Jul 15, 2014

Quote of a Day

حَسْبِىَ الرَّبُّ مِنَ الْمَرْبُوْبِيْنَ حَسْبِىَ الْخَالِقُ مِنَ الْمَخْلُوْقِيْنَ حَسْبِىَ الرَّازِقُ مِنَ الْمَرْزُوْقِيْنَ حَسْبِىَ السَّاتِرُ مِنَ الْمَسْتُوْرِيْنَ حَسْبِىَ النَّاصِرُ مِنَ الْمَنْصُوْرِيْنَ حَسْبِىَ الْقَاهِرُ مِنَ الْمَقْهُوْرِيْنَ حَسْبِيَ الَّذِيْ هُوَ حَسْبِى مَنْ لَمْ يَزَلْ حَسْبِى, حَسْبِيَ الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ حَسْبِىَ اللهُ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِهِ,

“Cukuplah Tuhanku (sebagai Pelindung) dari makhluk yang diciptakan-Nya. Cukuplah bagiku Allah sebagai Pencipta dari para makhluk. Cukuplah bagiku Allah sebagai Pemberi rezeki dari pada mereka yang diberi rezeki. Cukuplah bagiku Allah sebagai penutup aibku daripada orang-orang yang ditutupi. Cukuplah bagiku Allah sebagai pembela dari pada orang-orang yang dibela. Cukuplah bagiku Allah Yang Maha Menundukkan dari pada orang-orang yang ditundukkan. Cukuplah bagiku Allah sebagai pelindung yang senantiasa melindungi. Cukuplah bagiku Allah sebagai Penolong dan Dialah sebaik-baik Penolong. Cukuplah bagi Allah sebagai Pelindung dari semua makhluk-Nya.”

Shalat Isya’ di belakang Tarawih

Pertanyaan:

Seseorang datang di Masjid dan mendapati orang-orang sudah shalat Isya’ dan kini sedang menjalankan shalat Tarawih. Ia lalu niat shalat Isya’ dan bergabung dengan mereka. Bagaimanakah hukum shalat Isya’ orang tersebut?

Muhammad, Gunung Sari Batu Malang



Jawaban:

Seseorang dianggap telah mendapat keutamaan shalat berjama’ah meski ia baru datang dan bertakbir ketika Imam telah duduk Tahiyyat Akhir. Termasuk kemudahan lagi dalam beroleh keutamaan shalat berjama’ah adalah ketika status shalat Imam dan shalat Ma’mum tidak harus sama. Bisa jadi status shalat Imam adalah sunnah dan shalat Ma’mum adalah wajib seperti diriwayatkan oleh Jabir ra bahwa Muadz bin Jabal ra mengikuti shalat berjamaah Isya’ bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


Setelah sampai di kampungnya, Muadz pun shalat kembali menjadi Imam bagi penduduk kampungnya yang ketika itu belum shalat Isya’. (HR Bukhori Muslim). Atau status shalat Imam adalah wajib dan shalat Ma’mum adalah sunnah seperti disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat seorang shalat sendirian, Beliau lalu bersabda: “ Adakah seseorang yang akan memberikan sedekah kepadanya, lalu mau shalat bersamanya “ [ HR Abu Dawud Turmudzi Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban Hakim ]

Jul 11, 2014

Da’i Batu Asah


QS al Baqarah:44

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidak-kah kalian berakal

Analisa Bahasa

Al Biirr            : Adalah bahasa untuk segala jenis ketaatan dan amal-amal shaleh yang menetapkan adanya pahala. Sebaliknya adalah al itsmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Kebaikan adala budi pekerti yang baik.Dosa adalah hal yang meragukan hatimu serta kamu tidak suka orang lain mengetahuinya”(HR Muslim/2553)

Analisa Ayat

Sebab firman Allah ini ditujukan kepada para pendeta dan tokoh-tokoh Yahudi yang getol menyuarakan kebaikan dan amal shaleh di kalangan umat dan pengikut mereka. Akan tetapi justru kelakuan mereka sangat berbeda dengan apa yang mereka suarakan. Kelakuan seperti itu sangatlah buruk bagi mereka dalam pandangan Allah sehingga Allah berfirman; “..Maka tidak-kah kalian berakal“.
Betapapun asalnya ditujukan kepada Bani Israil, muatan ayat ini secara umum juga berlaku bagi siapapun dari kita umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang memberikan nasehat, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran agar berusaha menjalankan seperti yang diperintahkannya serta menjauhi apa yang dicegahnya.
Memerintahkan suatu kebaikan tanpa berusaha untuk bisa menjalankan adalah laksana lampu yang memberikan penerangan pada lingkungan sekitar tetapi dirinya justru terbakar. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda;

