Pertanyaan:
A-Saya pernah membaca Kitab Risalah
Muawanah, dan di sana ada bacaan:
وَيَقُوْلُ (رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنِّي َلأَرَي الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِي خِلاَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهُ الْحَذَفُ . يعْنِي الْغَنَمَ الصِّغَارَ
Apa tafsiran dari ungkapan al Hadzaf,
lalu bagaimana kaitan hadits tersebut jika dikaitkan dengan hadits yang
menyebutkan bahwa ketika datang bulan Romadhon maka pintu–pintu surga dibuka, pintu–pintu
neraka ditutup serta setan–setan diikat?
B–Seseorang
dituntut agar mencari ilmu sejak lahir sampai mati, bisakah anak yang baru
lahir itu menuntut ilmu, sedangkan akalnya masih belum sempurna, lantas apakah
anak itu berdosa jika tidak menuntut ilmu, padahal dia baru dilahirkan?
C–Si
Fulan pernah memberikan sumbangan uang ke Masjid untuk pembelian semen. Uang
tersebut diserahkannya kepada Ta’mir Masjid, tetapi oleh Ta’mir uang itu malah
digunakan untuk kepentingan pribadinya. Jika begini apakah uang si Fulan tetap
termasuk amal jariyah? Lalu sampai kapan pahala amal jariyah itu tetap
mengalir?
Muhammad
Adnawi, Pangarangan Sumenep Madura
Jawaban:
A–Ungkapan
ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra tentang pentingnya serta perhatian besar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam soal mengatur barisan dalam sholat. Lengkapnya
hadits tersebut adalah:
رُصُّوْا صُفُوْفَكُمْ وَقَارِبُوْا بَيْنَهَا وَحَاذُوْا بِاْلأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي ..
“Lekatkanlah (rapatkan) barisan kalian, dekatkanlah di
antaranya (antara barisan depan belakang/ sekitar tiga hasta atau tiga kali 48
CM), dan luruskan leher, maka demi Dzat yang diriku ada dalam KekuasaanNya,
sungguh aku melihat setan masuk di sela–sela barisan laksana kambing hitam /
Hadzaf”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud nomor 660 serta juga ditulis oleh Imam
Nawawi dalam Riyadhus Sholihin. Maksud kata al Hadzaf, adalah
sesuai dengan artinya sendiri yaitu anak kambing hitam yang banyak terdapat di
daerah Yaman. Dan memang dalam Hadits ini Rosululloh Saw menjelaskan telah
melihat setan dalam bentuk seperti itu. Fenomena ini tentu saja merupakan salah
satu keistimewaan Beliau Saw selaku seorang Utusan Alloh. Bahkan tidak hanya melihat, Nabi Saw juga sempat
mencekik setan, seperti sabda Beliau Saw yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh:
إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِيْ فَشَدَّ عَلَيَّ لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِيَ اللهُ فَذَعَّـتُّـهُ ,
وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَـهُ إِلَي سَارِيَةٍ حَتيَّ تُصْبِحُوْا فَتَـنْظُرُوْا إِلَيْـهِ ,
فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ :
"رَبِّ هَبْ لِيْ مُلْكاً لاَ يَنْبَغِيْ ِلأَحَدٍ مِنْ بَعْدِيْ
" فَرَدَّهُ الله خَاسِئًا
“Sesungguhnya
setan menggoda dan memaksa supaya memutus sholatku hingga lalu Allah memberiku
kemampuan untuk bisa mencekikya. Sungguh aku ingin sekali mengikatnya pada
salah satu tiang (masjid) hingga pada pagi harinya kalian bisa melihat, tetapi
aku kemudian mengingat do’a Sulaiman: “Ya Tuhanku, berilah diriku kekuasaan
yang tidak seyogya dimiliki oleh seorang pun setelahku” akhirnya Allah mengusir
setan itu dengan hina” HR Bukhori/Bab Ma Yajuuzu Minal Amal Fissholat.
Adapun
hadits tentang pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup serta setan diikat maka
jika semua ini diartikan secara zhohir berarti juga menjadi salah satu
keistimewaan Nabi Saw yang juga masih terkait dengan masalah di atas soal
melihat dan mencekik setan. Sementara jika diartikan lain maka maknanya adalah
bahwa pada bulan Romadhon manusia mudah sekali beramal baik yang layak mendapat
pahala di surga, sementara dia mudah sekali meninggalkan larangan yang akan
menjadikannya masuk neraka serta dalam bulan Romadhon, saat manusia berpuasa
setan seperti terikat, maksudnya pengaruhnya kepada manusia sangat lemah, sebab
setan berjalan dalam diri manusia mengikuti aliran darah, sementara dalam
keadaan berpuasa aliran darah melemah. Wallohu A’lam.
B –
أُطْلبُوُا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَي اللَّحْدِ
“Carilah
ilmu mulai ayunan sampai kuburan”
Ungkapan
ini bukanlah Hadits, kendati telah biasa diungkapkan oleh banyak orang.
Sebagai salah satu buktinya coba anda melihat dan meneliti seluruh kitab –
kitab Hadits yang tersebar maka anda tak pernah akan menemukan ungkapan ini
tertera di sana. Demikian Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah menegaskan dalam Qiimatuz
Zamaan Indal Ulama’. Jika bukan hadits berarti tak ada kewajiban bagi anak
yang baru lahir untuk menuntut ilmu. Meski begitu, dari ungkapan ini dapat
diambil pelajaran bahwa menuntut ilmu harus dilakukan sejak dini dan tak ada
kata berhenti. Ini artinya siapapun dan apapun statusnya seseorang harus terus
berusaha menambah ilmu, yang itu berarti dia tetap butuh pada bimbingan dan
petunjuk orang lain yang lebih pandai darinya, ingatlah bahwa “Dan di atas
orang yang memiliki ilmu ada orang yang memiliki ilmu”QS Yusuf: 76.
Dengan terus menambah ilmu berarti seseorang berpeluang untuk terus
meningkatkan dan merubah amalnya menuju yang lebih baik, sebab barang siapa
yang mandek ilmunya maka mandek pula amalnya. Terus menambah ilmu juga
diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya: “Dan berdo’alah: “Ya Tuhanku,
tambahkanlah ilmu untukku” QS Thoha : 114. Rosululloh Saw sendiri
berdo’a: “Ya Allah, berilah aku manfaat ilmu yang telah Engkau ajarkan
kepadaku, ajarilah aku hal yang bermanfaat bagiku dan tambahilah ilmuku,
dan segala puji bagi Alloh dalam semua keadaan”HR Turmudzi.
Perlu
juga dimengerti bahwa seorang anak tidak termasuk Mukallaf, sehingga dia
baligh. Kendati demikian jika si anak melakukan kebaikan maka ada pahala masuk
ke rekening amal orang tua, sebab anak
adalah hasil usaha dan jerih payah orang tuanya. Sebaliknya jika si anak
melakukan keburukan maka sama sekali tak ada dosa bagi orang tua. Ingatlah
firman Allah: “Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” QS
al An’am: 164. Anugerah Allah ini diperjelas oleh sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam riwayat Anas ra:
الْمَوْلُوْدُ حَتيَّ يَبلَغَ الْحِنْثَ مَا عَمِلَ مِنْ حَسَنَةٍ كُتِبَتْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَمَا عَمِلَ مِنْ سَيِّـئَةٍ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ وَلاَ عَلَي وَالِدَيْهِ فَإِذَا بَلَغَ الْحُلُمَ أُجْرِيَ عَلَيْهِ الْقَلَمُ
“Seorang
bayi sampai dewasa, kebaikan yang dia lakukan ditulis untuknya serta kedua
orang tuanya. Sedang amal keburukan yang dia lakukan tidak ditulis atasnya atau
kedua orang tuanya. Dan ketika dia mencapai dewasa maka Qolam berjalan atasnya”( Fathur Rohiimu Rohmaan.)
C-
Selama si Fulan tulus semata karena Allah dalam memberikan uang itu untuk
membeli semen sebagai amal jariyah baginya maka Insya Allah dia tetap dan terus
akan mendapatkan pahala. Sebab Allah Maha Pemberi anugerah memberi pahala
seseorang karena niat lebih besar daripada memberi pahala karena amal. Sungguh
amal tanpa niat tidak sah dan sama sekali tidak mendapat pahala, sementara
hanya dengan niat seseorang bisa memperoleh pahala besar. Ingatlah sabda Rasulullah
Saw: “Sesungguhnya sahnya amal adalah dengan niat, dan bagi setiap orang apa
yang dia niatkan”Muttafaq Alaihi.
Dalam
Jawahir al Lu’luiyyah (Syarah Arbain an Nawawiyyah milik Muhammad bin
Abdullah al Jardaani ad Dimyathi), disebutkan bahwa pada hari kiamat nanti Allah
berfirman kepada malaikat pencatat amal: “Tulislah untuk hambaKu pahala
begini dan begini!”. Para malaikat pencatat amal bertanya: Ya Alloh, kami
tidak mendapatkan ini semua darinya, atau dalam catatan amalnya. Allah lalu
berfirman: “Dia telah meniatinya”. Disebutkan pula bahwa pada kiamat
nanti ada seorang yang menerima buku catatan amalnya dengan tangan kanan, lalu
di sana dia menemukan haji, jihad dan sedekah, padahal dia merasa tidak pernah
melakukannya. Dia berkata: Ini bukan catatan amalku, sebab aku tidak pernah
melakukan ini semua. Alloh lalu berfirman: “Ini memang catatan amalmu, sebab
kamu telah hidup berusia panjang dan selalu mengatakan: Andai aku punya harta
maka aku akan berhaji, andai aku punya harta maka aku akan bersedekah. Aku
mengerti bahwa itu semua muncul dari kesungguhan niatmu hingga Akupun
memberikan pahala semua itu untukmu”. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُعْطِي الْعَبْدَ عَليَ نِيَّـتِهِ مَا لاَ يُعْطِيْهِ عَلَي عَمَلِهِ
“Sesungguhnya
Alloh pasti memberi seorang hamba karena niatnya apa yang tidak Dia berikan
kepadanya karena amalnya”HR
Dailami.