
Jika kita mengamati fenomena moralitas di masyarakat, kita akan mendapati bahwa berbagai tindak kemaksiatan dan kedzaliman telah merajalela. Tidak hanya dikatakan merajalela, tindak kemaksiatan dan kedzaliman itu bahkan bisa dikatakan telah sampai pada tingkat membudaya (al fusyuw). Misal, realita dan fenomena itu adalah membudayanya perzinaan (seks) di berbagai lapisan masyarakat.
Kita berulang kali mendengar perzinaan –tidak ada bedanya dilakukan secara paksa (pemerkosaan) maupun suka sama suka- telah dilakukan oleh orang-orang yang telah bersuami-istri, yang secara hakekat telah ada saluran kebutuhan biologisnya. Fenomena lebih parah lagi adalah membudayanya perzinaan yang dilakukan oleh antar mahram (kerabat yang haram dinikahi).
Syara’ jauh sebelumnya mengingatkan, masyarakat harus menghindari dekat-dekat kepada zina. Artinya, sarana-sarana yang bisa menjurus kepada tindak perzinaan harus dijauhi. Syara’ kemudian mengharamkan membuka aurat, berdua-duaan ditempat sepi (khalawat), dan menyaksikan hal-hal yang bisa membangkitkan gairah perzinaan, seperti menonton BF, mengikuti dan meyaksikan pertunjukan tari, membaca tulisan serta melihat gambar porno, dan lain sebagainya. Sementara pada saat ini sarana-sarana yang mendekatkan kepada zina seakan leluasa membius masyarakat dari segala penjuru. Tak ayal, siapa saja yang tidak mempunyai filter kuat pada jiwanya, orang tua atau lebih-lebih remaja, tentu terjerumus kepada dosa besar itu.
Pada saat yang demikian, baiklah kita mengingat keterangan hadits berikut, yang artinya:
Umatku senantiasa dalam kebaikan selama zina tidak membudaya pada mereka; Apabila zina membudaya pada mereka, maka hampir dekat Alloh akan menimpakan krisis terhadap mereka. (HR. Ahmad).
Bermula dari membudayanya tindak kemaksiatan dan kedzaliman seperti zina dan semacamnya, Alloh Ta’ala lalu menimpatkan suatu peringatan berupa musibah agar kita menyadari akan kesalahan yang telah kita perbuat. Beberapa bentuk musibah yang ditentukan berturut-turut yang mulai dari terberat adalah khauf (ketakutan), jû’ (kelaparan), naqsun minal amwâl (kekurangan harta), naqsun minal anfus (kekurangan jiwa), dan naqsun minats-tsamarat (kekurangan buah-buahan). (Lihat QS. Al Baqarah: 155).
Kali ini, kita ditimpa musibah krisis moneter. Melihat implikasinya, krisis ini dapat dikategorikan sebagai satu bentuk musibah naqsun minal amwâl (kekurangan harta). Musibah satu saja ini pun sudah melumpuhkan sebagian terbesar dimensi kehidupan. Lalu, bentuk musibah ini tidakkah akan berlanjut kepada musibah lain yang lebih berat? Sebagian pengamat memperkirakan, bulan-bulan mendatang kita bakal mengalami kemarau panjang yang lebih daripada kemarau kemarin, sementara pada saat ini banyak lahan-lahan pertanian gagal panen. Hal demikian dikhawatirkan musibah yang lebih berat akan turun menimpa kita, yaitu musibah jû’ (kelaparan). Lebih dari itu, kondisi perpolitikan yang masih labil dimungkinkan pula menjurus kepada musibah terberat, yaitu khauf (ketakutan) yang memungkinkan berbentuk perang saudara, fitnah, culik-menculik, dan pembunuhan. Allohu A’lam.
Qadla Qadar
Ditinjau dari sudut Aqidah Islamiyah, sesungguhnya keberadaan musibah merupakan qadla qadar. Sebab musibah manakala sudah turun maka manusia tidak akan bisa menolak karena adanya berada di luar kemampuan manusia. Hal ini terbukti, para ahli ekonomi dengan ilmunya serta merta menyerah manakala mengamati fenomena musibah krisis moneter. Berbagai upaya deteksinya meleset di dalam mengantisipasi hakikat musibah itu, termasuk deteksi seorang ekonom kondang yang lagi naik daun. Ini karena hakikat musibah memang berada di luar kemampuan manusia.
Alloh Ta’ala berfirman:
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah: 51, periksa pula QS. Al Hadid: 22-23).
