Nov 23, 2013

Sorotan Terhadap Cara Pandang Semua Agama Benar

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala:

قُلْ اِنَّنِي هَدَانِي رَبّي اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ اِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ

Katankanlah, "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang hanif; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. (- QS Al An'aam: 61)

Analisis Ayat
- دِيْنًاقِيَمًا (diinan qiyaman) artinya bisa jadi pertama, agama yang tegak dan lurus, tidak ada bengkok di dalamnya. Kedua, agama yang menangani urusan dan aturan manusia secara komplit dunia dan akhirat.
- حَنِيْفًا (haniifan) hanif artinya cenderung kepada kekonsistenan, menyimpang dari kesesatan. Hanif dimaksudkan menyimpang dari agama-agama yang tidak benar menuju kepada agama Islam. 

Penjelasan Ayat
Ayat ini merupakan bantahan mematikan terhadap para pemeluk agama selain Islam yang menyebut agamanya adalah agama yang lurus. Mereka menduga bahwa keyakinannya masing-masing, apakah itu Yahudisme, Nasranisme, Budhisme, Hinduisme, serta Konghucu sebagai agama yang tidak menyimpang dan tidak pernah mengalami perubahan. Padahal, pandangan ini penuh absurditas (kebohongan) karena dari semula agama yang dipeluknya sudah terjamah ulah tangan-tangan kotor manusia sehingga tak lagi asli, melainkan imitasi. 

Disebutkan pada ayat ini shirothol mustaqim (jalan yang lurus), asli dan murni hanya pantas disandang oleh sebuah agama yang mengurus dan mengatur urusan umat manusia secara lengkap menuju kebahagiaan mereka dunia akhirat. Shirothol mustaqim itu ialah agama Ibrahim kholilulloh yang konsisten yang tidak cenderung kepada agama-agama yang tidak shahih. Di sinilah hikmahnya kita berdoa membaca ayat keenam dari surat Al Fatihah setiap hari setidak-tidaknya tujuh belas kali agar kita senantiasa diberikan sikap teguh dalam meniti jalan yang lurus ini.

Ciri khas agama (millah) Ibrahim 'Alaihissalam yang membedakan dengan agama-agama lainnya ialah sifatnya yang hanif. Sahabat Ibnu Abbas menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam soal agama apakah yang dicintai oleh Alloh Ta'ala. Beliau memberikan jawaban singkat dan tegas, agama yang dicintai oleh Alloh Ta'ala ialah agama yang hanif yang samhah (mudah dipraktikkan). Yakni agama ini lurus, tidak bengkok, tidak menyimpang, dan tidak cenderung kepada kesesatan. Millah Ibrahim 'Alaihissalam dengan ciri khas ini dalam realitasnya hanya terdapat pada agama yang diridloi, yaitu agama Islam. Alloh berfirman:

وَمَنْ اَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ اِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh Ta'ala, sedang diapun mengerjakan kebaikan sampai ke tingkat ihsan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang hanif? Dan Alloh Ta'ala mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." (Q.S. An Nisaa: 125) 

Atas dasar kebesaran ini kholilulloh Ibrahim dari dulu sampai pada masa jahiliyah bahkan sampai masa kini, keberadaannya senantiasa menjadi rebutan para pemeluk agama sedunia. Agama anu menyebut Ibrahim pendiri agamanya sementara agama lainnya menjustifikasi Ibrahim hanya miliknya. Ma-nakah yang benar? Agaknya harus dikemuka-kan syair Arab yang intinya menyebutkan banyak orang mengaku menjalin hubungan asmara dengan Laila (nama wanita jelita) sedang Laila tidak mengakuinya. 

كُلٌّ يَدَّعِىوَصْلاً بِلَيْلَى # وَلَيْلَى لاَيُقِرُّذَاكَ
Seluruhnya mengaku-aku mempunyai hubungan asmara dengan Laila sementara Laila tidak mengakui hubungan itu.

Ayat di muka secara tersirat menyebutkan millah Ibrahim hanya terdapat pada nilai-nilai agama Islam. 

Sholawat Ibrahimiyah
Sebagai bentuk penghargaan terhadap Nabi Ibrahim 'Alaihissalam berikut terhadap kehanifan millahnya, maka dianjurkanlah kepada umat manusia pada saat ini untuk menyebarluaskan bacaan Sholawat Ibrahimiyah. Dalam bentuk yang lain diajarkan pula bacaan rutin di pagi hari yang berbunyi:

أَصْبَحْنَاعَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَىكَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صلىالله عليه وسلم وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Kami pagi-pagi dalam keadaan memegang teguh kefitrahan agama Islam, berada pada kalimat ikhlas, dan terikat pada agama nabi kami Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam dan millah bapak kami Ibrahim yang hanif, dan dia bukanlah termasuk orang- orang musyrik.

Penghargaan ini bukan berarti indikasi bahwa Nabi Ibrahim 'Alaihissalam yang mendapat gelar kholilulloh dengan segala keistimewaannya lebih tinggi kedudukannya dibanding Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam. Dalam kenyataannya Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam adalah penyempurna ajaran-ajaran para nabi dahulu. Dan nabi terakhir ini sukses dalam tugasnya secara gemilang. Atas dasar kesuksesan ini beliau dikatakan tuannya anak keturunan Nabi Adam 'Alaihissalam dan empunya maqom mahmud (posisi terpuji) yang menjadi cita-cita setiap orang termasuk menjadi cita-cita-nya Nabi Ibrahim 'Alaihissalam. Dalam bahasa singkat dikatakan ada banyak murid yang di kemudian hari melebihi kapasitas para gurunya.
Dari ayat ini nyatalah hanya pada agama Islam tecermin kehanifan millah Ibrahim 'Alaihissalam yang konsisten. Artinya, agama-agama selain Islam sudah mengalami perubahan yang cukup mendasar untuk bisa dikatakan asli dan murni. Maka, tetaplah bersama agama Islam. Dan jangan sekali-kali berpandangan salah kaprah bahwa semua agama itu benar, termasuk juga jangan terjebak mempraktikkan agama secara campur-aduk (sinkretisme). 

Wallohu a'lam.

Nov 18, 2013

Ketakwaan Membuahkan Kemuliaan

Alloh subhana wata'ala berfirman: 
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَآمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوْا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُوْ الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Alloh, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Alloh mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Anfaal:29)

Makna dan Penjelasan Ayat

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Alloh Swt. akan menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman bakat furqaan bila mereka bertakwa kepada-Nya dengan makna takwa yang sebenarnya. Takwa yang bermakna menjaga diri dari siksa Alloh Swt., tidak mendurhakai-Nya dengan tindakan maksiat dan melaksanakan perintah-Nya. Dengan takwa seseorang akan mengendalikan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya, yang berarti ia memenuhi dorongan-dorongan itu dalam batas yang diperkenankan oleh ajaran agama. Selain itu terkandung perintah kepada manusia agar ia melakukan tindakan yang baik, berlaku benar, adil, memegang amanat, dapat dipercaya, dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain, dan menghindari permusuhan serta berlaku aniaya.

Furqaan adalah bakat perwatakan manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan membedakan antara hak dan batil, memilah antara petunjuk dan kesesatan, serta yang manfaat dan yang mudlarat. Dengannya pula ia dapat menghapuskan noda-noda dosa dari jiwa, membersihkannya, dan menjaga jiwa agar tidak kembali terkotori olehnya. Alloh Swt. dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Karunia tersebut diberikan sebagai fadlol dan ihsan dari Alloh Swt. tanpa perantara dan perwakilan oleh siapapun. Itulah cahaya ilmu pengetahuan yang setiap pencarinya tidak akan menemukan kecuali dengan takwa. Itulah hikmah yang telah disebutkan-Nya dalam Al-Qur’an.
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْبَابِ
Dan barangsiapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Alloh).” (QS. Al Baqarah:169)  

Dari ketakwaan itu kemudian berbuahlah bakat perwatakan furqaan yang pemiliknya dapat membedakan sesuatu dengan sumber kesadaran ilmu, hikmah, dan amal perbuatannya. Hidup orang yang bertakwa diberkahi dengan kemuliaan, dan kemuliaan hasil dari ketakwaan.

