Apr 7, 2009

Keterikatan Terhadap Hukum Syari’at Islam


Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Islam Memahami?

Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datang pernyataan dari syara’. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram, makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan atas kemashlatan manusia. Sebab, tidak ada taklif (beban hukum) sebelum sampainya peryataan syara’. Allah Subhana wata’ala berfirman:

“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. QS.Al Isrâ’: 15

Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah Subhanallohu wata’ala memberikan jaminan kepada hamba-Nya; tidak akan datang azab kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani satu hukum pun. Tatkala Allah Subhana wata’ala mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut.


Allah Subhanallohu wata’ala berfirman:

“(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS . An Nisâ: 165.

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan kelak, tentang ketidakimannya dan ketidak keterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, ia pun akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.

Untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melaksanakan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Subhanallohu ta’ala. Dan di sinilah kaum muslimin berbeda-beda dalam tingkatan kesiapan mereka dalam keterikatan ini. Allah Ta’ala telah memberikan isyaratnya pada firman-Nya:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar”. QS. Fâthir: 32.

Kaum muslimin diperintahkan menjalankan perbuatan mereka menurut hukum-hukum Islam, karena mereka menerima beban kesanggupan untuk menjalankan perbuatan mereka sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya Allah Ta’ala berfirman:

“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah…” QS. Al Hasyr: 7.

Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barangsiapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul (karena masa Rasulullah Shollalohu ‘alahi wassallam telah lewat) maka ia tidak termasuk mukallafin (orang yang terbebani hukum). Sebab beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana keumuman risalah untuk seluruh manusia. Atau tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang lolos dari hukum syari’at, karena syari’at bukan dikhususkan untuk menentukan status hukum perbuatan tertentu dan tidak berlaku untuk perbuatan yang lain atau berlaku orang tertentu dan tidak berlaku buat yang lainnya. Firman Allah Subhanallohu wata’ala:

“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” QS. Al A’râf: 158.

Oleh karena itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa apa pun yang dibawa Rasul mengenai suatu hukum adalah mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan.

Dengan demikian setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’.

Juga tidak dapat dikatakan bahwa ada suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan syara’ atasnya, lalu manusia diberi kebebasan memilih apakah akan melakukannya atau tidak. Itu berarti syari’at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali untuk masa dan keadaan tertentu. Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari’at itu sendiri serta kenyataan yang sesuai dengannya.

Memang syari’at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi, Islam datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problema hidup dan dengan suatu cara pandang bahwa sasarannya adalah manusia, tanpa memandang waktu dan tempat. Kemudian mengalirlah dari makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan dipahami. Kemudian, dilakukan istinbath hukum (pengambilan status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung dalam syari’at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.

Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wassalam, hingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada syari’at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu Bakar ra. Muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wassalam. Begitu pula telah muncul persoalan-persoalan baru di masa Harun Al Rasyid yang tidak ditemui di masa Abu Bakar ra. Di sini para mujtahid berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya tidak pernah ditemukan.

Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syari’at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari’at Islam memang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tidak ada satupun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya.

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan, kecuali jika perbuatan tersebut sesuai dengan perintah dan larangan Allah Ta’ala.

***

0 comments: