May 29, 2014

May 28, 2014

Al Qur’an, Energy Kemuliaan & Rahasia Dibalik Kebersamaan

QS al Baqarah:185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًي لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَي وَالْفُرْقَانِ ...

Bulan Ramdhan adalah bulan di mana Alqur’an diturunkan di dalamnya sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk  itu dan pembeda (antara yang hak dan bathil)…”

Analisa Ayat

Seperti dimaklumi bahwa pada bulan Ramadhan seorang muslim dituntut supaya bersabar dan meneguhkan diri menjalani berbagai macam ritual Ramadhan berupa  puasa, qiyam ramadhan dsb secara total baik fisik ataupun mental semata demi mewujudkan keimanan yang kuat sebagai bekal menuju ketaqwaan. Sementara ada hal sangat penting dan perlu dimengerti ketika dalam ayat ini Allah azza wajalla menyebutkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan di mana terjadi peristiwa agung dan mulia, yaitu Nuzul Alqur’an. Ayat ini menyebutkan Alqur’an bersama bulan Ramadhan sebagaimana halnya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Puasa dan Alqur’an sama-sama memberi syafaat kepada seorang hamba kelak di hari kiamat. Puasa berkata: “Duhai Tuhanku, saya mencegahnya dari makanan dan syahwat maka biarkanlah saya memberinya syafaat” Alqur’an lalu berkata:“Duhai Tuhanku, saya menghalanginya tidur di malam hari maka biarlah saya memberinya syafaat”Nabi bersaba:. “Maka syafaat keduanya pun diterima oleh Allah” (HR Ahmad Thabarani Ibnu Abi Dun’ya Hakim). Selain memberi makna bahwa puasa, dalam hal ini adalah di bulan Ramadhan, seyogyanya dihias dengan bacaan Alqur’an. Penegasan adanya Nuzul Alqur’an di bulan Ramadhan juga memiliki hikmah:

A) Keharusan bagi umat Islam untuk bersabar dan meneguhkan diri berjalan mengikuti tuntunan dan petunjuk Alqur’an dalam segala aspek kehidupan tanpa peduli dengan berbagai tantangan dari berbagai pihak dan golongan internal Islam maupun pihak eksternal. Segala keinginan pasti ada tantangan, itulah lakon kehidupan. Termasuk dalam upaya mengibarkan bendera Alqur’an. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.“ QS al Kahfi:54.

Ini karena Alqur’an adalah petunjuk bagi manusia. Di dalamnya penuh dengan penjelasan-penjelasan dan pembeda (Furqaan). Alqur’an datang dengan misi mensucikan Aqidah, membersihkan moral etika, membimbing amal sampai pada tingkat profesional, mendorong kepada jalan keberhasilan, memberi peringatan agar menjauhi jalur-jalur kesesatan dan kecelakaan sebagaimana firman Allah, dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” QS al An’aam:154. “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. QS al Fath:28. Alqur’an juga datang dalam rangka memberikan keputusan dalam segala konflik yang terjadi di antara manusia, “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka… “ QS al Maidah:49.

Alqur’an penuh dengan energy kemuliaan karena ia datang dari Allah Dzat Maha Mulia. Diturunkan dengan iring-iringan dan pawai makhluk mulia yaitu para malaikat yang secara langsung dipimpin oleh Jibril penghulu para malaikat. Alqur’an juga diturunkan pada momen mulia bulan Ramadhan kepada makhluk termulia Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diutus kepada umat termulia dibandingkan umat-umat sebelumnya. Tentu saja kemuliaan ini baru bisa terwujud dan dirasakan oleh umat yang mau menerima Alqur’an secara komprehensif dan aplikatif, bukan hanya sekedar simbolis dengan hanya membeli lembaran-lembaran mushafnya, menaruhnya di rak koleksi dan sesekali waktu membacanya. Kondisi inilah yang sekarang terjadi dalam mayoritas kaum muslimin di seluruh negeri sehingga dari sana sini ada berita kemiskinan, kelaparan, keterbelakangan, kelemahan dan ketidakberdayaan yang seluruh obyek beritanya adalah kaum muslimin kaum yang memiliki kwantitas tangguh tetapi secara kwalitas loyo sebagai akibat tidak mau mengamalkan Alqur’an.

Kondisi demikian bertolak belakang dengan kaum muslimin generasi terdahulu yang memang secara total mengamalkan Alqur’an dalam segala aspek kehidupan baik secara individu, keluarga, masyarakat dan negara sehingga mereka mendapatkan janji Allah berupa kekuasaan, kemenangan dan kesejahteraan sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik “ QS An Nuur:55.

B) Alqur’an mengalami dua proses turun (Nuzul);
(a) Proses Inzal. Turun dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan pada malam Lailatul Qadar sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan“ QS al Qadar:1.
(b) Proses Tanziil. Turun secara berkala (Munajjaman) sebagaimana Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran secara bertahap, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” QS al Hijr:9. juga firman Allah:

تَنْـزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِ
(sebagai wahyu) yang diturunkan secara bertahap oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,“ QS Yasin:05.

