Sep 21, 2014

Masalah dalam Qurban

Pertanyaan:

Dalam kesempatan kali ini saya mau bertanya sehubungan dengan adanya pendapat yang saya kurang tahu dasar hukumnya, antara lain :
1.      Mengenai batas penyerahan hewan qurban kepada panitia kurban. Apakah sebelumnya/sesudah shalat Id atau masih bisa dengan batas tiga hari? Mohon penjelasan serta dasarnya.
2.      Apabila penyembelihan hewan kurban tidak dilaksanakan oleh panitia kurban, melainkan dilakukan sendiri oleh beberapa kelompok tertentu. Misalnya: satu RW biasanya ada panitia kurban yang dipusatkan di Mushalla atau masjid. Jika ada yang menyembelih sendiri, misalnya untuk satu RT, selain panitia qurban, apakah boleh ?
3.      Sebenarnya berapa bagian yang diterima oleh orang yang berqurban?
4.      Bagaimana jika saat melakukan puasa Daud bertepatan dengan hari dimana puasa diharamkan? Demikian masalah yang saya sampaikan. Atas perhatian dan jawaban Kyai saya sampaikan terima kasih.

Indra Siswa Rini, Jl. Manukan Krajan IV/40 Surabaya 60185


Jawaban:

Jumhur Ulama berpendapat, waktu menyembelih hewan kurban adalah setelahnya shalat Id sampai pada batas akhir tiga hari tasyriq. Jadi, tersedia waktu selama empat hari. Sementara dahulu seorang sahabat bernama Abu Burdah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat, dan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikatakan sah maka itu adalah aturan yang ditentukan padanya saja secara khusus. Hal ini berdasarkan pada hadist:

مَنْ ضَحَّى قَبْلَ الصَّلاَةِ فَاِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَاَصَابَ سُنَّةَ اْلمُسْلِمِيْنَ
"Barangsiapa menyembelih kurban sebelum sholat, sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih setelah sholat maka telah sempurnalah ibadahnya dan sesuai dengan sunnah orang-orang Islam". (HR. Muslim)

أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ كُلُّهَاذَبْحٌ
"Hari-hari Tasyriq seluruhnya adalah waktu untuk menyembelih qurban". (HR.Thobaroni, lihat Majmauz Zawaid Jilid II hlm.25)

Sedangkan teknis penyembelihan hewan kurban, orang yang berqurban boleh melakukannya sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menyembelih hewan qurbannya dengan tangan beliau sendiri. Boleh pula penyembelihannya diwakilkan orang lain yang lebih ahli, sebagaimana beliau mengizinkan sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menyembelih hewan kurban beliau. Apabila penyembelihannya diwakilkan kepada orang lain, maka dianjurkan kepada orang yang berkurban untuk menyaksikan proses pelaksanaan penyembelihan. Sebagaimana perintah beliau kepada putri beliau, Fathimah Azzahra’. Lihat Shahih Muslim Jilid VI hlm.78, Majmu’ Jilid VIII hlm.405. dan Jam’ul fawaid min Jamiil Ushul jilid I hlm.203.

Mengenai pembagian daging qurban, asal bukan qurban nadzar, maka orang yang berkurban berhak mengambil sebagian daging kurban dan selebihnya disedekahkan kepada fakir miskin. Sebagian Ulama berpendapat: Daging qurban didistribusikan menjadi 3 bagian; sepertiga dimakan (oleh orang berkurban), dan sepertiga lagi untuk disimpan (oleh orang yang berkurban). Sementara Imam Syafi’i dalam qoul Jadidnya berpendapat, sepertiga untuk dimakan dan dua pertiganya untuk disedekahkan. Hal ini didasarkan pada Al Qur’an surat Al Hajj, ayat 28 dan Hadist :
وَكُلُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَادَّخِرُوْا
Makanlah dan bersedekahlah dan simpanlah.(HR. Abu Dawud)

Adanya hak orang yang berkurban mengambil daging qurbannya demikian itu tidaklah mengurangi nilai ibadah qurbannya. Oleh karena nilai berkurban telah terwujud pada proses penumpahan darah hewan qurban. Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah menjual daging kurban atau memberikan upah berupa sebagian daging kurban kepada orang yang diserahi menyembelih.( Lihat Fiqh Al Madzahib Al Arba’ah jilid I hlm.723).

Berkaitan dengan puasa daud yang teknisnya sehari berpuasa dan sehari berbuka maka hal itu adalah dalil umum. Sementara keberadaan dalil umum diberi ketentuan (ditakhsis) oleh nash-nash yang mengharamkan puasa pada hari-hari tertentu. Seperti pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzukhijjah). Pada ketiga kesempatan itu, Ulama seluruhnya berijma’ akan keharaman puasa didalamnya, baik puasa fardlu maupun puasa sunnah. Sedangkan pada hari Syak (yakni tanggal 30 bulan Sya’ban) dimana diharamkan berpuasa bagi mereka yang tidak punya kebiasaan berpuasa, maka bagi orang yang berpuasa daud dipersilahkan berpuasa (Lihat Ahkamus Siyam 50).

Dari sini orang yang berpuasa daud apabila hari puasanya bertepatan dengan hari-hari haram berpuasa, maka hendaklah ia berbuka.

Sep 15, 2014

Hikmah Ta'lim Pagi, 15 September 2014

Cukuplah kisah Luqmanul Hakim bersama anaknya, bahwa kita ini tidak akan pernah selamat dari lisan manusia. Lukman mengajak anaknya membawa keledai dan melewati 5 desa. Pada desa pertama keledai tidak dinaiki maka keluar komentar, "Dasar punya keledai tidak di naiki." Memasuki desa ke dua, Luqman menaiki keledai, penduduk desa tersebut berkomentar, "Dasar orang tua tidak kasihan sama anak." Pada desa ke tiga, berganti anaknya naik dan Luqman turun, penduduk desa itu pun berkomentar, "Dasar anak tidak kasihan sama orang tuanya." Masuk desa ke empat, keduanya naik di atas keledai. maka penduduk desa itu pun berkomentar, "Dasar orang tidak kasihan pada hewan, keledai kecil dinaiki dua orang. Maka ketika akan masuk desa kelima, Luqman berkata pada anaknya, "Nak, sekarang tinggal satu, mari biar keledai ini yg naik punggung kita." Begitulah gambarannya, bahwa kesepakatan manusia adalah tujuan yg tidak akan tercapai. Pasti ada cara pandang yg tak sama. Tinggal kita dan pendirian kita. Pepatah mengatakan, "Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu."

Pujon, 15 September 2014, diresume | zulfikar kamal

Jul 15, 2014

Quote of a Day

حَسْبِىَ الرَّبُّ مِنَ الْمَرْبُوْبِيْنَ حَسْبِىَ الْخَالِقُ مِنَ الْمَخْلُوْقِيْنَ حَسْبِىَ الرَّازِقُ مِنَ الْمَرْزُوْقِيْنَ حَسْبِىَ السَّاتِرُ مِنَ الْمَسْتُوْرِيْنَ حَسْبِىَ النَّاصِرُ مِنَ الْمَنْصُوْرِيْنَ حَسْبِىَ الْقَاهِرُ مِنَ الْمَقْهُوْرِيْنَ حَسْبِيَ الَّذِيْ هُوَ حَسْبِى مَنْ لَمْ يَزَلْ حَسْبِى, حَسْبِيَ الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ حَسْبِىَ اللهُ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِهِ,

“Cukuplah Tuhanku (sebagai Pelindung) dari makhluk yang diciptakan-Nya. Cukuplah bagiku Allah sebagai Pencipta dari para makhluk. Cukuplah bagiku Allah sebagai Pemberi rezeki dari pada mereka yang diberi rezeki. Cukuplah bagiku Allah sebagai penutup aibku daripada orang-orang yang ditutupi. Cukuplah bagiku Allah sebagai pembela dari pada orang-orang yang dibela. Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Menundukkan dari pada orang-orang yang ditundukkan. Cukuplah bagiku Allah sebagai pelindung yang senantiasa melindungi. Cukuplah bagiku Allah sebagai Penolong dan Dialah sebaik-baik Penolong. Cukuplah bagi Allah sebagai Pelindung dari semua makhluk-Nya.”

Shalat Isya’ di belakang Tarawih

Pertanyaan:

Seseorang datang di Masjid dan mendapati orang-orang sudah shalat Isya’ dan kini sedang menjalankan shalat Tarawih. Ia lalu niat shalat Isya’ dan bergabung dengan mereka. Bagaimanakah hukum shalat Isya’ orang tersebut?

Muhammad, Gunung Sari Batu Malang



Jawaban:

Seseorang dianggap telah mendapat keutamaan shalat berjama’ah meski ia baru datang dan bertakbir ketika Imam telah duduk Tahiyyat Akhir. Termasuk kemudahan lagi dalam beroleh keutamaan shalat berjama’ah adalah ketika status shalat Imam dan shalat Ma’mum tidak harus sama. Bisa jadi status shalat Imam adalah sunnah dan shalat Ma’mum adalah wajib seperti diriwayatkan oleh Jabir ra bahwa Muadz bin Jabal ra mengikuti shalat berjamaah Isya’ bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


Setelah sampai di kampungnya, Muadz pun shalat kembali menjadi Imam bagi penduduk kampungnya yang ketika itu belum shalat Isya’. (HR Bukhori Muslim). Atau status shalat Imam adalah wajib dan shalat Ma’mum adalah sunnah seperti disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat seorang shalat sendirian, Beliau lalu bersabda: “ Adakah seseorang yang akan memberikan sedekah kepadanya, lalu mau shalat bersamanya “ [ HR Abu Dawud Turmudzi Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban Hakim ]

Jul 11, 2014

Da’i Batu Asah


QS al Baqarah:44

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidak-kah kalian berakal

Analisa Bahasa

Al Biirr            : Adalah bahasa untuk segala jenis ketaatan dan amal-amal shaleh yang menetapkan adanya pahala. Sebaliknya adalah al itsmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Kebaikan adala budi pekerti yang baik.Dosa adalah hal yang meragukan hatimu serta kamu tidak suka orang lain mengetahuinya”(HR Muslim/2553)

