May 27, 2009

Syakhshiyah Islamiyah (Tamat)


Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahaminya?

1. Islam memberikan suatu cara pemecahan problem hidup bagi manusia dengan pemecahan yang sempurna untuk mewujudkan suatu syakhshiyah yang istimewa, yang lain dari yang lain. Pemikiran-pemikiran manusia itu dipecahkan Islam dengan aqidahnya. Sebab, dalam Islam, aqidah dijadikan sebagai landasan berpikir (qa’idah fikriyah) yang menjadi dasar manusia dalam membangun pemikiran-pemikiran, dan membina mafahim serta muyulnya yang sekaligus membentuk aqliyah dan nafsiyahnya. Dan aqidah dijadikan sebagai landasan berpikir yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia.

Pada saat yang sama, Islam menangai perbuatan manusia yang muncul dari kebutuhan jasmani dan gharizahnya dengan hukum-hukum syara’ yang memancar dari aqidah Islam. Penanganan dan pengaturan yang dilakukan Islam adalah pengaturan yang benar, ia mengatur gharizah, tidak menindasnya; ia pun mengarahkan dan menyalurkannya, tetapi tidak membiarkannya liar tanpa kendali, dan ia pun menyiapkan pemenuhan kebutuhan dengan pemenuhan yang teratur yang mengantarkan kepada ketentaraman dan ketenangan.


2. Dari sini kita dapati, bahwasannya Islam membentuk Syakhshiyah Islamiyah dengan aqidah Islamiyah. Dengan aqidah itu dibentuklah aqliyah dan nafsiyah. Jelaslah bahwa aqliyah Islamyah adalah berpikir atas asas Islam. Artinya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum tentang berbagai pemikiran mengenai kehidupan. Tetapi aqliyah Islamiyah tidaklah dikhususkan untuk akal orang-orang cerdik pandai atau kaum pemikir semata. Sebab, dengan samata-mata menjadikan Islam sebagai asas bagi seluruh pemikiran secara praktis dan faktual, berarti seseorang telah membentuk suatu aqliyah Islamiyah dalam dirinya.

Nasfiyah Islamiyah terbentuk dengan dijadikannya Islam sebagai asas bagi seluruh kecenderungan. Artinya, ia dijadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan. Nafsiyah ini bukan nafsiyah mutabattilah (yang tidak mau menikah) atau mutasyaddidah (yang menyiksa diri). Sebab hanya dengan menjadikan Islam sebagai standar bagi seluruh aktifitas pemenuhan kebutuhannya secara praktis dan faktual, berarti seseorang telah membentuk nafsiyah Islamiyah dalam dirinya.

Dengan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah tersebut, terbentuklah Syakhshiyah Islamiyah tanpa memandang tingkatan dan ragamnya. Sebab, setiap orang yang berpikir di atas asas Islam dan menjadikan hawa nafsunya patuh terhadap Islam, berarti telah terwujud dalam dirinya suatu Syakhshiyah Islamiyah.

3. Islam memerintahkan melakukan penambahan penguasaan tsaqofah Islamiyah untuk mengembangkan pemikiran tersebut, sehingga memiliki kemampuan menstandarisasi setiap pemikiran. Islam pun memerintahkan untuk melakukan amal-amal fardu dan sunnah serta amal-amal yang dicintai Allah ta’ala, mencegah sebanyak mungkin mengerjakan hal-hal yang haram, makruh, atau syuhbat demi memperkuat nafsiyah tersebut, sehingga ia memiliki kemampuan untuk menolak setiap kecenderungan yang berlawanan dengan Islam. Tetapi, semua itu adalah berfungsi untuk meningkatkan derajat Syakhisiyah Islamiyah dan menjadikannya berjalan di jalan yang luhur dan terhormat di dunia ini, dan memperoleh ridlo Allah ta’ala di dunia dan akhirat. Tidak berarti yang tidak mengerjakan itu semua telah kehilangan Syakhsiyah Islamiyah. Kita maklumi bahwa syakhshiyah seseorang berbeda tingkatannya, ada yang kuat ada yang terpisah.


