Jan 25, 2014

Menyimpan, Jalan Keberhasilan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
“Jadikan menyimpan sebagai penolong mendapatkan kebutuhan–kebutuhan kalian” (HR Thabarani)

Banyak jalan yang harus dilalui oleh manusia untuk mendapatkan maksud keinginan. Di antara cara yang mungkin sering dilupakan adalah Menyimpan (Kitmaan) dalam arti tidak membeberkan maksud keinginan kepada orang lain sebelum keinginan itu tercapai. Hal ini karena setiap nikmat pasti diikuti oleh perasaan iri dari orang lain yang akibatnya sebelum nikmat itu didapatkan maka sangat mungkin orang.

Dalam riwayat Ibnu Abbas ra dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  berbunyi:

“Sesungguhnya bagi pemilik nikmat ada orang – orang yang iri hati maka waspadailah mereka” lain akan melakukan upaya penggagalan. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  berpesan demikian seperti disebut dalam lanjutan hadits di atas:
“...karena sungguh setiap pemilik nikmat itu dihasudi (ada orang yang iri kepadanya)”

Anjuran menyimpan ini sama sekali tidak bertentangan dengan  hadits–hadits yang menganjurkan supaya nikmat diceritakan kepada orang lain (Tahadduts Binni’mah),  sebab menceritakan nikmat adalah ketika nikmat sudah didapat sementara menyimpan adalah ketika nikmat itu masih dalam harapan dan pencarian (belum didapatkan). Dari hadits ini orang–orang berakal (Uqala’) mengambil pelajaran bahwa barang siapa hendak bermusywarah maka semestinya ia berusaha menyimpan dan melipat dengan baik rahasianya.

Imam Syafi’i berkata, “Barang siapa menyimpan rahasianya maka kebaikan berpihak kepadanya” Sebagian ahli Hikmah berkata, “Barang siapa menyimpan rahasianya maka pilihan ada padanya. Betapa banyak membocorkan rahasia menjadi sebab darah pemiliknya mengalir dan mencegah maksud keinginan” sebagian lagi berkata, “Rahasiamu adalah darahmu, jika kamu ceritakan berarti kamu telah mengalirkan darahmu”.

Anu Syirwan berkata, “Ada dua keuntungan yang diperoleh dari menyimpan rahasia; mendapatkan maksud keinginan dan selamat dari bahaya yang mengancam” . Dalam tebaran hikmah juga dikatakan, “Milikilah sendiri rahasiamu, jangan titipkan kepada orang yang teguh yang bisa mengakibatkan dia runtuh. Atau orang bodoh yang menjadikan ia berulah” Kendati demikian ada sebagian rahasia yang mesti harus diketahui oleh teman dekat atau orang yang dimintai pendapat. Dalam kasus ini seorang harus berhati– hati dan meneliti sipakah orang yang layak ia percaya. Sebab tidak setiap orang yang dapat dipercaya memegang harta bisa dipercaya bisa menyimpan rahasia. 

Sungguh menjaga diri dari harta  (Iffah) lebih mudah daripada menghindarkan diri dari membocorkan rahasia. Ar Raghib berkata, “Menyebarkan rahasia pertanda minusnya kesabaran dan dada yang sempit di mana hal ini menjadi ciri lelaki lemah dan para wanita. Menyimpan rahasia menjadi hal yang sulit dilakukan karena manusia memiliki dua kekutan mengambil  (Aakhidzah) dan kekuatan memberikan  (Mu’thiyah) di mana keduanya sangat ingin mendapat aktivitas yang istimewa. Andai saja Allah tidak menentukan  Mu’thiyah agar menampakkan isinya niscaya anda tidak akan mendapat kabar apapun dari orang yang tidak anda dorong (untuk memberikan kabar kepada anda). Karena itulah wajib bagi manusia untuk menahan kekuatan Mu’thiyah dan tidak melepaskannya kecuali jika wajib dilepaskan.


