Jan 24, 2010

Harta Warisan

Pertanyaan
a) Apakah seseorang yang meninggal dengan meninggalkan harta warisan, kemudian harta itu tidak dibagi dengan adil sesuai hukum waris Islam, kelak di akhirat masih diadili karena tidak adil?
b) Bagaimana cara pembagian harta waris jika berupa tanah?apakah harus dikurs dahulu dengan uang, mengingat harga tanah di surabaya dan di daerah tidak sama? Jika demikian, berapa bagian untuk anak laki–laki dan berapa bagian untuk anak perempuan? Ada yang menyatakan jika dikurs dengan uang maka pasti terjadi piutang antar sesama saudara. Benarkah ini?

Imiana M, Surabaya

Jawaban
a. Setelah dipastikan meninggal dunia, maka ada lima hak yang harus ditunaikan secara berurut (Murottabah) yang berhubungan dengan harta peninggalan (Tirkah) Mayyit; 1) Mengeluarkan hak yang berhubungan dengan harta secara langsung seperti Zakat, Jinayat dan Gadai, 2) Biaya lumrah pengurusan jenazah, 3) Hutang–hutang kepada Allah seperti Haji bagi yang mampu atau hutang kepada sesama manusia, 4) Wasiat kepada selain ahli waris dalam batas tidak lebih dari sepertiga (Tsuluts) harta tinggalan, dan 5) warisan secara adil.

Kelima hal tersebut menjadi kewajiban ahli waris untuk menunaikannya. Jadi mereka tidak diperbolehkan langsung begitu saja membagi harta peninggalan sebelum menjalani proses demi proses. Atau sudah menjalankan proses tersebut secara berurutan tetapi pada endingnya yaitu pada masalah pembagian harta warisan mereka berbuat tidak adil maka sungguh di sini Mayyit sama sekali tidak mendapatkan dosa. Ingatlah firman Alloh, “...seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” QS. al An’aam: 164.

b. Dalam masalah Warisan, Islam memiliki satu standar baku bahwa Bagian laki–laki adalah dua kali lipat bagian perempuan, firman Allah SWT: “Allah mewasiatkan bagi kalian (tentang pembagian pusaka untuk) anak – anak kalian Yaitu: Bagian seorang anak laki–laki sama dengan bagian dua anak perempuan...” QS an Nisa’: 11. artinya wasiat Alloh adalah penekanan agar harta warisan dibagi seadil–adilnya sesuai dengan ketentuan Syara’. Para ahli waris harus menerima hak mereka sesuai dengan bagian yang ditentukan oleh Syara’ untuk mereka. Berangkat dari sinilah kemudian studi ilmu Faro’idh memunculkan satu teori pasti yang berbunyi, “Tirkah dibagi asal masalah kemudian dikalikan Siham “. Dibagi dan dikalikan tentunya sudah ada kejelasan berapa jumlah total Tirkah yang itu berarti jika dari Tirkah ada yang berupa benda atau tanah maka harus diperkirakan berapa harganya. Tentu hal ini sesuai dengan kesepakatan para ahli waris.[]

Jan 6, 2010

Mencium Tangan Orang Alim

Pertanyaan:

Tolong jelaskan dasar–dasar hubungan antara anak dan orang tua, murid dengan gurunya atau seorang murid dengan orang alim. Kenapa setiap berjabat tangan kok mencium tangannya?

Mahfuzh Ali, Wates Kediri

Jawaban:

Secara umum dasar yang harus dipegang bagi keberlangsungan serta keharmonisan hubungan antara seorang muda dengan yang lebih tua (khususnya antara anak dan kedua orang tuanya) adalah saling menyayangi dan menghormati. Orang tua harus menyayangi orang muda, sementara orang muda harus menghormati orang yang lebih tua. Prinsip ini dijelaskan oleh Nabi Saw dalam sabda Beliau:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi orang kecil kami dan tidak mengeri orang besar kami maka dia bukan golongan kami” HR Abu Dawud.

Di antara wujud kasih sayang terhadap orang kecil adalah dengan memberikan ciuman, yaitu ciuman kasih sayang, bukan ciuman gairah kenakalan. Abu Huroiroh menceritakan bahwa suatu ketika Nabi Saw mencium Hasan bin Ali dan kebetulan Aqro’ bin Habis ada di situ. Aqro’ lalu berkata: Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang pernah saya cium. Mendengar hal ini, Rosululloh Saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mengasihi maka dia juga tidak dikasihi” HR Bukhari. Kasih sayang kepada anak kecil juga pernah ditegaskan oleh Nabi Saw: “Sesungguhnya aku masuk di dalam sholat dan berniat memanjangkannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil hingga aku pun memperingan (memperpendek) karena kesedihan ibunya” HR Muslim.

Sementara itu, menghormati orang yang lebih tua juga pernah diwasiatkan oleh Nabi Saw kepada Anas bin Malik ra: “Wahai Anas, agungkanlah orang tua, sayangilah orang muda maka engkau akan menemaniku di surga”HR Baihaqi. Ibnu Umar ra juga meriwayatkan sabda Nabi Saw: “ Sesungguhnya termasuk mengagungkan Alloh adalah memuliakan orang muslim yang beruban…” HR Baihaqi. Syekh As’ad Muhammad Said as Shoghorji dalam Syu’abul Iman mengatakan: Wujud memuliakan orang yang lebih tua adalah dengan memberikan tempat kepadanya, memperhatikan ucapannya, mendahulukannya, menjadikannya imam sholat kalau memang dia memiliki kapasitas untuk hal itu serta berbagai macam bentuk memuliakan yang lain (seperti jangan memanggilnya langsung dengan namanya (Njambal. Jawa).

Mengenai menghormati orang alim maka sungguh banyak sekali hal yang harus diketahui, banyak sekali hak–hak orang alim yang harus dipenuhi. Ali bin Abi Thalib ra berkata:” Sesungguhnya hak orang alim adalah anda tidak banyak bertanya kepadanya, tidak memaksanya supaya menjawab pertanyaan anda, tidak memaksanya bila kelihatan agak malas, tidak menyebarkan rahasianya, tidak meneliti keburukannya, jika bersalah maka terimalah alasannya, muliakanlah dia selama dia menjaga perintah Allah, dan jika dia memiliki kebutuhan maka segeralah beri pelayanan”. Dalam at Tibyan, Imam Nawawi menuliskan peringatan : ” Ketahuilah bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang–orang yang meremehkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa siapa yang melepaskan mulutnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati. Dan di antara bentuk memuliakan orang alim adalah dengan mencium tangannya. Hal ini lumrah dilakukan oleh para sahabat kepada Rosululloh Saw atau para sahabat kepada sahabat yang lain. Ummu Abban menceritakan bahwa kakeknya (Zuro’) yang termasuk dalam duta Abdul Qoes bercerita: “Ketika sampai di Madinah kami bergegas turun dari kendaraan untuk mencium tangan dan kaki Rosululloh Saw “ HR Abu Dawud. Kisah Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas yang saling berebut untuk mencium tangan temannya juga menjadi dalil bahwa mencium tangan orang alim memang ada tuntunan dan dalilnya.

Menyayangi orang muda, menghormati yang lebih tua serta memuliakan orang alim juga disebut dalam sabda Nabi Saw:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak mengagungkan yang tua, menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak orang alim kami” (Majma’uz Zawaaid 8 / 14).[]

Jan 3, 2010

Di antara Pelajaran Hijrah Nabi shallallahu alaihi wasallam

Tausyiah Abi Ihya' Ulumiddin Bulan Januari 2010
Tempat: Sentra Dakwah Al Haromain Ketintang Surabaya


Hijrah Nabi kita Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum adalah kepanjangan dari apa yang telah dilakukan para nabi terdahulu alahimussalam yang berupa hijrah dan jihad dalam aktivitas dakwah mereka. Hijrah ini tak lain adalah kelanjutan silsilah penuh berkah di jalan dakwah yang sesungguhnya tersebut. Dan bahkan bisa dibilang bahwa hijrah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah pokok ikatan, hiasan jejak ang penuh berkah dan makhota model yang berhias sulaman emas. Hijrah Nabawiyyah Muhammadiyyah yang menjadi titk tolak kalender Islam sebagaimana telah disepakati para sahabat pada masa khalifah Umar radhiyallahu anhum. Kala itu Umar radhiyallahu anhum. mengumpulkan para sahabat untuk bertukar pendapat terkait perangkat yang bisa mereka gunakan dalam menentukan kalender. Dalam kesempatan itulah Umar radhiyallahu anhum. berkata, “Hijrah telah memisahkan antara yang hak dan bathil, karena itulah gunakanlah ia sebagai kalender!”

Saran ini disetujui para sahabat radhiyallahu anhum. Dan menurut riwayat Abu Nuaim dan al Hakim hal ini dilatarbelakangi surat Abu Musa al Asy’ari radhiyallahu anhum. yang berkirim surat kepada Umar radhiyallahu anhum., “Sesungguhnya saya telah menerima surat-surat tak tertanggal dari anda hingga kami tidak bisa membedakan manakah surat yang terdahulu dan yang belakangan!” surat dari Abu Musa radhiyallahu anhum. inilah yang kemudian mendorong Umar radhiyallahu anhum. untuk segera mengadakan pertemuan tersebut. (Dzikrayaat wa Munaasabaat/40)

Allah azza wajalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muharijin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah…” QS. Al Anfaal: 72

Sungguh para sahabat Muhajirin adalah tipikal manusia yang loyat kepada agamanya dalam menghadapi ujian yang menghadang di depannya. Mereka menghadapi bencana dan ujian dengan kesabaran dan ketabahan hingga ketika akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan instruksi agar berhijrah maka merekapun fokus menjalankannya tanpa menoleh ke belakang, kepada harta benda dan aset-aset kekayaan yang dimiliki. Ini semua demi menyelamatkan agama. Inilah teladan sesungguhnya bagi siapa saja yang memurnikan agama hanya untuk Allah; tidak lagi mempedulikan tanah kelahiran dan harta kekayaan di jalan menyelamatkan agama mereka dan membawanya lari dari fitnah.


Adapun kaum Anshar yang telah menampung, memberikan santunan dan pertolongan maka sungguh mereka telah mempersembahkan teladan yang sesuai bagi ukhuwwah Islamiyyah dan kecintaan karena Allah azza wajalla. Sungguh sebuah upaya yang tidak ternilai harganya. Dari disyariatkannya hijrah ini ada dua hukum syara’ yang bisa diambil;

1. Kewajiban berhijrah dari negeri kafir (Daarul harbi) menuju negeri Islam (Daarul Islam). Imam al Qurthubi meriwayatkan dari Ibnul Arabi bahwa berhijrah seperti inn diwajibkan di masa-masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan masih terus diwajibkan sampai hari kiamat. Sementara hijrah yang telah terputus dengan penaklukan Makkah* hanyalah hijrah menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Dihukumi seperti halnya Daarul harbi adalah semua tempat di mana seorang muslim tidak memiliki kesempatan mengemandangkan syiar-syiar yang berupa shalat, puasa, jamaah, adzan dan berbagai hukum-hukum zhahari Islam yang lain.

2. Kewajiban adanya saling memberikan pertolongan antara sesama muslim; satu dengan yang lain harus memberikan pertolongan betapapun daerah dan negeri mereka berbeda selama hal demikian bisa dilakukan. Dan sudah tidak disangsikan lagi bahwa merealisasikan ajaran-ajaran ilahiyyah seperti ini adalah dasar kemenangan umat Islam sepanjang zaman sepanjang masa seperti halnya mengabaikan ajaran ini dan justru berpaling kepada apa yang bertentangan dengannya sebagai sumber kondisi seperti yang sekarang anda saksikan ini di mana umat Islam lemah, berpecah belah dan menjadi rebutan musuh dari segala arah. Allah berfirman:

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” QS. Anfaal: 73.


***


* Dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

“Tak ada hijrah setelah penaklukan (Makkah), tetapi masih ada jihad dan niat.” HR. Abu Dawud/2477.