Imam Suyuthi rahimahullah berkomentar: [Andaikan hikmah Ilahiyyah tidak menggariskan kedatangan Alqur’an kepada manusia secara bertahap sesuai keadaan yang terjadi niscaya Alqur’an akan turun di bumi secara keseluruhan seperti halnya kitab-kitab sebelumnya. Tetapi, Allah Menjadikan Alqur’an berbeda dengan kitab-kitab terdahulu dengan memberinya dua tahapan; Inzaal dan Tanziil semata demi memuliakan manusia yang menerima Alqur’an (al Munzal alaih]

Dalam proses Tanziil ada sekian banyak maksud dan tujuan:
  1. Meneguhkan hati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi aksi pendustaan orang-orang yang memusuhinya.
  2. Talatthuf, rasa sayang dalam wujud semacam dispensasi untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika menerima wahyu. Sebab haebah, wibawa dan kharisma Alqur’an begitu hebat sehingga andaikan diturunkan kepada gunung niscaya akan hancur lebur.”Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran itulah dia”)QS ar Ra’ad:31.
  3. Bertahap dalam permberlakuan hukum-hukum Islam
  4. Memudahkan kaum muslimin dalam menghafal dan memahami Alqur’an
  5. Mengikuti perkembangan peristiwa yang terjadi dengan harapan bisa lebih mudah dan mengena dalam hati untuk mengambil pelajaran darinya.
Poros dari semua hal ini adalah pentingnya mengamalkan Alqur’an dalam kehidupan nyata sebagai standar nilai segala dimensi kehidupan karena –sekali lagi- Alqur’an adalah petunjuk, cahaya, rahmat, dan obat di mana semua ini betul-betul diresapi dan dihayati oleh malaikat sehingga mereka mengiringnya; berbeda dengan kebanyakan manusia yang kehilangan daya resap dan penghayatan seperti ini sehingga mereka layak disebut oleh Alqur’an: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…“ QS al Maidah:50.

Akhirnya dari keimanan kita akan keberadaan Alqur’an yang diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan memberikan isyarat bahwa Allah memiliki keputusan yang wajib diimani berupa realitas tertulisnya Alqur’an di sisiNya sebelum akhirnya diturunkan secara bertahap ke dunia. Ini juga menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat Maha Luas ilmuNya. Allah A’lam.



May 7, 2014

Hikmah Ta'lim Pagi 8 Mei 2014

Manusia dengan sifat dasarnya yang bermacam-macam terutama sifat yang kurang baik, seperti suka mengeluh, suka berdebat, pemarah, iri, dengki dan pendendam kikir telah disiapkan oleh Allah ta'ala sebuah penetralisir yg berupa AGAMA atau IMAN. Terbukti dimana sahabat Umar bin Khattab yg keras dan pemarah, dengan suaranya yg lantang ketika tersentuh agama dan iman dari Allah ta'ala yang d bawa Rasullah shallallahu 'alaihi wasallam dapat menjadi lembut. Sehingga, ketika berbincang dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suaranya begitu lirih sampai-sampai Rasulullh shallallahu 'alaihi wasallam meminta untuk mengeraskan sedikit.

Abina@Hikmah Ta'lim Pagi Pujon | 080514
diresume: zulfikarkamal

May 6, 2014

Hikmah Ta'lim Pagi 07 Mei 2014

Di puji tidak tinggi hati, di caci tidak sakit hati, itulah gambaran jika seseorang mampu ikhlas, cacian dan pujian adalah sesuatu yg tak ber arti baginya, itu akan terwujud jika kita mampu menata dan me-manage niat.

Abina@Pujon.070514 | diresume@zulfikarkamal

Pamer ibadah, wanita berbaju ketat, dan puasa neptu

Pertanyaan:
1.      Semua amal kebaikan itu dinilai dari niatnya, lalu bagaimana ketika kita sedang melakukan sesuatu yang sudah diniati ikhlas karena Allah ta’ala, tiba-tiba terbersit rasa ingin pamer atau ingin dipuji seseorang? 
2.      Bagaimana hukum perempuan yang memakai baju ketat meski itu sudah dibilang menutup aurat?
3.      Saya pernah diberitahu oleh seorang teman bahwa ada yang disebut puasa neptu (orang jawa menyebutnya demikian). Benarkah itu ada, dan kaitannya dengan ada atau tidak ada, apa dasar hukumnya?.

Jajang Mahendra.
E-mail: vijay_171001@XXXX

Jawaban:
Saudara Jajang yang berbahagia. Pamer atau ingin dipuji manusia yang disebut dengan riya’, dalam hal amal kebaikan (ibadah), termasuk perbuatan yang tercela (haram), karena ibadah sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah swt secara ikhlas karena-Nya semata. Ibadah menjadi bagian total dan keniscayaan pengabdian terhadap-Nya. Firman Allah swt:
وَمَا اُمِرُوا اِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدّينَ حُنَفَاء
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus. (Q.S. Al-Bayyinah: 5)

Riya’ termasuk perbuatan yang bisa menghapus pahala beramal (al-muhlikat). Orang yang sholat misalnya atas dasar riya’, maka pahala ibadah itu terhapus. Mengenai total atau tidaknya amal yang terhapus oleh riya’, Imam Ibnu Qudamah memberikan klasifikasi. Pertama, bila riya’ dilakukan dalam asal (pangkal) ibadah, misalnya tidak pernah sholat, lalu karena ingin dipuji, dia sholat, maka dalam hal ini riya’ menghapus pahala amal secara total. Nilai dari ibadah itu menjadi nol. Riya’ semacam ini disebut dengan riya’ jali (riya’ secara terang-terangan). Kedua, bila riya’ dilakukan dalam sifat-sifat ibadah, misalnya seseorang biasa menjalankan sholat, namun begitu dilihat orang, dia panjangkan ruku’ dan sujudnya. Termasuk juga beribadah dengan niat ikhlas, tiba-tiba di tengah-tengah terbersit rasa ingin pamer. Riya’ ini juga menghapus amal namun tidak secara total. Riya’ semacam ini dikenal dengan nama riya’ khofi (riya’ yang bersifat samar).

Dahulu, riya’ dalam hal ibadah merupakan karakter orang-orang yang memiliki sifat nifaq (munafiq). Mereka tidak melakukan ibadah kecuali dengan tujuan riya’. Sementara umat Islam yang taat, mereka  tidak beribadah kecuali untuk dipersembahkan kepada Allah swt. Hanya saja, bagi kaum muslimin kebanyakan, campuran (ilfiltrasi) riya’ kerap turut menyusup dalam praktek ibadah mereka, khususnya riya’ khofi.  Kalangan kaum muslimin yang ibadahnya tidak terpolusi oleh riya’ sama sekali adalah orang-orang yang disebut dengan ash-shiddiqun (orang-orang yang berperilaku jujur dan benar). Kita sebaiknya berusaha menteladani perilaku jujur dan benar kalangan ash-shiddiqun tersebut.
Bila riya’ dilakukan dalam hal selain ibadah, misalnya penampilan dan jabatan, menurut Imam Ibnu Qudamah, perilaku ini tidak serta merta disifati haram (laa yuushafu bit tahrim).

Mengenai wanita berpakaian ketat, yang menampakkan lekuk tubuhnya, meskipun itu telah menutup aurat, hukumnya menurut syariat Islam adalah terlarang, karena termasuk bagian dari tabarruj. Allah swt berfirman:

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُوْلَى

Dan janganlah kamu (para wanita) melakukan tabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang dahulu. (Q.S. Al-Ahzaab: 33)
Tabarruj asalnya bermakna mempertontonkan hiasan dan kecantikan kepada orang lain. Qotadah mengatakan, tabarruj adalah langkah wanita berjalan genit. Ibnu Abi Najih mengatakan, tabarruj ialah ketika wanita memakai wangi-wangian semerbak baunya (di luar rumah, untuk orang lain). Sedang Al-Farra’ mengatakan, tabarruj ialah memakai pakaian yang tipis (ketat) yang mengilustrasikan lekuk tubuh wanita. (Ahkamun Nisaa’, Ibnul Jauzi: 122)
            Soal puasa neptu. Puasa adalah ibadah mahdoh, ibadah murni yang aturannya ditetapkan oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Aturannya bersifat absolut. Dalam hal puasa fardlu, Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Sedang mengenai puasa-puasa sunnah, sudah diatur sedemikian jelas dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Dan dari hadits-hadits yang ada, tidak ada keterangan sama sekali mengenai puasa dalam momentum neptu, berbeda dengan puasa Senin-Kamis, puasa Asyuro’, puasa Arafah, puasa tiga hari setiap bulan, puasa Dawud, dsb. Namun bukan berarti beribadah puasa itu tidak boleh. Bila diniati ibadah puasa sunnah karena Allah swt, berniat menghindarkan diri dari makan haram, berniat memperbaiki diri, ketentuannya sesuai dengan aturan syara’, dan sebagainya, tanpa berniat berpuasa neptu yang tidak ada dalilnya, tentu tidak ada larangan.


May 4, 2014

Hikmah Ta'lim, 4 Mei 2014

Enak itu ketika kita melihat orang lain atau orang lain melihat kita. Padahal, kenyataannya tidak seperti apa yang kita atau mereka lihat. Karena itu adalah pandangan semu, ibaratnya kita melihat gunung yang indah dari kejauhan, padahal jika kita mendekat penuh dg jalan yang berliku dan jurang yg terjal. Kebahagian sejati itu bukan disini.

hikmah tausiah Abina, Mei 2014.
diresume@zulfikar.kamal