مَثَلُ الَّذِى يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ
Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia dan melalaikan dirinya sendiri adalah seperti lampu yang menerangi manusia (tetapi justru) membakar dirinya sendiri” (HR Thabarani dengan sanad shahih)

Orang yang senantiasa menyuruh orang lain agar melakukan kebaikan, tetapi dirinya sendiri tidak melakukan kebaikan yang diperintahkan juga laksana seperti batu asah yang aktif menajamkan pisau tetapi tidak pernah bisa memotong. Dalam syair dikatakan:
فَيَا حَجَرَ الشَّحْذِ حَتَّى مَتَى      تَسُنُّ الْحَدِيْدَ وَلَمْ تَقْطَعِ
Duhai batu asah, sampai kapankah kamu terus menerus menajamkan besi, tetapi tidak pernah bisa memotong

Seorang penyeru kebaikan tanpa mau belajar menjadi pelaku kebaikan adalah orang-orang yang pernah disaksikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam Isra’; [Pada malam diisra’kan, aku menyaksikan orng-orang yang lidahnya dipotong dengan gunting-gunting dari api. Aku bertanya: Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab: “Mereka adalah para pengkhutbah dari umatmu. Mereka memerintahkan kebaikan tetapi melupakan diri mereka sendiri. Padahal mereka membaca al kitab. Apakah mereka tidak berakal?”] (HR Ibnu Hibban. Ibnu Abi Dun’ya dalam Kitabus sumti)

Dalam riwayat Ibnu Abi Dun’ya: Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pada malam isra’ aku menyaksikan kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting-gunting dari api. Setiap kali dipotong maka lidahnya kembali lagi. Aku bertanya: Siapakah mereka? Jibril menjawab: Para pengkhutbah dari umatmu. Mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan”
Orang-orang tersebut dihari kiamat juga akan menerima bentuk siksaan seperti disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: [Pada hari kiamat didatangkan seseorang yang lalu ia dilemparkan ke neraka. Isi perutnya terburai sehingga ia lalu berputar-putar membawa isi perut tersebut seperti halnya himar memutar gilingan. Penduduk nereka segera berkumpul mengelilinginya. Mereka bertanya: “Wahai fulan, ada apa denganmu, bukankah dulu kamu telah memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?” Ia lalu menjawab: “Ia, aku dulu memerintahkan kebaikan tetapi tidak mau melakukan. Aku mencegah kemungkaran tetapi aku malah melakukannya”](HR Bukhari Muslim)

Kendati sebuah peringatan agar kita para da’i mawas diri untuk terus berbenah memperbaiki diri sendiri, firman Allah ini juga merupakan sinyalemen kondisi akhir zaman berupa kemunculan para penyeru kebaikan, tetapi bukan sebagai pelaku kebaikan. Inilah isyarat kemunculan orang-orang yang lebih senang berbicara daripada berbuat. Sebuah fenomena di mana khalayak lebih melihat dan mudah terpesona ulasan dan penjelasan indah daripada usaha-usaha dan langkah nyata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya diriku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin atau musyrik atas umatku karena seorang mukmin akan dikendalikan oleh keimanannya dan seorang musyrik akan dihancurkan oleh kekafirannya. Akan tetapi aku mengkhawatirkan atas kalian seorang munafik yang alim lidahnya (Alimul lisan); ia mengatakan apa yang kalian mengerti dan melakukan apa yang kalian ingkari” (HR Thabarani)

Seorang penyeru kebaikan yang tidak melakukan kebaikan, meski ia dicela dan disiksa, bukan berarti menafikan pahala yang diterimanya atas seruan kebaikannya. Karena jelas bahwa orang yang menunjukkan kebaikan adalah seperti orang yang melakukan kebaikan. Hal ini sama seperti ketika disebutkan bahwa orang miskin lebih dulu memasuki surga daripada orang kaya dalam rentang wakru setengah hari atau lima ratus tahun dalam hitungan hari-hari dunia, maka bukan lantas difahami bahwa derajat orang miskin di surga lebih tinggi daripada orang kaya.
Karena itu, marilah terus menyerukan kebaikan. Sebab jika tidak diserukan maka kebaikan-kebaikan akan semakin ditinggalkan.

Dari terus menyuarakan, Insya Allah kita akan belajar dan termotivasi untuk menjadi orang baik. Dan yang perlu dicatat di sini bahwa al birr dalam firman Allah di atas  dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai budi pekerti yang baik dan sementara ulama memberikan bimbingan bahwa kedermawanan adalah kunci memasuki budi pekerti yang baik, maka belajar menjadi orang yang dermawan adalah urgensi bagi penyeru kebaikan.  Allahu a’lam.



Jul 6, 2014

Menabung di Bank

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya menabung di sebuah bank konvensional. Saat ini saya menabung di bank tersebut karena pelayanannya yang baik dan jaringannya luas. Untuk informasi, di Semarang juga ada bank Muamalat, tapi jaringannya belum banyak sehingga menyulitkan saya. Sekali lagi saya menanyakan apakah berdosa kalau saya menabung dengan niatan mempermudah menabung dan mengambil uang?

Anton Wahyu Nugroho, ST, Jl. Dr. Wahidin No. 61 Semarang 50253

Jawaban:

Kaitan diperbolehkannya berhubungan dengan perkara yang haram menurut syariat Islam ialah karena alasan darurat (terpaksa yakni kalau tidak berhubungan dengan barang haram maka akan mati), atau setidak-tidaknya ialah karena alasan hajat (keperluan yang san­gat). Alasan darurat untuk berhubungan dengan institusi perbankan saat ini kiranya tidak ada, karena masih ada bank Muamalat, bank Syariah, dan sebagainya. Para ulama berpendapat boleh menyimpan uang di bank konvensional karena alasan keamanan. Alasan ini dapat dikategorikan hajat. Jika kemudian alasannya lebih rendah daripada hajat, misalnya untuk kemanfaatan tertentu (mengambil keuntungan dari bunga bank), ini dilarang keras dalam syariat Islam. Mari direnungkan firman Allah Subhanahu wata’ala berikut ini:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوااتَّقُوااللهَ وَذَرُوامَابَقِىمِنَ الرِّبَاإِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلَوْا فَأْدُنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رَءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَتُظْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, takutlah kamu kepada Allah, dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu jika kamu orang beriman. Apabila kamu tidak mengindahkan (tidak menghentikan), ketahuilah Allah dan Rasul-Nya memaklumkan perang kepadamu, dan jika kamu bertau­bat (berhenti), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak berbuat aniaya, dan juga kamu tidak dianiaya". (Q.S. Al Baqoroh: 278-279)

Jika alasan berhubungan dengan bank konvensional adalah hajat, maka keuntungan dari bank (bunga) tidak boleh diambil, karena harta haram. Jalan keluarnya bunga itu menurut Imam Al Ghozali dipakai untuk kemaslahatan umum (Ihya’ Ulumiddin, II/129), sedang menurut Imam Abu Hanifah diberikan kepada fakir miskin (Bulughul Marom, hadits nomor 695 hal. 136). []

Ketika Iman dan Amal Shaleh Berpadu

QS Maryam;96

إِنَّ الّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُ الرَّحْمنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, untuk mereka Allah Maha Pengasih akan menjadikan kecintaan (di hati para hamba)"

Analisa Ayat

Sebagaimana dimengerti bahwa Iman memiliki sekian banyak konsekwensi. Banyak hal yang harus disandingkan dengan Iman. Hal demikian telah dijelaskan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam; "Iman memiliki 60 lebih cabang; yang paling tinggi adalah Laa ilaah illallah dan yang paing rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan"HR. Cabang-cabang ini yang menjadi tanda kehidupan Iman secara singkat dan dalam bahasa lain adaah Amal Shaleh. Jadi Iman harus disertai dengan Amal shaleh. Amal shaleh menjadi begitu penting ketika tanpanya Iman menjadi kering dan dalam waktu singkat sangat mungkin akan segera roboh. Ibarat pohon, Iman adalah akar dan batangnya. Sementara amal shaleh adalah air yang memberinya kehidupan dan menjadikannya berdaun rimbun serta berbuah lebat. Di sinilah akal menemukan salah satu hikmah betapa banyak ayat suci Alqur'an yang menyandingkan Iman dengan Amal Shaleh. Bahkan pada beberapa ayat juga sekaligus disertakan dorongan, janji pahala dan faedah bagi mereka yang mampu menyandingkan dan memadukan Iman dengan Amal Shaleh. Di antara faedah yang dimaksud antara lain seperti disebutkan dalam ayat di atas yang berupa Wudd, kasih sayang dan rasa cinta di hati para hamba.

Wudd di atas secara tiba-tiba memang ditanamkan Allah di hati para hamba sehingga terjadilah peristiwa betapa mereka begitu bersimpati kepada seseorang meski tidak pernah mengenal atau menerima kebaikan dari orang tersebut. Wudd ini semata adalah pancaran cahaya cinta dan kasih sayang Allah kepadanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الله إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيْلَ فَقَالَ يَاجِبْرِيْلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ . فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِي فِى أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ الله يُحِبُّ فُلانَاً فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِى اْلأَرْضِ ...
"Sesungguhnya ketika Allah telah Mencintai seorang hamba, Dia berseru kepada Jibril, "Hai Jibril, sesungguhnya Aku Mencintai seseorang maka cintailah ia" Jibril pun mencintainya. Kemudian ia berseru di kalangan penduduk langit, "Sesungguhnya Allah Mencintai seseorang maka silahkan kalian mencintainya" Penduduk langit pun mencintainya sehingga lalu diletakkan untuknya Qabul (penerimaan) di (kalangan penduduk ) bumi…"HR Ahmad.

Abu Darda' ra berkirim surat kepada Maslamah bin Mukhallad yang kala itu menjadi gubernur di Mesir. Surat ini berisi, "[Salam sejahtera atas anda. Amma ba'du. Sesungguhnya jika seorang hamba menjalankan ketaatan kepada Allah maka Allah pasti mencintainya. Ketika Allah telah mencintainya maka Dia akan Menjadikan para hambaNya menjadi para pecintanya. Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kemaksiatan maka Allah pasti membencinya dan bila Allah membencinya niscaya Dia akan menjadikan para hambaNya ikut serta membencinya.] (Disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam al Asma' was Shifaat)

Agar buah ini bisa dihasilkan, sebagian ahli makrifat memberikan petunjuk pentingnya seorang muslim yang terbina mewajibkan diri untuk memiliki jiwa yang pemurah (Sakhawatunnafsi), hati yang bersih dari penyakit (Salamatus shadri), serta kasih sayang kepada makhluk Allah seluruhnya (Rahmatul Ummah). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Kalian tidak pernah beriman sehingga kalian saling mengasihi" para sahabat bertanya, "Kita semua adalah manusia penyayang" Beliau bersabda, "Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang dari kalian kepada temannya, melainkan kasih sayang kepada sesama seluruhnya" HR Thabarani.

Sebagian ahli makrifat juga menjelaskan bahwa kecintaan Allah yang berarti kecintaan semua makhluk pasti didapatkan oleh seseorang yang mampu menumbuhkan dalam dirinya lima hal berikut; 1) setia (Wafa') pada janji, 2) menjaga dan mengindahkan batasan-batasan, 3) rela dengan apa yang ada, 4) sabar akan sesuatu yang telah hilang, 5) menurut kepada Dzat yang disembah.

Al Wudd ini didapatkan oleh seseorang karena dengan ini semua, disertai dengan ikhlash, shidiq dan raghbah, ia telah berdiri dalam Maqam Ubudiyyah, sebuah maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Iman. Apalagi jika ia juga telah sampai pada Maqam Ubuudah, maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Ihsan, yaitu ketika ia telah sirna melupakan dirinya serta amal ketaatan yang dilakukannya. Allah berfirman, "tetapi Allah-lah yang memberikan anugerah atas kalian karena Dia telah Menunjukkan kalian kepada keimanan" QS al Hujurat:17. "dan tidak-lah kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar"QS al Anfaal: 170. Di bawah kedua maqam ini adalah Maqam Ibadah; yaitu ketaatan berupa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang merupakah aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Islam .

