Apr 30, 2014

Hikmah Ta'lim Pagi 30 April 2014

"Ketika seorang khalifah Umar bin Abdul Aziz hendak meninggal dunia, beliau mengumpulkan putra putrinya dan berwasiat, "Aku tidak akan meninggalkan kalian sepeserpun uang atau harta, tapi aku berharap kalian menjadi orang-orang yg sholeh. Jika kalian menjadi orang-orang yang sholeh maka Allohlah yg akan mengurus kalian semua."'

Pujon, 30 April 2014, diresume | zulfikar kamal

Apr 29, 2014

Lapang Dada

Salah satu dari Asma’ul Husna adalah al Afuwwu, yang artinya: Allah adalah Dzat Maha Pemaaf yang melebur keburukan–keburukan (Sayyi’aat) serta memaafkan kemaksiatan–kemaksiatan. Al Afuwwu masih berdekatan dengan nama Allah al Ghafuur , Maha Pengampun, hanya saja Permaafan lebih dari sebuah Pengampunan, sebab pengampunan hanya diikuti dengan penutupan (kasus) sementara permaafan disertai dengan penghapusan kasus.

Dalam rangka menerapkan karakter ketuhanan ini, seseorang harus belajar dan terus belajar menjadi orang yang lapang dada atau berbesar hati sebagaimana Nabi Musa  alaihissalam berdo’a kepada Allah:
“Musa berkata “Ya Tuhanku lapangkanlah dada saya!” QS. Thaha: 25.

Maksudnya luaskanlah hati saya (besarkanlah hati saya) supaya tidak menjadi sempit (agar tak berkecil hati) menghadapi kebodohan para penantang serta tidak merasa gentar dengan kekuatan dan jumlah mereka yang besar. Disebutkan bahwa ketika menerima perintah melawan Fir’aun dan pasukannya, nyali Nabi Musa alaihissalam  ciut, tetapi karena ketundukan penuh kepada Allah, maka Beliau berdo’a supaya hatinya dilapangkan olehNya agar hati itu meyakini bahwa siapapun tak memiliki daya menimpakan bencana atau bahaya kecuali atas kehendakNya.

Selanjutnya perlu dimengerti bahwa bahasa Lapang Dada tak lebih dari sebuah bahasa kiasan dari hati yang besar dan bersih penuh dengan cahaya ilahi. Jika Nabi Musa alaihissalam  meminta hal tersebut maka sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah menerimanya dari Allah Swt:

“Bukankah telah Aku lapangkan untukmu dadamu (hatimu)?”QS. al Insyirah: 1.
Bias cahaya dari sikap berbesar hati berlapang dada di antaranya adalah seperti berikut:

1)      Sikap tidak peduli, tidak memandang dan tidak mendengarkan (Ighdho’) omongan– ongan orang bodoh. Oleh Alqur’an sikap ini disebut menjadi salah satu karakter Ibaadur Rahmaan (para hamba Alloh Maha Pengasih) , “Dan jika orang–orang bodoh melemparkan omongan kepada mereka maka mereka berkata: Selamat!” QS. al Furqaan: 63, maksudnya jika ada orang bodoh yang mengeluarkan kata–kata kotor dan kasar kepadanya maka sama sekali tidak membalas dengan kata– kata serupa, justru dia berlapang dada dan berbesar hati memaafkan serta membalas dengan kata– kata yang baik.

Pernah ada seorang mencaci temannya di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi orang yang dicaci malah membalas: “Semoga keselamatan atasmu!” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada orang yang dicaci:  “Sesungguhnya di antara kalian berdua ada malaikat yang membelamu setiap kali ia mencacimu”Beliau melanjutkan: “dan bila kamu mengucapkan selamat kepadanya (pencacimu) maka malaikat itu berkata: “Tidak, kamu yang lebih berhak dengan ucapan salam itu”. HR. Ahmad. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  pernah dicaci maki oleh Abu Jahal dalam suatu kesempatan. Abu Jahal mencaci Beliau serta agama yang Beliau ajarkan, akan tetapi Beliau sedikitpun tidak membalas dan pergi begitu saja saat Abu Jahal telah memuaskan egonya. Sikap ini menarik simpati dari seorang wanita yang kebetulan menyaksikan drama tidak seimbang tersebut. Wanita itu lalu melaporkan apa yang dia saksikan kepada Hamzah yang tidak lama juga melintas di tempat kejadian. Wanita itu berkata kepada Hamzah: “Wahai Abu Imarah, andai saja anda melihat apa yang menimpa keponakan anda barusan niscaya anda pasti marah, Abu Jahal telah mencela dan mencacinya habis–habisan, tetapi keponakan anda diam dan tak sepatahpun membalas!”

