May 31, 2016

Menanggalkan Fanatisme Ashabiyyah (Fanatisme)

Ashabiyyah berasal dari kata Ashabah  yang artinya keluarga dekat (Aqaarib)  dari pihak ayah. Selanjutnya muncul bahasa Ashabiyy bagi orang yang marah dan membela keluarga dekatanya. Kemudian lahir istilah Ashabiyyah ketika ada perbuatan atau perlakuan yang mendukung dan mengikuti orang yang disayanginya tanpa peduli apakah orang yang disayanginya itu benar atau salah. Watsilah bin al Asqa’ bercerita: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  tentang apakah itu Ashabiyyah? Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika kamu membela kaummu atas suatu kezaliman“ HR Abu Dawud

Ibnu Mas’ud ra berkata: “Barang siapa yang membela kaumnya atas suatu kesalahan maka dia tak lebih seperti unta yang terjatuh ke dalam sumur kemudian ditarik ekornya” Imam Khatthabi menjelaskan bahwa maksud ucapan Ibnu Mas’ud ra ini adalah bahwasanya seorang yang terlilit rantai fanatisme berarti dia terjatuh dalam dosa dan mengalami kematian seperti nasib yang dialami oleh unta yang terjatuh ke dalam sumur dan kemudian ditarik keluar dengan ekornya
yang tentu saja unta itu tak akan bisa keluar dari sumur tersebut. Seperti lazimnya sifat–sifat buruk yang lain, Ashabiyyah juga muncul dalam berbagai model:

1.      1. Fanatisme keluarga, Tidak menerima bahwa keluarganya telah bertindak salah
dan tetap merasa bahwa apa yang dilakukan keluarganya itu benar. Fanatisme seperti ini kerap kali muncul ketika keluarga mengalami perselisihan dengan keluarga yang lain. Lihatlah sikap orang tua yang selalu membela anaknya saat terjadi pertikaian antara anaknya dengan anak tetangga. Atau seorang anak tak jarang juga turut membela orang tuanya tanpa terlebih
dahulu melihat siapa yang benar siapa yang salah. Memang Islam telah menetapkan salah satu standar bahwa orang yang paling baik adalah yang paling baik berbuat baik kepada keluarga, dan salah satu jenis perbuatan baik kepada keluarga adalah melakukan pembelaan untuk keluarga, akan tetapi Islam juga memberi gambaran jelas batasan pembelaan.
Suraqah bin Malik ra berkata: “Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhuthbah, Beliau bersabda: “Sebaik–baik kalian adalah orang yang melakukan pembelaan untuk keluarga selama dia tidak melakukan dosa “  HR Abu Dawud.

Selain menjadikan standar kebaikan, pembelaan yang dilakukan untuk keluarga juga telah ditetapkan oleh Islam sebagai salah satu jalan meraih kesyahidan (Syahaadah),  
Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :  “Barang siapa yang terbunuh di bawah hartanya maka dia Syahid, barang siapa yang terbunuh di bawah keluarganya atau darahnya atau agamanya maka dia Syahid”  HR Abu Dawud.

Predikat sebagai orang terbaik dan gelar sebagai seorang Syahid ini diraih jika memang seseorang membela keluarganya yang teraniaya, artinya jika dia tidak melakukan dosa dalam pembelaan itu dengan membela keluarganya yang melakukan kesalahan.

2.      2.Fanatisme Pertemanan. Teman, setiap orang membutuhkan teman untuk berbagi
rasa, memberi bantuan saat sulit menghimpit, mencerahkan kala suram duka menyiram. Fungsi–fungsi seperti ini tak jarang membuat manusia begitu menyayangi teman lebih dari
saudara. Rasa sayang yang besar itu juga sering kali membuat manusia menjadi tajam mata dengan kebaikan teman serta buta pandangan akan keburukan–keburukannya. Sikap seperti ini sebenarnya jika disadari justru akan menghancurkan teman tersayang, karena dengan sikap itu seseorang telah kehilangan fungsinya sebagai cermin bagi temannya. Sebaliknya bagi sang teman, orang tersebut bukanlah teman sejati, tetapi musuh yang tidak terdeteksi yang setiap  saat akan menghancurkan.  Dalam hikmah dikatakan:

“Temanmu adalah orang yang jujur kepadamu, dan
bukan orang yang selalu membenarkanmu”

Tindakan mendukung teman dan selalu membelanya  adalah suatu tindakan tercela yang bahayanya merata bagi pelaku pembelaan, yang dibela serta pihak ketiga. Pelaku pembelaan disebut sebagai seorang yang terlilit fanatisme, yang dibela merasa tindakan yang dia lakukan benar dan tentu saja pihak ketiga menjadi orang yang teraniaya. Allah berfirman:
“…dan janganlah  kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang–orang yang khianat”  QS an Nisa’:105.

Ayat ini diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Selanjutnya Thu’mah tidak mengakui perbuatan itu dan bahkan menuduh Yahudi itu sebagai pencuri. Kerabat Thu’mah lalu mengajukan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , mereka meminta supaya Yahudi itu diberi hukuman, kendati mereka mengerti bahwa Thu’mah lah pencuri itu. Nabi  shallallahu alaihi wasallam  hampir saja percaya dan memberikan hukuman kepada Yahudi hingga turunlah firman Allah tersebut. Meski ayat ini turun karena kasus itu, akan tetapi
secara umum bisa diambil pelajaran akan adanya larangan membela yang bersalah dan menyalahkan orang yang benar.

3.Fanatisme kebudayaan. Adat istiadat dan kebudayaan merupakan salah satu hal yang mesti diwariskan oleh orang–orang tua kepada anak keturunan. Tak ditemui suatu komunitas dari desa sampai bangsa kecuali mesti di sana ada suatu aturan berpakaian atau aktivitas tertentu yang merupakan warisan budaya nenek moyang dan masih dipegang atau dilakukan oleh anak
keturunan. Fanatisme kebudayaan ini muncul bila mana anak keturunan ogah atau bahkan menolak dengan keras manakala dianjurkan supaya budaya itu ditinggalkan karena tidak sesuai
dan sangat bertentangan dengan aturan Allah. Tak jarang atau mungkin seringkali akal dan fikiran normal tak berfungsi ketika seseorang berhadapan dengan budaya. Dalam tradisi
masyarakat Jawa misalnya, di sana ada tradisi  Bersih Deso yang salah satu ritualnya adalah menyembelih ayam kemudian menanamnya di setiap perempatan desa, dan pada puncaknya dengan mengadakan pesta maksiat dengan mengundang Group Campur Sari yang di sana ditampilkan para penari wanita dan ditonton dengan minuman keras tergenggam di tangan. Jika memang  Bersih Deso  merupakan luapan rasa syukur, apakah seperti itu aturan agama dalam mewujudkan rasa Syukur. Tidak hanya di pedesaan, di kota pun juga demikian,
kaum bangsawan dan para borjuis yang notabene nya adalah manusia–manusia yang berakal cerdas dan berpendidikan tinggi juga masih banyak sekali yang terlilit oleh Fanatisme
Kebudayaan . Dalam ritual pernikahan misalnya, banyak sekali yang masih belum bisa membebaskan diri dari budaya yang tak sejalan dengan nilai Islami, bahkan cenderung mempertahankan atau bahkan menghidupkannya. Sebagai contoh apa maksud ritual menginjak telor atau mandi air bunga dengan mempertontonkan aurat mempelai wanita, dan apa pula maksudnya ketika para tamu undangan disuruh mengambil peralatan dapur  yang sudah disiapkan? Jika memang budaya–budaya tersebut tidak bersentuhan dengan masalah Aqidah mungkin resiko yang ditanggung ringan saja jika budaya itu tetap dipertahankan, mungkin
setingkat perlakukan maksit atau  hanya pada posisi menghindar anjuran Hadits yang artinya:
 “Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah bila mana dia meninggalkan sesuatu
yang tidak berguna baginya”  HR Turmudzi, akan tetapi akibatnya akan sangat fatal bila terkait dengan Aqidah, dan inilah yang menimpa para penganut paganisme ketika mereka menolak meninggalkan menyembah berhala, “Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah apa yang kami dapati (Wajadnaa) bapak–bapak kami mengerjakannya”…”  QS al Ma’idah : 104.  Allah juga
berfirman: “Dan apabilah dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, maka mereka menjawab: “ (Tidak) , tetapi kami hanya mengikuti apa yang
kami dapatkan dari nenek moyang kami…” QS al Baqarah : 170.

Ayat ini turun guna merespon tanggapan Yahudi saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
 menawarkan Islam, mereka menjawab tawaran itu: “Tidak, cukup bagi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami yang juga menyembah berhala dan menyekutukan Allah”.

Meski demikian, secara umum menutup diri secara total dari ajaran–ajaran atau pemikiran baru yang membawa pencerahan serta hanya terpaku pada ajaran dan pemikiran lama yang sudah kuno dan tidak relevan serta kebenarannya masih dipertanyakan juga termasuk dalam penyakit
Fanatisme  jenis ini.[]



May 30, 2016

Hukum Memakan Ikan yang dikasih makan barang Najis

Pertanyaan: 

Ustadz pengasuh Fas'alu yang saya hormati,bagaimana hukumnya memakan ikan lele yang dimasukkan dalam kolam yang setiap harinya kolam tersebut diberi kotoran-kotoran ayam, atau hewan atau barang najis lainnya?. Hal ini saya tanyakan karena di daerah kami banyak para petani lele dombo yang biasa memberi makan lelenya dengan kotoran ayam atau kotoran yang lain. Muhid, di Tulungagung

Jawaban: 

Dalam studi fiqih islam dikenal istilah Jallaalah, yang diperuntukkan bagi hewan ternak seperti unta, sapi, kambing, ayam dan lainnya yang memakan kotoran atau benda najis jenis apapun dengan syarat mayoritas makanannya adalah barang najis. Sedang jika kebanyakan makanannya dari barang yang suci maka tidak bisa masuk dalam kategori Jallaalah. Versi lain menurut Jumhur mengatakan bahwa standar utama apakah binatang itu termasuk Jallaalah atau tidak, bergantung kepada perubahan bau pada hewan tersebut. Jika baunya masih normal maka tidak termasuk kategori Jallaalah meski kebanyakan makananannya dari barang najis. Sebaliknya jika bau berubah meski hanya sedikit memakan barang najis maka masuk dalam kategori Jallaalah. Demikian Imam Nawawi dalam Al Majmu' menjelaskan.

Dalam Al Muhadzab 1/348 juga disebutkan bahwa jika binatang ternak yang biasa diberi makanan najis hendak disembelih maka agar status Jallaalah hilang hendaknya terlebih dahulu diberi makanan suci hingga pengaruh makanan najis selama ini hilang. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Umar ra, bahkan Beliau memberikan standar waktu untuk unta selama empat puluh hari, untuk kambing tujuh hari dan untuk ayam tiga hari sebelum menyembelih. Menurut Ash'hab (para santri) Imam Syafi’i tidak ada batasan waktu, yang terpenting diberi makanan suci sebelum disembelih entah berapa hari hingga bau dari pengaruh makanan najis hilang.

Tentang memakan hewan Jallaalah, maka dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra disebutkan:

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَي عَنْ لُحُوْمِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا "
Sesungguhnya Nabi saw melarang dari daging dan susu Jallaalah".
HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i.

Dari hadits ini Imam Syafii seperti tersebut dalam Bidayatul Mujatahid 2/5 menghukumi haram memakan daging hewan Jallaalah. Sementara Jumhur Ulama mengatakan Makruh Tanzih dan sebagian kelompok yang di dalamnya termasuk Abu Ishaq Al Marwazi, Al Ghazali, Imam Qaffal dan Al Baghawi menyatakan bahwa hukum memakan Jallaalah adalah Makruh Tahrim.

 Perlu digaris bawahi perbedaan hukum ini terjadi jika memang bau najis sangat kentara dan jelas tercium. Sementara jika bau itu tidak begitu kentara dan hanya sedikit terasa maka jelas bahwa binatang tersebut halal seratus persen. (Al Majmu' : 9 / 28 - 29 Cet : Idaaroh Lith Thiba'ah Al Muniiriyyah Mesir).[]