Analisa Ayat

Sebab firman Allah ini ditujukan kepada para pendeta dan tokoh-tokoh Yahudi yang getol menyuarakan kebaikan dan amal shaleh di kalangan umat dan pengikut mereka. Akan tetapi justru kelakuan mereka sangat berbeda dengan apa yang mereka suarakan. Kelakuan seperti itu sangatlah buruk bagi mereka dalam pandangan Allah sehingga Allah berfirman; “..Maka tidak-kah kalian berakal“.
Betapapun asalnya ditujukan kepada Bani Israil, muatan ayat ini secara umum juga berlaku bagi siapapun dari kita umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang memberikan nasehat, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran agar berusaha menjalankan seperti yang diperintahkannya serta menjauhi apa yang dicegahnya.
Memerintahkan suatu kebaikan tanpa berusaha untuk bisa menjalankan adalah laksana lampu yang memberikan penerangan pada lingkungan sekitar tetapi dirinya justru terbakar. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda;

مَثَلُ الَّذِى يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ
Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia dan melalaikan dirinya sendiri adalah seperti lampu yang menerangi manusia (tetapi justru) membakar dirinya sendiri” (HR Thabarani dengan sanad shahih)

Orang yang senantiasa menyuruh orang lain agar melakukan kebaikan, tetapi dirinya sendiri tidak melakukan kebaikan yang diperintahkan juga laksana seperti batu asah yang aktif menajamkan pisau tetapi tidak pernah bisa memotong. Dalam syair dikatakan:
فَيَا حَجَرَ الشَّحْذِ حَتَّى مَتَى      تَسُنُّ الْحَدِيْدَ وَلَمْ تَقْطَعِ
Duhai batu asah, sampai kapankah kamu terus menerus menajamkan besi, tetapi tidak pernah bisa memotong

Seorang penyeru kebaikan tanpa mau belajar menjadi pelaku kebaikan adalah orang-orang yang pernah disaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam Isra’; [Pada malam diisra’kan, aku menyaksikan orng-orang yang lidahnya dipotong dengan gunting-gunting dari api. Aku bertanya: Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab: “Mereka adalah para pengkhutbah dari umatmu. Mereka memerintahkan kebaikan tetapi melupakan diri mereka sendiri. Padahal mereka membaca al kitab. Apakah mereka tidak berakal?”] (HR Ibnu Hibban. Ibnu Abi Dun’ya dalam Kitabus sumti)

Dalam riwayat Ibnu Abi Dun’ya: Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pada malam isra’ aku menyaksikan kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting-gunting dari api. Setiap kali dipotong maka lidahnya kembali lagi. Aku bertanya: Siapakah mereka? Jibril menjawab: Para pengkhutbah dari umatmu. Mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan”
Orang-orang tersebut dihari kiamat juga akan menerima bentuk siksaan seperti disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: [Pada hari kiamat didatangkan seseorang yang lalu ia dilemparkan ke neraka. Isi perutnya terburai sehingga ia lalu berputar-putar membawa isi perut tersebut seperti halnya himar memutar gilingan. Penduduk nereka segera berkumpul mengelilinginya. Mereka bertanya: “Wahai fulan, ada apa denganmu, bukankah dulu kamu telah memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?” Ia lalu menjawab: “Ia, aku dulu memerintahkan kebaikan tetapi tidak mau melakukan. Aku mencegah kemungkaran tetapi aku malah melakukannya”](HR Bukhari Muslim)

Kendati sebuah peringatan agar kita para da’i mawas diri untuk terus berbenah memperbaiki diri sendiri, firman Allah ini juga merupakan sinyalemen kondisi akhir zaman berupa kemunculan para penyeru kebaikan, tetapi bukan sebagai pelaku kebaikan. Inilah isyarat kemunculan orang-orang yang lebih senang berbicara daripada berbuat. Sebuah fenomena di mana khalayak lebih melihat dan mudah terpesona ulasan dan penjelasan indah daripada usaha-usaha dan langkah nyata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya diriku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin atau musyrik atas umatku karena seorang mukmin akan dikendalikan oleh keimanannya dan seorang musyrik akan dihancurkan oleh kekafirannya. Akan tetapi aku mengkhawatirkan atas kalian seorang munafik yang alim lidahnya (Alimul lisan); ia mengatakan apa yang kalian mengerti dan melakukan apa yang kalian ingkari” (HR Thabarani)

Seorang penyeru kebaikan yang tidak melakukan kebaikan, meski ia dicela dan disiksa, bukan berarti menafikan pahala yang diterimanya atas seruan kebaikannya. Karena jelas bahwa orang yang menunjukkan kebaikan adalah seperti orang yang melakukan kebaikan. Hal ini sama seperti ketika disebutkan bahwa orang miskin lebih dulu memasuki surga daripada orang kaya dalam rentang wakru setengah hari atau lima ratus tahun dalam hitungan hari-hari dunia, maka bukan lantas difahami bahwa derajat orang miskin di surga lebih tinggi daripada orang kaya.
Karena itu, marilah terus menyerukan kebaikan. Sebab jika tidak diserukan maka kebaikan-kebaikan akan semakin ditinggalkan.

