Menanggalkan
Fanatisme Ashabiyyah (Fanatisme)
Ashabiyyah
berasal dari kata Ashabah yang artinya
keluarga dekat (Aqaarib) dari
pihak ayah. Selanjutnya muncul bahasa Ashabiyy bagi orang yang marah dan
membela keluarga dekatanya. Kemudian lahir istilah Ashabiyyah ketika ada
perbuatan atau perlakuan yang mendukung dan mengikuti orang yang disayanginya
tanpa peduli apakah orang yang disayanginya itu benar atau salah. Watsilah bin
al Asqa’ bercerita: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
tentang apakah itu Ashabiyyah?
Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika
kamu membela kaummu atas suatu kezaliman“ HR Abu Dawud
Ibnu
Mas’ud ra berkata: “Barang siapa yang membela kaumnya atas suatu kesalahan maka
dia tak lebih seperti unta yang terjatuh ke dalam sumur kemudian ditarik
ekornya” Imam Khatthabi menjelaskan bahwa maksud ucapan Ibnu Mas’ud ra ini
adalah bahwasanya seorang yang terlilit rantai fanatisme berarti dia terjatuh
dalam dosa dan mengalami kematian seperti nasib yang dialami oleh unta yang
terjatuh ke dalam sumur dan kemudian ditarik keluar dengan ekornya
yang
tentu saja unta itu tak akan bisa keluar dari sumur tersebut. Seperti lazimnya
sifat–sifat buruk yang lain, Ashabiyyah juga muncul dalam berbagai
model:
1. 1. Fanatisme keluarga, Tidak menerima bahwa
keluarganya telah bertindak salah
dan
tetap merasa bahwa apa yang dilakukan keluarganya itu benar. Fanatisme seperti
ini kerap kali muncul ketika keluarga mengalami perselisihan dengan keluarga
yang lain. Lihatlah sikap orang tua yang selalu membela anaknya saat terjadi pertikaian
antara anaknya dengan anak tetangga. Atau seorang anak tak jarang juga turut
membela orang tuanya tanpa terlebih
dahulu
melihat siapa yang benar siapa yang salah. Memang Islam telah menetapkan salah
satu standar bahwa orang yang paling baik adalah yang paling baik berbuat baik
kepada keluarga, dan salah satu jenis perbuatan baik kepada keluarga adalah
melakukan pembelaan untuk keluarga, akan tetapi Islam juga memberi gambaran
jelas batasan pembelaan.
Suraqah
bin Malik ra berkata: “Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhuthbah, Beliau
bersabda: “Sebaik–baik kalian adalah orang yang melakukan pembelaan untuk
keluarga selama dia tidak melakukan dosa “ HR Abu Dawud.
Selain
menjadikan standar kebaikan, pembelaan yang dilakukan untuk keluarga juga telah
ditetapkan oleh Islam sebagai salah satu jalan meraih kesyahidan (Syahaadah),
Sabda
Nabi shallallahu alaihi wasallam : “Barang siapa yang terbunuh di bawah hartanya
maka dia Syahid, barang siapa yang terbunuh di bawah keluarganya atau darahnya
atau agamanya maka dia Syahid” HR
Abu Dawud.
Predikat
sebagai orang terbaik dan gelar sebagai seorang Syahid ini diraih jika memang
seseorang membela keluarganya yang teraniaya, artinya jika dia tidak melakukan
dosa dalam pembelaan itu dengan membela keluarganya yang melakukan kesalahan.
2. 2.Fanatisme Pertemanan. Teman, setiap orang membutuhkan
teman untuk berbagi
rasa,
memberi bantuan saat sulit menghimpit, mencerahkan kala suram duka menyiram.
Fungsi–fungsi seperti ini tak jarang membuat manusia begitu menyayangi teman
lebih dari
saudara.
Rasa sayang yang besar itu juga sering kali membuat manusia menjadi tajam mata
dengan kebaikan teman serta buta pandangan akan keburukan–keburukannya. Sikap
seperti ini sebenarnya jika disadari justru akan menghancurkan teman tersayang,
karena dengan sikap itu seseorang telah kehilangan fungsinya sebagai cermin
bagi temannya. Sebaliknya bagi sang teman, orang tersebut bukanlah teman
sejati, tetapi musuh yang tidak terdeteksi yang setiap saat akan menghancurkan. Dalam hikmah dikatakan:
“Temanmu
adalah orang yang jujur kepadamu, dan
bukan
orang yang selalu membenarkanmu”
Tindakan
mendukung teman dan selalu membelanya adalah
suatu tindakan tercela yang bahayanya merata bagi pelaku pembelaan, yang dibela
serta pihak ketiga. Pelaku pembelaan disebut sebagai seorang yang terlilit
fanatisme, yang dibela merasa tindakan yang dia lakukan benar dan tentu saja
pihak ketiga menjadi orang yang teraniaya. Allah berfirman:
“…dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah) karena (membela) orang–orang yang khianat” QS an Nisa’:105.
Ayat
ini diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia
menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Selanjutnya Thu’mah
tidak mengakui perbuatan itu dan bahkan menuduh Yahudi itu sebagai pencuri.
Kerabat Thu’mah lalu mengajukan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam , mereka meminta supaya Yahudi itu diberi hukuman, kendati
mereka mengerti bahwa Thu’mah lah pencuri itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam hampir saja percaya dan memberikan hukuman
kepada Yahudi hingga turunlah firman Allah tersebut. Meski ayat ini turun
karena kasus itu, akan tetapi
secara
umum bisa diambil pelajaran akan adanya larangan membela yang bersalah dan
menyalahkan orang yang benar.
3.Fanatisme
kebudayaan. Adat istiadat dan kebudayaan merupakan salah satu hal yang
mesti diwariskan oleh orang–orang tua kepada anak keturunan. Tak ditemui suatu
komunitas dari desa sampai bangsa kecuali mesti di sana ada suatu aturan
berpakaian atau aktivitas tertentu yang merupakan warisan budaya nenek moyang
dan masih dipegang atau dilakukan oleh anak
keturunan.
Fanatisme kebudayaan ini muncul bila mana anak keturunan ogah atau bahkan
menolak dengan keras manakala dianjurkan supaya budaya itu ditinggalkan karena
tidak sesuai
dan
sangat bertentangan dengan aturan Allah. Tak jarang atau mungkin seringkali
akal dan fikiran normal tak berfungsi ketika seseorang berhadapan dengan
budaya. Dalam tradisi
masyarakat
Jawa misalnya, di sana ada tradisi Bersih
Deso yang salah satu ritualnya adalah menyembelih ayam kemudian menanamnya
di setiap perempatan desa, dan pada puncaknya dengan mengadakan pesta maksiat
dengan mengundang Group Campur Sari yang di sana ditampilkan para penari wanita
dan ditonton dengan minuman keras tergenggam di tangan. Jika memang Bersih Deso merupakan luapan rasa syukur, apakah seperti
itu aturan agama dalam mewujudkan rasa Syukur. Tidak hanya di pedesaan, di kota
pun juga demikian,
kaum
bangsawan dan para borjuis yang notabene nya adalah manusia–manusia yang
berakal cerdas dan berpendidikan tinggi juga masih banyak sekali yang terlilit
oleh Fanatisme
Kebudayaan
. Dalam ritual pernikahan misalnya, banyak sekali yang
masih belum bisa membebaskan diri dari budaya yang tak sejalan dengan nilai
Islami, bahkan cenderung mempertahankan atau bahkan menghidupkannya. Sebagai contoh
apa maksud ritual menginjak telor atau mandi air bunga dengan mempertontonkan
aurat mempelai wanita, dan apa pula maksudnya ketika para tamu undangan disuruh
mengambil peralatan dapur yang sudah
disiapkan? Jika memang budaya–budaya tersebut tidak bersentuhan dengan masalah
Aqidah mungkin resiko yang ditanggung ringan saja jika budaya itu tetap
dipertahankan, mungkin
setingkat
perlakukan maksit atau hanya pada posisi
menghindar anjuran Hadits yang artinya:
“Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah bila
mana dia meninggalkan sesuatu
yang
tidak berguna baginya” HR
Turmudzi, akan tetapi akibatnya akan sangat fatal bila terkait dengan Aqidah,
dan inilah yang menimpa para penganut paganisme ketika mereka menolak
meninggalkan menyembah berhala, “Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah
apa yang kami dapati (Wajadnaa) bapak–bapak kami mengerjakannya”…” QS al Ma’idah : 104. Allah juga
berfirman:
“Dan apabilah dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”,
maka mereka menjawab: “ (Tidak) , tetapi kami hanya mengikuti apa yang
kami
dapatkan dari nenek moyang kami…” QS al Baqarah : 170.
Ayat
ini turun guna merespon tanggapan Yahudi saat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
menawarkan Islam, mereka menjawab tawaran itu:
“Tidak, cukup bagi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang
kami yang juga menyembah berhala dan menyekutukan Allah”.
Meski
demikian, secara umum menutup diri secara total dari ajaran–ajaran atau
pemikiran baru yang membawa pencerahan serta hanya terpaku pada ajaran dan
pemikiran lama yang sudah kuno dan tidak relevan serta kebenarannya masih dipertanyakan
juga termasuk dalam penyakit
Fanatisme
jenis ini.[]