Apr 20, 2009

Saudara Sepersusuan Menikah

Saya ingin menanyakan sebuah kasus. Si A menikah dengan si B. Hubungan pernikahan ini terjalin cukup lama. Hingga suatu ketika seorang ibu memberitahukan bahwa si A dan si B di masa kecilnya dahulu pernah disusuinya. Setelah mengetahui ini, apa yang harus dilakukan oleh pasangan A dan B tersebut? Apakah pernikahannya terus atau berpisah?

Salman, Surabaya

Jawaban:
Seperti dimaklumi bahwa saudara sepersusuan dilarang untuk dinikahi selamanya (tidak temporer). Sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan.” QS. An Nisâ’: 23.

Dari larangan ini bila seseorang karena tidak tahu lalu menikahi saudara sepersusuan sendiri, maka ketika ia tahu hubungan sepersusuan dengannya, pada saat itu pernikahan harus putus. Suami harus melakukan firaq (pisah) terhadap istrinya.

Hal ini pernah terjadi pada pasangan Uqbah bin Haris dengan putri Abu Ihab bin Azis. Setelah beberapa waktu berjalan, seorang perempuan tua datang dan berkata, “Sesungguhnya aku dahulu pernah menyusui Uqbah dan istrinya itu.” Uqbah berkata, “Aku tidak tahu ini dan engkau tidak memberitahukan.” Ketika kasus ini dihaturkan pada Rasulallah sholallohu ‘alahi wassalam beliau bersabda, “Yah, bagaimana lagi, toh kejadiannya (realitasnya) begitu.” Uqbah lalu berpisah dengan istrinya dan menikahi wanita yang lain. (HR. Bukhari II: 3).

[]

Apr 18, 2009

Syakhshiyah (Kepribadian Manusia)

Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?

1. Syakhshiyah (kepribadian) dalam diri setiap orang, terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak ada hubungannya dengan wajah, tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu adalah kulit (asesoris) semata. Manusia dapat dibedakan dengan akal dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat seseorang.

2. Tingkah laku (suluk) manusia dalam kehidupan ini terikat erat dengan mafahimnya dan berjalan secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan jiwa)nya. Oleh karena itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah penyangga syakhshiyahnya atau menjadi nilai syakhshiyahnya.


3. Mafahim adalah makna-makna pemikiran (ma'anil afkar) bukan makna-makna lafadz (ma'anil alfadz). Lafadz adalah ucapan-ucapan yang menunjukkan makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan mungkin tidak ada dalam kenyataan. Adapun arti yang ditunjukkan oleh pemikiran adalah bahwa apabila makna yang dikandung oleh suatu lafadz, memiliki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan dalam benak sebagai sesuatu yang dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau menggambarkannya dalam benak.

Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ucapan yang ia baca atau ia dengar, dengan cara berfikir (taqqiyan fikriyyan) dengan kata lain hendaklah ia memahami makna-makna kalimat dan pada saat yang sama ia harus memahami pula fakta dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut sehingga makna-makna itu menjadi mafahim baginya.

4. Muyul adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri (ghorooiz)nya dan kebutuhan jasmaninya (haajah 'udhwiyyah).

5. Mafahim ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila kita ingin memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (setiap) pengetahuan dengan kenyataan (bila ingin mengetahui realitasnya) menurut tolok ukur yang dijadikan landasan untuk fakta dan pengetahuan tersebut ketika berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas bila ia memiliki cara berpikir tertentu terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki). Maka di sinilah akan terbentuk pada orang tersebut suatu pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata, kalimat dan serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya yang disebut sebagai aqliyah. Dari sinilah timbul perbedaan pola pikir (aqliyah); seperti pola pikir Islami, pola pikir komunis, pola pikir kapitalis, pola pikir anarkis dan pola pikir yang teratur. Apabila kecenderungan (muyul) ada keterikatan dengan mafahim maka akan terbentuk pola sikap yang disebut sebagai nafsiyah, sedang yang menimbulkan kecenderungan itu adalah energi yang dinamis (ability) yang mendorongnya memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya, serta daya pikir yang mengkaitkan antara ability dan mafahim.

6. Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah (kepribadian manusia). Walaupun akal dan pemikiran ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan aqliyah terjadi dari hasil manusia sendiri. Demikian juga dengan muyul (kecenderungan) walaupun ia ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan nafsiyah terjadi dari hasil usaha manusia sendiri.

7. Mengingat yang menentukan keinginan sehingga ia menjadi suatu kecenderungan adalah gabungan (kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim, maka adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, merupakan pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqliyah dan nafsiyah. Apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang sama dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, yaitu satu atau lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia tersebut suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda dengan yang lain (syakhshiyah mutamayyizah). Tetapi apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang berbeda dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah yaitu dengan satu atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, dalam arti pola sikap berbeda dengan pola pikirnya, maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia suatu kepribadian yang tidak menunjukkan corak dan warna tertentu, karena ada perbedaan antara mafahim dengan muyul.

Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan pembentukkannya adalah dengan cara mewujudkan satu landasan ideologi tertentu yang digunakan sekaligus bagi aqliyah dan nafsiyahnya. Dengan kata lain memilih landasan untuk dijadikan landasan tolok ukur terhadap pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, harus digunakan sekaligus untuk mengkaitkan (menggabungkan) antara kecenderungan atau mafahim. Sehingga dengan cara ini terbentuklah sebuah kepribadian yang dibangun atas suatu landasan (ideologi) tertentu serta tolok ukur tertentu. Dengan cara demikian, maka akan terbentuklah suatu kepribadian/syakhshiyah yang mempunyai corak dan warna tertentu. (bersambung)

***

Apr 16, 2009

Qunut: Antara Yang Menerima dan Yang Menolak

Pengantar

Alhamdulillah, ke sekian kalinya, Ust. Muhammad Ihya' Ulumiddin menelorkan buku untuk dipersembahkan kepada khalayak kaum muslimin. Buku-buku beliau, meski bertema-tema biasa, bahasannya selalu segar (inspiratif) dan memunculkan hal-hal baru (inovatif). Seperti dalam buku qunut ini. Di saat kebanyakan buku cenderung fanatik kepada salah satu sikap, antara sikap menerima atau sikap menolak, beliau dengan kearifannya, justru melakukan konvergensi (perpaduan) dan moderasi (mengambil jalan tengah). Kedua belah pihak dijelaskan sama-sama memiliki argumentasi yang kuat sekaligus mempunyai akar tradisi sejarah yang lama.

Kini yang diperlukan dalam hal perbedaan masalah furu', menurut beliau, adalah menampakkan rasa tasamuh yang tinggi sebagai bagian dari jalinan Ukhuwah Islamiyah. Seperti sikap Asy-Syafi'i ra. yang berada dipihak pro qunut. Begitu beliau menjadi imam shalat shubuh di masjid Baghdad yang didominasi jamaah bermadzhab Hanafi, beliau tidak melakukan qunut, dengan alasan toleransi dan bertata krama dengan Abu Hanifah ra. (Al Maliki, Insan Kamil: 310). Bila begitu, maka terciptalah rahmat dalam perbedaan cabang bukan 'laknat' dalam perbedaan hal-hal furu' tersebut. Perbedaan dalam hal kecil itu menjadi nikmat, bukan niqmat (malapetaka).


Buku ini dipersembahkan agar turut memberikan iluminasi (pencerahan) pemikiran dan perilaku yang menjadi faktor penting bangkit dan bersatunya umat Islam di dunia menjadi satu umat khoriyah, umat yang memiliki izzah, seperti masa-masa lalu.

Dan segala jenis puji bagi Allah swt. di awal maupun di akhir.

***

Muqoddimah

Persoalan qunut dalam syari’at Islam sebenarnya bukanlah persoalan prinsip melainkan persoalan furu’iyah. Namun, berangkat dari persoalan yang bukan prinsip ini sebagian umat Islam menjadikan qunut sebagai dasar mukholafah (berpecah belah) antara sesama mereka. Fakta ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang saja. Di Cordova pada masa akhir Khilafah Islamiyah dahulupun mukholafah akibat ikhtilaf fil furu’ ini telah terjadi, mengesampingkan persoalan yang lebih besar, yaitu jihad, sehingga dengan mudah waktu itu Cordova diserbu oleh musuh.

Mukholafah pada masalah furu’iyah oleh sebagian umat Islam mengesankan agama Islam tidak jauh berbeda dengan agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani di mana antara kelompok satu dan lainnya selalu berpecah belah dan tidak pernah bersatu. Seperti diketahui antara sekte-sekte Yahudi dan Nasrani selalu terjadi pengharaman beribadah di tempat ini dan tempat itu bahkan terjadi pertumpahan darah hanya akibat perbedaan persoalan yang remeh. Dalam Islam adanya berbagai madzhab malah menandakan bahwa Islam mengakomodasi pemikiran manusia, asal tidak keluar dari prinsip Aqidah Islamiyah. Dengan demikian Islam akan tampil elastis mampu mengikuti perkembangan zaman. Dikatakan oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki, bahwa:

Madzâhibu arba’atu laisat mutabâ’idatan
Madzhab empat (dalam Islam) tidaklah berjauhan.

Di Indonesia, khilafiyah furu’iyah tampak membentuk cultural barrier (penghalang, perintang dan kendala budaya) yang memisahkan antara kelompok-kelompok kaum muslimin. Tetapi, kini didapati fenomena yang mengembirakan dengan kesadaran baru untuk menghancurkan cultural barrier sedikit demi sedikit oleh generasi muda Islam yang mempunyai ghoiroh yang besar untuk membangkitkan Islam.

Pada saat tumbuh ghoiroh yang besar inilah hendaknya disertakan ilmu yang benar tentang berbagai persoalan khilafiyah furu’iyah, dalam hal ini termasuk persoalan qunut, sebab bila tidak, maka cultural barrier yang telah hancur bisa jadi akan kambuh kembali.

***

Apr 15, 2009

Shalatnya Tetangga Masjid

Ana pernah dengan dari salah seorang dai sewaktu ceramah di Masjid At Taqwa Lospalos bahwasannya ada hadits yang insyaAllah artinya, “Tidak ada shalat bagi yang bertetangga/berdekatan dengan masjid kecuali di masjid.” Uraiannya, bagi orang yang rumahnya dekat dengan masjid (bahkan dalam lingkungan masjid) tidak diterima shalat wajibnya bila dilakukan dirumah, jadi harus ke masjid. Pertanyaan ana:
1. Apa benar ada hadits tersebut?
2. Bagaimana keabsahan hadits tersebut?
3. Apakah uraian yang diberikan penceramah tadi sudah tepat?

Atas jawaban saya ucapkan jazakumullah khoiron katsiro.

Agus Kurrahman Soares, Luro Lospalos Timor-timor


Jawaban:
Menjawab pertanyaan antum, dapat kami berikan penjelasannya sebagai berikut. Hadits yang antum maksudkan berbunyi, yang artinya:

Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.

Hadits ini diriwayatkan oleh Daruquthnya, Al Hakim, dan Thobarony, sedang derajat haditsnya dloif (lihat Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas jilid II hal 35). Ini jawaban untuk poin pertama dan kedua. Untuk poin ketiga, menurut Imam Ahmad dan Dawud Ad Dhohiry, sholatnya tetangga masjid memang wajib dikerjakan di masjid, tidak sah hukumnya bila dikerjakan di rumah. Sementara menurut mayoritas ulama, tetangga masjid tidak mengerjakan shalat di masjid itu hukumnya sekedar tidak sempurna (lihat Faidhul Qadir jilid VI hal. 310).

Bagaimanapun hadits ini menganjurkan kepada umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid karena pada dasarnya masjid adalah tempat shalat berjamaah, lebih-lebih bagi muslim yang bertetangga dengan masjid. Anjuran berjamaah ini sampai dipahami oleh para mujtahid dengan pemahaman yang berat bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana madzhab Hambali karena Rasulullah saw. pernah hendak membakar rumah orang-orang yang tidak ikut berjamaah di masjid (lihat Shohih Muslim jilid I hal 289, dan Tanwirul Hawalik Syarah Muwatho’ Malik jilid I hal 150). Sementara di dalam madzhad Syafi’I hukum berjamaah adalah sunnah muakkad, paling banter dihukumi fardhu kifayah (lihat Muhadzdzab jilid I hal 93).

Wallahu ‘alam.

Apr 11, 2009

Kapankah Kita Berbeda Agar Bisa Bersatu?


Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” QS. Al An’am: 159

Setelah berpesan melalui Rasul-Nya agar umat ini meniti shirathal mustaqim dan bukan mengikuti berbagai jalan selainnya sebagaimana dalam firmanNya,

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. QS. Al An’am: 153


Maka dalam ayat ini Allah memberikan peringatan kepada umat ini tentang apa yang kelak akan mereka alami sebagai satu garis kehidupan berupa tindakan menyia-nyiakan agama, setelah sebelumnya berada di jalan yang benar, yang muncul dalam fenomena perpecahan sekian banyak madzhab, aliran-aliran dan bid’ah-bid’ah di mana hal ini menjadikan mereka terkotak-kotak dalam fanatisme berbagai macam kelompok dan golongan. Akibatnya kebenaran pun lenyap, ikatan persatuan terputus dan persaudaraan seiman berubah menjadi umat yang saling berlawanan dan bermusuhan sebagaimana pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Realitas tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal seperti berikut:
1. Perebutan Kekuasaan. Ini telah terjadi semenjak akhir pemerintahan Khalifah Ar Rasyidah dan berlanjut hingga masa sekarang.
2. Fanatik Ras dan Semboyan Kebangsaan.
3. Fanatisme Madzah dan Aliran dalam dasar-dasar dan cabang-cabang agama sehingga satu sama lain saling mencela.
4. Berkata tentang agama berdasarkan pendapat.
5. Penyusupan dan rekayasa musuh-musuh agama.

Sebagian ahli tafsir generasi terdahulu (salaf) berpendapat bahwa ayat ini turun terkait ahli kitab yang telah memecah belah agama Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa alaihissalam serta merubahnya menjadi agama-agama yang berbeda pula dan masing-masing memiliki madzhab-madzhab dan aliran-aliran yang fanatik di mana antara mereka saling memusuhi dan memerangi (bunuh membunuh).

Dua tafsiran ini bisa saja dipadukan karena ayat tersebut mencakup ahli kitab dan kelompok-kelompok dalam kaum muslimin. Jadi ayat tersebut memiliki misa memberikan peringatan (tahdzîr) akan bahaya perpecahan/perbedaan (tafrîq) yang tidak diperbolehkan (tercela) sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” QS. Ali Imran: 105

Jadi tafrîq yang diperingatkan oleh Allah adalah memisahkan dasar-dasar Islam yang telah menjadi satu kesatuan sebagaimana dilakukan sebagian orang Arab yang menolak mengeluarkan zakat pasca Rasulullah shallallahu alaihi wassalam wafat sehingga Abu Bakar ra. Berkata, “Sungguh aku pasti akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.” Sementara tafrîq dalam pendapat, sebab akibat (ta’lîlât), penjelasan-penjelasan (tabyînâ) dan cabang-cabang fikih maka tidak menjadi masalah.

Akhirnya semua tafrîq yang tidak menyebabkan sikap saling mengkafirkan (tafkîr), saling memerangi (taqâtul), berpecah belah dan fitnah maka itu hanyalah sebatas tafrîq dalam pemikiran, pencarian dalil dan usaha maksimal menemukan kebenaran. Sebaliknya tafrîq yang mengantarkan kepada tindakan tafkîr dan saling menyerang dalam masalah agama maka inilah yang diperingatkan oleh Allah kepada kita untuk untuk dijauhi. Abu Asyur dalam at Tahrirr wa At Tanwîr 8/196 mengatakan, “Adapun perebutan kekuasaan dan harta dunia di kalangan kaum muslimin maka bukan termasuk tafrîq (perpecahan) dalam agama. Hanya saja ini termasuk kondisi yang menjadikan jamaah (persatuan umat) terancam.”

Karena itulah suatu keharusan bagi seluruh kelompok untuk berdiri dalam satu barisan demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Tetapi, perselisihan senantiasa terjadi di kalangan mereka. Dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. bahwa Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Aku memohon kepada Tuhanku agar tidak menghancurkan umatku dengan paceklik. Diapun mengabulkannya. Dan aku lalu memohon kepada-Nya agar tidak menghancurkan umatku dengan banjir Dia pun mengabulkannya. Lalu aku memohon kepada-Nya agar tidak menjadikan perselisihan di antara mereka. (permohonanku) ini ditolak.” HR. Ibnu Abi Syaibah. (Khashaisah al Ummah al Muhammadiyyah hal. 42)

Lalu kapankah kita berbeda agar bisa bersatu? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang harus dibarengi dengan usaha serius dan berat yang dituntun oleh sikap istiqamah, jiwa dermawan, hati yang bersih dan rahmat kepada umat dengan berbagai macam sarana di mana sarana memiliki hukum sama seperti tujuan.

Wallahu ‘alam.


Apr 10, 2009

Musibah, Nadhrah, dan Roja’


Jika kita mengamati fenomena moralitas di masyarakat, kita akan mendapati bahwa berbagai tindak kemaksiatan dan kedzaliman telah merajalela. Tidak hanya dikatakan merajalela, tindak kemaksiatan dan kedzaliman itu bahkan bisa dikatakan telah sampai pada tingkat membudaya (al fusyuw). Misal, realita dan fenomena itu adalah membudayanya perzinaan (seks) di berbagai lapisan masyarakat.

Kita berulang kali mendengar perzinaan –tidak ada bedanya dilakukan secara paksa (pemerkosaan) maupun suka sama suka- telah dilakukan oleh orang-orang yang telah bersuami-istri, yang secara hakekat telah ada saluran kebutuhan biologisnya. Fenomena lebih parah lagi adalah membudayanya perzinaan yang dilakukan oleh antar mahram (kerabat yang haram dinikahi).

Syara’ jauh sebelumnya mengingatkan, masyarakat harus menghindari dekat-dekat kepada zina. Artinya, sarana-sarana yang bisa menjurus kepada tindak perzinaan harus dijauhi. Syara’ kemudian mengharamkan membuka aurat, berdua-duaan ditempat sepi (khalawat), dan menyaksikan hal-hal yang bisa membangkitkan gairah perzinaan, seperti menonton BF, mengikuti dan meyaksikan pertunjukan tari, membaca tulisan serta melihat gambar porno, dan lain sebagainya. Sementara pada saat ini sarana-sarana yang mendekatkan kepada zina seakan leluasa membius masyarakat dari segala penjuru. Tak ayal, siapa saja yang tidak mempunyai filter kuat pada jiwanya, orang tua atau lebih-lebih remaja, tentu terjerumus kepada dosa besar itu.


Pada saat yang demikian, baiklah kita mengingat keterangan hadits berikut, yang artinya:

Umatku senantiasa dalam kebaikan selama zina tidak membudaya pada mereka; Apabila zina membudaya pada mereka, maka hampir dekat Alloh akan menimpakan krisis terhadap mereka. (HR. Ahmad).

Bermula dari membudayanya tindak kemaksiatan dan kedzaliman seperti zina dan semacamnya, Alloh Ta’ala lalu menimpatkan suatu peringatan berupa musibah agar kita menyadari akan kesalahan yang telah kita perbuat. Beberapa bentuk musibah yang ditentukan berturut-turut yang mulai dari terberat adalah khauf (ketakutan), jû’ (kelaparan), naqsun minal amwâl (kekurangan harta), naqsun minal anfus (kekurangan jiwa), dan naqsun minats-tsamarat (kekurangan buah-buahan). (Lihat QS. Al Baqarah: 155).

Kali ini, kita ditimpa musibah krisis moneter. Melihat implikasinya, krisis ini dapat dikategorikan sebagai satu bentuk musibah naqsun minal amwâl (kekurangan harta). Musibah satu saja ini pun sudah melumpuhkan sebagian terbesar dimensi kehidupan. Lalu, bentuk musibah ini tidakkah akan berlanjut kepada musibah lain yang lebih berat? Sebagian pengamat memperkirakan, bulan-bulan mendatang kita bakal mengalami kemarau panjang yang lebih daripada kemarau kemarin, sementara pada saat ini banyak lahan-lahan pertanian gagal panen. Hal demikian dikhawatirkan musibah yang lebih berat akan turun menimpa kita, yaitu musibah jû’ (kelaparan). Lebih dari itu, kondisi perpolitikan yang masih labil dimungkinkan pula menjurus kepada musibah terberat, yaitu khauf (ketakutan) yang memungkinkan berbentuk perang saudara, fitnah, culik-menculik, dan pembunuhan. Allohu A’lam.

Qadla Qadar
Ditinjau dari sudut Aqidah Islamiyah, sesungguhnya keberadaan musibah merupakan qadla qadar. Sebab musibah manakala sudah turun maka manusia tidak akan bisa menolak karena adanya berada di luar kemampuan manusia. Hal ini terbukti, para ahli ekonomi dengan ilmunya serta merta menyerah manakala mengamati fenomena musibah krisis moneter. Berbagai upaya deteksinya meleset di dalam mengantisipasi hakikat musibah itu, termasuk deteksi seorang ekonom kondang yang lagi naik daun. Ini karena hakikat musibah memang berada di luar kemampuan manusia.
Alloh Ta’ala berfirman:

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah: 51, periksa pula QS. Al Hadid: 22-23).

Oleh karena musibah adalah qadla qadar, maka sikap terbaik pada saat mengalaminya adalah mengeluh, tidak putus asa, dan tawakkal , seraya menumbuhkan pengakuan jiwa untuk mengembalikan musibah itu kepada Alloh Ta’ala melalui kalimat istirja’.

“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"” (QS. Al Baqarah: 156).

Sekalipun dituntut bersikap positif saat mengalami musibah, namun sikap itu tidaklah menutup aktivitas yang wajar (al ikhtiar al lazimah) untuk bisa keluar dari musibah, karena maklum tindakan itu diperbolehkan.

Memang, bersikap baik saat manakala ditimpa musibah sangatlah sukar karena kecenderungan manusia saat dirinya ditimpa kesusahan adalah mengeluh dan putus asa. Oleh karena sangat sukar, derajat luhur dan pahala besar diberikan sebagai balasan atas orang-orang yang menerima musibah dengan bersikap baik. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah: 157).


Makhraj (Solusi/Jalan Keluar)

Makhraj agar musibah segera berakhir adalah dengan menyadari setiap kesalahan yang menjadi wasilah musibah diturunkan. Caranya dengan beristighfar, bertaubat, dan tawajjuh (menghadap) kepada Alloh Ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah qunut nazilah. Saat-saat krisis kita perlu merendahkan diri sebagai pertanda bahwa kita masih membutuhkan peran Alloh Ta’ala di dalamnya.

Ketika musibah krisis moneter menimpa kita beberapa tahun lalu, tampak orang enggan untuk melibatkan Alloh Ta’ala di dalamnya termasuk para pengamat, malah terkesan sama sekali peranan Alloh Ta’ala tidak dibutuhkan lagi. Di sisi lain, orang mendambakan peran blok kafir di dalamnya antara IMF dan CBS, padahal amat riskan paket makhraj yang ditawarkan oleh para durjana itu. Alloh Ta’ala telah menyebutkan, setiap amal perbuatan orang-orang kafir itu itu laksana fatamorgana yang disangka air oleh orang-orang yang kehausan. Tetapi, bila didatanginya air itu maka tidak akan didapatnya suatu apapun. (QS. An Nur: 39).

Nadhrah
Untuk menggerakkan kesadaran umum melakukan istighfar, taubat, dan tawajjuh agar pengaduan kita didengar oleh Alloh Ta’ala tentulah tidak mudah pada kondisi di mana kedzaliman dan kemaksiatan membudaya. Maka, caranya adalah dengan mengoptimalkan wujudnya kelompok-kelompok yang senantiasa mendapatkan nadhrah (penglihatan rahmat) dari Alloh Ta’ala. Di antara mereka adalah tiga kelompok di bawah ini:
1. Orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.
2. Orang-orang yang memakmurkan masjid.
3. Orang-orang yang cinta kasih dan setia kawan dalam urusan yang diridlai.

Imam Abdullah Ba’alawi Al Haddad mengubah qasidah doanya yang masyhur sebagai berikut:

Perhatikan ya Alloh dengan nadhrah; pandangan yang penuh rahmat, yang mengobati segala penyakit menyakitkan yang menimpaku.

Bersamaan dengan optimalisasi keberadaan kelompok-kelompok yang mendapatkan nadhrah, kita harus melakukan raja’ (berpengharapan) kepada Alloh Azza wa Jalla: “Mudah-mudahan musibah ini cepat diselesaikan oleh Alloh Ta’ala”, sebab bagaimanapun Dia adalah Dzat Yang Rahman, Maha Pengasih kepada hamba-Nya, tanpa membedakan hamba yang baik atau hamba yang buruk. Imam An Nawawi dalam Riyadlusshalihin hal. 139 mengatakan, pada saat sehat harus stabil antara sikap khouf (cemas) dan raja’, sementara pada saat krisis sikap yang dibutuhkan adalah raja’ saja.

Perlunya bersikap raja’ kepada Alloh Ta’ala ini berdasarkan anjuran berprasangka baik kepada-Nya manakala kita memasuki masa menjelang kematian, sedang krisis moneter ibaratnya adalah sebuah kematian, sedang krisis moneter ibaratnya adalah sebuah kematian kondisi yang sebelumnya berjalan dengan baik. Rasululloh Sholallallohu Alaihi Wassalam bersabda, yang artinya:

“Janganlah salah satu dari kamu mati kecuali dirinya sedang berprasangka baik kepada Alloh Azza wa Jalla”. (HR. Muslim)

Wallahu A’lam.

Apr 7, 2009

Keterikatan Terhadap Hukum Syari’at Islam


Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Islam Memahami?

Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datang pernyataan dari syara’. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram, makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan atas kemashlatan manusia. Sebab, tidak ada taklif (beban hukum) sebelum sampainya peryataan syara’. Allah Subhana wata’ala berfirman:

“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. QS.Al Isrâ’: 15

Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah Subhanallohu wata’ala memberikan jaminan kepada hamba-Nya; tidak akan datang azab kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani satu hukum pun. Tatkala Allah Subhana wata’ala mengutus seorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut.


Allah Subhanallohu wata’ala berfirman:

“(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS . An Nisâ: 165.

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan kelak, tentang ketidakimannya dan ketidak keterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, ia pun akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.

Untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melaksanakan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah Subhanallohu ta’ala. Dan di sinilah kaum muslimin berbeda-beda dalam tingkatan kesiapan mereka dalam keterikatan ini. Allah Ta’ala telah memberikan isyaratnya pada firman-Nya:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar”. QS. Fâthir: 32.

Kaum muslimin diperintahkan menjalankan perbuatan mereka menurut hukum-hukum Islam, karena mereka menerima beban kesanggupan untuk menjalankan perbuatan mereka sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya Allah Ta’ala berfirman:

“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah…” QS. Al Hasyr: 7.

Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barangsiapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul (karena masa Rasulullah Shollalohu ‘alahi wassallam telah lewat) maka ia tidak termasuk mukallafin (orang yang terbebani hukum). Sebab beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana keumuman risalah untuk seluruh manusia. Atau tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang lolos dari hukum syari’at, karena syari’at bukan dikhususkan untuk menentukan status hukum perbuatan tertentu dan tidak berlaku untuk perbuatan yang lain atau berlaku orang tertentu dan tidak berlaku buat yang lainnya. Firman Allah Subhanallohu wata’ala:

“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” QS. Al A’râf: 158.

Oleh karena itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa apa pun yang dibawa Rasul mengenai suatu hukum adalah mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan.

Dengan demikian setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’.

Juga tidak dapat dikatakan bahwa ada suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan syara’ atasnya, lalu manusia diberi kebebasan memilih apakah akan melakukannya atau tidak. Itu berarti syari’at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali untuk masa dan keadaan tertentu. Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari’at itu sendiri serta kenyataan yang sesuai dengannya.

Memang syari’at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi, Islam datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problema hidup dan dengan suatu cara pandang bahwa sasarannya adalah manusia, tanpa memandang waktu dan tempat. Kemudian mengalirlah dari makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan dipahami. Kemudian, dilakukan istinbath hukum (pengambilan status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung dalam syari’at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.

Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wassalam, hingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada syari’at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu Bakar ra. Muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wassalam. Begitu pula telah muncul persoalan-persoalan baru di masa Harun Al Rasyid yang tidak ditemui di masa Abu Bakar ra. Di sini para mujtahid berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya tidak pernah ditemukan.

Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syari’at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari’at Islam memang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tidak ada satupun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya.

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan, kecuali jika perbuatan tersebut sesuai dengan perintah dan larangan Allah Ta’ala.

***