Dec 5, 2013

Hukum Membaca ”Sayyidinaa”

Pertanyaan:

Kali ini, ana menanyakan hukum membaca sayyidina sebelum mengucap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sekaligus mohon disertai dalilnya. Ini ana tanyakan, mengingat di lingkungan ana perihal membaca sayyidina dan tidak, khususnya di dalam shalat telah menjadi sumber perselisihan antara sesama muslim yang tidak baik dipandang. Atas jawaban Al Mu'tashim ana ucapkan syukron.

Syamsul Maarif, Jl Raya Maule KM 7 Cadas Sepatan Tangerang Jabar

Jawaban:

Mengenai bacaan sayyidina (pemimpin kami) dalam shalawat shalat yakni ketika tasyahud akhir terdapat dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama diungkapkan oleh ulama ahli hadits yang berpegang pada riwayat Basyir bin Sa'ad takkala ia bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Allah telah memerintahkan kami untuk bersholawat atasmu, lalu bagaimana kami bersholawat?" Beliau tidak segera menjawab sehingga para sahabat berharap Basyir bin Sa'ad tadi tidak bertanya. Kemudian Beliau bersabda:

قُوْلُوْا : اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

"Ucapkanlah: Ya Allah, berilah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan rahman atasa Ibrahim; dan berikanlah keberkehan atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan keberkahan atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Memuji lagi Maha Agung". (HR Muslim)

Menurut ahli hadits, sebaiknya mengamalkan sholawat sesuai dengan apa yang tersebut dalam teks riwayat dalam arti tidak perlu menambahkan bacaan sayyidina karena bacaan yang diucapkan Rasulullah di dalam shalat juga tanpa menyebut bacaan sayyidina, sedang Beliau bersabda :

صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى

"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat" (HR Al Bukhari)

Ahli hadits berpendapat bahwa melaksanakan perintah dengan mencontoh ibadah shalat yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi aasallam lebih utama daripada melakukan adab (yakni membaca sayyidina).
Pendapat kedua dikemukakan oleh ulama tasawuf dan ahli adab. Mereka memilih menambah bacaan sayyidina dalam shalat karena berangkat dari perasaan hormat yang tinggi terhadap Rasulullah shallallahu Alaihi Wasallam. Mereka berpendapat bahwa suatu saat melaksanakan adab lebih utama daripada melaksanakan perintah. Hal ini diqiyaskan pada apa yang telah dilakukan Abu Bakar ra ketika beliau menjadi imam menggantikan Rasulullah yang sedang sakit waktu itu. Pada saat sedang berlangsungnya shalat Rasulullah datang dan memerintahkan Abu Bakar untuk tetap menjadi imam. Namun, Abu Bakar memilih mundur, tidak melaksanakan perintahnya karena rasa hormatnya kepada Rasulullah shallallahu Alaihi Wasallam.

Mengenai hadits yang berbunyi :

لاَ تُسَوِّدُوْنِى فِى الصَّلاَةِ

"Jangan kamu membaca sayyidina di dalam shalat"

Hadits ini dikatakan oleh para ahli hadits tidak ada sumber yang jelas. Sebagian mengatakan bahwa hal itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. (Kasyful Khafa' Wa Muziilul Ilbaas, Jilid II hal 354)

Dengan demikian, masing-masing pendapat, baik yang menambahkan bacaan sayyidina maupun yang tidak, keduanya mempunyai pedoman sendiri-sendiri. Oleh karena itu, silakan masing-masing beramal sesuai dengan pedomannya. Yang diperlukan umat Islam di dalam perbedaan ini adalah sikap tasamuh (tepa selira) antar sesama.[]

Dec 4, 2013

Berburu Pertolongan Allah

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Allah senantiasa menolong hamba selama hamba itu selalu menolong saudaranya”  (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban  Hakim, Ibnu Asakir dan Abu Bakar bin Syaibah)

Maksud menolong di sini adalah dengan hati, tubuh, harta dan kedudukan. Dikatakan bahwa hadits ini global dan penjelasan mengenainya tidak akan termuat oleh lembaran–lembaran kertas (Thurus). Sebab pertolongan ini mutlak ada dalam semua kondisi dan situasi. Tidak terbatasi oleh garis masa dan tempat. Karena itu jika seorang berniat menolong saudaranya maka hendaknya dia memantapkan hati dan tidak usah ragu untuk melaksanakan keinginannya. Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak membatasi lading pertolongan itu dengan keadaan tertentu, tetapi Beliau Shallallahu alaihi wasallam  menyatakan bahwa pertolongan itu senantiasa ada selama hamba mau menolong saudaranya.

Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
“Barang siapa dalam kebutuhan saudaranya maka Allah ada dalam kebutuhannya”  (HR Ahmad).

Karena tidak terbatas oleh apapun maka bentuk pertolongan yang bisa dilakukan juga penuh warna dan macam yang menjadikan setiap orang mudah mendapat peluang. Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang artinya:
“Amal yang paling utama adalah memasukkan kebahagian (Idkhal Surur) dalam hati orang beriman; kamu berikan pakaian untuk (menutup) auratnya, kamu kenyangkan laparnya, atau kamu penuhi kebutuhannya” (HR Thabarani).

Bahkan kemurahan Allah menyiapkan ampunan bagi siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya baik kebutuhan tersebut terpenuhi maupun tidak. Dalam hadits yang artinya:

“Barang siapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, baik terpenuhi atau tidak, maka diampuni dosa –dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan ditulis baginya kebebasan dari neraka dan Kebebasan dari nifaq” (Lihat Kitab Muntahas Suul.Abdullah bin Sa’id Muhammad Abbaadi al Lahji / 3 / 317)

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Khabbab bin al Aratt termasuk dalam ekspedisi militer (Sariyyah) yang dikirim oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.  Nabi Shallallahu alaihi wasallam kemudian menggantikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh Khabbab yaitu memerah susu kambing untuk keluarga Khabbab. Pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemerah maka susu kambing itu begitu deras mengalir hingga bejana yang biasa dipakai tidak muat. Ketika Khabbab datang maka susu itupun kembali seperti semula. Abu Bakar ra juga demikian halnya, sebelum menjadi khalifah, Beliau biasa memerah susu domba–domba orang satu kampung. Dan ketika menjabat Khalifah maka orang–orang berkata: “Sekarang Abu Bakar tak akan melakukan halitu lagi”. Menjawab ini Abu Bakar ra berkata: “Ia, aku tetap akan melakukannya. Aku tidak ingin aktivitas baruku ini merubahku dari hal–hal yang sebelumnya telah aku kerjakan” Hal ini karena orang Arab menganggap saru bila seorang wanita memerah susu.

Umar ra. memiliki kebiasaan mencari para janda dan mengasuh air untuk mereka di malam hari. Suatu malam Thalhah melihat Umar memasuki rumah seorang wanita. Pada siang harinya Thalhah datang ke rumah itu dan ternyata penghuninya adalah seorang wanita tua yang buta lagi tidak bisa berjalan. Menyaksikan ini Thalhah bertanya, “Apa yang dilakukan oleh lelaki itu (Umar) di sini? Wanita tua itu menjawab, “Sejak lama lelaki itu datang dan mengurus keperluanku, membuang kotoranku dan menyapu rumahku” Mendengar ini Thalhah berkata dalam hati, “Ibumu meratapimu, apakah kamu meneliti kesalahan–kesalahan Umar?”.

Dalam sebuah kesempatan Hasan al Bashri memerintahkan Tsabit al Bunani untuk suatu keperluan, tetapi Tsabit mengelak dan beralasan, “Saya sedang beri’tikaf” Mendengar ini Hasan berkata, “Apakah kamu tidak mengerti bahwa langkahmu dalam kebutuhan saudaramu lebih baik bagimu daripada haji sunnah?”.
Seorang hamba yang kuat iman tentu menjadikan hadits ini sebagai motivasi kuat untuk senantiasa menolong orang lain selagi ada kemampuan dan kesempatan. Sungguh jika pertolongan itu ikhlas ia berikan kepada saudaranya maka suatu saat Allah pasti memberinya pertolongan jika ia membutuhkan meski tidak melalui tangan orang yang pernah ia tolong.

Akhirnya bisa disimpulkan bahwa menolong orang lain pada hakikatnya adalah menolong diri sendiri, peduli orang lain adalah peduli terhadap diri sendiri, dan merawat orang lain adalah merawat diri sendiri. Sebaliknya tidak menolong dan tidak peduli dengan orang lain merupakan ketidak peduliaan terhadap diri sendiri. Allah  Subhaanahu wata’aalaa berfirman:

“ Jika kalian berbuat baik maka kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri. (Sebaliknya) jika kalian berbuat buruk maka untuk diri kalian sendiri “ QS al Isra’: 7.

