Bersama surat ini, saya ingin memohon jawaban dari Ustadz pengasuh fas’alu;
a). Bagaimana hukumnya mendoakan saudara/orang tua yang menganut agama selain Islam?
b). Bagaimana hukumnya orang kafir memasuki masjid/mushola?
c). Bagaimana hukumnya seorang suami yang jika dalam suatu pertengkaran selalu berkata’ Kupulangkan kamu ke orang tuamu’, padahal saya tidak tahu isi hati suami, apakah bisa dikatakan jatuh talak?
d). Saya sekarang bingung untuk menabung. Sebaiknya dimana ya, yang sesuai dengan syariah. Lalu bagaimana dengan bunga tabungan yang diperoleh, atau hadiah/bonus berupa barang dari hasil tabungan tersebut?
Lilis/Kholishoh, Tuban.
Jawab:
a). Para ulama sepakat bahwa hukum mendoakan orang kafir, sekalipun kepada orang tua atau kerabat adalah haram, kecuali mendoakan agar mereka diberikan hidayah oleh Alloh swt untuk masuk Islam. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 113 dan 114:
ماكان للنبي والذين أمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا ألى قربى من بعد ماتبين لهم أنهم أصحاب الجحيم. وماكان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه. إن إبراهيم لأواه حليم (سورة التوبة:113-114)
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Alloh swt) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Alloh swt) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Alloh, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At-Taubah :113-114)
Berkaitan dengan ayat tersebut, Imam Bukhari , Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnul Musayyib dari ayahnya, ia berkata:”Ketika Abu Thalib menjelang wafat, Nabi saw menemuinya, dan ketika itu Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah sedang berada di sisinya, lalu beliau saw bersabda:
أَيْ عَمَّ, قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله كَلِمَةٌ أُحَاجٌ لَكَ عِنْدَ الله
“Wahai pamanku, ucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah, sebagai kalima yang aku akan membelamu di sisi Alloh swt.”
Melihat hal itu, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata:”Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muthalib?’ Maka Abu Thalib menjawab:” Aku tetap memeluk agama Abdul Muthalib”. Selanjutnya Nabi saw bersabda:
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَالَمْ أَنَّهُ عَنْكَ
“Sungguh aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.”
Maka turunlah Surat At-Taubah ayat 113 di atas. Dan pada saat itu turun juga ayat:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ الله يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, akan tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang Alloh kehendaki.”(QS Al-Qashash:56)
Sedangkan mengenai ayat ke-114, Imam Qatadah mengatakan bahwa diceritakan kepada kami bahwasayany ada beberapa orang sahabat Nabi saw berkata:”Wahai Nabi Alloh, sesungguhnya di antara orang tua kami terdapat orang yang berbuat baik kepada tetangga, menyambung silaturahim, membantu orang yang dalam kesusahan dan memenuhi jaminan. Apakah kami boleh memintakan ampun bagi mereka?” Maka Nabi saw bersabda:
بَلَى, وَالله إِنِّى لأَسْتَغْفَرَ لأَبِى كَمَا اسْتَغْفَرَ إِبْرَاهِيْمُ لأَبِيْهِ
“Boleh, demi Alloh, sesungguhnya aku pun memintakan ampun untuk ayahku, sebagaimana Ibrahim juga memintakan ampun untuk ayahnya.” Kemudian turunlah Surat At-Taubah ayat 114 tersebut.
Atha’ bin Abi Rabah berkata:”Aku tidak meninggalkan sholat (jenazah) atas orang dari ahlul-kiblat ( orang Islam), meskipun atas seorang wanita Habasyah yang hamil akibat perbuatan zina, karena aku tidak pernah mendengar Alloh swt menghalang-halangi sholat, kecuali dari orang-orang musyrik.”
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Abbas juga berkata:”Ibrahim masih terus memintakan ampun untuk ayahnya, sehingga ayahnya itu meninggal dunia. Dan ketika tampak jelas bahwa ayahnya itu adalah musuh Alloh swt (kafir), maka Ibrahim pun berlepas diri darinya.” Dalam sebuah riwayat, ketika ayahnya meninggal dunia, ia melihat dengan jelas bahwasanya ayahnya itu adalah musuh Alloh swt. Hal senada juga dikemukakan oleh Mujahid, Ad-Dhahhak, dan Imam Qatadah.
b). Untuk membahas apakah orang kafir itu boleh masuk masjid atau tidak, lihat Surat At-Taubah ayat 28:
يا أيهاالذين أمنوا إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا.
“Hai orang-orang yang beriman! sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Oleh karena itu janganlah mereka itu mendekatai masjidil haram sesudah tahun ini.”
Al-Qur’an menyebutkan orang-orang musyrik itu najis, dengan menggunakan bentuk masdar adalah untuk menunjukkan arti yang sangat (mubalaghah) yang seolah-olah mereka itu betul-betul badannya najis. Adapun najis yang dimaksud oleh ayat di atas menurut Jumhur Ulama adalah najis maknawi, yaitu karena kesyirikan mereka yang menyebabkan hati dan pikiran mereka najis. Sedangkan badan mereka tetap suci menurut kalangan Ahli Tafsir.
Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri menganggap najis badan orang-orang musyrik itu. Dari Ibnu Jarir meriwayatkan dari Imam Hasan Basri berkata:’Barangsiapa bersalaman dengan orang-orang musyrik hendaklah berwudlu’. Sedangkan Pengarang Tafsir al-Kasysyaf meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa jasad orang-orang musyrik itu najis, tidak ubahnya seperti anjing dan babi, dengan berpegang pada dhahirnya ayat. (Lihat Tafsir Ayatul Ahkam
Adapun yang dimaksud orang-orang musyrik menurut ayat di atas ,sebagian ulama menyatakan khusus para penyembah patung. Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat orang musyrik itu meliputi semua orang kafir, baik penyembah berhala , maupun kalangan Ahlul Kitab. Menurut Syekh Ali Ash-Shabuni yang dimaksud musyrikin adalah meliputi seluruh orang kafir dan larangan masuk Masjid itupun berlaku untuk setiap orang kafir baik mereka itu animisme, Yahudi dan Nashara.
Sedangkan firman Alloh swt yang artinya :”Maka janganlah mereka itu mendekati Masjidil Haram”, jelas menunjukkan bahwa mereka dilarang memasuki Masjidil Haram. Tetapi soal lafadz “Masjidil Haram”, para ulama berbeda pendapat:
1. Menurut ulama Syafi’iyyah (pengikut Imam Syafi’I), bahwa hal itu khusus Masjidil Haram berdasarkan dhahirnya ayat. Dalilnya:
فَلاَ يَقْرَبُوْا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Maka janganlah mereka itu mendekati Masjidil Haram.” (QS At-Taubah:28)
Ayat tersebut khusus untuk Masjidil Haram, tetapi umum untuk semua orang kafir. Jadi semua orang kafir ( penyembah berhala atau Ahlul Kitab) boleh masuk Masjid,kecuali Masjidil Haram.
2. Menurut Atha’ dan para ulama Hambali berpendapat bahwa kata itu maksudnya adalah Mekkah dan tanah haram pada umumnya. Dalilnya:
هُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Mereka itu adalah orang-orang kafir dan menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram.”(QS Al-Fath:25)
Di mana sudah jelas bahwa mereka (kaum kuffar) itu menghalangi umat Islam memasuki Mekkah. Lalu Alloh swt memberitahu bahwa umat Islam akan masuk Mekkah dengan aman.
3. Menurut pendapat para ulama Malikiyah bahwa yang dimaksud adalah semua masjid. Karena Masjidil Haram adalah yang sudah jelas berdasarkan nash, sedangkan masjidl-masjid lainnya adalah diqiyaskan. Menurut Imam Malik dan pengikutnya, bahwa faktor ‘ najis’ itulah yang menyebabkan dilarangnya orang-orang musyrik masuk masjid, sedangkan najis itu tetap ada pada orang-orang musyrik/kafir. Karena itulah larangan masuk itu akan selalu ada (terhadap semua orang kafir) untuk masuk masjid, baik Masjidil Haram atau masjid-masjid yang lain. Imam Malik mengqiyaskan semua orang kafir dengan Ahlul Kitab dan mengqiyaskan semua masjid dengan Masjidil Haram.
Imam Abu ‘Amr al-Auza’I berkata:”Umar bin Abdul Aziz memutuskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashara dilarang memasuki masjid-masjid kaum muslimin.”
4. Menurut Imam Hanafi dan pengikutnya berpendapat bahwa larangan masuk Masjidil Haram itu hanya larangan ibadah Haji dan Umrah. Dalilnya;
*.Lafadz “Sesudah tahun ini” menunjukkan khusus, yaitu untuk melakukan Haji dan Umrah saja.
**.Perkataan Ali bin Abi Thalib, ketika diutus Rasulullah saw untuk menyampaikan surat Al-Baqarah kepada khalayak, lalu ia berkata:
أَلاَ يَحُجَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ مُشْرِكٌ
“Sesudah tahun ini tidak boleh seorang musyrik pun menunaikan ibadah haji.”
***.Kaum muslimin sepakat atas dilarangnya orang-orang musyrik menunaikan ibadah haji, wukuf di Arofah, dan tinggal di Mudzalifah dan semua amalan haji, sekalipun amalan-amalan itu dilakukan di luar Masjidil Haram.************
c). Mengenai kata-kata sindiran yang diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya, ada perbedaan di kalangan ulama madzhab:
*.Imam Malik mengatakan:”Pada saat seorang suami menyerahkan isterinya kembali kepada orang tuanya, jika ia(suami) telah berhubungan badan dengan isterinya, maka dianggap sudah menthalak tiga (talak ba’in), baik keluarganya itu menerima atau menolaknya. Akan tetapi, jika belum berhubungan badan dengannya, maka dianggap sebagai thalak satu, baik keluarganya menerima atau menolaknya.”
Sedangkan Imam Asy-Syafi’I mengatakan:”Bahwa kesemuanya itu bergantung kepada niatnya. Jika ia mengatakan (dengan kata sindiran itu) bahwa ia tidak berniat untuk menthalaknya, maka niatnya itulah yang berlaku.”
Menurut Imam Abu Hanifah mengatakan:”Jika seorang suami menyatakan kepada isterinya’Aku serahkan kamu kepada orang tuamu’ atau ‘ Kepada ayahmu’ atau ‘Kepada ibumu’, maka hal itu dikatakan dalam keadaan marah atau sebagai jawaban atas isterinya yang meminta thalak, lalu si suami tidak berniat untuk menthalaknya, maka niatnya itulah yang berlaku. Akan tetapi jika si suami dengan perkataannya itu berniat menthalak isterinya, maka hukum thalak itulah yang berlaku baginya. Sedangkan jika si suami menyerahkan isterinya kepada bibi atau kerabat yang lain selain orang tuanya, maka hal itu tidak dianggap thalak, baik ia berniat untuk thalak tiga, dua atau satu. Baik hal itu dilakukan pada saat marah atau tidak atau sebagai jawaban atas permintaan thalak isterinya.”
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:”Jika keluarga si isteri tersebut mau menerimanya, maka yang demikian itu sudah termnasuk thalak. Akan tetapi , si suami masih berhak menerimanya kembali. Sedangkan apabila jika mereka menolaknya, maka tidak dianggap sebagai thalak.
Sedangkan jika si suami tidak mengucapkan kata ‘thalak’ baik secara terang-terangan atau sindiran, akan tetapi baru terlintas dalam hati keinginan untuk menthalak isterinya, maka thalak belum jatuh.Berdasarkan hadits:
إِنَّ الله تَجَاوَزَ لأُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْلَمُوْابِهِ (متفق عليه)
“Sesungguhnya Alloh memberikan ampunan bagi umatku apa-apa yang terdetik di dalam hati mereka, selama tidak mereka ucapkan atau kerjakan.”(HR Bukhari dan Muslim.
Wallahu 'alam.