Dari terus menyuarakan, Insya Allah kita akan belajar dan termotivasi untuk menjadi orang baik. Dan yang perlu dicatat di sini bahwa al birr dalam firman Allah di atas  dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai budi pekerti yang baik dan sementara ulama memberikan bimbingan bahwa kedermawanan adalah kunci memasuki budi pekerti yang baik, maka belajar menjadi orang yang dermawan adalah urgensi bagi penyeru kebaikan.  Allahu a’lam.



Jul 6, 2014

Menabung di Bank

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya menabung di sebuah bank konvensional. Saat ini saya menabung di bank tersebut karena pelayanannya yang baik dan jaringannya luas. Untuk informasi, di Semarang juga ada bank Muamalat, tapi jaringannya belum banyak sehingga menyulitkan saya. Sekali lagi saya menanyakan apakah berdosa kalau saya menabung dengan niatan mempermudah menabung dan mengambil uang?

Anton Wahyu Nugroho, ST, Jl. Dr. Wahidin No. 61 Semarang 50253

Jawaban:

Kaitan diperbolehkannya berhubungan dengan perkara yang haram menurut syariat Islam ialah karena alasan darurat (terpaksa yakni kalau tidak berhubungan dengan barang haram maka akan mati), atau setidak-tidaknya ialah karena alasan hajat (keperluan yang san­gat). Alasan darurat untuk berhubungan dengan institusi perbankan saat ini kiranya tidak ada, karena masih ada bank Muamalat, bank Syariah, dan sebagainya. Para ulama berpendapat boleh menyimpan uang di bank konvensional karena alasan keamanan. Alasan ini dapat dikategorikan hajat. Jika kemudian alasannya lebih rendah daripada hajat, misalnya untuk kemanfaatan tertentu (mengambil keuntungan dari bunga bank), ini dilarang keras dalam syariat Islam. Mari direnungkan firman Allah Subhanahu wata’ala berikut ini:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوااتَّقُوااللهَ وَذَرُوامَابَقِىمِنَ الرِّبَاإِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلَوْا فَأْدُنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رَءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَتُظْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, takutlah kamu kepada Allah, dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Apabila kamu tidak mengindahkan (tidak menghentikan), ketahuilah Allah dan Rasul-Nya memaklumkan perang kepadamu, dan jika kamu bertau­bat (berhenti), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak berbuat aniaya, dan juga kamu tidak dianiaya". (Q.S. Al Baqoroh: 278-279)

Jika alasan berhubungan dengan bank konvensional adalah hajat, maka keuntungan dari bank (bunga) tidak boleh diambil, karena harta haram. Jalan keluarnya bunga itu menurut Imam Al Ghozali dipakai untuk kemaslahatan umum (Ihya’ Ulumiddin, II/129), sedang menurut Imam Abu Hanifah diberikan kepada fakir miskin (Bulughul Marom, hadits nomor 695 hal. 136). []

Ketika Iman dan Amal Shaleh Berpadu

QS Maryam;96

إِنَّ الّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُ الرَّحْمنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, untuk mereka Allah Maha Pengasih akan menjadikan kecintaan (di hati para hamba)"

Analisa Ayat

Sebagaimana dimengerti bahwa Iman memiliki sekian banyak konsekwensi. Banyak hal yang harus disandingkan dengan Iman. Hal demikian telah dijelaskan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam; "Iman memiliki 60 lebih cabang; yang paling tinggi adalah Laa ilaah illallah dan yang paing rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan"HR. Cabang-cabang ini yang menjadi tanda kehidupan Iman secara singkat dan dalam bahasa lain adaah Amal Shaleh. Jadi Iman harus disertai dengan Amal shaleh. Amal shaleh menjadi begitu penting ketika tanpanya Iman menjadi kering dan dalam waktu singkat sangat mungkin akan segera roboh. Ibarat pohon, Iman adalah akar dan batangnya. Sementara amal shaleh adalah air yang memberinya kehidupan dan menjadikannya berdaun rimbun serta berbuah lebat. Di sinilah akal menemukan salah satu hikmah betapa banyak ayat suci Alqur'an yang menyandingkan Iman dengan Amal Shaleh. Bahkan pada beberapa ayat juga sekaligus disertakan dorongan, janji pahala dan faedah bagi mereka yang mampu menyandingkan dan memadukan Iman dengan Amal Shaleh. Di antara faedah yang dimaksud antara lain seperti disebutkan dalam ayat di atas yang berupa Wudd, kasih sayang dan rasa cinta di hati para hamba.

Wudd di atas secara tiba-tiba memang ditanamkan Allah di hati para hamba sehingga terjadilah peristiwa betapa mereka begitu bersimpati kepada seseorang meski tidak pernah mengenal atau menerima kebaikan dari orang tersebut. Wudd ini semata adalah pancaran cahaya cinta dan kasih sayang Allah kepadanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الله إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيْلَ فَقَالَ يَاجِبْرِيْلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ . فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِي فِى أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ الله يُحِبُّ فُلانَاً فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِى اْلأَرْضِ ...
"Sesungguhnya ketika Allah telah Mencintai seorang hamba, Dia berseru kepada Jibril, "Hai Jibril, sesungguhnya Aku Mencintai seseorang maka cintailah ia" Jibril pun mencintainya. Kemudian ia berseru di kalangan penduduk langit, "Sesungguhnya Allah Mencintai seseorang maka silahkan kalian mencintainya" Penduduk langit pun mencintainya sehingga lalu diletakkan untuknya Qabul (penerimaan) di (kalangan penduduk ) bumi…"HR Ahmad.