[]

Tidak Ada Alasan Merasa Aman

oleh | K.H. M. Ihya' Ulumiddin

Tausiah Vol XV Edisi 163
Ahad, 28 Muharram 1435 / 1 Desember 2013

Alloh tabaaraka wata’ala berfirman:

“Dan bacakanlah kepada mereka tentang agama yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya...” (QS. Al A’raf: 175-176)

Sesungguhnya doa pertama yang diajarkan Alloh kepada para hamba-Nya yang berserah diri (kaum muslimin), yaitu orang-orang yang Alloh telah Memilih mereka di antara makhluk-Nya, adalah firman Alloh yang artinya, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, maksudnya teguhkan kami di atas jalan itu dan langgengkan ia untuk kami. Akan tetapi nikmat memang terkadang dihilangkan dari orang yang tidak bisa menghargai dan tidak pula menjaganya. Karena itulah Alloh ta’ala berfirman, “...nanti Kami akan memberikan kepada mereka lanjuran nikmat  yang lupa tersyukuri dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al A’raf: 182)

Maksudnya kami menyempurnakan nikmat-nikmat atas mereka sekaligus juga melalaikan mereka dari bersyukur, juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

Kamu berbaik sangka kepada hari-hari kala ia (terus memberikan) kebaikan
Sementara kamu tidak pernah mengkhawatirkan hal yang datang bersama takdir
Malam-malam berlalu dengan keselamatan sehingga kamu pun terbuai
Sehingga pada suatu malam terjadilah kekisruhan itu

Dan seperti dikatakan dalam hikmat:

Tidaklah burung itu terbang dan meninggi kecuali juga terbang dan (lalu) terjatuh

Bila demikian halnya maka tidak ada alasan apapun untuk merasa aman, melupakan kesyukuran, dan membiarkan diri untuk tidak memelas memohon perlindungan (Alloh).
Bagaimana mungkin kita aman sedangkan:

-          Al Khalil Ibrahim as. saja masih memohon kepada Alloh:  “...dan jauhkan diriku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” QS. Ibrahim: 35.
-          Yusuf As Shiddiq saja memohon kepada Alloh: “...wafatkanlah daku dalam keadaan berserah diri (kepadaMu) dan gabungkanlah diriku dengan orang-orang shaleh.”

Jadi, betapa kita begitu membutuhkan, benar-benar sangat membutuhkan akan keteguhan dalam agama pada situasi masa yang genting ini. Dan sungguh dikatakan dalam kata hikmah:

Pasti ada pengganti segala sesuatu yang anda tinggalkan
Tetapi tidak ada pengganti bagi Alloh, jika kamu meninggalkan-Nya
Jika dunia masih menyisakan agama bagi seseorang
maka segala sesuatu yang terlepas darinya sama sekali tidaklah membahayakan

Adalah Sufyan at Tsauri rahimahullah mengatakan:

Tidaklah seorang merasa aman dari bahaya agama kecuali agama itu tercabut (darinya).

Dan tidak ada pilihan bagi seorang muslim yang terbina kecuali harus meneguhkan hatinya atas Islam, sesuatu yang telah ditetapinya pada saat ini dengan menjalankan hal-hal yang telah direkomendasikan pada tausiah kami terdahulu sehingga ia memiliki dua simpanan besar yang mahal harganya berupa ISTIQOMAH dan ISTIZADAH (terus mencari tambahan) agar nikmat-nikmat itu langgeng baginya, tidak merasa takut akan kehilangan sekaligus diberikan tambahan nikmat-nikmat yang belum pernah diberikan sehingga iapun tidak perlu khawatir tidak akan bisa mendapatkannya, serta datang pula dari Alloh sesuatu yang sama sekali tidak terlintas dalam hatinya, disertai permohonan yang terus menerus kepada Alloh dalam suasana sendiri atau bersama orang lain, berupa:

Ya Tuhan kami, jangan sesatkan hati kami setelah Engkau Memberikan petunjuk kepada kami. Dan anugerahkan kepada kami rahmat hanya dari sisiMu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi rahmat.”

“Ya Alloh, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu keteguhan dalam urusan, tekad bulat dalam kebenaran. Saya memohon kepada-Mu bisa mensyukuri nikmat-Mu. Saya memohon kebaikan ibadah kepada-Mu. Saya memohon kepada-Mu hati yang selamat. Saya memohon kepada-Mu lidah yang jujur. Saya memohon kepada-Mu kebaikan segala sesuatu yang Engkau mengetahuinya. Saya memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang Engkau mengetahuinya. Dan saya memohon ampunan atas dosa (ku) yang Engkau mengetahuinya.  Sesungguhnya Engkaulah Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.”

“Wahai Dzat yang meneguhkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”


Wallahu yatawalil jami’a birro’aayatih.