[]

Di Atas Jalan Petunjuk

oleh | K.H. M. Ihya' Ulumiddin

Tausiah Vol XVI Edisi 164
Ahad, 4 Robiul Awwal 1435 / 5 Januari 2014

Alloh tabaaraka wata’ala berfirman:
“Katakanlah: Inilah jalan (dakwahku), aku senantiasa menyeru kepada Alloh, dan (sungguh) diriku dan orang yang mengikuti (benar-benar) berada di atas petunjuk (hujjah yang kuat). Maha Suci Alloh, dan tiadalah aku termasuk orang-orang yang menyekutukan.” QS. Yusuf: 108.

Sesungguhnya agama kita adalah agama yang lurus dan jalan terang yang dakwahnya berlandaskan pada dalil serta berdiri di atas hujjah. Karena inilah agama kita menyeru pada perenungan akan ciptaan Alloh di mana segala sesuatu (sekecil apapun) pasti di dalamnya terkandung sekian hikmah, banyak rahasia, dalil-dalil dan pertanda. Sebaliknya agama kita mencela perilaku mengekor begitu saja (taklid buta) yang hanya berdasar pada kemauan hati (wijdan) dan menilainya sebagai tingkat rendah dari hewan.

Makna ini dikuatkan oleh firman Alloh, “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Quran).” QS. An-Nisa: 174.
Dan “...katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika memang kalian adalah orang yang benar.” QS. Al-Baqarah: 111.  

Serta “Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya.” QS. Muhammad: 14.

Akan tetapi, di hadapan semua petunjuk ini (ternyata) manusia di antara beriman dan mengkufuri. Bahkan dalam  setiap masa dan tempat, yang kedua (mengkufuri) justru itulah yang lebih banyak sebagaimana firman Alloh, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” QS. Al-An’am: 116.

Karena itulah kebenaran ini harus memiliki kekuatan yang bisa selalu meneguhkan dan memberinya pengawalan. Orang-orang beriman wajib mengambil posisi di jalan perjuangan sebagai usaha membela agama dan menjaga aqidah mereka seperti difirmankan Alloh, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...”

Agar mereka mendapatkan pembelaan dari Alloh ta’ala, “Sesungguhnya Alloh membela orang-orang beriman. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” QS. Al Hajj: 38.

Kekuatan yang harus dimiliki seperti ilmu dan berbagai ragam bekal merupakan senjata kita untuk membela agama sehingga kita bisa menghadapi setiap kondisi dengan hal yang sesuai. Barang siapa meminta hujjah (dalil) maka kita menghadapinya dengan hujjah. Dan barangsiapa menolak kecuali kekuatan fisik maka kita menggunakan kekuatan untuk menghadapinya, sebagaimana firman Alloh, “...dan bantalah mereka dengan cara yang baik...” QS. An Nahl: 25.

“Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” QS. Al Baqarah: 190.

Abuya As Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani dalam bukunya Sabilul Huda war Rasyad hal. 79 mengatakan:
Sesungguhnya Islam itu agama yang lapang dadanya, luas hatinya, murah hingga mencapai puncak garis kemurahan, dan mudah sampai batas terjauh kemudahan. Sesungguhnya Islam tidak suka memantik permasalahan dan tidak pula rela akan munculnya kekacauan di jalan kehidupan yang tentram sejahtera. Sesungguhnya Islam tidak menyerukan agar api peperangan dikobarkan dan tidak pula rela menyakiti orang non Islam selama mereka berlaku damai.

Demikianlah dan sungguh Alloh ta’ala berfirman, “Alloh tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena Agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al Mumtahanah: 8.

Sebagaimana Islam menjadikan salam sebagai syiar baginya dalam segala situasi dan setiap kesempatan sehingga andai dalam situasi perang sedang berlangsung dan musuh meminta perdamaian maka dalam pandangan Al-Quran tak ada alasan untuk menolaknya karena lebih memenangan prinsip menciptakan perdamaian. “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal lah kepada Alloh. Sesungguhnya Dia-lah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al Anfal: 61.