Abu Darda' ra berkirim surat kepada Maslamah bin Mukhallad yang kala itu menjadi gubernur di Mesir. Surat ini berisi, "[Salam sejahtera atas anda. Amma ba'du. Sesungguhnya jika seorang hamba menjalankan ketaatan kepada Allah maka Allah pasti mencintainya. Ketika Allah telah mencintainya maka Dia akan Menjadikan para hambaNya menjadi para pecintanya. Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kemaksiatan maka Allah pasti membencinya dan bila Allah membencinya niscaya Dia akan menjadikan para hambaNya ikut serta membencinya.] (Disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam al Asma' was Shifaat)

Agar buah ini bisa dihasilkan, sebagian ahli makrifat memberikan petunjuk pentingnya seorang muslim yang terbina mewajibkan diri untuk memiliki jiwa yang pemurah (Sakhawatunnafsi), hati yang bersih dari penyakit (Salamatus shadri), serta kasih sayang kepada makhluk Allah seluruhnya (Rahmatul Ummah). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Kalian tidak pernah beriman sehingga kalian saling mengasihi" para sahabat bertanya, "Kita semua adalah manusia penyayang" Beliau bersabda, "Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang dari kalian kepada temannya, melainkan kasih sayang kepada sesama seluruhnya" HR Thabarani.

Sebagian ahli makrifat juga menjelaskan bahwa kecintaan Allah yang berarti kecintaan semua makhluk pasti didapatkan oleh seseorang yang mampu menumbuhkan dalam dirinya lima hal berikut; 1) setia (Wafa') pada janji, 2) menjaga dan mengindahkan batasan-batasan, 3) rela dengan apa yang ada, 4) sabar akan sesuatu yang telah hilang, 5) menurut kepada Dzat yang disembah.

Al Wudd ini didapatkan oleh seseorang karena dengan ini semua, disertai dengan ikhlash, shidiq dan raghbah, ia telah berdiri dalam Maqam Ubudiyyah, sebuah maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Iman. Apalagi jika ia juga telah sampai pada Maqam Ubuudah, maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Ihsan, yaitu ketika ia telah sirna melupakan dirinya serta amal ketaatan yang dilakukannya. Allah berfirman, "tetapi Allah-lah yang memberikan anugerah atas kalian karena Dia telah Menunjukkan kalian kepada keimanan" QS al Hujurat:17. "dan tidak-lah kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar"QS al Anfaal: 170. Di bawah kedua maqam ini adalah Maqam Ibadah; yaitu ketaatan berupa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang merupakah aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Islam .

Selain mendapatkan kecintaan (al \wudd) para hamba yang menjadi tanda kecintaan Allah azza wajalla, seorang yang telah berhasil memadukan Iman dan Amal sholeh juga akan mendapatkan buah lain yang juga tidak kalah lezat dan menyegarkan. Buah lain itu ini adalah khidupan yang baik (al Hayah at Thayyibah).Allah ta'alaa berfirman: "Barang siapa beramal shaleh baik lelaki atau perempuan dan dia seorang yang beriman maka sungguh niscaya Kami akan memberinya kehidupan yang baik dan niscaya Kami akan memberikan balasan pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan"QS An Nahl:97.

Al Hasan al Bashri berkata: "Kehidupan yang baik adalah Qana'ah" atau dengan bahasa lain kekayaan hati. Said bin Juber dan Atha' berkata: "Kehidupan yang baik adalah rizki yang halal". Mujahid dan Qatadah berkata: "Kehidupan yang baik adalah surga karena surga adalah kehidupan tanpa kematian, kekayaan tanpa kemiskinan, sehat tanpa sakit, kekuasaan yang tidak pernah hancur, dan keberuntungan tanpa kesengsaraan". Allah berfirman: "Dan tiadalah seorangpun tahu apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam ni'mat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" QS As Sajdah: 17.

Sebenarnya masih banyak lagi buah yang didapatkan oleh seorang yang mampu menggabungkan Iman dan Amal shaleh seperti halnya kekuatan firasat atau dengan bahasa lain insting yang kuat dan tajam atau mimpi-mimpi yang sering menjadi kenyataan yang dalam bahasa hadits biasa disebut dengan Mubassyiraat dan ditegaskan sebagai bagian daripada Nubuwwah.

Mungkin buah-buah tersebut mampu melecut semangat untuk mendapatkannya, akan tetapi harus disadari bahwa menggabungkan Iman dan Amal shaleh merupakan aktivitas yang berat. Perlu proses untuk menuju ke sana. Dan bila sudah bisa dilakukan pun sangat mungkin tidak bisa bertahan lama kecuali jika memang perangkat menuju ke sana telah dilengkapi dan alat keamanan untuk menjaganya betul-betul canggih. Sarana dan alat tersebut adalah adanya dorongan dari orang lain baik guru, orang dekat, komunitas jamaah dll seperti ditegaskan Allah dalam firmanNya, "Demi masa. Sesungguhnya Manusian dalam kerugian kecuali orang yang beriman, beramal shaleh dan saling berwasiat akan kebenaran dan kesabaran"QS al Ashr. Ayat ini memberikan ajaran betapa manusia seluruhnya sengsara kecuali yang beriman. Keimanan pun masih dalam bahaya jika tidak disertai amal shaleh. Amal shaleh tidak pernah akan eksis, berkesinambungan dan meningkat kecuali ada stimulan yang berupa saling memberikan wasiat dan dorongan.

Ibarat seorang pencari ilmu yang kegilaannya menjadikan dirinya berusaha sekuat tenaga mencari ilmu dan mengembangkan pengetahuan dengan berbagai media yang bisa dilakukan. Begitulah kiranya seorang yang memiliki tekad untuk menggabungkan Iman dan Amal shaleh. Ia tidak pernah akan bosan mamacu diri dengan berbagai sarana yang bisa dilakukan baik dengan rajin mengikuti kajian atau menjalani hidup di tengah komunitas yang penuh dengan aktivitas ibadah "Tabahkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyembah Tuhan mereka di waktu siang dan malam..."QS al Kahfi: 28.

Seperti dimaklumi bersama bahwa naluri beragama telah tertanam dalam diri setiap manusia. Hanya saja untuk bisa terlihat,naluri ini perlu mendapatkan stimulasi. Mengikuti kajian dan hidup dalam sebuah komunitas Jamaah dengan seorang guru pembimbing adalah usaha menguatkan stimulan tersebut. Semakin kuat maka semakin gencar pula amal shaleh dilakukan dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa keinginan menggabungkan Iman dan Amal Shaleh sebagai syarat mendapatkan buahnya (al Wudd, al Hayat At Tahyyibah, al Mubasysyirat dan Quwwatul Firasat) hanyalah sebuah keinginan jika sarana dan alat meraih keinginan tersebut belum terwujud. Allahumma waffiqnaa

Jun 26, 2014

Berpuasa tapi tidak Shalat

Pertanyaan:

Banyak orang menjalankan puasa Ramadhan tetapi shalatnya tidak dilaksanakan. Apakah puasa orang semacam ini tetap sah? Bagaimana memandang kasus ini? Harap diterangkan.

Fulan, di Bumi Allah



Jawaban:

Puasa adalah ibadah tersendiri. Dia tidak terkait dengan shalat. Dengan demikian, puasa orang yang tidak shalat tetap dihukumi sah dan insyaallah mendapatkan pahala selama amaliah puasanya ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala. Boleh jadi hal ini karena bulan Ramadhan memiliki daya tarik (magnitude) tersendiri bagi kebanyakan orang untuk turut serta menyemarakkannya. Amal baik yang dipersembahkan untuk Allah subhanahu wata’ala sekecil apapun niscaya ada nilainya dan tidak akan disia-siakan. Di dalam Al Qur’an disebutkan:

فَمَن يَعِمَلْ مَثْقَالَ ذَرَّةٍخَيْرًايَرَهُ، وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia kan melihat balasan-nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun niscaya dia kan melihat balasannya pula". (Q.S. Az Zalzalah: 7-8)


Hanya saja orang yang melaksanakan puasa dituntut hendaknya meningkatkan kapasitas diri dalam menyempurnakan rukun Islam dengan melaksanakan ibadah shalat. Karena tidak kalah dengan puasa, shalat adalah ibadah yang memiliki posisi penting dalam jajaran rukun Islam. Shalat adalah tiang agama. Meninggalkannya adalah kefasikan (perbuatan dosa). Sementara sebagian ulama menyebut meninggalkannya adalah suatu kekafiran. (Shiyamak, Abdul Alim Abdurrahman Assa’di, hal 41& Fiqh Ash Shiyam, Al Qardhawi, hal 143).

Bacaan Khathib saat Duduk di antara Dua Khutbah

Pertanyaan:

KH. Ihya' yang saya hormati, pada waktu duduk di antara dua khutbah Jum’at, apakah ada doa atau dzikir yang disunnahkan dibaca oleh khatib ataukah justru sunnahnya itu khatib diam?  Jazakumullah atas jawabannya.

Khatib Pemula, di Surabaya
Jawaban:

Di antara dua khutbah Jum’at, disunnahkan bagi khatib untuk duduk sebentar, karena hal ini menjadi kebiasaan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sewaktu Beliau khutbah. Lalu tindakan apakah yang sunnah dilakukan pada saat duduk di antara dua khutbah itu? Di dalam hadits disebutkan:

كَانَ النَّبِىُّ صلي لله عليه وسلم يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ: كَانَ يَجْلِسُ إِذَاصَعِدَالْمِنْبَرَ حَتَّي يَفْرُغَ (الْمُؤَذِّنُ)، ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَخْطُبُ، ثُمَّ يَجْلِسُ فَلاَيَتَكَلَّمُ، ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَخْطُبُ

Nabi shalallahu alaihi wasalam khutbah dua kali. Beliau duduk ketika naik mimbar sampai muaddzin selesai dari adzannya. Beliau bangkit dan khutbah. Lalu duduk dan tidak berbicara. Kemudian bangkit dan khutbah lagi. (H.R. Abu Dawud I : 286 nomor 1092 dari Abdullah bin Umar)

Dari hadits ini, sikap yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sewaktu duduk di antara dua khutbah ialah tidak berbicara. Sementara Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa tidak berbicara bukan berarti menafikan dzikir dan atau berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala secara sirri (pelan). Karena itu, pada riwayat Ibnu Hibban, disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pada duduk di antara dua khutbah Beliau membaca kitab Allah subhanahu wata’ala. Dan kitab Allah yang paling utama dibaca waktu itu ialah surat Al Ikhlas. (Syarah Ath Thibi).

Jun 2, 2014

Shalat Jum’at Terlambat

Pertanyaan:

Bapak kyai pengasuh kolom Fasalu. Saya menanyakan kasus. Misalnya saya shalat Jum’at dan terlambat datang. Saya menjumpai imam ketika itu sudah memasuki rakaat kedua. Pada kasus ini sikap apa yang harus saya lakukan? kedua, bagaimana bila saat itu saya datang dan menjumpai imam telah duduk tasyahud (menjelang salam)? Saya mengharapkan jawaban Bapak kyai sekaligus beserta dalilnya agar semakin mantap.

Santri, di bumi Allah Jombang.

Jawaban:

Bila ketepatan datang terlambat pada saat shalat Jum’at dan masih menjumpai rakaat kedua, setidak-tidaknya yaitu menjumpai imam tengah melaksanakan ruku’, maka saudara tinggal melanjutkan menambah satu rakaat yang tertinggal tadi segera setelah imam usai salam, seperti layaknya bila ketinggalan pada shalat fardlu yang lain. Sementara bila keterlambatan saudara sampai menyebabkan tidak menjumpai rakaat kedua sama sekali, seperti hanya menjumpai duduk tasyahudnya imam menjelang salam, maka tindakan yang mesti dilakukan ialah segera melanjutkan shalat empat rakaat. Ini merupakan madzhab yang dipilih oleh Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ibnul Mubarak, dan Suf-yan Ats Tsauri. Menurut ulama pengikut madzhab Syafi'i (Syafi’iyah) tindakan ini dikenal dengan ungkapan: “Shalat tanpa niat dan niat tanpa shalat.”

Dasar dari sikap-sikap tersebut ialah hadits:

مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصَّلاَةِرَكْعَةً فَقَدْأَدْرَكَ الصَّلاَةَ
Barangsiapa menjumpai satu rakaat shalat, sesungguhnya dia telah menjumpai shalatnya. (H.R. Abu Dawud I : 292 nomor 1121 dan Tirmidzi II : 19 nomor 523)


Sedang menurut Imam Abu Hanifah, selama masih menjumpai imam shalat Jum’at meski pun pada waktu tasyahud (ujung rakaat kedua), maka seseorang hanya meneruskan shalat Jum’atnya (dua rakaat), bukan melanjutkan shalat empat rakaat (shalat Dhuhur). (Tuhfatul Ahwadzi III : 62)

May 29, 2014

May 28, 2014

Al Qur’an, Energy Kemuliaan & Rahasia Dibalik Kebersamaan

QS al Baqarah:185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًي لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَي وَالْفُرْقَانِ ...

Bulan Ramdhan adalah bulan di mana Alqur’an diturunkan di dalamnya sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk  itu dan pembeda (antara yang hak dan bathil)…”

Analisa Ayat

Seperti dimaklumi bahwa pada bulan Ramadhan seorang muslim dituntut supaya bersabar dan meneguhkan diri menjalani berbagai macam ritual Ramadhan berupa  puasa, qiyam ramadhan dsb secara total baik fisik ataupun mental semata demi mewujudkan keimanan yang kuat sebagai bekal menuju ketaqwaan. Sementara ada hal sangat penting dan perlu dimengerti ketika dalam ayat ini Allah azza wajalla menyebutkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan di mana terjadi peristiwa agung dan mulia, yaitu Nuzul Alqur’an. Ayat ini menyebutkan Alqur’an bersama bulan Ramadhan sebagaimana halnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Puasa dan Alqur’an sama-sama memberi syafaat kepada seorang hamba kelak di hari kiamat. Puasa berkata: “Duhai Tuhanku, saya mencegahnya dari makanan dan syahwat maka biarkanlah saya memberinya syafaat” Alqur’an lalu berkata:“Duhai Tuhanku, saya menghalanginya tidur di malam hari maka biarlah saya memberinya syafaat”Nabi bersaba:. “Maka syafaat keduanya pun diterima oleh Allah” (HR Ahmad Thabarani Ibnu Abi Dun’ya Hakim). Selain memberi makna bahwa puasa, dalam hal ini adalah di bulan Ramadhan, seyogyanya dihias dengan bacaan Alqur’an. Penegasan adanya Nuzul Alqur’an di bulan Ramadhan juga memiliki hikmah:

A) Keharusan bagi umat Islam untuk bersabar dan meneguhkan diri berjalan mengikuti tuntunan dan petunjuk Alqur’an dalam segala aspek kehidupan tanpa peduli dengan berbagai tantangan dari berbagai pihak dan golongan internal Islam maupun pihak eksternal. Segala keinginan pasti ada tantangan, itulah lakon kehidupan. Termasuk dalam upaya mengibarkan bendera Alqur’an. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.“ QS al Kahfi:54.

Ini karena Alqur’an adalah petunjuk bagi manusia. Di dalamnya penuh dengan penjelasan-penjelasan dan pembeda (Furqaan). Alqur’an datang dengan misi mensucikan Aqidah, membersihkan moral etika, membimbing amal sampai pada tingkat profesional, mendorong kepada jalan keberhasilan, memberi peringatan agar menjauhi jalur-jalur kesesatan dan kecelakaan sebagaimana firman Allah, dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” QS al An’aam:154. “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. QS al Fath:28. Alqur’an juga datang dalam rangka memberikan keputusan dalam segala konflik yang terjadi di antara manusia, “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka… “ QS al Maidah:49.

Alqur’an penuh dengan energy kemuliaan karena ia datang dari Allah Dzat Maha Mulia. Diturunkan dengan iring-iringan dan pawai makhluk mulia yaitu para malaikat yang secara langsung dipimpin oleh Jibril penghulu para malaikat. Alqur’an juga diturunkan pada momen mulia bulan Ramadhan kepada makhluk termulia Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diutus kepada umat termulia dibandingkan umat-umat sebelumnya. Tentu saja kemuliaan ini baru bisa terwujud dan dirasakan oleh umat yang mau menerima Alqur’an secara komprehensif dan aplikatif, bukan hanya sekedar simbolis dengan hanya membeli lembaran-lembaran mushafnya, menaruhnya di rak koleksi dan sesekali waktu membacanya. Kondisi inilah yang sekarang terjadi dalam mayoritas kaum muslimin di seluruh negeri sehingga dari sana sini ada berita kemiskinan, kelaparan, keterbelakangan, kelemahan dan ketidakberdayaan yang seluruh obyek beritanya adalah kaum muslimin kaum yang memiliki kwantitas tangguh tetapi secara kwalitas loyo sebagai akibat tidak mau mengamalkan Alqur’an.

Kondisi demikian bertolak belakang dengan kaum muslimin generasi terdahulu yang memang secara total mengamalkan Alqur’an dalam segala aspek kehidupan baik secara individu, keluarga, masyarakat dan negara sehingga mereka mendapatkan janji Allah berupa kekuasaan, kemenangan dan kesejahteraan sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik “ QS An Nuur:55.

B) Alqur’an mengalami dua proses turun (Nuzul);
(a) Proses Inzal. Turun dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan pada malam Lailatul Qadar sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan“ QS al Qadar:1.
(b) Proses Tanziil. Turun secara berkala (Munajjaman) sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran secara bertahap, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” QS al Hijr:9. juga firman Allah:

تَنْـزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِ
(sebagai wahyu) yang diturunkan secara bertahap oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,“ QS Yasin:05.

Imam Suyuthi rahimahullah berkomentar: [Andaikan hikmah Ilahiyyah tidak menggariskan kedatangan Alqur’an kepada manusia secara bertahap sesuai keadaan yang terjadi niscaya Alqur’an akan turun di bumi secara keseluruhan seperti halnya kitab-kitab sebelumnya. Tetapi, Allah Menjadikan Alqur’an berbeda dengan kitab-kitab terdahulu dengan memberinya dua tahapan; Inzaal dan Tanziil semata demi memuliakan manusia yang menerima Alqur’an (al Munzal alaih]

Dalam proses Tanziil ada sekian banyak maksud dan tujuan:
  1. Meneguhkan hati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi aksi pendustaan orang-orang yang memusuhinya.
  2. Talatthuf, rasa sayang dalam wujud semacam dispensasi untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika menerima wahyu. Sebab haebah, wibawa dan kharisma Alqur’an begitu hebat sehingga andaikan diturunkan kepada gunung niscaya akan hancur lebur.”Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran itulah dia”)QS ar Ra’ad:31.
  3. Bertahap dalam permberlakuan hukum-hukum Islam
  4. Memudahkan kaum muslimin dalam menghafal dan memahami Alqur’an
  5. Mengikuti perkembangan peristiwa yang terjadi dengan harapan bisa lebih mudah dan mengena dalam hati untuk mengambil pelajaran darinya.
Poros dari semua hal ini adalah pentingnya mengamalkan Alqur’an dalam kehidupan nyata sebagai standar nilai segala dimensi kehidupan karena –sekali lagi- Alqur’an adalah petunjuk, cahaya, rahmat, dan obat di mana semua ini betul-betul diresapi dan dihayati oleh malaikat sehingga mereka mengiringnya; berbeda dengan kebanyakan manusia yang kehilangan daya resap dan penghayatan seperti ini sehingga mereka layak disebut oleh Alqur’an: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…“ QS al Maidah:50.

Akhirnya dari keimanan kita akan keberadaan Alqur’an yang diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan memberikan isyarat bahwa Allah memiliki keputusan yang wajib diimani berupa realitas tertulisnya Alqur’an di sisiNya sebelum akhirnya diturunkan secara bertahap ke dunia. Ini juga menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat Maha Luas ilmuNya. Allah A’lam.