Salah besar mereka menyangka bahwa Islam itu suatu khayalan; bahwa Islam itu mustahil diterapkan. Islam itu ibarat sesuatu yang sangat luhur yang tidak mungkin manusia mampu menerapkan atau sabar terhadapnya. Mereka menghalangi manusia dari Islam, dan melumpuhkan banyak orang untuk berbuat.

Padahal Islam datang ke dunia untuk diterapkan secara praktis. Islam itu adalah sesuatu yang nyata, tidaklah sulit untuk menerapkannya. Islam ada dalam jangkuan setiap manusia, betapapun lemah pemikirannya, dan bagaimanapun kuatnya naluri serta kebutuhan jasmaninya. Bagi orang tersebut mungkin saja menerapkan Islam pada dirinya dengan mudah, setelah ia memahami aqidah Islam dan membentuk kepribadian Islam dalam dirinya.

Setelah itu semua tidak wajib atasnya, kecuali mencari nilai tambah dengan meningkat tsaqofah Islamiyah untuk mengembangkan aqliyahnya, dan sanggup melaksanakan syariat Islam untuk memperkokoh nafsiyahnya. Dengan demikian dia beridentitas dengan sifat-sifat khusus yang dia miliki dan dikenal di kalangan orang banyak serta terlihat seperti gunung yang menjulang tinggi. Sifat-sifat khusus tadi adalah hasil (natijah) yang pasti bagi dirinya, didasarkan atas pemahaman silah (hubungan) dan tsiqoh (kepercayaan penuh) pada Allah ta’ala. Karena itu ia tidak terikat dengan syara’ kecuali untuk menggapai keridloan Allah ta’ala semata. Dengan syakhshiyah Islamiyah ia mampun bersikap keras dan kasih sayang dalam waktu yang sama (pada saat ia bergerak dalam bidang militer dan kepemimpinan), ia juga mampu bersikap zuhud dan memanfaatkan kenikmatan. Ia memahami kehidupan dunia ini dengan pemahaman yang benar dan menguasai dunianya menurut hak yang berlaku, serta memacu dirinya untuk memperoleh kehidupan akhirat yang baik. Karena itu ia tidak terlena dalam perbuatan dan sifat yang di perbuat dan dimiliki oleh para penyembah dunia, tidak terpengaruh pula oleh sikap yang mengesampingkan keduniaan dan berpakaian agar dianggap zuhud (yang sebenarnya bukan zuhud tetapi taqossuf/hindy).

Al Qur’anul Karim menyebutkan beberapa contoh syakhshiyah dalam beberapa ayat, seperti ketika Allah ta’ala menyebutkan sahabat-sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wasallam, orang-orang mukmin, hamba-hamba Allah ar Rahman dan para mujahiddin, di antaranya:

1. Firman Allah ta’ala yang artinya

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. QS. Al Fath: 29

2. Firman Allah ta’ala yang artinya

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. QS. At Taubah: 100

3. Firman Allah ta’ala yang artinya

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat. QS. Al Mu'minun: 1-4

4. Firman Allah ta’ala yang artinya

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". QS. Al Furqon: 63-65

5. Firman Allah ta’ala yang artinya

Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama Dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. dan mereka Itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. QS. At Taubah: 88-89

6. Firman Allah ta’ala yang artinya

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. QS. At Taubah: 112


***


Doa Ikhtitam


Ya Alloh, sucikanlah hati kami dari kemunafikan, sucikanlah pekerjaan kami dari riya’, sucikanlah lidah kami dari berbohong, sucikanlah mata kami dari pengkhianatan, sesungguhnya Engkau mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi di balik dada.

