Dec 24, 2010

Shalat Isyraq

Pertanyaan:

Ustadz Pengasuh Fas’alu yang senantiasa berbahagia. Langsung saja ke pertanyaan, adakah yang namanya shalat Isyraq yang dilakukan saat matahari terbit itu? Kalau ada, bagaimana ketentuannya se¬hingga saya dapat mengamalkannya. Atas jawaban Ustadz, sebelumnya terima kasih.


Mardliyah, di bumi Allah Baureno, Bojonegoro, Jatim

Jawaban:

Saat matahari terbit memang ada larangan untuk melakukan shalat sunnah. Ini memang maklum agar tidak menyerupai para penyembah matahari. Namun, saat matahari terbit itu boleh melaku¬kan shalat Isyraq, istilahnya dengan ketentuan-ketentuan yang membedakannya dari shalat-shalat sunnah pada umumnya. Ketentuan pertama, tidak beranjak dari tempat dia melakukan shalat shubuh. Kedua, shalat Shubuhnya dilakukan dengan berjamaah. Ketiga, jeda waktu antara sehabis shalat Shubuh dengan terbit matahari dimanfaatkan untuk berdzikir. Jika memenuhi tiga ketentuan ini maka dianjurkan melakukan shalat Isyraq yang pahalanya laksana pahala haji dan umrah secara sempurna. Ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

Barangsiapa shalat shubuh berjamaah lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga terbit matahari, kemudian melakukan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna, yang sempurna, yang sempurna. (Diulangi tiga kali).

(Hadits Hasan Gharib dan diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Lihat Syarful Ummah Al Muhammadiyah, karya Sayyid Muhammad ‘Alawi Al Maliki, hal. 90 dan Tuhfatul Ahwadzi, komen¬tarnya Sunan At Tirmidzi, jilid II hal. 472. Hadits ini menunjuk¬kan keutamaan tetap berada di musholla sehabis sholat Shubuh untuk berdzikir).[]

Dec 18, 2010

Dec 16, 2010

Tiga Golongan dan Tanggungjawab Hidup di Masyarakat

Seri: Tafsir Tematik
Q.S. Al A’raaf: 164-165


Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya:


Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati golongan yang Alloh akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa (takut dan menghentikan perbuatan buruknya).
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan yang jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.


Analisis Ayat

(ma’dziratan) artinya sama dengan kata udzur (dalih) yaitu lepas tanggung jawab dari dosa.

(yattaqun) maknanya agar mereka bertaqwa. Taqwa di sini berarti tumbuhnya rasa takut atas perbuatan buruk yang dilakukan. Atas dasar rasa takut, perbuatan buruk itu dihentikan.

Makna Ayat
Hari Sabtu bagi bangsa Yahudi adalah hari mulia sebagaimana kedudukan hari Jum’at bagi ummat Islam dan hari Ahad bagi ummat Nasrani. Pada hari yang mulia itu ditetapkan agar Bani Israil menghabiskannya untuk konsentrasi pengabdian kepada Alloh swt. Hari Sabtu ibaratnya sebagai hari ibadah. Namun bangsa Yahudi yang tinggal di kota Eilah (terletak di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan bukit Thur) melanggar kemuliaan hari itu secara terang-terangan. Demi materi, mereka meninggalkan aktivitas ibadah, berpindah pergi ke laut mencari ikan, karena justru pada hari Sabtu ini ikan-ikan bermunculan, banyak dan mudah didapatkan. Sedang pada hari-hari lainnya ikan-ikan seperti tidak tampak dan untuk mendapat-kannya dibutuhkan kerja keras. Seakan-akan kehadiran ikan-ikan itu dijadikan tes bagi keteguhan iman mereka.

Dari kejadian ini penduduk kota Eilah ter-bagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan yang melakukan pelanggaran dengan keluar mencari ikan ke laut terang-terangan. Mereka mendahulukan mengejar materi daripada melaksanakan aktivitas ibadah. Kedua, golo-ngan yang memberikan saran dan kritikan keras terhadap para pelaku pelanggaran tersebut. Di-sarankan dan dinasehati agar orang-orang yang pergi mencari ikan pada hari Sabtu itu mengingat kembali larangan Tuhan. Tidak henti-hentinya aktivitas dakwah ini mereka lakukan. ketiga, orang-orang yang diam. Mereka tidak turut pergi mencari ikan dan tidak pula turut memberikan saran dan nasehat.


Golongan ketiga seperti ditegaskan pada ayat pertama melontarkan pertanyaan terhadap golongan kedua: “Ada apa kalian memberikan nasehat pada golongan yang sudah pasti akan diadzab oleh Alloh swt akibat pelanggaran-nya?” Golongan kedua menjawab: “Kami melakukan ini agar kami memiliki dalih kelak ketika ditanya mengapa diam terhadap kemunkaran? Dengan aktivitas nahi munkar ini kami bisa berlepas dari tanggung jawab. Di samping dengan nasehat itu mudah-mudahan mereka teringat dan menghentikan kemunkarannya,” jawab golongan kedua.

Sikap yang ditunjukkan oleh golongan kedua merupakan bentuk tanggung jawab hidup di masyarakat. Manakala kemungkaran kelihatan di depan mata mestinya harus ada sekelompok orang yang mencegahnya. Kemungkaran itu tidak boleh dibiarkan begitu saja berlangsung dan merajalela. Tetapi harus dihentikan. Paling tidak harus diminimalisasi. Ini adalah tanggungjawab bersama baik orang alim maupun orang awam terutama orang-orang yang hidupnya dihabiskan untuk mengemban misi utama para Nabi itu. Aktivitas dakwah amar makruf nahi munkar ini merupakan prinsip utama dari ajaran Islam. Alloh swt berfirman yang artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolo-ngan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104)

Sabda Rasulullah saw: yang artinya

Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya. Kalian mesti beramar makruf dan nahi mungkar atau kalau tidak maka Allah hampir saja menimpakan kepadamu siksa lalu kamu berdoa kemudian tidak dikabulkan-Nya. (HR Tirmidzi dari Hudzaifah Ibnul Yaman)

Atau setidak-tidaknya, kita memilih diam dengan tetap mencela kemungkaran yang ada di dalam hati. Tidak sekali-kali terbersit dalam jiwa kehendak untuk justru turut melakukan kemunkaran. Bukan diam yang berarti setuju dan mendukung (ridla) atas kemungkaran itu. Namun diam karena kemampuan diri terbatas sedang kekuatan atau power tidak dimiliki. Akan tetapi sikap semacam ini tidak ideal. Idealnya justru apa pun yang terjadi kita berteriak keras terhadap suatu kemungkaran seperti yang selalu dilakukan oleh sahabat Abu Dzar Al Ghifari. Bisa dibayangkan bagaimana bila seluruh komponen masyarakat memilih diam daripada bersuara. Siapa yang bertanggung jawab terhadap menjamurnya kemunkaran? Tetapi sikap diam tetap ditoleransi dalam batas-batasnya sebagai suatu rukshoh (keringanan) dari Allah swt meskipun sikap itu bukti dari kelemahan iman. Dalam hadits disebutkan yang artinya:

Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya. Dan bila tidak mampu, maka hendaklah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim dari Abu Said Al Khudri)

Rasulullah saw menggambarkan kepedulian hidup bersama dalam sebuah haditsnya demi-kian. Orang yang menjauhi larangan Allah dan orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berundi tempat di kapal. Sebagian mereka mendapatkan undian di dek atas dan sebagian yang lain di dek bawah. Orang-orang di dek bawah jika memerlukan air harus melewati dek atas. Mereka lalu berkata: “Lebih baik kami melubangi saja di bagian bawah kami ini, agar tidak mengganggu orang-orang di dek atas.” Maka jika ulah orang-orang tersebut dibiarkan, tidak ada yang peduli, pasti isi perahu binasa semua (tenggelam). Tetapi kalau ulah itu dicegah, niscaya selamatlah isi perahu seluruhnya. (H.R. Bukhari)

Pada ayat selanjutnya diterangkan balasan dan akibat dari sikap masing-masing golongan yang dipilihnya. Golongan yang selalu membe-rikan nasehat untuk menghentikan kemungkaran diselamatkan oleh Alloh swt dari siksa. Adapun golongan yang berbuat kemungkaran dan enggan menghentikan kemungkarannya meski telah dinasehati, mereka mendapatkan adzab atas kedzalimannya. Adzab akhirat rasanya sudah barang tentu (pasti), malah bisa ditambah dengan adzab segera di dunia. Penduduk Eilah ini misalnya akibat pelanggarannya fisik mereka berubah secara tiba-tiba menjadi fisik kera. Dalam tiga hari kemudian mereka sama mati karena rasa duka yang mendalam atas perubahan wujud dirinya yang sangat buruk dan menyeramkan.

Hal yang terpenting dalam hal ini ialah melaksanakan amanah sebagai seorang muslim untuk berdakwah; beramar makruf nahi mun-kar. Untuk soal tabligh kita apakah diterima atau ditolak itu bukan lagi urusan kita. Biarlah itu menjadi tanggung jawab sasaran dakwah (mad’u) bersamaan dengan hidayah atau khidzlan yang diberikan oleh Alloh swt kepada mereka sesuai dengan respon mereka. Dalam mutiara hikmah dikatakan:

Barangsiapa telah memberikan peringatan maka benar-benar ia telah lepas dari tang-gung jawab (memiliki dalih).

Allah swt berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk (dengan mendakwahi mereka). Hanya kepada Alloh kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al Maidah: 105)

Bagaimana dengan golongan yang memilih sikap diam? Ulama ahli tafsir berbeda pendapat. Pertama, golongan yang bersikap diam ini tetap disiksa karena teks ayat hanya menyebutkan golongan yang mau berdakwah yang diselamatkan. Kedua, golongan yang diam ini selamat karena mereka ingkar dan mencela kemunkaran meski dalam hatinya. Mereka tidak memberi-kan nasehat karena dengan kondisi pembangkangan sedemikian rupa, nasehat diyakini akan menjadi percuma, tak berarti dan sia-sia, bahkan malah matri dakwah bisa jadi bahan cemoohan. Sementara mereka memilih metode kalem daripada garis keras karena diyakininya jalan masih panjang.

Dari sini kalau diam dalam arti tidak mem-punyai sikap, masa bodoh, mendukung kemunkaran diam-diam, dan malah mencela da’i yang bersuara lantang, maka diam adalah sikap mental jelek dan akibatnya akan disiksa. Adapun kalau diam setelah berusaha keras menghentikan kemungkaran, maka sikap ini bisa ditoleransi mengingat kemampuan setiap orang tidak sama. Ini merupakan perwujudan dari kelonggaran beban dakwah. Dakwah tidak harus dengan jalan kekerasan, namun mengingat jalan masih panjang bisa dengan cara halus dan bertahap dalam batas-batas tertentu.

Adanya tiga golongan seperti tercermin dari masyarakat Bani Israil yang tinggal di kota Eilah adalah kondisi yang akan terjadi pada setiap masa kapan pun dan di mana pun. Akan ada orang-orang yang bergelimang dosa. Ada orang-orang yang memberikan nasehat. Dan ada orang-orang yang bersikap diam. Dengan menelusuri akibat buruk yang ditimpakan kepada masing-masing golongan, maka idealnya kita bertindak sebagai orang-orang yang turut andil dalam tabligh dan dakwah amar makruf nahi munkar. Paling tidak kita mencela dengan hati kita. Sikap yang harus dihindari ialah justru turut mendukung apalagi mempelopori kemungkaran. Inilah tanggung jawah hidup bersama di masyarakat. Kecuali bila kita menyodorkan diri bersama-sama untuk mendapatkan adzab yang keras dari Allah swt. Dalam hadits disebutkan yang artinya

Sesungguhnya orang banyak bila melihat orang dzalim (bereaksi) lalu mereka tidak menghentikannya, maka hampir saja Allah meratakan adzab pada mereka semua. (HR Tirmidzi dan Nasa’i dari Abu Bakar Ash Shiddiq).[]

Dec 11, 2010

Al Wasathiyyah Manhaj Rabbani

Tausiah Bulan Desember 2010
Tempat: Surabaya: Sentra Dakwah Persyadha Ketintang
Malang: PP. Nurul Haromain Pujon

Waspadalah fitnah-fitnah laksana penggalan-penggalan malam gelap gulita yang tidak bisa dihindarkan dalam seluruh lintasan-lintasan masa. Bahkan telah terjadi dalam sebaik-baik masa. Ini karena Allah telah menyatakan: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya....“ QS. al Mulk: 2.