Selain mendapatkan kecintaan (al \wudd) para hamba yang menjadi tanda kecintaan Allah azza wajalla, seorang yang telah berhasil memadukan Iman dan Amal sholeh juga akan mendapatkan buah lain yang juga tidak kalah lezat dan menyegarkan. Buah lain itu ini adalah khidupan yang baik (al Hayah at Thayyibah).Allah ta'alaa berfirman: "Barang siapa beramal shaleh baik lelaki atau perempuan dan dia seorang yang beriman maka sungguh niscaya Kami akan memberinya kehidupan yang baik dan niscaya Kami akan memberikan balasan pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan"QS An Nahl:97.

Al Hasan al Bashri berkata: "Kehidupan yang baik adalah Qana'ah" atau dengan bahasa lain kekayaan hati. Said bin Juber dan Atha' berkata: "Kehidupan yang baik adalah rizki yang halal". Mujahid dan Qatadah berkata: "Kehidupan yang baik adalah surga karena surga adalah kehidupan tanpa kematian, kekayaan tanpa kemiskinan, sehat tanpa sakit, kekuasaan yang tidak pernah hancur, dan keberuntungan tanpa kesengsaraan". Allah berfirman: "Dan tiadalah seorangpun tahu apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam ni'mat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" QS As Sajdah: 17.

Sebenarnya masih banyak lagi buah yang didapatkan oleh seorang yang mampu menggabungkan Iman dan Amal shaleh seperti halnya kekuatan firasat atau dengan bahasa lain insting yang kuat dan tajam atau mimpi-mimpi yang sering menjadi kenyataan yang dalam bahasa hadits biasa disebut dengan Mubassyiraat dan ditegaskan sebagai bagian daripada Nubuwwah.

Mungkin buah-buah tersebut mampu melecut semangat untuk mendapatkannya, akan tetapi harus disadari bahwa menggabungkan Iman dan Amal shaleh merupakan aktivitas yang berat. Perlu proses untuk menuju ke sana. Dan bila sudah bisa dilakukan pun sangat mungkin tidak bisa bertahan lama kecuali jika memang perangkat menuju ke sana telah dilengkapi dan alat keamanan untuk menjaganya betul-betul canggih. Sarana dan alat tersebut adalah adanya dorongan dari orang lain baik guru, orang dekat, komunitas jamaah dll seperti ditegaskan Allah dalam firmanNya, "Demi masa. Sesungguhnya Manusian dalam kerugian kecuali orang yang beriman, beramal shaleh dan saling berwasiat akan kebenaran dan kesabaran"QS al Ashr. Ayat ini memberikan ajaran betapa manusia seluruhnya sengsara kecuali yang beriman. Keimanan pun masih dalam bahaya jika tidak disertai amal shaleh. Amal shaleh tidak pernah akan eksis, berkesinambungan dan meningkat kecuali ada stimulan yang berupa saling memberikan wasiat dan dorongan.

Ibarat seorang pencari ilmu yang kegilaannya menjadikan dirinya berusaha sekuat tenaga mencari ilmu dan mengembangkan pengetahuan dengan berbagai media yang bisa dilakukan. Begitulah kiranya seorang yang memiliki tekad untuk menggabungkan Iman dan Amal shaleh. Ia tidak pernah akan bosan mamacu diri dengan berbagai sarana yang bisa dilakukan baik dengan rajin mengikuti kajian atau menjalani hidup di tengah komunitas yang penuh dengan aktivitas ibadah "Tabahkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyembah Tuhan mereka di waktu siang dan malam..."QS al Kahfi: 28.

Seperti dimaklumi bersama bahwa naluri beragama telah tertanam dalam diri setiap manusia. Hanya saja untuk bisa terlihat,naluri ini perlu mendapatkan stimulasi. Mengikuti kajian dan hidup dalam sebuah komunitas Jamaah dengan seorang guru pembimbing adalah usaha menguatkan stimulan tersebut. Semakin kuat maka semakin gencar pula amal shaleh dilakukan dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa keinginan menggabungkan Iman dan Amal Shaleh sebagai syarat mendapatkan buahnya (al Wudd, al Hayat At Tahyyibah, al Mubasysyirat dan Quwwatul Firasat) hanyalah sebuah keinginan jika sarana dan alat meraih keinginan tersebut belum terwujud. Allahumma waffiqnaa