Pengertian Kemuliaan

            Kemuliaan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al ‘izzah bermakna al syarof wa al man’ah (kemuliaan dan kekuatan). Kemuliaan merupakan hasil dari sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan ‘izzu al Islam wa al muslimin (kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum muslimin) bukanlah suatu hal yang mudah diraih. Semudah orang mengatakannya, semudah orang membolak-balikkan lidah dan nama itu sudah terucapkan. Namun ‘izzu al Islam wa al muslimin sebagai kata kerja merupakan proses panjang dan berkesinambungan yang memerlukan banyak tahapan dan kesepakatan. Alloh Swt. telah berfirman,“Padahal kekuatan itu hanya bagi Alloh, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al Munaafiquun:8)
            Dari pengertian ini kita hendaknya sepakat, menyatukan persepsi, yang semula mungkin tidak seluruhnya sama, tentang apa dan bagaimana ‘izzu al Islam wa al muslimin. Bahwa kemuliaan dan kekuatan itu hanyalah bagi Alloh Swt., bagi Rosululloh saw. dan kaum muslimin. Maka kembalikanlah makna kemuliaan dan kekuatan itu juga pada ajaran Alloh Swt. yang disampaikan melalui Rosu-Nya dan menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh kaum muslimin.

Manhaj Individu dan Masyarakat
            Langkah awal kenabian adalah dakwah yang menyentuh manhaj (metode) pembinaan individu. Dimana baginda Nabi saw. memulai mendakwahkan ajarannya kepada istri, keponakan, sahabat karib, dan kemudian kepada beberapa sanak keluarga serta sahabat beliau yang lain. Ketika setiap individu dengan kelengkapan hidup yang meliputi raga, ras, rasio dan rukun tersebut mulai bergerak ke satu titik, membentuk pola pikir dan prilaku yang sama sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (tawhid al fikroh), Maka rukun atau hidup sosial yang dilakukan dengan sesama individu secara harmonis, damai dan saling melengkapi (al shuhbah) itupun berjalan sebagai fungsi perangkat (al tathbiq) yang dapat mempengaruhi individu lain untuk membentuk suatu kelompok sosial dengan harapan dan tujuan (al hadf) yang telah menyesuaikan diri dalam norma dan tata nilai kelompok tersebut (tatsqif al jama’ah). Disinilah kemudian terbangunnya masyarakat Islam yang memiliki kemuliaan dan kekuatan mempesona.     
 
Prinsip-prinsip ajaran yang dibawa oleh Rosululloh saw. tak lepas dari tiga hal sebagaimana telah dijelaskan Al Qur’an,“Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus diantara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatanag Rosul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imron : 164)

Abdulloh bin ‘Abbas ra., bercerita, ketika suatu hari ia berada di belakang Nabi saw. bersama para sahabat yang lain, beliau bersabda, “Wahai anak muda, aku hendak mengajarimu beberapa kata; jagalah Alloh, makaDia akan menjagamu; jagalah Alloh, maka kamu akan menjumpai-Nya memberi jalan terang padamu; jika ingin meminta (sesuatu), mintalah kepada Alloh; dan jika ingin memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh…” (HR. Tirmidzi)

Kata demi kata, pelan dan mantap disampaikan oleh Nabi saw. sebagai nasihat. Bila kita mengikatnya menjadi suatu keyakinan, pengertian, dan kesadaran diri, maka ini akan menjadi aqidah yang kokoh tersimpan di balik dada seorang muslim.