Aksi terbaik agar selamat dari fitnah tersebut adalah manhaj al wasath (sikap mengambil jalan tengah) yang merupakan manhaj umat ini seperti diisyaratkan dalam firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan...“ QS. al Baqarah:143.

Jadi tidak ketimuran juga tidak kebaratan, tidak kebangetan juga tidak kepengkuan, tidak terlalu juga tidak teledor, tidak bersuara keras juga tidak bersuara pelan, tidak berfoya-foya juga tidak mengirit, tidak menggenggam tangan (pelit) juga tidak membentangkannya (blobo), tidak mendito (menjauh dari wanita) juga tidak bergaul bebas dengan wanita, tidak eksklusif juga tidak inklusif dan tidak ini juga tidak itu.

Akan tetapi kita meniti jalan tengah di antara kesemuanya.
Sesungguhnya kedermawanan berada pada posisi di antara foya-foya dan pelit, keberanian di antara ketakutan dan tindakan ngawur, sikap bijak di antara sikap kasar dan acuh tak acuh, senyuman di antara raut wajah cemberut dan gelak tawa, sabar di antara sikap keras dan mengeluh.

Kelas menengah dalam ekonomi adalah yang terbaik. Bukan kekayaan yang memunculkan keangkuhan. Bukan kemiskinan yang melupakan. Akan tetapi sesuatu yang mencukupi, melegakan dan mencukupi keinginan. Sungguh dikatakan: “Ambil dari cinta sesuatu yang jernih. Dan dari penghidupan sesuatu yang mencukupi!”

Inilah jalan hidup (manhaj) tengah-tengah dan keseimbangan dalam menjalani urusan-urusan sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Bermadyalah, bermadyalah maka kalian akan menggapai tujuan...” HR. Bukhari. “Tetapilah oleh kalian petunjuk jalan tengah-tengah” HR. Ahmad. .”Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah” HR. Ibnu Sam’ani.

=والله يتولى الجميع برعايته=

Versi Audio:

Dec 4, 2010

Kuis Berhadiah

Pertanyaan:

Akhir-akhir ini, semakin marak acara-acara kuis berhadiah, baik di media cetak maupun elektronik. Pertanyaan maupun cara yang ditawarkan sangat mudah dibanding dengan hadiah yang sedemikian besar. Bagaimana kita menyikapinya? Apakah hukumnya sama dengan judi?

Jawaban:


Kuis-kuis berhadiah itu barangkali ada manfaatnya, yakni bagi pemenang (dapat hadiah meriah tanpa bersusah payah). Sisi lain ada madlorotnya yakni bagi sekian ribu peserta yang kalah sementara mereka telah berkorban waktu, pikiran, pulsa dan sebagainya. Belum lagi madlorot dari sisi mentalitas spiritual. Lazimnya orang yang terobsesi dengan harapan yang muluk-muluk dan terlena dengan permainan yang mengasyikkan akan cenderung lalai dari melakukan kewajiban-kewajiabnn hidupnya bahkan kewajiban kepada Rabbnya semacam sholat, mengaji, dan berdzikir. Jadi, apakah kuis-kuis itu hukumnya sama dengan maisir (judi) ?Marilah kita renungkan dua buah ayat berikut ini:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan maisir. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS Al Baqarah: 219)

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran khomr dan maisir itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Alloh dan sholat; maka berhentilah kamu (dari mengerjalan pekerjaan itu)” (QS Al Maidah: 91)

Menurut Imam Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar As Shiddiq (dari generasi tabi’in), termasuk kategori maisir adalah setiap sesuatu yang melalaikan dari dzikir kepada Allah dan melalaikan dari shalat. (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir I/544). Dengan demikian, semestinya seorang muslim menghindar dari terbuai oleh kuis-kuis berhadiah diatas, terlebih terhadap soal budaya kapitalistik yang didorong oleh ghozwul fikri hendaknya seorang muslim melakukan upaya tawattur fil alaqot, yaitu gerakan pemutusan hubungan.[]

Nov 28, 2010

Ubuudiyyah


Ada hal yang patut dicermati dari kata Ibadah dan Ubudiyyah. Kedua kata ini berbeda meski berasal dari sumber yang sama. Dan sebagai seorang yang menginginkan kesempurnaan menjadi hamba maka dia harus memadukan keduanya. Ibadah, artinya melakukan segala sesuatu demi meraih ridha Allah, sedang Ubudiyyah adalah menerima
perlakuan Allah terhadap diri kita. Dalam kesempatan ini pembahasan akan terfokus pada masalah Ubudiyyah, sebab dari sedikit orang yang menuhankan Allah (sepertiga dari penduduk dunia), hanya sedikit orang yang benar-benar berusaha maksimal untuk melakukan sesuatu guna meraih ridhaNya (Ibadah), sementara dari orang yang telah melakukan Ibadah masih banyak pula yang belum mampu melahirkan Ubudiyyah dalam dirinya.

Ubudiyyah, seperti dalam pengertian di atas sangat terkait erat dengan keimanan kepada Qodho’ dan Qodar Allah, artinya kita wajib menerima dengan rela hati kepastian dan perlakuan Allah dalam diri ini. Jadi sebagai seorang Mukallaf (orang yang terbebani), kita harus menyadari bahwa bentuk pembebanan (Takliif) tidak hanya berupa membasuh anggota tubuh dengan air saat berwudhu atau mandi, tetapi ada bentuk lain yang mungkin lebih berat. Abul Faraj Ibnul Jauzi dalam Shoedul Khothir menuturkan:

“Apakah seseorang menyangka bahwa Takliif, hanya berupa wudhu, mandi atau berdiri di Mihrob dan melakukan shalat?, sungguh ini semua adalah bentuk Takliif yang paling ringan. Sangat jauh lebih berat dari ini adalah bentuk Takliif yang berupa saat akal harus merespon sesuatu di luar batas kemampuannya. Kenapa anak kecil yang tidak berdosa harus menderita sakit parah dsb. Takliif dalam masalah ini adalah apakah akal menolak atau menerima (Tasliim)”.

Contoh lain dari ini adalah kenapa seseorang harus kehilangan orang-orang yang dicintainya, kenapa dia harus bertemu dan bergaul dekat dengan orang yang tidak disukainya dan lain sebagainya. Sungguh hal-hal tersebut merupakan bentuk Takliif yang sangat berat yang jika ini mampu kita jalani dengan baik maka pahala besar menanti kita. Inilah isi dari Ubudiyyah. Bencana Tsunami di Aceh, meluapnya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo dan bencana-bencana lain yang menelan puluhan ribu bahkan ratusan ribu jiwa menguji kekuatan Ubudiyyah kita. Sulit dan berat sekali rasanya menerima semua ini, kenapa Aceh yang mayoritas penduduknya umat islam harus mengalami bencana yang sebesar itu. Bencana ini dan keharusan menerimanya mengingatkan kita akan tragedi Mesopotamia (Baghdad) masa lampau. Saat itu umat Islam menjadi korban kekejaman dan keganasan tentara kaum sipit Tartar, ribuan umat islam terbantai, tidak hanya kaum lelaki, tetapi wanita, anak-anak dan orang tua juga menjadi korban. Lebih dari itu mushaf Alqur’an dikalungkan di leher-leher anjing dan semua bukubuku Islam di buang di sungai Dajlah (Tigris sekarang) hingga tumpukan buku-buku di sungai itu bisa dilalui oleh kuda. Air sungai itupun menjadi berwarna tinta.


Seorang ulama Mesir, Syekh Afifuddin yang mendengar berita ini merasa sangat sedih, Beliau lalu mengadu dan mengajukan protes: “Ya Allah, kenapa semua ini terjadi, bukankan di sana banyak anak-anak dan orang-orang tidak berdosa?”. Akhirnya pada suatu malam, dalam mimpi, Syekh Afif kedatangan seseorang yang menyodorkan kepadanya selembar kertas bertuliskan:

Tinggalkan perlawanan (I’tirodh), karena semua pergerakan alam ini bukan menjadi wewenang dan urusanmu.
Dan jangan kamu bertanya kepada Allah tentang perlakuanNya, sebab barang siapa yang masuk ke dasar lautan maka dia akan mati tenggelam

Hal yang mungkin bisa membantu dan menuntun hati untuk mudah menerima perlakuan Allah adalah dengan membangun kepercayaan penuh kepadaNya, dan tentu saja kepercayaan ini baru bisa terlaksana jika sudah terjadi hubungan erat dengan Allah. Selain itu harus pula menyadari
dan meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Allah adalah yang terbaik bagi diri ini, meski sebenarnya Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya. Ingatlah firman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi:

“Sesungguhnya ada dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kekayaan, andai ia Aku jadikan miskin maka keadaannya akan hancur. Dan sesungguhnya sebagian dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kemiskinan, andai ia aku berikan kekayaan maka keadaannya akan berantakan”. (HR Baghowi)

Nov 20, 2010

Bacaan “Amin “ Bersama

Pertanyaan:

Belakangan ini ada sebagian kelompok Islam yang mengklaim sebagai penerus generasi salaf, akan tetapi ada banyak hal aneh dari mereka yang berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlaku di kalangan kaum muslimin dunia khususnya Indonesia. Di antara keanehan kelompok tersebut adalah tidak mau membaca “Amin “ bersama - sama untuk mengamini do’a salah seorang ustadz atau kiyai. Menurut mereka, kebiasaan tersebut tidak ada dalil dan tidak pernah pula diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Menurut Pak Kiyai, apakah benar pendapat mereka tersebut?

Haryono,
Batu Malang

Jawaban:

Klaim bahwa bacaan “ Amin “ bersama - sama tidak ada dalilnya adalah salah. Sebab dalil - dalil terkait dengan ini banyak sekali. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya:

“Sebuah kelompok tidak berkumpul lalu sebagian berdo’a dan sebagian lain mengamini kecuali Allah pasti mengabulkan mereka “ HR Hakim.

Hadits ini secara jelas menegaskan bahwa pembaca “Amin “, orang yang mengamini do’a orang lain dianggap ikut serta bedo’a dan berharap dari Allah Swt yang berarti ia juga berhak mendapatkan apa yang didapatkan oleh orang yang berdo’a.


Sungguh memasyarakatkan bacaan “Amin “ dalam setiap kesempatan - selain dalam shalat - adalah upaya menunjukkan identitas dan nilai lebih ajaran Islam disamping juga membuat musuh - musuh Islam gigit jari karena iri dan dengki seperti diriwayatkan oleh Sayyidatuna Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Yahudi tidak iri kepada kalian seperti mereka iri akan (ucapan) Salam dan (bacaan) Amin “ HR Ibnu Majah–Ibnu Khuzaimah.

Nov 6, 2010

Breaking News

Mohon maaf kepada para pengakese blog alwasath. Rencananya hari ini jam 08.00 Tausiyah Abi Ihya' Bulan Nopember 2010 disiarkan secara langsung, dibatalkan karena ada kendala teknis. Semoga ke depan tidak terulang, dan semoga dapat dimaklumi.

