Pertanyaan:
Kalau mau shalat sementara tidak ada air, ada jalan yang dituntunkan oleh
syariat Islam, yaitu bertayammum dengan debu. Sekarang kalau terjadi misalnya
keadaan seseorang hendak shalat dengan tidak ada air dan debu pun juga tidak
ada. Apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut? Menunda shalat sambil
mencari air atau debu, ataukah ia shalat dalam keadaan ala kadarnya, yakni
tanpa berwudlu atau bertayammum. Sebagai antisipasi hukum terhadap keadaan
darurat. Saya mohon keterangan dari pengasuh fas’alu sejelas-jelasnya.
Sebelumnya, jazakumullah.
Ahmad Taufiq, Lumingser Adiwarna Tegal
Jawaban:
Di antara syarat-syarat yang
harus dipenuhi menjelang shalat fardlu ialah menutup aurat, menghadap kiblat,
dan berdiri. Atau syarat lainnya ialah suci (bebas dari najis), dengan terlebih
dahulu berwudlu dengan air atau bertayammum manakala tidak ada air atau
berhalangan menggunakan air.
Kalau terjadi tidak ada air,
sementara bertayammum pun tidak bisa karena tidak ada debu (terlepas dari
Madzhab Maliki yang membolehkan bertayammum dengan benda apa saja yang ada di
muka bumi), maka tindakan yang dilakukan ialah, sebagaimana dituturkan oleh
Imam Nawawi pengikut Madzhab Syafi’i, yaitu memilih di antara empat pilihan
berikut ini:
1). Wajib shalat seketika itu
bagaimanapun keadaannya. Shalat ini disebut dengan shalat
lihurmatil wakti (shalat untuk memuliakan waktu). Jika mendapatkan air atau
debu kemudian, maka kewajiban dia untuk mengulangi shalat.
2). Tidak wajib shalat, hanya dianjurkan, tetapi wajib
mengganti (qodlo) dilain waktu.
3). Wajib shalat
seketika itu bagaimanapun keadaannya dan tidak wajib mengulangi.
4). Haram shalat
seketika itu, tetapi wajib mengqodlo di lain waktu.
Di antara empat pilihan ini, pilihan
pertama menurut Madzhab Syafi’i paling valid. Dengan sekian pilihan ini
menunjukkan hendaknya kapan dan di mana saja tidak sampai meninggalkan shalat.
Di balik ini tampak pula kemurahan dan keringanan dari ajaran Islam. (Lihat
Majmu’ An Nawawi jilid II hal. 278). []
0 comments:
Post a Comment