Ketika aqidah dijalani dengan baik, teratur, sebagaimana sabda Nabi saw., “ihfadhilllaha yahfadhka,” (jagalah Alloh, maka Dia akan menjagamu), menjaga segala perintah Alloh, larangan-Nya, dan batasan-batasan serta setiap hak-Nya. Maka sebenarnya kita telah melaksanakan syariat-Nya.

Menjaga segala perintah artinya melaksanakan segala perintah Alloh dan Rosul-Nya, seperti sholat yang lima waktu, puasa di bulan Romadlon, membayar zakat, berhaji ke baitulloh, dan lain sebagainya. Menjaga segala larangan artinya menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Alloh dan Rosul-Nya, seperti kufur, membunuh, berzina, mencuri, berjudi, dan seterusnya. Siapa yang mampu menjalaninya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka Alloh Swt. membanggakan dan memuji, serta menempatkannya sebagai golongan awwabin (orang-orang yang selalu kembali kepada Alloh) dan hafidzin (orang-orang yang selalu memelihara syariat). Dimana isinilah letak keimanan itu berada.

Dengan bahasa pendekatan tersebut, hubungan interpersonal yang terbangun dalam satu kebersamaan akan lebih berfungsi sebagai model peranan. Selanjutnya, dengan model itu setiap orang harus melakukan perannya sesuai dengan pola dasar pembinaan (mabda’ al tau’iyah) yang menjadi norma dan tata nilai bagi sebuah masyarakat idaman. Hubungan interpersonal yang dipraktekkan Nabi saw. bersama para sahabat dapat berkembang baik, karena setiap individu di masa yang penuh keteladanan itu bertindak sesuai dengan ekspedisi peranan dan tuntutan peranan, memiliki keterampilan peranan dan terhindar dari konflik peranan serta kerancuan peranan. Kita tahu, begitu tepat dan bijaknya Rosululloh saw. di dalam memberi setiap pesan perintah kepada para sahabat sesuai dengan karakter individu yang dimiliki mereka. Hubungan interpersonal yang terbangun tidak bersifat statis dan kaku, tetapi selalu berubah, dinamis dan penuh kreatifitas. Dipelihara dan diperteguh dengan perubahan (al tajdid) yang memberikan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (al ta’adul). Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan itu. Pertama keakraban (al tawadud), kedua kontrol (al ta’awun), ketiga respons yang tepat (al talathuf), dan keempat nada emosional yang tepat (al tarahum). Dari keselarasan yang dihasilkan empat faktor tersebut, setiap konflik yang muncul akan diselesaikan dengan baik dan bijaksana, tanpa harus mengalahkan kepentingan bersama, apalagi sampai memutus rasa persaudaraan sesama muslim.
            Dengan ‘aqidah yang membangun kesatuan pemikiran (tawhid al fikroh), pembinaan umatpun dimulai. Sejak awal umat telah dikenalkan kepada Alloh Swt. dan ditanamkan pula kebenaran syariat Islam sebagai satu-satunya ajaran yang layak untuk dipergunakan. Berangkat dari ‘aqidah yang menancap kuat (‘aqidah rosikhoh) inilah akan muncul kemudian pribadi-pribdai yang tangguh, yang bertingkah laku sesuai dengan akhlak Islam, dan dihiasi dengan tutur kata yang baik serta amal saleh sebagai hasil dari bentuk pembinaan tazkiyah. Kemudian dari dua pembinaan tersebut disempurnakan lagi dengan sistem pembinaan yang ketiga, yaitu tsaqofah. Pembinaan yang menambah wawasan keilmuan dalam upaya pengejewantahan Islam totalitas (kaffah) sesuai manhaj Al Kitab dan As Sunnah. Mengajarkan isi kandungannya sebagai disiplin ilmu, baik keagamaan maupun iptek, seperti tafsir, hadits, ushul fiqhi, bahasa (lughoh), ekonomi (iqtishodi), politik (siyasah) dan lain sebagainya. 