Kabar ini terasa memilukan hati Hamzah hingga kemarahannya kepada Abu Jahal memuncak. Dia segera mencari Abu Jahaldan memukul Abu Jahal  dengan busur sampai wajah Abu Jahal berdarah. Kepada Abu Jahal, Hamzah berkata: “Apakah kamu akan menyakiti Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya?” Sesudah itu Hamzah datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  dan menyatakan diri masuk Islam.

Ayat di atas oleh mayoritas ulama menjadi dasar bahwa tidak menghiraukan (Ighdho’) omongan orang bodoh merupakan suatu hal yang sangat dianjurkan baik ditinjau dari segi etika, muru’ah  maupun syaria’ah, bahkan sikap tidak menghiraukan tersebut lebih aman dalam menjaga kehormatan diri. Dalam sebuah syair hikmah dikatakan: Jika ada orang bodoh berbicara maka jangan dijawab, sebab jawaban terbaik bagianya adalah diam.

Bersikap seperti  pesan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam kepada Uqbah bin Amir: “Sambunglah orang yang memutuskanmu, berilah orang yang tidak mau memberimu dan berpalinglah dari orang yang menganiayamu” HR. Ahmad.
Ada tiga sikap berlapang dada dan berbesar hati yang diajarkan dalam hadits ini;
a) Menyambung orang yang memutuskan, mengunjungi orang yang tidak pernah berkunjung kepada kita. Adapun realitas saling mengunjungi maka hal itu sebuah sikap yang sangat manusiawi dan seimbang, maka tidak masuk dalam kategori berlapang dada. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Penyambung sejati bukanlah orang yang membalas jasa, tetapi orang yang jika diputuskan maka segera dia menyambung” HR. Bukhari.
b) Memberi kepada orang yang tidak memberi kita (berderma kepada orang yang kikir), atau memberikan sesuatu kepada orang yang suka menjegal langkah kita.
c) Berpaling dari orang yang zhalim. Membalas kepada orang yang berbuat zhalim memang dibenarkan sesuai dengan kadar kezhaliman, akan tetapi jika tidak membalas maka itu sungguh bernilai tinggi di sisi Allah: “Dan jika kalian hendak melakukan pembalasan maka balaslah sesuai dengan apa yang mereka lakukan, tetapi jika kalian mau bersabar maka sesungguhnya itu lebih baik bagi orang–orang yang bersabar” QS. an Nahl: 126.

Kemenangan yang diraih Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  dan pasukan Islam  dalam peristiwa penaklukan Makkah tidak lantas menjadikan mereka lepas kontrol, melampiaskan amarah menuntut balas atas segala yang pernah dilakukan oleh orang kafir. Andai saja waktu itu kaum muslimin menuntut balas maka sungguh sangat layak, tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  dengan kebesaran jiwa dan kelapangan dada malah bertanya: ”Wahai orang–orang Quresy, apa kiranya yang hendak aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau adalah saudara kami yang murah hati dan putra saudara kami yang baik budi”. Menanggapi jawaban mereka, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku katakan kepada kalian seperti yang dikatakan oleh Yusuf kepada para saudaranya “Kalian tidak bersalah, pergilah karena kalian semua merdeka”. Abu Bakar ra. juga demikian, kecemburuan sebagai seorang ayah membuatnya mengambil keputusan tidak akan lagi menanggung biaya hidup Misthah bin Utsatsah yang turut ambil bagian dalam menyebarkan berita bohong tentang Aisyah ra., hingga turunlah ayat yang intinya menegaskan supaya Abu Bakar berbesar hati dengan tetap menanggung biaya hidup Misthah seperti selama ini telah berjalan. Allah berfirman: “Dan janganlah orang–orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, (yaitu) orang–orang miskin dan yang berhijrah di jalan Allah, hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian…” QS. an Nuur: 22.

