QS al Baqarah:44
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidak-kah
kalian berakal“
Analisa
Bahasa
Al Biirr :
Adalah bahasa untuk segala jenis ketaatan dan amal-amal shaleh yang menetapkan
adanya pahala. Sebaliknya adalah al itsmu. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda;
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا
حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adala budi pekerti yang baik.Dosa adalah
hal yang meragukan hatimu serta kamu tidak suka orang lain mengetahuinya”(HR
Muslim/2553)
Analisa Ayat
Sebab firman
Allah ini ditujukan kepada para pendeta dan tokoh-tokoh Yahudi yang getol
menyuarakan kebaikan dan amal shaleh di kalangan umat dan pengikut mereka. Akan
tetapi justru kelakuan mereka sangat berbeda dengan apa yang mereka suarakan.
Kelakuan seperti itu sangatlah buruk bagi mereka dalam pandangan Allah sehingga
Allah berfirman; “..Maka tidak-kah kalian berakal“.
Betapapun
asalnya ditujukan kepada Bani Israil, muatan ayat ini secara umum juga berlaku
bagi siapapun dari kita umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang
memberikan nasehat, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran agar
berusaha menjalankan seperti yang diperintahkannya serta menjauhi apa yang
dicegahnya.
Memerintahkan
suatu kebaikan tanpa berusaha untuk bisa menjalankan adalah laksana lampu yang
memberikan penerangan pada lingkungan sekitar tetapi dirinya justru terbakar.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda;
مَثَلُ الَّذِى يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ
وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ
“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada
manusia dan melalaikan dirinya sendiri adalah seperti lampu yang menerangi
manusia (tetapi justru) membakar dirinya sendiri” (HR Thabarani dengan
sanad shahih)
Orang yang
senantiasa menyuruh orang lain agar melakukan kebaikan, tetapi dirinya sendiri
tidak melakukan kebaikan yang diperintahkan juga laksana seperti batu asah yang
aktif menajamkan pisau tetapi tidak pernah bisa memotong. Dalam syair
dikatakan:
فَيَا حَجَرَ الشَّحْذِ حَتَّى مَتَى تَسُنُّ الْحَدِيْدَ وَلَمْ تَقْطَعِ
Duhai batu
asah, sampai kapankah kamu terus menerus menajamkan besi, tetapi tidak pernah
bisa memotong
Seorang
penyeru kebaikan tanpa mau belajar menjadi pelaku kebaikan adalah orang-orang
yang pernah disaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam
Isra’; [Pada malam diisra’kan, aku menyaksikan orng-orang yang lidahnya
dipotong dengan gunting-gunting dari api. Aku bertanya: Siapakah mereka wahai
Jibril? Jibril menjawab: “Mereka adalah para pengkhutbah dari umatmu. Mereka
memerintahkan kebaikan tetapi melupakan diri mereka sendiri. Padahal mereka
membaca al kitab. Apakah mereka tidak berakal?”] (HR Ibnu Hibban. Ibnu Abi
Dun’ya dalam Kitabus sumti)
Dalam riwayat
Ibnu Abi Dun’ya: Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pada
malam isra’ aku menyaksikan kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting-gunting
dari api. Setiap kali dipotong maka lidahnya kembali lagi. Aku bertanya:
Siapakah mereka? Jibril menjawab: Para pengkhutbah dari umatmu. Mereka
mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan”
Orang-orang
tersebut dihari kiamat juga akan menerima bentuk siksaan seperti disabdakan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: [Pada hari kiamat didatangkan
seseorang yang lalu ia dilemparkan ke neraka. Isi perutnya terburai sehingga ia
lalu berputar-putar membawa isi perut tersebut seperti halnya himar memutar
gilingan. Penduduk nereka segera berkumpul mengelilinginya. Mereka bertanya:
“Wahai fulan, ada apa denganmu, bukankah dulu kamu telah memerintahkan kebaikan
dan mencegah kemungkaran?” Ia lalu menjawab: “Ia, aku dulu memerintahkan
kebaikan tetapi tidak mau melakukan. Aku mencegah kemungkaran tetapi aku malah
melakukannya”](HR Bukhari Muslim)
Kendati
sebuah peringatan agar kita para da’i mawas diri untuk terus berbenah
memperbaiki diri sendiri, firman Allah ini juga merupakan sinyalemen kondisi
akhir zaman berupa kemunculan para penyeru kebaikan, tetapi bukan sebagai
pelaku kebaikan. Inilah isyarat kemunculan orang-orang yang lebih senang
berbicara daripada berbuat. Sebuah fenomena di mana khalayak lebih melihat dan
mudah terpesona ulasan dan penjelasan indah daripada usaha-usaha dan langkah
nyata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya
diriku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin atau musyrik atas umatku karena
seorang mukmin akan dikendalikan oleh keimanannya dan seorang musyrik akan
dihancurkan oleh kekafirannya. Akan tetapi aku mengkhawatirkan atas kalian
seorang munafik yang alim lidahnya (Alimul lisan); ia mengatakan apa
yang kalian mengerti dan melakukan apa yang kalian ingkari” (HR Thabarani)
Seorang
penyeru kebaikan yang tidak melakukan kebaikan, meski ia dicela dan disiksa,
bukan berarti menafikan pahala yang diterimanya atas seruan kebaikannya. Karena
jelas bahwa orang yang menunjukkan kebaikan adalah seperti orang yang
melakukan kebaikan. Hal ini sama seperti ketika disebutkan bahwa orang
miskin lebih dulu memasuki surga daripada orang kaya dalam rentang wakru
setengah hari atau lima ratus tahun dalam hitungan hari-hari dunia, maka bukan
lantas difahami bahwa derajat orang miskin di surga lebih tinggi daripada orang
kaya.
Karena itu,
marilah terus menyerukan kebaikan. Sebab jika tidak diserukan maka
kebaikan-kebaikan akan semakin ditinggalkan.
Dari terus
menyuarakan, Insya Allah kita akan belajar dan termotivasi untuk menjadi
orang baik. Dan yang perlu dicatat di sini bahwa al birr dalam firman
Allah di atas dijelaskan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sebagai budi pekerti yang baik dan sementara ulama
memberikan bimbingan bahwa kedermawanan adalah kunci memasuki budi
pekerti yang baik, maka belajar menjadi orang yang dermawan adalah urgensi bagi
penyeru kebaikan. Allahu a’lam.