Dan di antara hadits-hadits yang memberikan bimbingan supaya kekuatan demi membela kebenaran adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
  1. Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Alloh daripada seorang mukmin yang lemah. Dan dalam masing-masing ada kebaikan. Bersemangatlah atas hal yang bermanfaat bagimu. Dan memohonlah pertolongan kepada Alloh. Dan jangan rapuh, jika pun sesuatu menimpamu maka jangan katakan, “Andai aku melakukan seperti ini maka akan terjadi seperti ini”, tetapi ucapkanlah, “Keputusan Alloh, apa yang Dia Kehendaki maka Dia Melakukannya”, karena sesungguhnya kata andai (lau) membuka peluang bagi setan. HR. Muslim no: 2664
  2. Barangsiapa keluar mencari ilmu maka dia berada di jalan Alloh sampai ia kembali. HR. Turmudzi no: 2785
  3. Perangilah orang-orang musyrik dengan harta benda, jiwa-jiwa dan lisan-lisan kalian. HR. Abu Dawud no: 2504
Bahasa lisan memberikan isyarat bahwa sebelum perang di medan laga berkobar maka terlebih dahulu perang itu terjadi dalam rupa makna-makna di dalam hati, letupan dalam fikiran, ucapan dalam lisan serta promosi-promosi dalam tulisan. Demikian seperti yang dikatakan Abuya As Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani.

“Ya Alloh, jadikanlah kami termasuk orang yang dengan seksama mendengarkan ungkapan dan lalu mengikuti yang terbaik darinya.” Aamiin.


Wallahu yatawalil jami’a birro’aayatih.

Jan 18, 2014

Mengusap Dahi dan Muka setelah Shalat dan Berdo’a

Pertanyaan:

Banyak orang mengusap muka setelah melakukan shalat ataupun berdo’a. Apakah hal demikian pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?

Ikhwan, dari Sekaran Lamongan

Jawaban:

Mengusap wajah setelah berdo’a merupakan sesuatu yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  seperti hadits dari az Zuhri:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ صَدْرِهِ فِى الدُّعَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Nabi shallallahu alaihi wasallam mengangkat kedua tangan sejajar dengan dadanya dalam berdo’a kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan itu” (HR Abdurrozzaq dalam al Mushonnaf dari Ma’mar)

Hadits ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Umar ra bahwa, “Nabi shallallahu alaihi wasallam  ketika mengangkat kedua tangan dalam berdo’a maka Beliau tak akan menurunkan keduanya sehingga mengusapkan  keduanya ke wajahnya” HR Turmudzi.

Beliau juga pernah bersabda kepada Abdullah bin Abbas ra yang artinya, “Jika kamu berdo’a kepada Allah maka berdo’alah dengan bagian dalam kedua tangan, jangan kamu berdo’a dengan bagian luarnya. Dan ketika selesai berdo’a maka usapkan kedua tanganmu ke wajahmu” HR Ibnu Majah.
Ibnul Mulk mengatakan bahwa mengusap wajah memiliki hikmah Tafaa’ul yaitu seakan–akan kedua tangannya telah penuh dengan berkah dan anugerah dari Allah karena itu sangat pantas jika berkah dan anugerah ini diluberkan kepada anggota tubuh yang lain utamanya wajah selaku anggota tubuh yang sangat layak dimuliakan. (Lihat Manhajus Salaf fi Fahmin Nushsush  321–322/Abuya Sayyid Muhammad al Hasani)

Sementara sesudah salam, yang warid dalam Sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  adalah mengusap Dahi (Jabhah). Anas ra meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ جَبْهَـتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ...

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setiap kali selesai shalat maka Beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan...” HR Ibnu Sunni.

Dari dasar hadits ini, yang sunnah setelah salam adalah mengusap dahi, tidak mengusap muka. Ini bukan berarti mengusap muka tidak boleh, karena shalat secara bahasa bermakna do’a, sedang syariat mengusap wajah setelah berdo’a telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana keterangan di atas. []