Berlapang dada memang bukan suatu hal yang mudah, tidak mempedulikan kata–kata cercaan orang yang bodoh, menyambung orang yang memutuskan, memberi orang yang pelit serta berpaling dan melupakan kezaliman yang dilakukan oleh orang lain atas diri kita memang bukan hal yang gampang, akan tetapi dengan mengingat janji Allah yang teramat besar berupa ampunan mungkin sedikit akan memudahkan jika memang keimanan kita sedang dalam kondisi subur. Dan mungkin langkah untuk berbesar hati terasa lebih mudah jika kita melihat sebuah kemungkinan bahwa bisa jadi apa yang dilakukan oleh orang lain tehadap kita -seperti kita dicaci, diputuskan, tidak diberi sesuatu atau dianiaya–tidak lain adalah sebagai respon atau reaksi atas apa yang kita lakukan sendiri. Jika berbesar hati dan berlapang dada atau berbuat santun ini bisa menjadi ciri khas dan watak kita maka silahkan menunggu janji Allah ta’ala seperti tertulis dalam sebuah hadits yang artinya:  “Ketika Allah mengumpulkan seluruh makhluk pada hari kiamat maka ada orang yang memanggil supaya para ahli keutamaan bangkit serta dikatakan kepada mereka masuklah ke dalam surga! Malaikat bertanya: Hendak ke manakah kalian? Ke surga, jawab mereka. Malaikat bertanya: Sebelum dihisab? Mereka menjawab: Ia. Siapa kalian? Tanya Malaikat. Mereka menjawab: Kami para ahli keutamaan. Malaikat bertanya: Apa keutamaan kalian? Mereka menjawab: Jika kami dibodoh–bodohkan maka kami berlaku santun, jika dianiaya kami bersabar, dan jika diperlakukan buruk maka kami memaafkan. Kemudian dikatakan kepada mereka: Silahkan memasuki surga, sebaik- baik pahala orang yang beramal“ (Hadits ini termuat dalam Tafsir Tanwirul Adzhaan)

2)      Menahan kemarahan, “…dan orang–orang yang menahan kemarahan…”QS. Ali Imran: 134.  Seorang lelaki bertanya: “Wahai Nabi Allah, tunjukkanlah kepada saya amal yang bisa memasukkan saya ke surga!” Nabi shallallahu alaihi wasallam  menjawab: “Jangan marah dan bagimu surga” HR. Thabarani. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menahan amarah, padahal dia mampu untuk menurutinya maka Allah pasti memanggilnya di depan pandangan semua makhluk hingga Allah mempersilahkan baginya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki”HR. Abu Dawud Turmudzi. []


Apr 28, 2014

Ketika Iman dan Amal Shaleh Berpadu

QS. Maryam;96
إِنَّ الّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُ الرَّحْمنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, untuk mereka Allah Maha Pengasih akan menjadikan kecintaan (di hati para hamba)."

Analisa Ayat

Sebagaimana dimengerti bahwa Iman memiliki sekian banyak konsekwensi. Banyak hal yang harus disandingkan dengan Iman. Hal demikian telah dijelaskan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam; "Iman memiliki 60 lebih cabang; yang paling tinggi adalah Laa ilaah illallah dan yang paing rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan" (Al-Hadits) Cabang-cabang ini yang menjadi tanda kehidupan Iman secara singkat dan dalam bahasa lain adalah Amal Shaleh. Jadi Iman harus disertai dengan Amal shaleh. Amal shaleh menjadi begitu penting ketika tanpanya Iman menjadi kering dan dalam waktu singkat sangat mungkin akan segera roboh. Ibarat pohon, Iman adalah akar dan batangnya. Sementara amal shaleh adalah air yang memberinya kehidupan dan menjadikannya berdaun rimbun serta berbuah lebat. Di sinilah akal menemukan salah satu hikmah betapa banyak ayat suci Alqur'an yang menyandingkan Iman dengan Amal Shaleh. Bahkan pada beberapa ayat juga sekaligus disertakan dorongan, janji pahala dan faedah bagi mereka yang mampu menyandingkan dan memadukan Iman dengan Amal Shaleh. Di antara faedah yang dimaksud antara lain seperti disebutkan dalam ayat di atas yang berupa Wudd, kasih sayang dan rasa cinta di hati para hamba.

Wudd di atas secara tiba-tiba memang ditanamkan Allah di hati para hamba sehingga terjadilah peristiwa betapa mereka begitu bersimpati kepada seseorang meski tidak pernah mengenal atau menerima kebaikan dari orang tersebut. Wudd ini semata adalah pancaran cahaya cinta dan kasih sayang Allah kepadanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الله إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيْلَ فَقَالَ يَاجِبْرِيْلُ إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ . فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِي فِى أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ الله يُحِبُّ فُلانَاً فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِى اْلأَرْضِ ...


"Sesungguhnya ketika Allah telah Mencintai seorang hamba, Dia berseru kepada Jibril, "Hai Jibril, sesungguhnya Aku Mencintai seseorang maka cintailah ia" Jibril pun mencintainya. Kemudian ia berseru di kalangan penduduk langit, "Sesungguhnya Allah Mencintai seseorang maka silahkan kalian mencintainya" Penduduk langit pun mencintainya sehingga lalu diletakkan untuknya Qabul (penerimaan) di (kalangan penduduk ) bumi…" HR. Ahmad.

Abu Darda' ra berkirim surat kepada Maslamah bin Mukhallad yang kala itu menjadi gubernur di Mesir. Surat ini berisi, "[Salam sejahtera atas anda. Amma ba'du. Sesungguhnya jika seorang hamba menjalankan ketaatan kepada Allah maka Allah pasti mencintainya. Ketika Allah telah mencintainya maka Dia akan Menjadikan para hambaNya menjadi para pecintanya. Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kemaksiatan maka Allah pasti membencinya dan bila Allah membencinya niscaya Dia akan menjadikan para hambaNya ikut serta membencinya.] (Disebutkan oleh Imam Baihaqi dalam al Asma' was Shifaat)

Agar buah ini bisa dihasilkan, sebagian ahli makrifat memberikan petunjuk pentingnya seorang muslim yang terbina mewajibkan diri untuk memiliki jiwa yang pemurah (Sakhawatunnafsi), hati yang bersih dari penyakit (Salamatus shadri), serta kasih sayang kepada makhluk Allah seluruhnya (Rahmatul Ummah). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Kalian tidak pernah beriman sehingga kalian saling mengasihi" para sahabat bertanya, "Kita semua adalah manusia penyayang" Beliau bersabda, "Sungguh bukanlah seperti kasih sayang salah seorang dari kalian kepada temannya, melainkan kasih sayang kepada sesama seluruhnya" HR. Thabarani.

Sebagian ahli makrifat juga menjelaskan bahwa kecintaan Allah yang berarti kecintaan semua makhluk pasti didapatkan oleh seseorang yang mampu menumbuhkan dalam dirinya lima hal berikut; 1) setia (Wafa') pada janji, 2) menjaga dan mengindahkan batasan-batasan, 3) rela dengan apa yang ada, 4) sabar akan sesuatu yang telah hilang, 5) menurut kepada Dzat yang disembah.

Al Wudd ini didapatkan oleh seseorang karena dengan ini semua, disertai dengan ikhlash, shidiq dan raghbah, ia telah berdiri dalam Maqam Ubudiyyah, sebuah maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Iman. Apalagi jika ia juga telah sampai pada Maqam Ubuudah, maqam yang merupakan aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Ihsan, yaitu ketika ia telah sirna melupakan dirinya serta amal ketaatan yang dilakukannya. Allah berfirman, "tetapi Allah-lah yang memberikan anugerah atas kalian karena Dia telah Menunjukkan kalian kepada keimanan" QS. al Hujurat:17. "dan tidak-lah kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar"QS. al Anfaal: 170. Di bawah kedua maqam ini adalah Maqam Ibadah; yaitu ketaatan berupa menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang merupakah aktivitas dan tugas (Wazhifah) Ahlul Islam .

Selain mendapatkan kecintaan (al-wudd) para hamba yang menjadi tanda kecintaan Allah azza wajalla, seorang yang telah berhasil memadukan Iman dan Amal sholeh juga akan mendapatkan buah lain yang juga tidak kalah lezat dan menyegarkan. Buah lain itu ini adalah khidupan yang baik (al Hayah at Thayyibah).Allah ta'alaa berfirman: "Barang siapa beramal shaleh baik lelaki atau perempuan dan dia seorang yang beriman maka sungguh niscaya Kami akan memberinya kehidupan yang baik dan niscaya Kami akan memberikan balasan pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan" QS. An Nahl: 97.

Al Hasan al Bashri berkata: "Kehidupan yang baik adalah Qana'ah" atau dengan bahasa lain kekayaan hati. Said bin Juber dan Atha' berkata: "Kehidupan yang baik adalah rizki yang halal". Mujahid dan Qatadah berkata: "Kehidupan yang baik adalah surga karena surga adalah kehidupan tanpa kematian, kekayaan tanpa kemiskinan, sehat tanpa sakit, kekuasaan yang tidak pernah hancur, dan keberuntungan tanpa kesengsaraan". Allah berfirman: "Dan tiadalah seorangpun tahu apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam ni'mat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" QS. As Sajdah: 17.

Sebenarnya masih banyak lagi buah yang didapatkan oleh seorang yang mampu menggabungkan Iman dan Amal shaleh seperti halnya kekuatan firasat atau dengan bahasa lain insting yang kuat dan tajam atau mimpi-mimpi yang sering menjadi kenyataan yang dalam bahasa hadits biasa disebut dengan Mubassyiraat dan ditegaskan sebagai bagian daripada Nubuwwah.

Mungkin buah-buah tersebut mampu melecut semangat untuk mendapatkannya, akan tetapi harus disadari bahwa menggabungkan Iman dan Amal shaleh merupakan aktivitas yang berat. Perlu proses untuk menuju ke sana. Dan bila sudah bisa dilakukan pun sangat mungkin tidak bisa bertahan lama kecuali jika memang perangkat menuju ke sana telah dilengkapi dan alat keamanan untuk menjaganya betul-betul canggih. Sarana dan alat tersebut adalah adanya dorongan dari orang lain baik guru, orang dekat, komunitas jamaah dll seperti ditegaskan Allah dalam firmanNya, "Demi masa. Sesungguhnya Manusian dalam kerugian kecuali orang yang beriman, beramal shaleh dan saling berwasiat akan kebenaran dan kesabaran" QS. al Ashr. Ayat ini memberikan ajaran betapa manusia seluruhnya sengsara kecuali yang beriman. Keimanan pun masih dalam bahaya jika tidak disertai amal shaleh. Amal shaleh tidak pernah akan eksis, berkesinambungan dan meningkat kecuali ada stimulan yang berupa saling memberikan wasiat dan dorongan.

Ibarat seorang pencari ilmu yang kegilaannya menjadikan dirinya berusaha sekuat tenaga mencari ilmu dan mengembangkan pengetahuan dengan berbagai media yang bisa dilakukan. Begitulah kiranya seorang yang memiliki tekad untuk menggabungkan Iman dan Amal shaleh. Ia tidak pernah akan bosan mamacu diri dengan berbagai sarana yang bisa dilakukan baik dengan rajin mengikuti kajian atau menjalani hidup di tengah komunitas yang penuh dengan aktivitas ibadah "Tabahkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyembah Tuhan mereka di waktu siang dan malam..."QS. al Kahfi: 28.

Seperti dimaklumi bersama bahwa naluri beragama telah tertanam dalam diri setiap manusia. Hanya saja untuk bisa terlihat,naluri ini perlu mendapatkan stimulasi. Mengikuti kajian dan hidup dalam sebuah komunitas Jamaah dengan seorang guru pembimbing adalah usaha menguatkan stimulan tersebut. Semakin kuat maka semakin gencar pula amal shaleh dilakukan dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa keinginan menggabungkan Iman dan Amal Shaleh sebagai syarat mendapatkan buahnya (al Wudd, al Hayat At Tahyyibah, al Mubasysyirat dan Quwwatul Firasat) hanyalah sebuah keinginan jika sarana dan alat meraih keinginan tersebut belum terwujud. Allahumma waffiqnaa.

Bertayammum dengan Bedak

Pertanyaan:

Saya ingin menanyakan persoalan yang masih menjadi ganjalan selama ini, yaitu hukum bertayammum dengan bedak tabur. Apakah diperbolehkan atau tidak, karena kalau memakai debu ada rasa risih dan takut kotor?

Kamil, Lawang Malang

Jawaban:

Syariat mengenai Tayammum dijelaskan dalam firman Allah:  “Dan jika kalian sakit, atau dalam perjalanan atau datang dari kakus, lalu tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan debu (Sho’id) yang suci…” QS. an Nisa’: 43.

Ayat ini turun pada tahun 6 Hijriyyah tepatnya dalam perang Muroisi’/Banil Mushtholiq di mana Aisyah ra kehilangan kalung. Saat sedang mencari kalung Aisyah ra, waktu shalat tiba dan kebetulan ketika itu tidak ada air hingga turunlah firman Allah tersebut. Menanggapi hal ini Used bin Hudher berkata: “Wahai Aisyah, semoga Allah mengasihimu, sebab tidak terjadi sesuatu yang tidak engkau sukai melainkan Allah menjadikannya jalan keluar bagi umat Islam”.

Tayammum juga menjadi salah satu keistimewaan dan kemurahan yang hanya diberikan oleh Allah kepada umat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.“Diberikan kepadaku lima hal yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku… dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid serta mensucikan…”Muttafaq Alaihi.

Semestinya Tayammum itu harus dengan debu, tidak boleh dengan yang lain. Ini pendapat Madzhab Syafii dan Hambali serta Dawud az Zhahiri.  Sementara madzhab Maliki dan Hanafi memperbolehkan Tayammum dengan segala jenis tanah atau yang berada di atas tanah seperti debu, pasir, batu, kapur, celak (sebelum dipindah dari sumbernya) dan salju. Pendapat ini menilik pada asal makna Sho’iid yang artinya setiap sesuatu yang ada di atas tanah. Juga berpegang pada hadits riwayat Abu Hurairah ra bahwa sebagian orang kampung datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengadu: “Kami berada di tanah berpasir, dan di antara kami ada orang yang junub dan haid, sementara sejak empat bulan kami tidak mendapatkan air?” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib bagi kalian menggunakan tanah” HR. Ahmad.

Dari sini bisa dimengerti bahwa tidak ada dari ulama madzhab manapun yang memperbolehkan bertayammum dengan tepung atau segala yang keluar dari tanah dan sudah melalui proses pembakaran seperti pecahan batu bata, genteng atau gamping. Dalam istilah fiqih disebutkan tidak bolehnya bertayammum dengan remukan Khozaf (Kereweng. Jawa)


Mengenai bertayammum dengan bedak, maka jelas tidak sah sebab apapun bahan bedak itu yang jelas dia telah mengalami proses pembakaran yang otomatis sudah tidak lagi dinamakan debu atau sesuatu yang berada di atas tanah. Soal rasa risih menggunakan debu maka ada baiknya jika diketahui betapa para sahabat begitu tunduk dan patuh dengan apa yang telah diperintahkan. Tiada sedikitpun rasa enggan untuk melakukan. Amar bin Yasir bercerita: “Aku junub, lalu aku menggosok seluruh tubuhku dengan debu, kemudian aku kabarkan ini kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga Beliau bersabda: “Mestinya cukup bagimu seperti ini”, Beliau lalu memukulkan dua tangannya di bumi dan mengusap wajah serta dua tangan” Muttafaq Alaihi. []