-admin alwasath-

Dakwah Kita dengan Gerakannya Agar difahami

Tausiyah Bulan Nopember 2010.

Seperti dimaklumi bahwa dakwah kepada kebaikan dalam pemahaman kita berlandaskan pada firman Allah: “dan hendaklah ada dari kalian (sebagian) kelompok yang menyeru kepada kebaikan... “QS Ali Imran:104.

Pertama; dalam arti mendakwahkan Islam kepada non muslim dan sesungguhnya ikatan yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan Dakwah kepada Islam sebagai sebuah kewajiban islam dengan berbagai sarana dakwah yang telah ditetapkan secara syara’ demi ber-jihad untuk membebaskan seluruh alam dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan dan agar tidak terjadi fitnah di atas bumi yang diwariskan kepada kita.

Arti yang pertama ini tidak bisa dicampur adukkan dengan arti kedua ayat tersebut (seperti berikut ini) karena tindakan mencampur adukkan ini justru menggiring sebuah gerakan (dakwah) menuju terbunuh sendiri, akan membuka luas pintu silang pendapat (khilaf) dan perselisihan (ihkhtilaf), menjadikan gerakan (dakwah) dinilai tidak jelas artinya bagi khalayak ramai serta memberikan ruang bebas kepada pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan untuk melemparkan berbagai macam tuduhan.

Kedua; dalam arti menyampaikan (mentransformasikan) kebaikan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin sendiri ketika mereka sedang dalam kondisi kemunduran budaya, terpecah-belah, (terjebak dalam) kenegatifan, tercerai berai dan tercabik-cabik secara politik, ekonomi dan sosial dengan cara menyelamatkan mereka dari keberadaan mereka yang ibarat buih, membangkitkan semangat mereka, mendorong mereka kepada segala hal yang baik dan bermanfaat bagi mereka, (dan memfokuskan mereka dalam) menghadapi tantangan-tantangan serta menjauhkan mereka dari hal-hal negatif. Dan sesungguhnya ikatan yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan aqidah yang kita yakini lebih suci daripada ikatan tanah dan tumpah darah.

Merekalah pihak tujuan kita. Kita beramal di jalan mereka. Kita membela kehormatan mereka. Dan kita menebus mereka dengan jiwa dan harta benda. Sungguh mereka begitu kuat merespon orang yang menyeru agar mereka beramal demi kebangkitan islam. Dan sesungguhnya semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim dengan syarat ia tidak mengucapkan kalimat kekafiran, tidak mengingkari hal yang secara pasti dimaklumi sebagai bagian dari agama, tidak mendustakan hal yang jelas-jelas ditegaskan Alqur’an atau tidak menafsirkannya dengan cara yang sama sekali tidak sesuai dengan uslub-uslub bahasa arab atau ia tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kemungkinan lain selain perbuatan kekafiran.
Dan sesungguhnya wajib bagi kita untuk tidak menuduh atau menyebut kafir siapapun yang telah berikrar dengan dua syahadat sekaligus juga menjalankan tuntutannya. Karena islam selalu baik dan hidup dalam relung jiwa mereka.


Sesungguhnya kewajiban gerakan (dakwah) adalah hanya memindahkan perasaan tersebut ke dalam (bentuk nyata berupa) tindakan yang islami dan (tentunya) gerakan kita ini hanyalah sekedar pemandu bagi umat demi kebutuhan mendesak mereka akan penyelamatan, motivasi dan dorongan untuk menghadapi sekian banyak tantangan dan menjauhi segala bentuk hal negatif. Karena itulah gerakan dakwah tidak seharusnya merasa benar sendiri dan bahwa selain mereka salah.Gerakan dakwah kita semestinya selalu bersama kebenaran di manapun berada. Ia mencintai persatuan dan kerukunan serta membenci hal-hal yang menyimpang/nyelneh.

Sungguh ujian terbesar kaum muslimin adalah perselisihan dan perpecahan. Sementara asas untuk mereka meraih kemenangan adalah persatuan, cinta dan kasih sayang. Generasi akhir umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan sesuatu yang menjadikan baik generasi umat terdahulu. Inilah pemikiran dasar, keyakinan yang tertanam dalam jiwa dan tujuan yang dimaklumi oleh kita semua agar kita berfokus ke sana sekaligus menyerukannya.

Selain ini semua kita juga meyakini bahwa perbedaan dalam masalah cabang-cabang agama adalah hal yang pasti dan tidak bisa ditawar. Tidak mungkin kita bersatu dalam cabang-cabang ini karena beberapa sebab yang di antaranya:

1) Perbedaan akal dalam kekuatan atau kelemahan menggali hukum (istinbath) dan memahami dalil-dalil atau tidak mengetahuinya
2) Pemahaman akan kedalaman makna-makna dan hubungan hakikat-hakikat satu dengan yang lainnya
3) Keluasan dan kedangkalan ilmu
4) Sesungguhnya figur ini mendapatkan informasi yang tidak didapatkan oleh figur lain. Dan begitu pula sebaliknya.
5) Perbedaan lingkungan sehingga praktekpun berbeda disebabkan perbedaan masing-masing lingkungan.
6) Perbedaan kemantapan hati dalam menerima riwayat yang ada
7) Perbedaan menafsirkan petunjuk-petunjuk dalil. Dll

Sedangkan agama adalah ayat-ayat Alqur’an, hadits-hadits dan nash-nash yang ditafsirkan oleh akal dan pendapat dalam standart bahasa arab dan kaidah-kaidahnya. Sementara sudah pasti dan disepakati bahwa dalam hal ini manusia memiliki kemampuan yang tidak sama.

Semua ini menjadikan kita meyakini bahwa sepakat akan satu hal dalam cabang-cabang agama adalah keinginan yang mustahil terwujud dan bahkan bertentangan dengan karakter agama itu sendiri.

Jika dalam masalah-masalah cabang yang paling jelas nashnya seperti Adzan yang dikumandangkan lima kali dalam sehari saja masih terjadi perbedaan maka bagaimanakah menurut anda dalam masalah-masalah kecil/sepeleh yang hanya berdasar pada pendapat dan istinbath?

Sungguh Allah berkehendak agar agama ini tetap abadi, langgeng, bisa berjalan mengikuti perkembangan serta selaras dengan zaman. Jadi untuk tujuan ini, agama islam menjadi agama yang mudah, fleksibel, gampang dan lunak serta sama sekali tidak kaku dan tidak keras. Kita harus meyakini ini semua dan dengan sendirinya menerima semua alasan orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah furu’. Kita juga perlu melihat bahwa perbedaan ini selamanya tidak boleh dijadikan penghalang bagi pertautan hati, saling memberi cinta dan saling tolong menolong dalam kebaikan diiringi rasa senang dan gembira akan setiap pihak yang berbuat baik demi kebangkitan islam di dunia secara umum, dan di Indonesia secara khusus.
Atas dasar inilah tidak ada halangan apapun bagi kita untuk ikut serta dengan gerakan positif manapun demi tujuan tersebut.

Dan sungguh kita bergembira atas pertolongan Allah kepada seluruh pelaku kebaikan dan demi kebaikan dan sesungguhnya lapangan dakwah begitu luas terpampang bagi siapapun di mana masing-masing mendapatkan bagiannya.

=والله يتولى الجميع برعايته=

Oct 31, 2010

Merawat Cinta Kasih dalam Berumah Tangga

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.

Makna dan Penjelasan Ayat
Melalui sepenggal ayat 189 surat Al A’raaf tersebut di atas Allah swt memberikan informasi bahwa Dia menjadikan manusia seluruhnya berasal dari diri yang satu (nafsin wahidah), yaitu diri Nabi Adam as.

Informasi dari Allah swt bahwa umat manusia seluruhnya berasal dari keturunan Nabi Adam as terasa lebih menenteramkan dan memuaskan daripada informasi yang dikemukakan belakangan oleh Charles Darwin (1804-1872) dengan teori evolusinya yang menyatakan umat manusia berasal dari sejenis makhluk yang disebut anthropoides (kera). Diri manusia seluruhnya secara naluri akan mengingkari informasi belakangan itu, tanpa harus susah-susah membatalkan teori itu dengan dasar-dasar Islam.

Dari diri Nabi Adam as, Allah swt lalu menciptakan isterinya, yaitu Ibu Hawwa’. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa ibu Hawwa’ diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam as saat beliau tengah tidur. Beliau lalu merasa cinta dan tenteram denga ibu Hawwa’ dan begitu pula sebaliknya ibu Hawwa’ merasa cinta dan tenteram dengan Nabi Adam as.

Dari pertautan pasangan ini lahir dan tersebarlah umat manusia laki-laki dan perempuan ke berbagai pelosok bumi lengkap dengan perbedaan kelompok, karakter, warna kulit, bahasa, dialek, dsb. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada ayat lain:

يَااَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا
وَنِسَاءً

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S. An Nisaa’: 1)

Inilah sunnatullah, setiap manusia secara fithrah merasa cinta, tenteram, sayang, senang, dan suka dengan lawan jenisnya. Laki-laki cenderung cinta dan tenteram terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan cenderung cinta dan tenteram dengan laki-laki.


Dalam diri manusia terdapat naluri berkeinginan terhadap lawan jenis (gharizah nau’). Jenis laki-laki dilengkapi dengan spermatozoa (sel kelamin jantan) sedang jenis perempuan dilengkapi dengan ovum (sel telur betina) yang antara satu dengan lainnya saling butuh-membutuhkan karena didorong oleh libido (naluri seksual) yang merupakan instink terkuat dalam tubuh manusia. Naluri tersebut menuntut pemenuhan, pelampiasan, dan pemuasan dengan hidup berumah tangga atau berpasangan, utamanya bila ada stimulus (perangsang, pembangkit). Jika tidak, maka manusia akan dilanda resah, gelisah, dan gangguan kejiwaan (psikosomatik) yang bisa memicu tumbuhnya gangguan-gangguan fisik. Kita saksikan laki-laki yang belum berumah tangga, ia tampak gundah gulana. Sebaliknya laki-laki yang telah mendapatkan pasangan dia tampak lebih tenteram dan tenang. Allah swt berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً اِنَّ فِي ذَلِكَ لاَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar Ruum: 21)

Hidup berpasangan ini memiliki sekian banyak fungsi. Namun di antara sekian banyak fungsi itu ada dua fungsi yang penting, yaitu fungsi hidup berpasangan sebagai rekreasi (mencari kesenangan dan ketenteraman) dan fungsi prokreasi (fungsi menghasilkan keturunan) sebagai sarana melanjutkan populasi manusia.
Dalam kehidupan berumah tangga Allah swt menjanjikan mawaddah wa rahmah yang berarti cinta yang tulus dan murni dari kedua belah pihak yang berpasangan. Cinta yang tulus dan murni merupakan tiang penyangga tegaknya kehidupan berumah tangga yang harus diusahakan. Dan karenanya tidak ada perpaduan dan pertautan yang lebih kokoh daripada ikatan pernikahan. Firman Allah swt:

وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S. An Nisaa’: 21)

Pertautan hati antara dua pasangan berbeda jenis kelamin ini jauh lebih kuat daripada sekadar ikatan anak dengan orangtua, ikatan antara guru dengan murid, ikatan antara majikan dengan bawahan, dan ikatan-ikatan yang lain. Dua pasangan yang hatinya dipertautkan itu bisa hidup serumah, sekamar, seranjang, bahkan satu tubuh (satu badan). Apalagi dalam proses awalnya pertautan ini dirajut dengan menggunakat kalimat Allah swt. Ini di dunia. Di akhirat, pertautan hati dua pasangan demikian pula menjadi ikatan yang paling kokoh. Murid dengan guru betapa pun kuat ikatannya di surga keduanya tidak akan berkumpul serumah, seranjang, dan satu tubuh. Berbeda dengan ikatan pernikahan. Selama keduanya pasangan yang sholeh dan masuk surga bersama-sama. Tidak ada keindahan melebihi indahnya kedua pasangan suami isteri yang sama-sama masuk surga dan masuk surga bersama-sama. Firman Allah swt:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ اَنْتُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

Masuklah kamu dan isteri-isterimu ke dalam surga, kamu sekalian akan diberikan nikmat yang banyak (digembirakan). (Q.S. Az Zukhruf: 70)

Atas dasar ini rumah tangga perlu terus dibina secara langgeng dan harmonis dunia hingga akhirat. Dalam proses perjalanan pembinaan ini memang akan didapati sekian banyak rintangan dan kendala. Ujian keluarga. Badai. Aral melintang. Problematika kehidupan. Akan banyak ditemui hal-hal yang tidak disukai kaitannya dengan watak maupun perilaku masing-masing. Wajar. Ibarat piring-piring kaca yang ditata akan ada suara-suara benturan, namun dengan penataan, piring-piring itu akan tampak rapi dan indah. Di sinilah perlunya mensiasati problem rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Harus ada kesabaran dan tahan derita (tahammul). Ada yang mengalah kalau perlu. Dan saling memaklumi serta maaf-memaafkan.

