu kesatuan sebagaimana dilakukan sebagian orang Arab yang menolak mengeluarkan zakat pasca Rasulullah shallallahu alaihi wassalam wafat sehingga Abu Bakar ra. Berkata, “Sungguh aku pasti akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.” Sementara tafrîq dalam pendapat, sebab akibat (ta’lîlât), penjelasan-penjelasan (tabyînâ) dan cabang-cabang fikih maka tidak menjadi masalah.

Akhirnya semua tafrîq yang tidak menyebabkan sikap saling mengkafirkan (tafkîr), saling memerangi (taqâtul), berpecah belah dan fitnah maka itu hanyalah sebatas tafrîq dalam pemikiran, pencarian dalil dan usaha maksimal menemukan kebenaran. Sebaliknya tafrîq yang mengantarkan kepada tindakan tafkîr dan saling menyerang dalam masalah agama maka inilah yang diperingatkan oleh Allah kepada kita untuk untuk dijauhi. Abu Asyur dalam at Tahrirr wa At Tanwîr 8/196 mengatakan, “Adapun perebutan kekuasaan dan harta dunia di kalangan kaum muslimin maka bukan termasuk tafrîq (perpecahan) dalam agama. Hanya saja ini termasuk kondisi yang menjadikan jamaah (persatuan umat) terancam.”

Karena itulah suatu keharusan bagi seluruh kelompok untuk berdiri dalam satu barisan demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Tetapi, perselisihan senantiasa terjadi di kalangan mereka. Dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. bahwa Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Aku memohon kepada Tuhanku agar tidak menghancurkan umatku dengan paceklik. Diapun mengabulkannya. Dan aku lalu memohon kepada-Nya agar tidak menghancurkan umatku dengan banjir Dia pun mengabulkannya. Lalu aku memohon kepada-Nya agar tidak menjadikan perselisihan di antara mereka. (permohonanku) ini ditolak.” HR. Ibnu Abi Syaibah. (Khashaisah al Ummah al Muhammadiyyah hal. 42)

Lalu kapankah kita berbeda agar bisa bersatu? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang harus dibarengi dengan usaha serius dan berat yang dituntun oleh sikap istiqamah, jiwa dermawan, hati yang bersih dan rahmat kepada umat dengan berbagai macam sarana di mana sarana memiliki hukum sama seperti tujuan.

Wallahu ‘alam.


0 comments: