Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?
1. Syakhshiyah (kepribadian) dalam diri setiap orang, terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak ada hubungannya dengan wajah, tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu adalah kulit (asesoris) semata. Manusia dapat dibedakan dengan akal dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat seseorang.
2. Tingkah laku (suluk) manusia dalam kehidupan ini terikat erat dengan mafahimnya dan berjalan secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan jiwa)nya. Oleh karena itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah penyangga syakhshiyahnya atau menjadi nilai syakhshiyahnya.
3. Mafahim adalah makna-makna pemikiran (ma'anil afkar) bukan makna-makna lafadz (ma'anil alfadz). Lafadz adalah ucapan-ucapan yang menunjukkan makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan mungkin tidak ada dalam kenyataan. Adapun arti yang ditunjukkan oleh pemikiran adalah bahwa apabila makna yang dikandung oleh suatu lafadz, memiliki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan dalam benak sebagai sesuatu yang dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau menggambarkannya dalam benak.
Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ucapan yang ia baca atau ia dengar, dengan cara berfikir (taqqiyan fikriyyan) dengan kata lain hendaklah ia memahami makna-makna kalimat dan pada saat yang sama ia harus memahami pula fakta dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut sehingga makna-makna itu menjadi mafahim baginya.
4. Muyul adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri (ghorooiz)nya dan kebutuhan jasmaninya (haajah 'udhwiyyah).
5. Mafahim ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila kita ingin memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (setiap) pengetahuan dengan kenyataan (bila ingin mengetahui realitasnya) menurut tolok ukur yang dijadikan landasan untuk fakta dan pengetahuan tersebut ketika berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas bila ia memiliki cara berpikir tertentu terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki). Maka di sinilah akan terbentuk pada orang tersebut suatu pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata, kalimat dan serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya yang disebut sebagai aqliyah. Dari sinilah timbul perbedaan pola pikir (aqliyah); seperti pola pikir Islami, pola pikir komunis, pola pikir kapitalis, pola pikir anarkis dan pola pikir yang teratur. Apabila kecenderungan (muyul) ada keterikatan dengan mafahim maka akan terbentuk pola sikap yang disebut sebagai nafsiyah, sedang yang menimbulkan kecenderungan itu adalah energi yang dinamis (ability) yang mendorongnya memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya, serta daya pikir yang mengkaitkan antara ability dan mafahim.
6. Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah (kepribadian manusia). Walaupun akal dan pemikiran ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan aqliyah terjadi dari hasil manusia sendiri. Demikian juga dengan muyul (kecenderungan) walaupun ia ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, tetapi pembentukan nafsiyah terjadi dari hasil usaha manusia sendiri.
7. Mengingat yang menentukan keinginan sehingga ia menjadi suatu kecenderungan adalah gabungan (kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim, maka adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, merupakan pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqliyah dan nafsiyah. Apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang sama dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, yaitu satu atau lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia tersebut suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda dengan yang lain (syakhshiyah mutamayyizah). Tetapi apabila yang membentuk aqliyah adalah hal-hal yang berbeda dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah yaitu dengan satu atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, dalam arti pola sikap berbeda dengan pola pikirnya, maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia suatu kepribadian yang tidak menunjukkan corak dan warna tertentu, karena ada perbedaan antara mafahim dengan muyul.
Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan pembentukkannya adalah dengan cara mewujudkan satu landasan ideologi tertentu yang digunakan sekaligus bagi aqliyah dan nafsiyahnya. Dengan kata lain memilih landasan untuk dijadikan landasan tolok ukur terhadap pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berpikir, harus digunakan sekaligus untuk mengkaitkan (menggabungkan) antara kecenderungan atau mafahim. Sehingga dengan cara ini terbentuklah sebuah kepribadian yang dibangun atas suatu landasan (ideologi) tertentu serta tolok ukur tertentu. Dengan cara demikian, maka akan terbentuklah suatu kepribadian/syakhshiyah yang mempunyai corak dan warna tertentu. (bersambung)
***