Problem rumah tangga tidak sepatutnya buru-buru diatasi dengan thalaq atau proses perceraian lainnya. Ini bentuk kerugian karena berarti hubungan dan ikatan terputus. Padahal di masa depan adakah yang lebih indah daripada pertautan hati suami isteri dan pertautan hati itu berlanjut hingga di surga bersama-sama?! Kalau setiap problem harus diatasi dengan perceraian, tentulah Nabi Luth as lebih layak untuk menthalaq isterinya. Nyatanya itu tidak beliau lakukan. Allah swt mengingatkan:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَاِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan pergauli mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An Nisaa’: 19)

Memang, sering suami mendapati dari isterinya satu perangai buruk yang menjengkelkan, misalnya cemburu buta dan mutungan (baca: mbegog). Namun perlu disadari bahwa di balik satu perangai buruk itu ada sekian banyak perangai yang menjadikan suami suka rela terhadap isterinya, seperti isteri suka membantu dan melayani suaminya (khidmah) bahkan menghabiskan waktunya untuk itu. Mencuci. Memasak. Menyeterika. Memijiti. Menyiapkan dan menghidangkan makanan atau sekedar teh manis. Jasa yang luar biasa. Tak ternilai bila diukur dengan materi. Maka Rasulullah saw memperingatkan para suami menyadari ini, tidak menstigmatisasi perangai isteri seluruhnya buruk, dan tidak buru-buru mengatasinya dengan thalaq. Sabda Rasulullah saw:

لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً ، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

Orang beriman laki-laki (suami) tidak boleh membenci orang beriman perempuan (isteri). Jika suami membenci satu perangai (buruk) dari isterinya, dia bisa rela (suka, menerima, cinta) terhadap perangainya yang lain (yang baik). (H.R. Muslim)

Isteri demikian pula kadang mendapati pada diri suaminya sesuatu yang tidak disukainya seperti membentak (berkata kasar) dan main tangan. Namun di balik itu patut disadari bahwa ada tanggung jawab besar yang diberikan suami kepada isterinya. Masing-masing pihak suami isteri sama-sama menyadari kekurangannya dan bersama itu keduanya memadukan kelebihan masing-masing demi terbinanya keluarga yang harmonis kini dan esok serta akan datang saat-saat terindah ketika keduanya masuk surga bersama-sama.

Umar bin Khattab adalah teladan dalam hal ini. Dia tipe laki-laki yang keras. Namun di depan isterinya, dia sayang dan lemah lembut di satu sisi dan di sisi lain dia sabar dan tahan derita karena mengingat jasa besar yang ditunaikan sang isteri kepadanya. Suatu hari dia berkata: “Seorang suami di dalam keluarganya selayaknya menjadi laksana anak-anak (lembut dan kasih sayang). Namun di hadapan masyarakat ia keluar laksana orang dewasa (tokoh dan orang besar yang berwibawa).” (Az Zawaj Al Islami Al Mubakkir, Ash Shabuni, 130)

Seseorang mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasihati: “Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Di mana taqwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami-isteri telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”

Betatapun demikian syara’ (hukum Islam) memberikan jalan keluar dari problem-problem rumah tangga. Jika problem itu besar dan tidak dapat diatasi, disediakan jalan keluar berupa misalnya thalaq. Tapi thalaq itupun seyogyanya dijatuhkan secara bertahap mengingat ketergantungan yang sangat besar isteri terhadap suaminya. Jika problem itu berupa nusyuz (durhaka) pertama-tama diperingatkan, tidak diberikan nafkah, tidak tidur bersama, hingga dipukul dengan pukulan yang tidak melukai.

Demikianlah Allah swt menyerukan kita menjalani kehidupan berumah tangga secara harmonis, merawat cinta kasih, mawaddah wa rahmah, cocok, serasi, selaras, sehati, dunia dan akhirat.[]

Oct 29, 2010

Sholat Menghadap ke Ka’bah Secara Tepat

Pertanyaan:

Ada banyak masjid yang membuat shaf agak miring/serong ke arah barat. Jadi tidak tepat ke arah barat. Sebenarnya bagaimana hukum mengarahkan secara tepat ke arah ka’bah bagi orang yang sedang sholat? Mohon penjelasannya!

Karim, Yogya.


Jawaban:

Menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat, sehingga tidak sah orang yang sholat tanpa menghadap kiblat (ke ka’bah), kecuali sholat khauf, sholat di atas kendaraan atau perahu yang diperbolehkan menghadap ke arah mana saja kendaraan itu menghadap. Sebagaimana hadits Nabi SAW:

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ

“Bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah sholat di atas kendaraannya (menghadap ke arah ) di mana kendaraannya itu menghadap.” (HR Imam Ahmad, Imam Muslim dan Tirmidzi).
Juga berdasarkan ayat:

وَلله الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ الله .إنَّ الله وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Dan kepunyaan Alloh-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh :115)

Jadi, orang sholat harus menghadap ke kiblat, bukan ke arah barat. Tentang hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Perbedaan mereka adalah apakah harus menghadap ke tubuh /badan ka’bah ataukah cukup dengan perkiraan mengarahkan badan ke arah kiblat.

Golongan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat wajib menghadap ke tubuh Ka’bah itu (‘ainul ka’bah).Bagi yang melihatnya wajib tepat menghadap ke ‘ainul ka’bah (tubuh ka’bah), sedangkan bagi yang tidak melihatnya harus menepatkan badannya ke arah ka’bah.

Golongan ini berpegang kepada dhahirnya Surat Al-Baqoroh ayat 144 yang artinya:”Maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Harom”. Menurut mereka, yang dimaksud dengan “syathr” adalah arah yang tepat bagi orang yang sedang sholat dan mengena secara tepat dalam menghadapkannya. Jadi menghadap ke ‘ainul ka’bah adalah wajib. Mereka juga beralasan dengan Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid ra, bahwa ia berkata:

وَلَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْبَيْتُ دَعَافِى نَوَاحِيْهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ , فَلَمَّا خَرَجَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ فِى قِبَلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ :هَذِهِ الْقِبْلَةُ

“Ketika Nabi SAW masuk ke dalam Baitullah (ka’bah), beliau berdo’a di sekeliling seluruhnya, dan beliau tidak sholat sebelum berada di luarnya, maka ketika beliau sudah keluar, beliau sholat dua roka’at menghadap Ka’bah seraya bersabda:”Inilah kiblat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sedangkan golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadapkan badan ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah). Ketentuan ini berlaku bagi orang sholat yang tidak melihat secara langsung ka’bah, yaitu cukup dengan menghadap ke arahnya saja (dengan perkiraan).Tetapi bagi yang melihatnya maka wajib menghadapkan ke tubuh ka’bah (‘ainul ka’bah) secara tepat.

Mereka juga menggunakan dalil Surat Al-Baqoroh ayat 144 tersebut. Menurut mereka, barangsiapa telah menghadap sebuah sisi dari Masjidil Harom , berarti ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan, baik persis menghadap ka’bah atau tidak. Kemudian mereka juga mendasarkan kepada Hadits:

مَابَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat itulah kiblat.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

الْكَعْبَةُ قِبْلَةٌ لأَهْلِ الْمَسْجِدِ, وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لأَهْلِ الْحَرَمِ وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ لأَهْلِ الأَرْضِ فِى مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أمَّتِى (رواه البيهاقى)

“Baitullah (ka’bah) itu kiblat bagi ahli masjid (orang yang sholat di dalam Masjidil Harom), dan masjid (Masjidil Harom) adalah kiblat bagi penduduk Harom (Mekkah dan sekitarnya), sedangkan tanah haram adalah kiblat bagi penduduk bumi di Timur dan Barat dari kalangan umatku.”(HR Al-Baihaqy)

Jadi seandainya kaum muslimin diharuskan menghadap ka’bah secara tepat, maka sungguh sangat sulit untuk mengarahkan hal itu bagi orang-orang yang tinggal jauh dari tanah Harom. Padahal, Alloh SWT tidak membebani kewajiban di luar batas kemampuan manusia. Dan Islam tidak mempersulit dalam melaksanakan ajarannya. Oleh karena itu, sudah dianggap sah orang yang sholat dengan mengarahkan tubuhnya ke arah kiblat, sekalipun tidak tepat persis.[]

Mengusap Dahi dan Muka setelah Shalat dan Berdo’a

Pertanyaan:

Banyak orang mengusap muka setelah melakukan shalat ataupun berdo’a. Apakah hal demikian pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?

Ikhwan, dari Sekaran Lamongan


Jawaban:

Mengusap wajah setelah berdo’a merupakan sesuatu yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti hadits dari az Zuhri:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ فِى الدُّعَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Nabi shallallahu alaihi wasallam mengangkat kedua tangan sejajar dengan dadanya dalam berdo’a kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan itu” (HR Abdurrozzaq dalam al Mushonnaf dari Ma’mar)

Hadits ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Umar ra bahwa, “Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika mengangkat kedua tangan dalam berdo’a maka Beliau tak akan menurunkan keduanya sehingga mengusapkan keduanya ke wajahnya” HR Turmudzi.

Beliau juga pernah bersabda kepada Abdullah bin Abbas ra yang artinya, “Jika kamu berdo’a kepada Allah maka berdo’alah dengan bagian dalam kedua tangan, jangan kamu berdo’a dengan bagian luarnya. Dan ketika selesai berdo’a maka usapkan kedua tanganmu ke wajahmu” HR Ibnu Majah.

Ibnul Mulk mengatakan bahwa mengusap wajah memiliki hikmah Tafaa’ul yaitu seakan–akan kedua tangannya telah penuh dengan berkah dan anugerah dari Allah karena itu sangat pantas jika berkah dan anugerah ini diluberkan kepada anggota tubuh yang lain utamanya wajah selaku anggota tubuh yang sangat layak dimuliakan. (Lihat Manhajus Salaf fi Fahmin Nushsush 321–322/Abuya Sayyid Muhammad al Hasani)

Sementara sesudah salam, yang warid dalam Sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mengusap Dahi (Jabhah). Anas ra meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ جَبْهَـتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ...

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setiap kali selesai shalat maka Beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan...” HR Ibnu Sunni.

Dari dasar hadits ini, yang sunnah setelah salam adalah mengusap dahi, tidak mengusap muka. Ini bukan berarti mengusap muka tidak boleh, karena shalat secara bahasa bermakna do’a, sedang syariat mengusap wajah setelah berdo’a telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana keterangan di atas.

Oct 19, 2010

Kemuliaan Hanya Milik Allah

Tausiyah Ramadhan 1431 H / 26 Agustus 2010

Allah tabaaraka wata’aalaa berfirman: “....Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”QS An Nisa’:139.
Perang Badar al Kubra terjadi pada bulan ramadhan al mubarak. Peperangan ini mengandung sekian pelajaran seperti halnya juga mengandung banyak mukjizat ketika Allah menguatkan dan memberikan pertolongan kepada kaum muslimin pada kondisi saat mereka sedang lemah sehingga bisa mengalahkan kaum kafir. Allah berfirman: “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” QS Ali Imran:123. ”... yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” QS al Maidah:54. “...Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."QS al Baqarah:249.

Mereka berjihad di jalan Allah dengan satu keyakinan sesungguhnya kemuliaan hanya milik Allah, bukan berasal dari diri mereka sendiri. Mereka tidak merasa takut cercaan orang yang mencerca dengan dasar keyakinan bahwa kerendahan hanya boleh karena Allah dan bukan karena selainNya. Maka tiada kemuliaan kecuali milik Allah dan tiada kerendahan kecuali karena Allah. Adapun kerendahan karena selain Allah maka hal inilah yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan darinya: “Saya memohon perlindungan dari kehinaan kecuali karenaMu!”


Dan ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaum beriman mempersembahkan pengorbanan mereka di jalan Allah demi kemuliaan yang hanya ada di sisiNya maka Allah menyebut mereka dengan firmanNya: “dan adalah kemuliaan itu hanya milik Allah, milik utusanNya dan kaum beriman “QS al Munafiqun:8. Di sini ada peringatan untuk selalu memurnikan niat yang baik di jalan mencari kemuliaan tersebut. Dan dari sinilah selaras apa yang menjadi semboyan kita yang selalu diulang-ulang oleh lidah kita di jalan dakwah (demi kemuliaan islam dan kaum muslimin) sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak terjatuh dalam hal yang akhirnya tidak terpuji dalam perjalanan dakwah itu sendiri sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang memang memberikan pengaruh di dalamnya. Sungguh telah dikatakan: “Barang siapa cemerlang di permulaannya maka akan cemerlang di puncaknya”

Kerendahan karena Allah adalah pokok ibadah yang menjadi dasar keberuntungan manusia beriman seperti diisyaratkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”QS al Hajj:77.

Maksud ruku’ dan sujud adalah shalat. Dan secara khusus keduanya disebutkan di antara sekian banyak model aktivitas shalat karena keduanya adalah yang termulia di antara rukun-rukun shalat sebab keduanya benar-benar menampakkan ketundukan dan kerendahan. Penyebutan shalat secara khusus sebelum perintah ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, haji, dzikir, bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dll serta sebelum perintah meluberkan kebaikan kepada sesama dengan berzakat, pergaulan yang baik dan sekian budi pekerti mulia sebagai ibadah dalam bentuk berakhlaq dengan akhlak-akhlak Allah ta’aalaa,dalam ini semua ada penegasan bahwa sesungguhnya shalat adalah tiang agama. Dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia sedang bersujud. Ketika ia meletakkan wajah, selaku anggota tubuh paling mulia, di tanah sejajar dengan tangan,lutut dan telapak kaki. Dan lebih tinggi darinya adalah anggota tubuh yang menjadi jalan keluar angin dan tinja dari duburnya serta urin dari jalan depannya, (ini semua) semata karena kerendahan kepada Allah dan kemulianNya. Jadi barang siapa merendahkan diri kepada Tuhannya dan tunduk kepadaNya maka sudah menjadi hak atasNya untuk memberikan kemuliaan kepadanya di dunia dan akhirat. Jadi kerendahan karena Allah sebenarnya adalah kemuliaan itu sendiri. Adakah kemuliaan lebih agung dan lebih besar daripada kerendahan diri seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sungguh anda menyaksikan seseorang mulia dalam penampilannya meski sebenarnya ia hina di sisi Allah. Sebaliknya juga ada seorang yang tampil begitu hina padahal ia begitu mulia di sisi Allah.

Ia, Allah telah memberikan pertolongan kepada mereka di hari perang Badar. Pada hari perang Hunain ketika mereka berbangga dengan jumlah yang banyak dan menyangka bahwa kemuliaan berasal dari diri mereka sendiri lantas salah seorang dari mereka berkata: “Pada hari ini kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit” maka merekapun dikalahkan. Tentang mereka Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.”QS At Taubah:25.Padahal orang yang berkata demikian bukanlah pembesar sahabat, tetapi bencanapun merata agar kejadian ini bisa menjadi pelajaran yang berharga.
=ألله يتولى الجميع برعايته=

Oct 17, 2010

Interaksi Guru dengan Anak Didik

Pertanyaan:

Dalam proses belajar mengajar diperlukan interaksi fisik antara guru (laki-laki) dengan murid sekolah dasar yang berbeda jenis kelamin, siswi, mengingat guru ditekankan untuk berperan laksana ayah dan ibu mereka. Contohnya seperti berjabat tangan, membelai kepala, punggung, dan bentuk-bentuk sentuhan sayang lainnya. Mohon dijelaskan batas maksimum usia di mana guru dapat berinteraksi dengan murid perempuan di sekolah dasar.

Imaduddin Abdul Rachim,
Guru MIS di Malang

Jawaban:

Allah subhanahu wata’ala mengingatkan kita semua untuk tidak dekat-dekat dengan zina, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Isra’: 32)

Larangan untuk tidak dekat-dekat dengan zina maknanya berarti tuntutan tegas untuk tidak mendekati sarana-sarana yang dapat menjurus kepada perzinaan. Sarana-sarana itu termasuk ikhtilath (campur baur laki perempuan di satu tempat), khalwat (berdua-duaan), membuka aurat, memandang berbeda jenis kelamin secara “tajam”, dan sebagainya. Nah apakah interaksi fisik guru laki-laki dengan siswi sekolah dasar itu termasuk bagian dari sarana yang menjurus kepada perzinaan?

Abuya Assayyid Muhammad Alawi Al-Maliki mengemukakan bahwa termasuk propaganda yang busuk adalah propaganda toleransi mencampur-baurkan siswa laki-laki dan siswa perempuan di sekolah-sekolah dasar dengan mengambil alasan mereka masih kecil. Karena propaganda itu akan memicu lahirnya generasi yang mati hatinya, musnah semangat keagamaannya, dan membuka peluang perilaku-perilaku tidak terpuji. (Adabul Islam fi Nidzhamul Usrah: 71)



Umur anak-anak perempuan tingkat sekolah dasar standarnya adalah 6/7 hingga 12 tahun. Umur-umur ini untuk ukuran zaman sekarang kiranya sudah tampak cukup “dewasa”. Mereka mengenal apa yang juga dikenal oleh orang dewasa. Maka lebih hati-hatinya, kelas mereka dengan anak laki-laki harus mulai sudah dipisahkan (ada hijab), diserukan menutup aurat, dicarikan guru yang sama jenis kelaminnya (ustadzah) karena idealnya guru yang mendidik anak-anak perempuan adalah guru perempuan, atau kalaupun mendesak harus guru laki-laki (karena hajat) maka berjabatan tangan dengan murid harus mulai dihindari. Sentuhan kasih sayang tidak harus dikejawantahkan atau diterjemahkan lewat sentuhan fisik namun bisa lewat sentuhan batin, seperti doa, mengajarkan prinsip, dan motivasi. Anak-anak didik itu adalah kader yang pendidikan di masa kecilnya memiliki bekas yang dominan di masa dewasanya kelak. Jika mereka dididik dengan penuh kelonggaran maka dewasanya kelak mereka akan berprinsip permisifisme (serba boleh).

Apalagi saat ini kita saksikan fenomena buruk melalui media massa yang cukup mencengangkan, yaitu kerapnya terjadi kasus perkosaan justru dilakukan oleh remaja laki-laki terhadap anak-anak perempuan berumur 5-7 tahun. Persoalan yang rawan. Dan untuk menghindari kerawanan ini, sebaiknya semua pihak menjaga diri, waspada, dan berhati-hati sejak dini. Perlu kiranya diciptakan satu kondisi yang mendukung bagi kebaikan kader-kader itu di kemudian hari dan juga bagi kebaikan masyarakat saat ini (teladan).

Islam, di antara Ifroth dan Tafrith

QS al Baqoroh : 143

وَكذَلِكَ جَعَلْنـَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“ Dan begitulah Kami menjadikan kalian sebagai umat Wasath, agar kalian menjadi saksi atas semua manusia dan Rosul ( Nabi Muhammad Saw) menjadi saksi atas kalian ”


Analisa Bahasa

أمة : Kata ini secara Etimologi berarti segolongan manusia, akan tetapi ia juga terpakai sebagai ungkapan dari:

a – Manusia dan Risalah, seperti dalam firman Alloh yang artinya: “Sesungguhnya sebelumnya Ibrohim adalah seorang Ummat yang tunduk kepada Alloh…dan dia tidak pernah menjadi manusia yang menyekutukan Alloh “ QS an Nahl : 130. Bahasa Ummat yang terpakai untuk menyebut seseorang juga bisa ditemukan dalam sabda Nabi Saw tentang Zaid bin Amar bin Nufel: “ Dia ( Zaid ) akan dibangkitkan sebagai satu umat, karena dia tidak pernah menyekutukan Alloh” (Lihat al Qurthubi 2 / 127).

b _ Ummah juga diartikan sebagai jalan hidup (Minhaajul Hayat) yang berupa keyakinan, nilai – nilai, tradisi dan budaya serta aktifitas bekerja, seperti bantahan orang 0- orang kafir yang dikisahkan oleh Alloh dalam firmanNya: “Sesungguhnya Kami menemukan para orang tua kami menetapi suatu Ummah (cara hidup) dan kami hanya mengikuti jejak langkah mereka” QS az Zukhruf: 22.

وسطا : Garis tengah atau jalan yang lurus, artinya jauh dari dua pinggir Ifroth (Terlalu) dan Tafrith (Teledor).

شهداء : Bentuk Jamak dari kata Syahiid, artinya umat Nabi Saw akan menjadi saksi bagi para nabi bahwa mereka telah menyampaikan Risalah kepada umat mereka, sementara Rosululloh Saw menjadi saksi bagi umat Beliau Saw sendiri.

Uraian Ayat

Ayat ini secara jelas menyebut salah satu ciri khas umat islam (Umat Nabi Muhammad Saw) yang menjadikan mereka berbeda dengan umat – umat terdahulu. Hal ini karena kelak pada hari kiamat nanti umat ini akan menjadi saksi bagi para nabi. Hal ini terjadi saat umat – umat terdahulu membantah bahwa para nabi telah datang kepada mereka. Akhirnya para nabi dituntut agar mendatangkan saksi yang menguatkan bahwa mereka telah menyampaikan Risalah. Dalam kondisi itulah umat Nabi Muhammad Saw didatangkan untuk memberikan kesaksian. Tentu saja hal ini membuat umat terdahulu terkejut dan bertanya: Bagaimana bisa kalian menjadi saksi atas kami, padahal kita tidak pernah berjumpa? Umat Nabi Muhammad Saw menjawab: Kami bersaksi karena kabar dari Alloh melalui RosulNya. Ketika inilah Nabi Saw datang dan menguatkan kesaksian umatnya. Dalam sebuah hadits yang artinya:

يُدْعَى نُوْحٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُوْلُ : لَبَّـيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبُّ . فَيَقُوْلُ : هَلْ بَلَّغْـتَ ؟ فَيَقُوْلُ نَعَمْ : . فَيُقَالُ ِلأُمَّـتِهِ : هَلَ بَلَّـغَكُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : مَا جَاءَنَا مِنْ نَذِيْرٍ !! فَيَقُوْلُ : مَنْ شَهِدَ لَكَ ؟ فَيَقُوْلُ : مُحَمَّدٌ وَ أُمَّتُهُ . فَيَشْهَدُوْنَ أَنَّهُ قَدْ بَلَغَ .

“ Pada hari kiamat, Nuh dipanggil, dia berkata: Saya penuhi panggilanMu wahai Tuhanku. Alloh berfirman: “Apakah kamu telah menyampaikan (Risalah)?” Nuh menjawab: Ia. Lalu ditanyakan kepada umatnya: Apakah (benar) bahwa Nuh telah menyampaikan kepada kalian? Mereka menjawab: Tak ada pembawa peringatan yang pernah datang kepada kami. Alloh berfirman: “Siapa yang akan bersaksi untukmu?” Nuh menjawab: Muhammad dan umatnya. Umat Muhammad lalu memberi kesaksian bahwa Nuh telah menyampaikan Risalah” HR Bukhori.


Dari sini bisa dimengerti salah satu hikmah kenapa umat ini menjadi umat yang paling akhir. Sebab umat ini dipersiapkan oleh Alloh menjadi umat terbaik yang kelak akan menjadi saksi atas umat yang lain. Dan sebagai saksi tentunya harus mengerti betul apa yang dulu pernah dilakukan oleh umat terdahulu. Dan umat ini bisa mencapai hal itu berkat kabar valid yang dibawa oleh Nabi Saw al Amiin. Selain itu posisi sebagai saksi juga sangat layak ditempati umat ini karena keberadaan umat ini yang memang dipersiapkan secara khusus oleh Alloh menjadi umat terbaik sebagai pendamping Rosul Alloh terbaik, “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia…”QS Ali Imron : 11.

Selain menjadi saksi, nilai Ter umat ini juga didapatkan dari Moderasi (Wasathiyyah) yang menjadi karakter utama dalam segala lini; baik Aqidah, Ibadah maupun Mu’amalah. Jadi umat ini berada di tengah antara sikap Ifroth (Terlalu) dan Tafrith (Teledor) yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashroni sebagaimana rincian berikut ini:

1) Aqidah

Umat Islam meyakini Alloh sebagai Dzat Pencipta, Dia tidak beranak juga tidak diperanakkan (al Ikhlash: 3). Hal ini berbeda dengan kaum Nashroni yang meyakini Alloh tetapi juga meyakini bahwa Isa adalah anakNya, atau Yahudi yang meyakini Alloh tetapi juga meyakini Uzair sebagai anak Alloh, “Orang Yahudi berkata: “Uzair putera Alloh” dan orang Nashroni berkata: “Isa itu putera Maryam…”QS at Taubah : 30. Tentang Nabi Isa as, umat islam mempercayai bahwa Beliau dan ibundanya adalah manusia biasa yang dipilih Alloh, akan tetapi Nashroni bertindak terlalu dengan mengangkat mereka sebagai Tuhan selain Alloh dalam konsep Trinitas mereka. Sebaliknya Yahudi La’anahumulloh sama sekali tidak mempercayai Isa sebagai utusan Alloh, sangat merendahkan dan menghinakan Maryam al Batuul dengan mengatakan bahwa Beliau adalah wanita pezina, “Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) serta tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan yang besar (Zina) “ QS an Nisa’: 156, bahkan Yahudi pernah bertindak lebih jauh dari itu, mereka juga melakukan pembunuhan terhadap para utusan Alloh yang tidak mereka sukai, “… apakah setiap datang kepadamu rosul yang membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh, lalu beberapa orang dari mereka kamu dustakan dan beberapa yang lain kamu bunuh?”QS al Baqoroh : 87. dalam sejarah Yahudi tercatat telah membunuh Nabi Zakariyya dan Yahya, bahkan mereka beberapa kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap Rosululloh Muhammad Saw. Dan sampai sekarang pun mereka tetap aktif melakukan berbagai usaha untuk melakukan pembunuhan kepada para pewaris Nabi (ulama) yang getol memperjuangkan agama Alloh.

Islam juga beraqidah bahwa Alloh memiliki otoritas yang mutlak dan sempurna, ini berbeda dengan Yahudi yang mengatakan bahwa Alloh miskin. Abu Bakar ra pernah datang ke suatu perkumpulan Yahudi yang sedang asyik mendengarkan cerama pendeta mereka yang bernama Fanhash. Abu Bakar lalu berkata: “ Celakalah kamu wahai Fanhash, takutlah kepada Alloh dan peluklah islam. Demi Alloh kamu telah mengerti bahwa Muhammad adalah utusan Alloh yang datang dariNya dengan membawa kebenaran dan kalian sungguh telah menemukan hal ini dalam kitab Taurot dan Injil” Fanhash menjawab: Demi Alloh wahai Abu Bakar, kami sama sekali tidak butuh kepada Alloh, justru Dia butuh kepada kami…”, mendengar ini Abu Bakar sangat marah dan memukul Fanhash dengan keras. Selanjutnya Abu Bakar berkata: “Andai saja antara kita tak ada perjanjian aman maka aku pasti memenggal lehermu”. Fanhash kemudian datang kepada Nabi Saw dan mengadukan perlakuan Abu Bakar, di hadapan Beliau, Fanhash sama sekali tidak mengakui apa yang dia ucapkan mengenai Alloh hingga turunlah firmanNya: “Sungguh Alloh telah mendengar ucapan orang – orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Alloh fakir dan kami ini orang – orang yang kaya…” QS Ali Imron : 181.

Tindakan dan ucapan yang berangkat dari keyakinan salah kaum Nashroni dan Yahudi ini mendapat respon sangat keras dari Alloh Swt dalam firmanNya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan jangan kalian mengucapkan kepada Alloh selain yang benar…”QS an Nisa’: 171. “ Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih – lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian…”QS al Ma’idah : 77. Imam Ibnu Jarir berkata: Sesungguhnya kaum muslimin tidak terlalu seperti Yahudi yang membunuh para nabi dan merubah kitab Alloh dan syariatNya, dan juga tidak seperti Nashroni yang tersesat dengan menuhankan Isa.


2) Ibadah

Dalam hal beribadah, islam menempatkannya dalam posisi yang sangat tepat dan sesuai dengan fitroh asli manusia. Islam mencela orang yang melupakan tujuan Esensial dia diciptakan yaitu untuk beribadah kepada Alloh. Di sisi lain islam juga memperingatkan sangat keras kepada orang yang berlaku terlalu dalam menjalankan ibadah sehingga melalaikan fitroh aslinya yang lain yang berupa keinginan menikmati makanan dan indahnya bersama pasangan. Islam menyebut prilaku terlalu dalam hal ibadah ini sebagai sebuah prilaku Tanatthu’ atau Tasyaddud seperti disinggung dalam sabda Nabi Saw:
هَلَكَ الْمُتَـنِّطعُوْنَ

“ Rusaklah orang – orang yang berbuat terlalu ” HR Muslim

Fenomena Tanatthu’ atau terlalu memaksakan diri dalam beribadah sempat muncul pada masa Rosululloh Saw seperti diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas bin Malik ra bahwa ada tiga orang yang datang ke rumah Aisyah ra dan bertanya tentang ibadah Nabi Saw. Setelah mendapat jawaban mereka seolah menganggapnya sedikit, tetapi mereka memaklumi karena Nabi Saw telah diampuni segala yang telah dan akan dilakukan oleh Beliau Saw. Dari sini akhirnya masing – masing dari mereka berjanji; yang pertama berjanji selamanya akan Qiyamullail semalam suntuk, yang kedua berjanji akan berpuasa setahun penuh, dan yang ketiga berjanji tak akan menikah selamanya. Rosululloh Saw datang dan bersabda: “Apakah kalian yang berkata begini begitu? Ingat aku adalah yang paling takut dan yang paling bertaqwa kepada Alloh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur dan aku juga menikah dengan wanita…” Imam Hasan al Bashri mengatakan bahwa agama ini berada di tengah – tengah antara orang yang menjauh darinya (al Jaafii) dan orang yang terlalu di dalamnya (al Ghoolii).

Keindahan prinsip berada di tengah ini (Tawassuth), sama sekali tidak dimiliki oleh Yahudi ataupun Nashroni. Yahudi misalnya, mereka tidak sah melakukan ibadah kecuali di dalam Sinagog dan bila terkena najis maka air tak bisa mensucikan. Sementara Nashroni justru sebaliknya, mereka sama sekali tidak mengenal najis serta tak ada apapun yang haram bagi mereka. Mereka juga memunculkan konsep Rohbaaniyyah (mengharamkan perkawinan) seperti disebutkan oleh Alqur’an:
...وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْـتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْـنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْـتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَـتِهَا

“… dan mereka mengada – adakan Rohbaaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, (tetapi mereka sendirilah yang mengada – adakannya) untuk mencari keridhoan Alloh, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” QS al Hadid : 27


3) Mu’malah

Di medan pergaulan dan bersikap, Islam juga menunjukkan prinsip Tawassuthnya. Dalam hal memperlakukan wanita yang sedang menstruasi misalnya, Islam tetap memperbolehkan suami tinggal serumah dan tidur serangjang dengan isteri. Mereka berdua juga tetap diperbolehkan bercumbu rayu asal jangan sampai melakukan Coitus. Ini berbeda dengan Yahudi yang begitu ekstrim dalam memperlakukan wanita yang sedang datang bulan dengan menjauhkan mereka dari keluarga serta menempatkan mereka di tempat khusus. Di lain pihak kaum Nashroni justru sebaliknya, mereka tidak peduli apakah wanita sedang haid atau tidak, yang jelas kapanpun mereka mau maka hubungan suami isteri bisa dilakukan.

Dalam mencari harta benda juga demikian halnya; islam memberi dorongan supaya harta benda itu dicari, tetapi islam juga tidak lupa memberikan pendidikan agar dalam mencari harta benda tidak terlalu sehingga menghalalkan segala cara seperti yang dilakukan oleh Yahudi yang menghalalkan Riba dan bahkan menyulap Riba dengan berbagai macam bentuk. Dalam bersikap dengan harta benda juga demikian, islam mengarahkan supaya harta benda tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi hendaknya juga ditularkan kepada orang lain yang membutuhkan. Meski demikian, islam juga berpesan agar jangan seluruhnya ditularkan kepada orang lain, firman Alloh:


وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً إِلىَ عُنُـقِكَ وَلاَ تَبْـسُطْهَا كُلَّ الْبَسْـطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَحْسُـوْرًا

“ Dan jangan jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula kamu terlalu menjulurkannya karena hal itu akan membuatmu tercela dan menyesal “QS al isro’ : 29.

Singkat cerita, jika diteliti maka pasti ditemukan sebuah kesimpulan bahwa seluruh ajaran islam dari yang paling besar sampai yang terkecil seluruhnya berintikan prinsip Tawassuth sebagaimana dalam hikmah disebutkan: Khoirul Umuur Ausathuhaa / sebaik – baik perkata adalah yang tengah. – tengah.[]

Oct 5, 2010

Bangga menjadi Tuhan, Mulia sebagai Hamba

“Ya Allah, cukup rasanya jika Engkau menjadi Tuhan saya, cukup sudah rasa mulia bila saya sebagai abdiMu yang setia”

Berjuta-juta dan berlaksa-laksa anugerahNya telah diterima oleh umat manusia. Tiada kekuatan dan kemampuan bagi mereka untuk menghitung. Akan tetapi yang paling agung di antara yang tak terhitung itu adalah anugerah mendapat hidayah mengakuiNya sebagai Tuhan yang Esa, Yang mencipta dan Yang layak disembah. Segala keindahan nikmatNya yang terlihat, semua pemberianNya yang dirasakan sama sekali tak ada arti jika semua itu tidak dibarengi dengan keimanan dan kepercayaan akan otoritas tunggalNya. Dia menyatakan dalam kitabNya:

“Dan kepada orang-orang yang kafirpun Aku berikan kesenangan sedikit (dan sementara), kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” QS Al Baqarah:126.

Tiada kemewahan dan keindahan jika setelahnya adalah siksaan neraka, dan sebaliknya bukan lagi namanya kesengsaraan, kesedihan, dan kepahitan bila semuanya menjadi harga untuk membeli keluasan dan kemewahan surga. Dari sinilah rasa bangga dan bahagia segera menebarkan harum wanginya ketika menyadari tanaman bunga keimanan telah tertanam dalam sanubari. Rasa putus asa, merasa hina dan rendah segera akan sirna kendati diri sedang berada dalam dasar sumur kemiskinan, kekalahan dan kerendahan derajat dalam percaturan hidup di antara makhluk. Ingatlah salah satu firmanNya:

“Janganlah bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman” QS Ali Imran: 139.


Seorang bawahan yang baik tentu akan menurut dan menghormati nasehat–nasehat atasannya. Seseorang yang mengaku sebagai pelayan setia sangat tidak dipercaya jika ia tidak memberikan pelayanan dan servis memuaskan kepada sang majikan. Manusia yang mengaku bangga bertuhan Allah juga demikian, dia harus mewujudkan pengakuan dan rasa bangganya itu dengan tindakan menjauhi semua larangan–larangan Allah, pohon kebanggaannya itu harus ia rawat dengan baik hingga banyak membuahkan nilai-nilai peribadatan kepadaNya. Bukan malah sebaliknya, pengakuan bangga menuhankan Allah diikuti oleh tiada rasa malu kala melakukan sesuatu yang tabu (baca:kemaksiatan), tak ada beban dan merasa bersalah bila enggan atau ogah-ogahan menjalankan anjuran beribadah.

Realita yang ada ialah anugerah Allah yang terus menerus dan setiap saat dinikmati tetapi tidak disadari, ibadah kepadaNya yang tak pernah luput dari hitungan serta kemaksiatan bagai deras hujan yang luput dari pengawasan dan kontrol pengendalian. Maha benar Allah dalam firmanNya, sebuah hadits Qudsi:

“Wahai anak Adam, kamu tidak berbuat adil kepadaKu. Aku berusaha mendapatkan cintamu dengan memberikan banyak sekali nikmat,sementara kamu perlihatkan kebencianmu kepadaKu dengan berbagai maksiat. KebaikanKu senantiasa turun kepadamu dan keburukanmu selalu naik kepadaKu” (Disebut oleh Imam Mawardi dalam kitabnya Adab Dun’ya Wad Diin dan Syekh Abdul Qadir dalam Al Fathur Rabbaani).

Perasaan bangga dan mulia ini dapat kita teladani dari seorang tokoh yang hidup pada empat belas abad silam, di mana dalam salah satu munajatnya di tengah malam selalu tak terlupakan sebuah ungkapan “Ya Allah, cukup rasanya jika Engkau menjadi Tuhan saya, cukup sudah rasa mulia bila saya sebagai abdiMu yang setia” tokoh tersebut adalah sepupuh sekaligus menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mertua Umar dari putrinya yang bernama Ummu Kultsum yang dinikah oleh Umar saat masih gadis belia, ayah Al Hasan dan Al Husen serta penghulu para orang yang mengedepankan asketisme (kezuhudan) dalam dunia kehidupan, dialah Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu panglima pasukan islam kala menaklukkan Yahudi tanah Khaibar.[]

Hukum Mendoakan orangtua yang kafir.

Bersama surat ini, saya ingin memohon jawaban dari Ustadz pengasuh fas’alu;

a). Bagaimana hukumnya mendoakan saudara/orang tua yang menganut agama selain Islam?
b). Bagaimana hukumnya orang kafir memasuki masjid/mushola?
c). Bagaimana hukumnya seorang suami yang jika dalam suatu pertengkaran selalu berkata’ Kupulangkan kamu ke orang tuamu’, padahal saya tidak tahu isi hati suami, apakah bisa dikatakan jatuh talak?
d). Saya sekarang bingung untuk menabung. Sebaiknya dimana ya, yang sesuai dengan syariah. Lalu bagaimana dengan bunga tabungan yang diperoleh, atau hadiah/bonus berupa barang dari hasil tabungan tersebut?

Lilis/Kholishoh, Tuban.

Jawab:

a). Para ulama sepakat bahwa hukum mendoakan orang kafir, sekalipun kepada orang tua atau kerabat adalah haram, kecuali mendoakan agar mereka diberikan hidayah oleh Alloh swt untuk masuk Islam. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 113 dan 114:

ماكان للنبي والذين أمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا ألى قربى من بعد ماتبين لهم أنهم أصحاب الجحيم. وماكان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه. إن إبراهيم لأواه حليم (سورة التوبة:113-114)

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Alloh swt) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Alloh swt) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Alloh, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At-Taubah :113-114)


Berkaitan dengan ayat tersebut, Imam Bukhari , Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnul Musayyib dari ayahnya, ia berkata:”Ketika Abu Thalib menjelang wafat, Nabi saw menemuinya, dan ketika itu Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah sedang berada di sisinya, lalu beliau saw bersabda:

أَيْ عَمَّ, قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله كَلِمَةٌ أُحَاجٌ لَكَ عِنْدَ الله

“Wahai pamanku, ucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah, sebagai kalima yang aku akan membelamu di sisi Alloh swt.”

Melihat hal itu, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata:”Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muthalib?’ Maka Abu Thalib menjawab:” Aku tetap memeluk agama Abdul Muthalib”. Selanjutnya Nabi saw bersabda:

لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَالَمْ أَنَّهُ عَنْكَ
“Sungguh aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.”

Maka turunlah Surat At-Taubah ayat 113 di atas. Dan pada saat itu turun juga ayat:

إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ الله يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, akan tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang Alloh kehendaki.”(QS Al-Qashash:56)

Sedangkan mengenai ayat ke-114, Imam Qatadah mengatakan bahwa diceritakan kepada kami bahwasayany ada beberapa orang sahabat Nabi saw berkata:”Wahai Nabi Alloh, sesungguhnya di antara orang tua kami terdapat orang yang berbuat baik kepada tetangga, menyambung silaturahim, membantu orang yang dalam kesusahan dan memenuhi jaminan. Apakah kami boleh memintakan ampun bagi mereka?” Maka Nabi saw bersabda:

بَلَى, وَالله إِنِّى لأَسْتَغْفَرَ لأَبِى كَمَا اسْتَغْفَرَ إِبْرَاهِيْمُ لأَبِيْهِ

“Boleh, demi Alloh, sesungguhnya aku pun memintakan ampun untuk ayahku, sebagaimana Ibrahim juga memintakan ampun untuk ayahnya.” Kemudian turunlah Surat At-Taubah ayat 114 tersebut.

Atha’ bin Abi Rabah berkata:”Aku tidak meninggalkan sholat (jenazah) atas orang dari ahlul-kiblat ( orang Islam), meskipun atas seorang wanita Habasyah yang hamil akibat perbuatan zina, karena aku tidak pernah mendengar Alloh swt menghalang-halangi sholat, kecuali dari orang-orang musyrik.”

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Abbas juga berkata:”Ibrahim masih terus memintakan ampun untuk ayahnya, sehingga ayahnya itu meninggal dunia. Dan ketika tampak jelas bahwa ayahnya itu adalah musuh Alloh swt (kafir), maka Ibrahim pun berlepas diri darinya.” Dalam sebuah riwayat, ketika ayahnya meninggal dunia, ia melihat dengan jelas bahwasanya ayahnya itu adalah musuh Alloh swt. Hal senada juga dikemukakan oleh Mujahid, Ad-Dhahhak, dan Imam Qatadah.

b). Untuk membahas apakah orang kafir itu boleh masuk masjid atau tidak, lihat Surat At-Taubah ayat 28:

يا أيهاالذين أمنوا إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا.
“Hai orang-orang yang beriman! sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Oleh karena itu janganlah mereka itu mendekatai masjidil haram sesudah tahun ini.”

Al-Qur’an menyebutkan orang-orang musyrik itu najis, dengan menggunakan bentuk masdar adalah untuk menunjukkan arti yang sangat (mubalaghah) yang seolah-olah mereka itu betul-betul badannya najis. Adapun najis yang dimaksud oleh ayat di atas menurut Jumhur Ulama adalah najis maknawi, yaitu karena kesyirikan mereka yang menyebabkan hati dan pikiran mereka najis. Sedangkan badan mereka tetap suci menurut kalangan Ahli Tafsir.

Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri menganggap najis badan orang-orang musyrik itu. Dari Ibnu Jarir meriwayatkan dari Imam Hasan Basri berkata:’Barangsiapa bersalaman dengan orang-orang musyrik hendaklah berwudlu’. Sedangkan Pengarang Tafsir al-Kasysyaf meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa jasad orang-orang musyrik itu najis, tidak ubahnya seperti anjing dan babi, dengan berpegang pada dhahirnya ayat. (Lihat Tafsir Ayatul Ahkam

Adapun yang dimaksud orang-orang musyrik menurut ayat di atas ,sebagian ulama menyatakan khusus para penyembah patung. Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat orang musyrik itu meliputi semua orang kafir, baik penyembah berhala , maupun kalangan Ahlul Kitab. Menurut Syekh Ali Ash-Shabuni yang dimaksud musyrikin adalah meliputi seluruh orang kafir dan larangan masuk Masjid itupun berlaku untuk setiap orang kafir baik mereka itu animisme, Yahudi dan Nashara.

Sedangkan firman Alloh swt yang artinya :”Maka janganlah mereka itu mendekati Masjidil Haram”, jelas menunjukkan bahwa mereka dilarang memasuki Masjidil Haram. Tetapi soal lafadz “Masjidil Haram”, para ulama berbeda pendapat:
1. Menurut ulama Syafi’iyyah (pengikut Imam Syafi’I), bahwa hal itu khusus Masjidil Haram berdasarkan dhahirnya ayat. Dalilnya:

فَلاَ يَقْرَبُوْا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Maka janganlah mereka itu mendekati Masjidil Haram.” (QS At-Taubah:28)

Ayat tersebut khusus untuk Masjidil Haram, tetapi umum untuk semua orang kafir. Jadi semua orang kafir ( penyembah berhala atau Ahlul Kitab) boleh masuk Masjid,kecuali Masjidil Haram.

2. Menurut Atha’ dan para ulama Hambali berpendapat bahwa kata itu maksudnya adalah Mekkah dan tanah haram pada umumnya. Dalilnya:

هُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Mereka itu adalah orang-orang kafir dan menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram.”(QS Al-Fath:25)

Di mana sudah jelas bahwa mereka (kaum kuffar) itu menghalangi umat Islam memasuki Mekkah. Lalu Alloh swt memberitahu bahwa umat Islam akan masuk Mekkah dengan aman.

3. Menurut pendapat para ulama Malikiyah bahwa yang dimaksud adalah semua masjid. Karena Masjidil Haram adalah yang sudah jelas berdasarkan nash, sedangkan masjidl-masjid lainnya adalah diqiyaskan. Menurut Imam Malik dan pengikutnya, bahwa faktor ‘ najis’ itulah yang menyebabkan dilarangnya orang-orang musyrik masuk masjid, sedangkan najis itu tetap ada pada orang-orang musyrik/kafir. Karena itulah larangan masuk itu akan selalu ada (terhadap semua orang kafir) untuk masuk masjid, baik Masjidil Haram atau masjid-masjid yang lain. Imam Malik mengqiyaskan semua orang kafir dengan Ahlul Kitab dan mengqiyaskan semua masjid dengan Masjidil Haram.
Imam Abu ‘Amr al-Auza’I berkata:”Umar bin Abdul Aziz memutuskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashara dilarang memasuki masjid-masjid kaum muslimin.”

4. Menurut Imam Hanafi dan pengikutnya berpendapat bahwa larangan masuk Masjidil Haram itu hanya larangan ibadah Haji dan Umrah. Dalilnya;

*.Lafadz “Sesudah tahun ini” menunjukkan khusus, yaitu untuk melakukan Haji dan Umrah saja.
**.Perkataan Ali bin Abi Thalib, ketika diutus Rasulullah saw untuk menyampaikan surat Al-Baqarah kepada khalayak, lalu ia berkata:

أَلاَ يَحُجَّ بَعْدَ هَذَا الْعَامِ مُشْرِكٌ
“Sesudah tahun ini tidak boleh seorang musyrik pun menunaikan ibadah haji.”

***.Kaum muslimin sepakat atas dilarangnya orang-orang musyrik menunaikan ibadah haji, wukuf di Arofah, dan tinggal di Mudzalifah dan semua amalan haji, sekalipun amalan-amalan itu dilakukan di luar Masjidil Haram.************

c). Mengenai kata-kata sindiran yang diucapkan oleh seorang suami kepada isterinya, ada perbedaan di kalangan ulama madzhab:

*.Imam Malik mengatakan:”Pada saat seorang suami menyerahkan isterinya kembali kepada orang tuanya, jika ia(suami) telah berhubungan badan dengan isterinya, maka dianggap sudah menthalak tiga (talak ba’in), baik keluarganya itu menerima atau menolaknya. Akan tetapi, jika belum berhubungan badan dengannya, maka dianggap sebagai thalak satu, baik keluarganya menerima atau menolaknya.”
Sedangkan Imam Asy-Syafi’I mengatakan:”Bahwa kesemuanya itu bergantung kepada niatnya. Jika ia mengatakan (dengan kata sindiran itu) bahwa ia tidak berniat untuk menthalaknya, maka niatnya itulah yang berlaku.”
Menurut Imam Abu Hanifah mengatakan:”Jika seorang suami menyatakan kepada isterinya’Aku serahkan kamu kepada orang tuamu’ atau ‘ Kepada ayahmu’ atau ‘Kepada ibumu’, maka hal itu dikatakan dalam keadaan marah atau sebagai jawaban atas isterinya yang meminta thalak, lalu si suami tidak berniat untuk menthalaknya, maka niatnya itulah yang berlaku. Akan tetapi jika si suami dengan perkataannya itu berniat menthalak isterinya, maka hukum thalak itulah yang berlaku baginya. Sedangkan jika si suami menyerahkan isterinya kepada bibi atau kerabat yang lain selain orang tuanya, maka hal itu tidak dianggap thalak, baik ia berniat untuk thalak tiga, dua atau satu. Baik hal itu dilakukan pada saat marah atau tidak atau sebagai jawaban atas permintaan thalak isterinya.”
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:”Jika keluarga si isteri tersebut mau menerimanya, maka yang demikian itu sudah termnasuk thalak. Akan tetapi , si suami masih berhak menerimanya kembali. Sedangkan apabila jika mereka menolaknya, maka tidak dianggap sebagai thalak.

Sedangkan jika si suami tidak mengucapkan kata ‘thalak’ baik secara terang-terangan atau sindiran, akan tetapi baru terlintas dalam hati keinginan untuk menthalak isterinya, maka thalak belum jatuh.Berdasarkan hadits:

إِنَّ الله تَجَاوَزَ لأُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْلَمُوْابِهِ (متفق عليه)
“Sesungguhnya Alloh memberikan ampunan bagi umatku apa-apa yang terdetik di dalam hati mereka, selama tidak mereka ucapkan atau kerjakan.”(HR Bukhari dan Muslim.

Wallahu 'alam.

Aug 27, 2010

Puasa dan Buah-buah Takwa

Q.S. Al Baqarah: 183

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Makna dan Penjelasan Ayat
Sikap bertakwa kepada Allah swt memiliki sekian banyak tingkatan. Namun bila dikelompokkan, tingkatan itu bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, tingkatan takwa tertinggi (maksimal), yaitu “bertakwa dengan sebenar-benarnya” yang hanya bisa dicapai oleh para nabi, syuhada, dan orang-orang shaleh. Kedua, tingkatan terendah (minimal), yang tersirat dari ungkapan: “jangan sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. Dalam tingkatan ini seseorang tidak menyisakan takwa kecuali mati dalam keadaan bertauhid, sekadar berbekal syahadat belaka. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S. Ali Imran: 102)

Di antara dua tingkatan itu ada tingkatan takwa ketiga, yang merupakan tingkatan standar, yang hendaknya diupayakan oleh orang-orang beriman jika tidak mampu mencapai tingkatan yang tertinggi. Dalam tingkatan standar ini takwa bermakna menjalankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini terkait dengan adanya rasa takut, malu, kewaspadaan, kehati-hatian, disiplin, mawas diri, amanat (tanggung jawab), jujur, dan akhlak mulia lainnya.

Orang yang bertakwa sebagai buah dari ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan menjauhi larangan akan selalu berkata benar, kata yang menyejukkan, bertindak jujur dan adil, bertanggung jawab, sabar, rendah hati, santun, memelihara diri, dermawan, memenuhi janji, tidak mendendam, berkasih sayang, dan sebagainya.
Berbagai bentuk akhlak mulia itulah indikasi takwa yang bisa terlihat karena hakikat takwa tempatnya tersembunyi, yaitu di dalam hati nurani yang tidak tampak kecuali oleh Allah swt. Bukan pada bentuk lahir dan aksesoris seperti gamis, tasbih, sarung, kopiah, dan sebagainya. Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim bersabda: “Attaqwa hahuna” (takwa itu di sini) seraya menunjuk dadanya tiga kali.
Takwa adalah bekal hidup yang paling istimewa. Karena itu takwa menjadi nasehat utama yang dipesankan oleh para nabi dan rasul dulu, saat ini, dan kelak. Allah swt berfirman:

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوْا اللهَ
Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu: bertakwalah kepada Allah. (Q.S. An Nisaa’: 131)

Puasa di bulan Ramadhan dalam hal ini akan bisa mengantar manusia kepada ketakwaan yang lebih baik daripada sebelumnya. Puasa melatih manusia ikhlas hati, disiplin, mawas diri, amanat, jujur, bekerja tanpa pamrih, takut, dan malu semata-mata karena merasa berada dalam pengawasan Allah swt.

Ayat dalam tema di muka menyebutkan bahwa takwa merupakan target yang hendak dicapai dari aktivitas puasa, bukan lapar, haus, atau mengekang seks semata, seperti pada agama-agama lain yang berarti semakin menderita maka nilai puasa semakin baik. Nabi saw menjelaskan bahwa ada sekian banyak orang berpuasa tidak memperoleh hasil dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Hal ini karena dia dalam berpuasa tidak berupaya meningkatkan kadar ketakwaannya.

Ayat dalam tema tersebut menjelaskan hikmah puasa yaitu “laallakum tattaqun” (agar bertakwa). Maksud dari hikmah ini adalah pertama, dengan puasa kita menjadi takut (takwa) menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan. Atau kedua, dengan puasa, kita menjadi orang-orang yang bertakwa (mencapai derajat atau kedudukan muttaqin).
Makna pertama cocok bagi orang-orang yang menjalankan puasa sedang pada dirinya telah melekat kemaksiatan. Dengan puasa insya’allah kemaksiatan yang dahulu dilakukannya menjadi berhenti. Sarana puasa sangat tepat baginya untuk membakar segala kesalahannya itu apalagi segala perangkat untuk itu telah disediakan di bulan Ramadhan seperti tarawih, tadarus, i’tikaf, dan sedekah lengkap dengan suasana yang mendukung di mana setan dibelenggu dan pintu neraka ditutup. Rasulullah saw bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ – رواه البخارى ومسلم
Puasa itu perisai. (H.R. Bukhari Muslim)

Makna kedua pas bagi orang yang menjalankan puasa sedang kualitas keimanannya telah stabil. Baginya sarana puasa dimanfaatkan untuk meningkatkan amaliah sehingga menjadi lebih tinggi. Dari sini dikenal istilah puasa khusus dan puasa khususul khusus yang khas dilakukan orang-orang dalam kelas yang tinggi. Puasanya di samping menahan larangan fisik juga menahan larangan psikis seperti menjaga keikhlasan hati. Sabda Rasulullah saw:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ – رواه البخارى ومسلم
Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan keikhlasan maka diampunilah dosanya yang telah lalu. (H.R. Bukhari Muslim)

Pada ayat tersebut digunakan perangkat kata: “laalla”. Menurut tata bahasa Arab, kata “laalla” bermakna tarajji yaitu pengharapan (barangkali) yang mungkin terjadi (optimisme). Namun bila kata “laalla” itu disebutkan di dalam Al Qur’an dan datangnya dari Allah swt maka dia tidak berarti pengharapan lagi tetapi berarti kepastian dan kenyataan (hakikat dan yakin).

Dari sini kalau puasa dijalankan dengan baik dan benar target takwa pasti bisa dicapai. Kalau target takwa ini bisa diraih, maka dialah orang yang beruntung jasmani dan rohaninya di dunia maupun di akhirat. Karena orang yang bertakwa dijanjikan jaminan kemuliaan dan keistimewaan yang luar biasa. Di antara janji dan jaminan itu adalah:
Pertama, mendapatkan pujian. Firman Allah swt:

وَإِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُوْرِ
Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (Q.S. Ali Imran: 186)

Kedua, penjagaan dari musuh. Firman Allah swt:

وَإِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا لاَيَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْأً
Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. (Q.S. Ali Imran: 120)

Ketiga, diberikan jalan keluar dan rizki yang halal tak diduga. Firman Allah swt:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Q.S. Ath Thalaq: 2-3)

Keempat, amal diperbaiki dan dosa diampuni. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لِكُمْ ذُنُوْبَكُمْ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (Q.S. Al Ahzab: 70-71)

Kelima, meraih dua bagian rahmat dan diberikan nur. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَآمِنُوْا بِرَسُوْلِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُوْرًا تَمْشُوْنَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. (Q.S. Al Hadid: 28)

Keenam, diterima amalnya. Firman Allah swt:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (pengabdian) dari orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Maidah: 27)

Ketujuh, meraih kemuliaan. Allah swt berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. Al Hujurat: 13)

Kedelapan, diselamatkan dari neraka. Firman Allah swt:

ثُمَّ نُنَجِّى الَّذِيْنَ اتَّقَوْا
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Maryam: 72)

Kesembilan, dicintai dan dikasihi Allah. Di dalam Al Qur’an disebutkan:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At Taubat: 4)

Kesepuluh, dihilangkan gelisah dan sedihnya di dunia dan akhirat. Allah swt berfirman:

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (Q.S. Yunus: 62-63)

Kesebelas, diberikan ilmu laduni (perenial, otodidak). Firman Allah swt:

وَاتَّقُوْا اللهَ وَيُعَلِّمْكُمُ اللهُ
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Allah mengajarmu. (Q.S. Al Baqarah: 282)