Nov 12, 2013

Talak Tiga

Kepada pengasuh fas’alu saya akan bertanya tentang persoalan thalak/cerai. Saya pernah mendengar penjelasan dari seorang ustadz bahwa seorang suami dapat menjatuhkan talak tiga sekaligus dengan satu ucapan, dan itu baru jatuh satu. Sedangkan ada yang mengatakan bahwa talak itu sudah jatuh tiga/talak ba’i. Mana yang benar ? Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Jazakumullah.

Dyah
, Surabaya.

Jawab:

Terima kasih atas pertanyaannya dari anti, semoga anti selalu dalam lindungan Allah SWT. Persoalan talak tiga, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Paling tidak ada dua pendapat;

Jumhur atau kebanyakan para shahabat, ulama tabi’in dan Imam Madzhab yang empat berpendapat bahwa talak tiga dengan satu ucapan itu tetap jatuh tiga. Alasan jumhur adalah Pertama, Sesunguhnya Allah menetapkan talak itu sebagai batas dan diserunya suami untuk mentalak isterinya itu dengan satu demi satu, dimana di sana suami masih bisa kembali kepada isterinya. Karena itu kalau suami melanggar kemudahan ini dan mencerainya dengan tiga kali sekaligus maka talaknya itu dipandang sah, karena dia masih mempunyai hak atas talaknya yang kedua itu, dan kalau jatuh tiga maka menjadi talak ba’in (tidak bisa dirujuk kembali, kecuali isteri kawin dengan lelaki lain dan telah dicampuri kemudian dicerai). Jadi suami dibri hak untuk tetap hidup bersama isterinya, karena suami lebih berhak untuk merujuk.

Kedua,
bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa dirinya telah menceraikan isterinya tiga kali. Maka berkata Ibnu Abbas: ”Seseorang di antara kamu mencerai lalu ia menaiki (himar) yang tolol.” Mendengar itu, laki-laki tadi berkata: ”Hai Ibnu Abbas ! Allah kan sudah berfirman bahwa barangsiapa bertakwa kepada-Nya, maka Ia akan memberikan jalan keluar.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas: ”Nampaknya engkau tidak bertakwa kepada Allah, karena itu engkau tidak mendapatkan jalan keluar, engkau telah durhaka kepada Tuhanmu, dan isterimu telah berpisah darimu (talak bai’in).” ( Lihat Tafsir Ayatul Ahkam, oleh Syekh Ali Ash-Shabuni, jilid I). Ketiga, ketika khalifah Umar bin Khathab memutuskan bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga , para shahabat tidak ada yang protes, mengingkari, atau menentangnya. Dengan demikian sikap para shahabat itu dipandang sebagai Ijma’. Ada seorang laki-laki mentalak isterinya 100 kali. Maka kepadanya dikatakan; Yang tiga itu menyebabkan isterimu haram bagimu, adapun yang 97 itu berarti engkau telah mempermainkan ayat Allah. (Ahkamul Qur’an, al-Jashshash jilid I hal 452).

Pendapat ini diikuti juga oleh Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya “al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an.”

Sebagian ulama Adz-Dzahiri berpendapat bahwa talak tiga sekali ucapan, itu tetap jatuh satu. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Thawus, Madzhab Imamiyah dan Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama mutakhirin sebagai usaha untuk tidak menyusahkan orang banyak dan demi memperkecil perceraian. Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh golongan ini adalah pertama, Hadits Thawus yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata:
“ Adalah talak di zaman Rasulullah SAW, Khalifah Abu bakar, dan dua tahun pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab adalah tiga kali talak diucapkan sekaligus itu tetap jatuh satu. Lalu Umar r.a berkata: Manusia pada tergesa-gesa dalam satu hal yang seharusnya mereka berlaku sabar padanya. Alangkah baiknya kalau ini kami langsungkan saja. Begitulah lalu ia melangsungkannya.” (HR.Ahmad dan Muslim).      

Kedua, Allah membedakan talak ini dengan firman-Nya “Talak itu dua kali”, maknanya talak harus dijatuhkan secara bertahap, satu persatu. Jadi tidak bisa dijatuhkan dengan sekaligus , seperti halnya li’an yang harus diucapkan secara terpisah. Rasulullah SAW menyuruh kita bertasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali. Maka perintah itu tidak cukup kita ucapkan “subhanallah tsalatsa wa tsalatsina”(subhanallah tiga puluh tiga kali). Tetapi bacaan itu harus diucapkan dengan terpisah, satu persatu sehingga genap 33 kali. Begitu juga dengan talak tiga dengan satu ucapan.

Pendapat ini juga diikuti  oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “A’lamul Muwaqqi’in”, dan juga Imam asy-Syaukani dalam kitabnya “Nailul Authar”.

Lebih jelasnya lihat penjelasan tentang ini di Tafsir Ayatul Ahkam jilid I, karangan Syekh Ali ash-Shabuni.[]

0 comments: