يَآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَآمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوْا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُوْ الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Alloh, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan
Alloh mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Anfaal:29)
Makna dan Penjelasan Ayat
Al-Qur’an menjelaskan bahwa
Alloh Swt. akan menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman bakat furqaan
bila mereka bertakwa kepada-Nya dengan makna takwa yang sebenarnya. Takwa yang
bermakna menjaga diri dari siksa Alloh Swt., tidak mendurhakai-Nya dengan
tindakan maksiat dan melaksanakan perintah-Nya. Dengan takwa seseorang akan
mengendalikan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya,
yang berarti ia memenuhi dorongan-dorongan itu dalam batas yang diperkenankan
oleh ajaran agama. Selain itu terkandung perintah kepada manusia agar ia
melakukan tindakan yang baik, berlaku benar, adil, memegang amanat, dapat
dipercaya, dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain, dan
menghindari permusuhan serta berlaku aniaya.
Furqaan adalah bakat
perwatakan manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan membedakan antara hak
dan batil, memilah antara petunjuk dan kesesatan, serta yang manfaat dan yang
mudlarat. Dengannya pula ia dapat menghapuskan noda-noda dosa dari jiwa,
membersihkannya, dan menjaga jiwa agar tidak kembali terkotori olehnya. Alloh
Swt. dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang telah menganugerahkan nikmat
tersebut kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Karunia tersebut diberikan
sebagai fadlol dan ihsan dari Alloh Swt. tanpa perantara dan perwakilan oleh
siapapun. Itulah cahaya ilmu pengetahuan yang setiap pencarinya tidak akan
menemukan kecuali dengan takwa. Itulah hikmah yang telah disebutkan-Nya dalam
Al-Qur’an.
وَمَنْ
يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو
الأَلْبَابِ
“Dan barangsiapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Alloh).” (QS. Al Baqarah:169)
Dari ketakwaan itu kemudian
berbuahlah bakat perwatakan furqaan yang pemiliknya dapat membedakan sesuatu
dengan sumber kesadaran ilmu, hikmah, dan amal perbuatannya. Hidup orang yang
bertakwa diberkahi dengan kemuliaan, dan kemuliaan hasil dari ketakwaan.
Pengertian Kemuliaan
Kemuliaan yang dalam bahasa Arab
disebut dengan al ‘izzah bermakna al syarof wa al man’ah
(kemuliaan dan kekuatan). Kemuliaan merupakan hasil dari sebuah proses yang
bertahap dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan ‘izzu al Islam wa al
muslimin (kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum muslimin) bukanlah suatu
hal yang mudah diraih. Semudah orang mengatakannya, semudah orang
membolak-balikkan lidah dan nama itu sudah terucapkan. Namun ‘izzu al Islam
wa al muslimin sebagai kata kerja merupakan proses panjang dan
berkesinambungan yang memerlukan banyak tahapan dan kesepakatan. Alloh Swt.
telah berfirman,“Padahal kekuatan itu hanya bagi Alloh, bagi Rosul-Nya dan
bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al Munaafiquun:8)
Dari pengertian ini kita hendaknya
sepakat, menyatukan persepsi, yang semula mungkin tidak seluruhnya sama,
tentang apa dan bagaimana ‘izzu al Islam wa al muslimin. Bahwa kemuliaan
dan kekuatan itu hanyalah bagi Alloh Swt., bagi Rosululloh saw. dan kaum
muslimin. Maka kembalikanlah makna kemuliaan dan kekuatan itu juga pada ajaran
Alloh Swt. yang disampaikan melalui Rosu-Nya dan menjadi prinsip yang dipegang
teguh oleh kaum muslimin.
Manhaj
Individu dan Masyarakat
Langkah awal kenabian adalah dakwah
yang menyentuh manhaj (metode) pembinaan individu. Dimana baginda Nabi
saw. memulai mendakwahkan ajarannya kepada istri, keponakan, sahabat karib, dan
kemudian kepada beberapa sanak keluarga serta sahabat beliau yang lain. Ketika
setiap individu dengan kelengkapan hidup yang meliputi raga, ras, rasio dan rukun
tersebut mulai bergerak ke satu titik, membentuk pola pikir dan prilaku yang
sama sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (tawhid al fikroh), Maka
rukun atau hidup sosial yang dilakukan dengan sesama individu secara harmonis,
damai dan saling melengkapi (al shuhbah) itupun berjalan sebagai fungsi
perangkat (al tathbiq) yang dapat mempengaruhi individu lain untuk
membentuk suatu kelompok sosial dengan harapan dan tujuan (al hadf) yang
telah menyesuaikan diri dalam norma dan tata nilai kelompok tersebut (tatsqif
al jama’ah). Disinilah kemudian terbangunnya masyarakat Islam yang memiliki
kemuliaan dan kekuatan mempesona.
Prinsip-prinsip ajaran yang dibawa oleh Rosululloh saw.
tak lepas dari tiga hal sebagaimana telah dijelaskan Al Qur’an,“Sungguh Alloh
telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus
diantara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatanag
Rosul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali
‘Imron : 164)
Abdulloh bin ‘Abbas ra., bercerita, ketika suatu hari ia
berada di belakang Nabi saw. bersama para sahabat yang lain, beliau bersabda, “Wahai
anak muda, aku hendak mengajarimu beberapa kata; jagalah Alloh, makaDia akan
menjagamu; jagalah Alloh, maka kamu akan menjumpai-Nya memberi jalan terang
padamu; jika ingin meminta (sesuatu), mintalah kepada Alloh; dan jika ingin
memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh…” (HR. Tirmidzi)
Kata demi kata, pelan dan mantap disampaikan oleh Nabi
saw. sebagai nasihat. Bila kita mengikatnya menjadi suatu keyakinan,
pengertian, dan kesadaran diri, maka ini akan menjadi aqidah yang kokoh
tersimpan di balik dada seorang muslim.
Ketika aqidah dijalani dengan baik, teratur, sebagaimana
sabda Nabi saw., “ihfadhilllaha yahfadhka,” (jagalah Alloh, maka Dia
akan menjagamu), menjaga segala perintah Alloh, larangan-Nya, dan
batasan-batasan serta setiap hak-Nya. Maka sebenarnya kita telah melaksanakan
syariat-Nya.
Menjaga segala perintah artinya melaksanakan segala
perintah Alloh dan Rosul-Nya, seperti sholat yang lima waktu, puasa di bulan
Romadlon, membayar zakat, berhaji ke baitulloh, dan lain sebagainya. Menjaga
segala larangan artinya menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Alloh dan
Rosul-Nya, seperti kufur, membunuh, berzina, mencuri, berjudi, dan seterusnya.
Siapa yang mampu menjalaninya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka
Alloh Swt. membanggakan dan memuji, serta menempatkannya sebagai golongan awwabin
(orang-orang yang selalu kembali kepada Alloh) dan hafidzin (orang-orang
yang selalu memelihara syariat). Dimana isinilah letak keimanan itu berada.
Dengan bahasa pendekatan tersebut, hubungan interpersonal
yang terbangun dalam satu kebersamaan akan lebih berfungsi sebagai model
peranan. Selanjutnya, dengan model itu setiap orang harus melakukan perannya
sesuai dengan pola dasar pembinaan (mabda’ al tau’iyah) yang menjadi norma
dan tata nilai bagi sebuah masyarakat idaman. Hubungan interpersonal yang
dipraktekkan Nabi saw. bersama para sahabat dapat berkembang baik, karena
setiap individu di masa yang penuh keteladanan itu bertindak sesuai dengan
ekspedisi peranan dan tuntutan peranan, memiliki keterampilan peranan dan
terhindar dari konflik peranan serta kerancuan peranan. Kita tahu, begitu tepat
dan bijaknya Rosululloh saw. di dalam memberi setiap pesan perintah kepada para
sahabat sesuai dengan karakter individu yang dimiliki mereka. Hubungan
interpersonal yang terbangun tidak bersifat statis dan kaku, tetapi selalu
berubah, dinamis dan penuh kreatifitas. Dipelihara dan diperteguh dengan
perubahan (al tajdid) yang memberikan tindakan-tindakan tertentu
untuk mengembalikan keseimbangan (al ta’adul). Ada empat faktor yang
amat penting dalam memelihara keseimbangan itu. Pertama keakraban (al
tawadud), kedua kontrol (al ta’awun), ketiga respons yang tepat (al
talathuf), dan keempat nada emosional yang tepat (al tarahum). Dari
keselarasan yang dihasilkan empat faktor tersebut, setiap konflik yang muncul
akan diselesaikan dengan baik dan bijaksana, tanpa harus mengalahkan
kepentingan bersama, apalagi sampai memutus rasa persaudaraan sesama muslim.
Dengan ‘aqidah yang membangun
kesatuan pemikiran (tawhid al fikroh), pembinaan umatpun dimulai. Sejak
awal umat telah dikenalkan kepada Alloh Swt. dan ditanamkan pula kebenaran
syariat Islam sebagai satu-satunya ajaran yang layak untuk dipergunakan.
Berangkat dari ‘aqidah yang menancap kuat (‘aqidah rosikhoh)
inilah akan muncul kemudian pribadi-pribdai yang tangguh, yang bertingkah laku
sesuai dengan akhlak Islam, dan dihiasi dengan tutur kata yang baik serta amal
saleh sebagai hasil dari bentuk pembinaan tazkiyah. Kemudian dari dua
pembinaan tersebut disempurnakan lagi dengan sistem pembinaan yang ketiga,
yaitu tsaqofah. Pembinaan yang menambah wawasan keilmuan dalam upaya
pengejewantahan Islam totalitas (kaffah) sesuai manhaj Al Kitab
dan As Sunnah. Mengajarkan isi kandungannya sebagai disiplin ilmu, baik
keagamaan maupun iptek, seperti tafsir, hadits, ushul fiqhi, bahasa (lughoh),
ekonomi (iqtishodi), politik (siyasah) dan lain sebagainya.
Kemuliaan dan kekuatan yang
kita cita-citakan bukanlah dinilai dari sisi besarnya jumlah (kuantitas)
semata, atau dari sisi kekuatan dan kestabilan ekonomi saja. Namun kemulian dan
kekuatan Islam yang menjadi milik kaum muslimin itu ‘dilahirkan’ dari sekian
banyak ‘keringat’ yang berbentuk ikhtiar melalui perkataan-perkataan baik dan
amal saleh. Maka pendidikan yang berorientasikan pembinaan terhadap
generasi-generasi berikut (takwin al rijal) dengan mengedepankan hasil
terbaik (kualitas) merupakan kunci dari pintu bangunan Islam nan mulia ini.
Jangan sampai kita memahaminya dari manhaj selain Al Kitab dan As
Sunnah, karena kebenaran yang diperoleh darinya masih akan menjadi tanda tanya
besar di balik dada kita. Alloh Swt. berfirman, “Apakah mereka mencari
kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan
Alloh.” (QS. An Nisaa’:139). []
0 comments:
Post a Comment