Ya Alloh, sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kesusahan. Kami berlindung kepadaMu dari kebodohan dan kebakhilan. Kami berlindung kepadaMu dari rongrongan hutang dan orang-orang yang hendak memaksa.

Ya Alloh, lapangkanlah hati dada kami dengan iman yang meruah kepadaMu dan dengan kepasrahan yang baik kepadaMu. Hidupkanlah kami dengan pengetahuanMu, dan matikanlah kami dengan mati syahid di jalanMu.

Ya Alloh, jadikanlah kami laskar Islam yang ikhlas, pendukung Islam yang mau berbuat. Jadikanlah kami orang-orang yang mau berjihad di jalanMu dan tidak gentar cercaan orang-orang yang suka mencerca.

Amîn Ya Rabbal ‘Alamin.

May 26, 2009

Masa Iddah dan Mengqodlo Shalat

Ana baru saja ditinggal mati suami. Yang ana mau tanyakan adalah 1) Berapa lama masa iddah ditinggal suami? 2) Apa saja yang harus ana lakukan selama masa iddah dan adakah suatu larangan selama masa itu? 3) Ana ingin tahu cara dan niat shalat untuk mengqodlo shalat suami ana. Atas jawabannya ana ucapkan jazakumullah khorin katsir.

Uswatun Hasanah, Delik RT 32 Madiredo Pujon Malang


Jawaban:
Bila ditinggal mati suami maka iddah bagi seorang istri adalah empat bulan sepuluh hari. Berdasarkan firman Allah ta'ala yang artinya:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. QS. Al Baqarah: 234

Sementara bila ditinggal suami dalam keadaan hamil (mengandung), maka iddah bagi seorang istri adalah menunggu hingga kelahiran bayi yang dikandungnya. Allah ta'ala berfirman:

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan. QS. Ath Thalaq: 4.

Pada masa iddah bagi seorang istri hendaknya ia melakukan ihdad (bhs. Jawa: ngusut), yaitu tidak memperhias diri, memakai wangi-wangian, ke luar rumah, memakai pacar, dan menampakkan diri dipandang orang-orang yang hendak meminang. Hal ini dalam rangka "bela sungkawa" dan "rasa duka" (berkabung) terhadap suami yang hidup bersamanya selama itu.

Mengenai mengqodlo shalat suami yang ditinggalkannya, hal ini tidak ada tuntunannya karena shalat adalah ibadah yang kedudukannyua tidak bisa ditinggalkan di waktu kapanpun dan tidak bisa digantikan oleh orang lain. Agar dosa dan kesalahan suami selama hidupnya diampuni, seorang istri dapat berdoa dan beristighfar memohonkan ampunan kepada Allah ta'ala bagi suaminya.[]

May 22, 2009

Bersin Diwaktu Shalat

Kepada ustadz pengasuh Fas’alu. Kita diajarkan manakala bersin kita bersyukur dengan mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah). Persoalannya kemudian bila bersin terjadi di tengah-tengah melangsungkan shalat fardlu. Apakah dianjurkan juga membaca alhamdulillah sementara kita kan dituntut tenang (khusyu’) sewaktu shalat? Nah, apa yang saya harus lakukan ketika sedang melangsungkan shalat lalu saya bersin? Saya harus memilih mengucapkan tahmid atau saya memilih diam saja? Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban ustadz terima kasih.

Muzammil Arif, Jl. Barito Pandean No. 6 Sumenep Madura


Jawaban:
Seorang sahabat bernama Rifa’ah bin Rafi bersin kala ia sedang shalat yang dipimpin oleh Rasulullah. Waktu itu ia mengucapak doa tahmid, yang teksnya berbunyi: “Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih mubarokan alaih kama yuhibbu roabbuna wayardloh” usai bersin. Usia shalat beliau lantas memuji sahabat ini bahwa terdapat lebih dari 30 malaikat berebut membawa naik pahala tahmidnya kepada Allah ta’ala. (HR. Tirmidzi, Sunan Tirmidzi I, 251, nomor hadits 402).

Atas dasar hadits ini mufakat para ulama menyatakan membaca tahmid bagi orang yang bersin sewaktu shalat hukumnya diperbolehkan. Hanya dalam membaca tahmid itu apakah keras atau secara pelan, di sini para ulama berbeda pendapat. Satu pihak membolehkan membaca tahmid secara keras (artinya dengan mengangkat suara) dengan alasan karena maslahah (ada kebaikannya). Sementara pihak lain tidak membolehkan membaca tahmid kecuali dengan suara pelan (di dalam hati), karena dikhawatirkan mengganggu jamaah shalat yang lain.

Dari pendapat ini kiranya bila kita shalat secara berjamaah maka lebih bagus membaca tahmid usai bersin secara pelan atau dalam hati saja agar tidak mengganggu orang lain. Sedang dalam shalat sendiri, misalnya shalat-shalat sunnah, bolehlah membaca tahmid dengan mengangkat suara. Atau kita juga boleh memilih diam saja, tidak membaca dengan keras juga tidak membaca pelan, dengan alasan keluar dari perbedaan pendapat. Dari sini ternyata kita dipersilahkan memilih dari sekian keluasan ajaran agama Islam. Maka sesuaikan pilihan kita dengan situasi kondisi dan lingkungan di mana kita berbeda.[]

May 16, 2009

Mengqodlo Shalat Orang yang Sudah Meninggal

Seorang yang sudah meninggal (mayit) meninggalkan hutang sholat fardu. Apakah anaknya atau ahli warisnya boleh mengqodlo hutang shalat fardu tersebut? Dan bagaimana kalau itu adalah wasiat?

Abdullah, Sampang.

Jawaban:
Ibadah shalat adalah kewajiban individu yang harus dipelihara pada kondisi apapun selama kita masih hidup baik sewaktu di rumah, berpergian, waktu aman, maupun waktu tidak aman seperti peperangan. Hanya saja teknis pelaksanaannya ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan situasi kondisi. Bisa di atas kendaraan. Jika tidak dapat berdiri, boleh duduk. Tidak bisa duduk, dapat dengan berbaring. Tidak bisa berbaring, boleh dengan tidur telentang, berikutnyaa boleh dengan isyarat tubut atau dengan isyarat mata. Walhasil dalam kondisi apapun shalat sekali-kali tidak boleh ditelantarkan karena waktu-waktu shalat telah ditetapkan dengan jelas. Menelantarkan shalat setidak-tidaknya mengindikasikan dilakukannya sikap dan perilaku laksana sikap dan perilaku orang-orang yang kafir. Allah ta’ala berfirman yang artinya:


“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Atas dasar ini para ulama sepakat orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan hutang shalat fardu yang belum ditunaikan maka kerabat dekatnya dan juga orang lain tidak boleh melakukan shalat dalam rangka menebus atau mengganti shalat mayit yang dihutang tersebut. Tidak bisa pula menebus dan menggantinya dengan memberi makan (fidyah) kepada orang-orang miskin. Karena sekali lagi shalat fardu adalah ibadah individual yang pelaksanaannya tidak bisa digantikan oleh orang lain. Meski pun melalui kekuatan wasiat. Karena wasiat tidak wajib dilestarikan pada hal yang tidak ada tuntunannya.

Sahabat Ibnu Abbas berkata yang artinya:

“Seseorang tidak boleh shalat dalam rangka menggantikan shalat orang lain.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).

Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan. Bila mayit memiliki hutang puasa sebab udzur tertentu, menurut Imam Ahmad dan sebagian Syafi’iyah, wali atau famili terdekat bisa menebus dan mengganti puasanya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ats Tsauri, dan sebagian Syafi’iyah, kerabat dekat tidak usah menggantinya dengan puasa, namun cukup menebusnya dengan membayar fidyah. (Ahkâmus Shiyam: 77 dan Al Fiqh Al Islam: 682).

Demikian itu berdasarkan riwayat yang artinya:

“Barangsiapa mati meninggalkan puasa, hendaklah walinya berpuasa sebagai gantinya.”
(HR. Bukhari Muslim).

Pada riwayat lain yang artinya:
“Seseorang tidak boleh puasa dalam rangka menggantikan puasa orang lain. Tetapi dia memberikan makan satu mud gandum sehari.” (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).

Meskipun kerabat dekat tidak diperkenankan mengganti tanggungan shalat fardu mayit yang ditinggalkan, namun mereka agaknya bisa mendoakan semoga dosa-dosa ayahnya atau yang lain akibat meninggalkan shalat fardu diampuni oleh Allah ta’ala. Tidak ada doa yang baik sebaik doa anak kepada orang tuanya.[]

May 11, 2009

Hamba Pilihan Allah

Serial Siroh

Selama ini belum ada seorang ahli yang memastikan berapa jumlah hamba Allah semenjak Nabi Adam as. hingga akhir zaman di muka bumi ini. Di zaman sekarang saja, umat manusia diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih enam miliar. Lalu, berapa hitungannya bila hamba Allah seluruhnya digabung semenjak lahirnya Nabi Adam as. atau semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw. hingga zaman yang mengiringi kiamat? Hanya Allah Ta’ala yang mengetahui secara pasti.

Di antara hamba-hamba Allah yang jumlahnya tak terhitung itu, ada yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai hamba pilihan. Makna pilihan secara sunattulah berarti hamba tersebut lebih unggul, lebih tinggi, dan lebih mulia dibanding dengan hamba-hamba yang lain. Siapakah hamba-hamba pilihn itu? Allah Ta’ala berfirman yang artinya

Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.“ (QS. An Naml: 59)

Hamba-hamba Allah pilihan yang dimaksud di dalam ayat tersebut menurut pendapat Sufyan At Tsuariy dan As Suddy yang dinukil dari pendapat Abdullah bin Abbas adalah para sahabat Rasulullah saw. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thobariy. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir III/448, dan Mukhtashar Tafsir Ath Thobariy II/44).


Pelajaran yang dapat diambil adalah para sahabat oleh Allah dijadikan sebagai hamba-hamba pilihan? Derajat ini satu sisi tidak lepas merupakan fadl (anugerah) yang dikehendaki oleh Allah. Jadi, terhadap derajat ini manusia tidak boleh iri. Sisi lain fadl yang berharga tersebut tidak akan dilimpahkan begitu saja. Dalam diri sahabat pasti ada kelebihan perbuatan yang dilakukan dalam kaitannya sebagai hamba Allah yaitu dalam hal aktivitas penghambaan kepada-Nya. Sisi ini yang seharusnya diteladani.

Imam An Nawawiy menceritakan bahwa para sahabat di Madinah bila umur telah mencapai 40 tahun maka mereka jungkung (tafarrugh) untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Mereka menghabiskan umurnya semenjak itu khusus untuk kegiatan ibadah. Tidak ada aktifitas bagi mereka yang lebih diutamakan selain beribadah kepada-Nya. Istfghfar, taat dan menghadap Allah Ta’ala menjadi prioritas utama dalam hidup mereka agar di akhir umurnya mereka menggapai khusnul khotimah sebab akhir umur itulah yang menjadi penilaian. Bukan malah “tua-tua keladi”, makin tua makin menjadi-jadi dalam menggeluti kemaksiatan. Ini sebagai bentuk pengamalan “keprihatinan” firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fâthir: 37)

Sayyidah Fathimah, sahabat wanita sekaligus putri Nabi saw. digelari Al Batûl karena beliau memanfaatkan hidupnya untun beribadah secara total (bukan memforsir diri sampai jenuh). Bagi istri sahabat Ali bin Abi Thalib ini, tiada waktu tanpa beribadah. Sekalipun beliau putri manusia paling mulia, beliau tidak mengandalkan derajat orang tuanya. Beliau menggali sendiri derajatnya melalui mobilisasi ibadah secara habis-habisan, baik ibadah langsung maupun ibadah tidak langsung. Ibadah tidak langsungnya, seperti dimaklumi, adalah husnuttaba’ul yakni khidmah kepada suaminya di dalam urusan rumah tangga. Sekalipun ini tidak besar namun kedudukannya agung menurut Allah Ta’ala sebab Nabi Sholallahu Alaihi Wassallam pernah menjawab pengaduan sahabat wanita bernama Ummu Salamah dan kawan-kawannya, “Kebaikkan di dalam khidmah urusan rumah tangga (husnuttaba’ul) sama nilainya dengan jihadnya laki-laki di medan perang.”

Kesabaran para sahabat di dalam ketaatan beribadah diimbangi dengan kesabaran melakukan ketaatan dalam menjauhi dosa sekecil apapun. Sahabat Anas bin Malik pernah menceritakan ihwal para sahabat dalam hal menjauhi dosa. Ia berkata di hadapan tabi’in, yang artinya:

“Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan (dosa) yang lebih lembut menurut pandangan matamu, padahal sesunggunya kami di masa Rasullah Sholallahu Alaihi wassalam mengganggap perbuatan dosa yang lembut itu sebagai muubiqot (perbuatan yang merusak amal).” HR. Bukhory, lihat Riyadl, 63.

Sahabat Bilal bin Saad berkata, “Kamu jangan melihat kecilnya dosa namun lihatlah keagungan Dzat yang berbuat dosa kepada-Nya. Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya orang mukmin melihat dosanya seperti berada di lereng gunung. Ia takut kejatuhan gunung itu. Sedang orang fajir melihat dosanya seperti lalat menghampiri hidungnya.” (Dalilul Falihin, I/292). Perkataan dua sahabat ini menunjukkan bagaimana sikap sahabat di dalam menjauhi perbuatan dosa.

Bagi sahabat, jangankan berbuat dosa, mengamalkan perkara subhat saja dianggap sebagai bentuk kemaksiatan. Diceritakan oleh Imam Malik bin Anas bahwa seseorang memberikan susu kepada sahabat Umar bin Khottob. Ketika beliau mengetahui bahwa susu yang diminumnya itu sumbernya tidak jelas maka sahabat yang menjadi kholifah setelah Abu Bakar ini memaksa dirinya untuk memuntahkan susu yang telah diminumnya tersebut dengan cara memasukkan jari-jari tangan ke mulut beliau.” (Muwatha’: Tanwirul Hawalik I/257).

Keunggulan sahabat dari sisi penghambaan ditunjukkan pula oleh sikap pasrah (tawakkal) kepada Alloh Ta’ala dalam menerima musibah dan takdir buruk yang terbukti mengagumkan. Menurut lumrahnya manusia, ketika sakit ia akan berobat dan ini dibolehkan oleh syara’. Tidak demikian halnya dengan sahabat, sekalipun ditakdirkan sakit, mereka tetap sabar dan ridho menerimanya (tidak berobat). Ini disebabkan keyakinan mereka bahwa kondisi sakit merupakan ujian, dan ujian merupakan pintu kenaikan tingkat. Sakit sesungguhnya tidak berpahala, yang menjadikan berpahala adalah kesabaran menerima penyakit itu. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari orang-orang yang mencapai hakikat sebagaimana dicontohkan oleh sahabat Imron bin Hushein.

Sahabat Imron bin Hushein pernah menderita sakit bawasir (ambien). Nabi Sholallahu alahi wassalam menjenguknya dan minta sahabatnya ini memilih di antara dua pilihan: sembuh dari penyakit atau tidak sembuh namun malaikat setiap hari mengucapkan salam kepadanya. Oleh sahabat yang digelari Abu Nujaid ini, memilih yang kedua sekalipun ia harus menderita sakit selama 30 tahun.

Kejadian yang hampir sama dengan sahabat Imron bin Hushein adalah seorang sahabat wanita. Sahabat wanita tersebut berkulit hitam bernama Su’airoh. Ia menderita penyakit epilepsi (ayan). Ia matur kepada Nabi Sholallahu alaihi wassalam,

“Sesungguhnya aku adalah penderita epilepsi.Berkali-kali terbuka auratku. Mohonlah Tuan mendoakanku agar di saat kambuh, auratku tidak terbuka.” Sabda Nabi, “Jika kamu menghendaki sabar maka kamu akan mendapatkan surga; Jika menghendaki sembuh maka akan aku doakan.” “Aku pilih bersabar saja, tapi doakanlah agar tidak sampai terbuka auratku.” Nabi kemudian mendoakan supaya tidak terbuka auratnya di saat penyakitnya kambuh. HR. Muttafaq Alaih, lihat Riyald. Hadits no. 35.

Kesabaran sahabat di dalam ujian ini merupakan nilai tersendiri. Nabi Sholallahu alaihi wasallam menyebut bahwa ciri-ciri hamba Alloh yang akan masuk surga tanpa hisab adalah manusia yang tidak mempercayai praktik jampi (pengobatan), tidak mau dijampi, tidak gugon tuhon, dan kuat tawakalnya kepada Allah Ta’ala. (Muttafaq Alaih, lihat hadits Riyadl, no.74).

Salam Penghormatan

Kedudukan sahabat sebagai hamba-hamba Alloh pilihan menjadikan mereka pantas untuk diberikan salam baik di dunia maupun di akhirat. Salam di akhirat sudah jelas, yakni berupa kebahagian di surga. Sedang di dunia, sala itu berupa penghormatan. Seluruh alam menaruh hormat kepada generasi lapisan pertama ini setelah hormat kepada Nabi Sholallohu alaihi wasallam dan ahlul bait. Karena itu, sudah menjadi sunnah di saat mengawali setiap pidato, diucapkan, yang artinya:

“Segala puji bagi Alloh Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan terlimpahkan kepada semulia-mulianya para nabi dan para utusan, kepada keluarganya, dan kepada para sahabatnya semua."

Imbalan
Atas penghambaan yang sedemikian tinggi, para sahabat di dalam hidupnya oleh Allah Ta’ala diberikan imbalan berupa tidak akan ditimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan banjir, sebagaimana yang pernah menimpa pengikut-pengikut nabi sebelum mereka. Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bersabda

“Aku memohon kepada Tuhanku agar tida menghancurkan umatku dengan bencana banjir dan Dia mengabulkan; Aku juga memohon kepada-Nya agar tidak menghancurkan umatku dengan paceklik dan Dia mengabulkan.” HR. Muslim.

Hamba seperti kita tidak mungkin menggapai kedudukan sebagaimana sahabat. Walaupun demikian, masih ada kesempatan bagi kita untuk meneladani kiprahnya dengan cara memobilisasi ibadah secara habis-habisan, menjauhi dosa sekecil-kecilnya, serta pasrah diri secara penuh kepada Alloh yang mempunyai hak preogratif untuk memilih hamba-Nya. Dengan harapan, mudah-mudahan memperoleh limpahan berkah sebab tasyabbuh (menyerupai) pada perbuatannya. Sebuah bait syi’ir menyatakan:

“Jika kalian tidak mampu seperti mereka maka bertasyabbuhlah. Sesungguhnya bertasyabbuh dengan orang-orang mulia merupakan keberuntungan.”
(Mukaddimah Rawai’ul Bayan, Ali Ash Shobuniy: I/10).[]