Oleh karena musibah adalah qadla qadar, maka sikap terbaik pada saat mengalaminya adalah mengeluh, tidak putus asa, dan tawakkal , seraya menumbuhkan pengakuan jiwa untuk mengembalikan musibah itu kepada Alloh Ta’ala melalui kalimat istirja’.
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"” (QS. Al Baqarah: 156).
Sekalipun dituntut bersikap positif saat mengalami musibah, namun sikap itu tidaklah menutup aktivitas yang wajar (al ikhtiar al lazimah) untuk bisa keluar dari musibah, karena maklum tindakan itu diperbolehkan.
Memang, bersikap baik saat manakala ditimpa musibah sangatlah sukar karena kecenderungan manusia saat dirinya ditimpa kesusahan adalah mengeluh dan putus asa. Oleh karena sangat sukar, derajat luhur dan pahala besar diberikan sebagai balasan atas orang-orang yang menerima musibah dengan bersikap baik. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157).
Makhraj (Solusi/Jalan Keluar)
Makhraj agar musibah segera berakhir adalah dengan menyadari setiap kesalahan yang menjadi wasilah musibah diturunkan. Caranya dengan beristighfar, bertaubat, dan tawajjuh (menghadap) kepada Alloh Ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah qunut nazilah. Saat-saat krisis kita perlu merendahkan diri sebagai pertanda bahwa kita masih membutuhkan peran Alloh Ta’ala di dalamnya.
Ketika musibah krisis moneter menimpa kita beberapa tahun lalu, tampak orang enggan untuk melibatkan Alloh Ta’ala di dalamnya termasuk para pengamat, malah terkesan sama sekali peranan Alloh Ta’ala tidak dibutuhkan lagi. Di sisi lain, orang mendambakan peran blok kafir di dalamnya antara IMF dan CBS, padahal amat riskan paket makhraj yang ditawarkan oleh para durjana itu. Alloh Ta’ala telah menyebutkan, setiap amal perbuatan orang-orang kafir itu itu laksana fatamorgana yang disangka air oleh orang-orang yang kehausan. Tetapi, bila didatanginya air itu maka tidak akan didapatnya suatu apapun. (QS. An Nur: 39).
Nadhrah
Untuk menggerakkan kesadaran umum melakukan istighfar, taubat, dan tawajjuh agar pengaduan kita didengar oleh Alloh Ta’ala tentulah tidak mudah pada kondisi di mana kedzaliman dan kemaksiatan membudaya. Maka, caranya adalah dengan mengoptimalkan wujudnya kelompok-kelompok yang senantiasa mendapatkan nadhrah (penglihatan rahmat) dari Alloh Ta’ala. Di antara mereka adalah tiga kelompok di bawah ini:
1. Orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.
2. Orang-orang yang memakmurkan masjid.
3. Orang-orang yang cinta kasih dan setia kawan dalam urusan yang diridlai.
Imam Abdullah Ba’alawi Al Haddad mengubah qasidah doanya yang masyhur sebagai berikut:
Perhatikan ya Alloh dengan nadhrah; pandangan yang penuh rahmat, yang mengobati segala penyakit menyakitkan yang menimpaku.
Bersamaan dengan optimalisasi keberadaan kelompok-kelompok yang mendapatkan nadhrah, kita harus melakukan raja’ (berpengharapan) kepada Alloh Azza wa Jalla: “Mudah-mudahan musibah ini cepat diselesaikan oleh Alloh Ta’ala”, sebab bagaimanapun Dia adalah Dzat Yang Rahman, Maha Pengasih kepada hamba-Nya, tanpa membedakan hamba yang baik atau hamba yang buruk. Imam An Nawawi dalam Riyadlusshalihin hal. 139 mengatakan, pada saat sehat harus stabil antara sikap khouf (cemas) dan raja’, sementara pada saat krisis sikap yang dibutuhkan adalah raja’ saja.
Perlunya bersikap raja’ kepada Alloh Ta’ala ini berdasarkan anjuran berprasangka baik kepada-Nya manakala kita memasuki masa menjelang kematian, sedang krisis moneter ibaratnya adalah sebuah kematian, sedang krisis moneter ibaratnya adalah sebuah kematian kondisi yang sebelumnya berjalan dengan baik. Rasululloh Sholallallohu Alaihi Wassalam bersabda, yang artinya:
“Janganlah salah satu dari kamu mati kecuali dirinya sedang berprasangka baik kepada Alloh Azza wa Jalla”. (HR. Muslim)
Wallahu A’lam.
0 comments:
Post a Comment