Kemuliaan dan kekuatan yang kita cita-citakan bukanlah dinilai dari sisi besarnya jumlah (kuantitas) semata, atau dari sisi kekuatan dan kestabilan ekonomi saja. Namun kemulian dan kekuatan Islam yang menjadi milik kaum muslimin itu ‘dilahirkan’ dari sekian banyak ‘keringat’ yang berbentuk ikhtiar melalui perkataan-perkataan baik dan amal saleh. Maka pendidikan yang berorientasikan pembinaan terhadap generasi-generasi berikut (takwin al rijal) dengan mengedepankan hasil terbaik (kualitas) merupakan kunci dari pintu bangunan Islam nan mulia ini. Jangan sampai kita memahaminya dari manhaj selain Al Kitab dan As Sunnah, karena kebenaran yang diperoleh darinya masih akan menjadi tanda tanya besar di balik dada kita. Alloh Swt. berfirman, “Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Alloh.” (QS. An Nisaa’:139). []


Nov 12, 2013

Memaknai Ucapan “Insya Allah”

Memaknai Ucapan “Insya Allah”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Nabi Sulaiman
Alaihissalaam
 bersabda yang artinya, Sungguh pada malam ini aku pasti akan mengelilingi (menggauli) seratus wanita (para isterinya. dengan harapan )  setiap wanita akan
melahirkan  seorang anak lelaki yang akan berperang di jalan Allah” . Malaikat berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ucapkanlah Insya Allah!”  Nabi Sulaiman lupa dan tidak mengucapkannya. Maka ketika dia menggauli isterinya, tak ada yang melahirkan kecuali seorang isteri yang hanya melahirkan bayi separuh manusia (keguguran)” HR Bukhari.

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini. Antara lain, dalam menjalani pernikahan hendaknya seseorang tidak semata–mata menjadikan kepuasan Libido sebagai rencana utama. Tetapi dalam pernikahan, seharusnya niat mendapatkan generasi yang akan memperjuangkan agama Allah menjadi prioritas utama. Demikian yang bisa dipelajari dari seorang Nabi Sulaiman Alaihissalaam
.
Dengan jelas hadits di atas juga mengajarkan agar dalam setiap kali mengabarkan akan menjalani suatu aktivitas yang diharapkan hasilnya, seseorang hendaknya tidak meninggalkan ucapan  Insyaa  Allah. Allah Mengajarkan dalam firmanNya:  “Dan jangan sekali–kali kamu mengatakan
terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut) “Insyaa Allah”  QS al Kahfi: 23. Dengan begitu hasil yang ditargetkan akan lebih bisa diharapkan dapat tercapai. Mengomentari kealpaan Nabi Sulaiman Alaihissalaam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam  bersabda: “Andai Sulaiman berkata, “Insyaa Allah” maka dia tidak melanggar sumpah dan lebih besar peluang mendapatkan keinginannya”  HR Bukhari. 

Kegagalan Nabi Sulaiman Alaihissalaam  memperoleh seratus anak dari seratus isterinya adalah pelajaran berharga bagi siapa saja bahwa Usaha bukanlah sebab yang memastikan hasil. Semua hasil yang didapat dan target yang terpenuhi tidak lebih adalah anugerah Allah semata. Inilah maksud ucapan Insyaa Allah  yang artinya jika Allah Menghendaki. Kendati demikian setiap orang dianjurkan bahkan diwajibkan berusaha dan mengambil sarana. Setiap orang diwajibkan bekerja supaya mendapatkan harta benda untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan orang–orang yang menjadi tanggung jawabnya. Meski begitu ia tidak selayaknya meyakini bahwa harta benda yang ia peroleh adalah karena pekerjaannya. Sebab pada kenyataannya tidak semua orang yang bekerja memperoleh harta benda. Bahkan tidak sedikit seorang yang bekerja harus pulang dengan tangan hampa. Bila ingin memiliki ilmu kepandaian maka seseorang harus mencarinya, tetapi kelak jika ilmu didapat jangan sampai meyakini bahwa itu hasil dari pencariannya. Sungguh banyak orang yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan harta benda untuk mendapatkan kepandaian, tetapi ternyata tidak seluruh dari mereka bisa memiliki kepandaian. Ini menujukkan bahwa kepandaian adalah anugerah  dari Allah semata, dan bukan dari usaha dan pencarian yang dilakukan.

Seorang yang mempunyai anak juga demikian halnya, dia
harus menikah dan berkumpul dengan isterinya. Meski begitu, realita membuktikan tidak semua pasangan mendapatkan keturunan. Ini artinya anak yang menjadi buah hati orang tua tidak lain adalah anugerah dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.

Akhirnya harus diketahui, disadari dan selalu diingat bahwa setiap manusia diwajibkan berusaha dan menjalankan sarana untuk memperoleh anugerah dariNya. Dalam hikmah disebutkan, “Sebab anugerah kamu mendapat kemuliaan, tetapi anugerah tidak bisa didapatkan kecuali dengan kesungguhan (Usaha dan mengambil sarana)”.

Dalam hikmah lain juga disebutkan, “Ambil sebab/sarana tetapi jangan pernah bersandar kepada sarana tersebut” . Ketika seseorang meyakini bahwa segala yang ia dapatkan adalah sebagai hasil dari usaha yang dilakukan, berarti ia termasuk orang yang sombong, mengkufuri nikmat Allah dan yang paling berbahaya lagi ialah menjadikan apa yang telah
didapatkan berada di ambang kehancuran. Orang seperti inilah yang layak diberi stigma sebagai pewaris Qarun yang menyatakan kesombongannya:
“Sesungguhnya aku diberi harta itu adalah karena ilmu yang ada padaku”
QS al Qashash : 78.

Dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  di atas - yang memberikan harapan besar kepada orang yang mengucapkan Insyaa Allah – dapat difahami bahwa seseorang yang mengucapkan  Insyaa Allah akan tertuntun hatinya untuk menyandarkan hasil dari usaha yang dilakukan kepada Allah. Hatinya dengan mudah menyadari bahwa hasil yang ia peroleh semata atas kehendak Allah. Ini adalah bentuk kepasrahan,  Tawakkal  kepada Allah. Dan barang siapa ber  -Tawakkal  kepadaNya maka Dia pasti mencintai dan mencukupinya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang–orang yang bertawakkal” QS Ali Imran: 159.  “Barang siapa ber – tawakkal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya “ QS ath Thalaaq : 3.[]

Talak Tiga

Kepada pengasuh fas’alu saya akan bertanya tentang persoalan thalak/cerai. Saya pernah mendengar penjelasan dari seorang ustadz bahwa seorang suami dapat menjatuhkan talak tiga sekaligus dengan satu ucapan, dan itu baru jatuh satu. Sedangkan ada yang mengatakan bahwa talak itu sudah jatuh tiga/talak ba’i. Mana yang benar ? Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Jazakumullah.

Dyah
, Surabaya.

Jawab:

Terima kasih atas pertanyaannya dari anti, semoga anti selalu dalam lindungan Allah SWT. Persoalan talak tiga, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Paling tidak ada dua pendapat;

Jumhur atau kebanyakan para shahabat, ulama tabi’in dan Imam Madzhab yang empat berpendapat bahwa talak tiga dengan satu ucapan itu tetap jatuh tiga. Alasan jumhur adalah Pertama, Sesunguhnya Allah menetapkan talak itu sebagai batas dan diserunya suami untuk mentalak isterinya itu dengan satu demi satu, dimana di sana suami masih bisa kembali kepada isterinya. Karena itu kalau suami melanggar kemudahan ini dan mencerainya dengan tiga kali sekaligus maka talaknya itu dipandang sah, karena dia masih mempunyai hak atas talaknya yang kedua itu, dan kalau jatuh tiga maka menjadi talak ba’in (tidak bisa dirujuk kembali, kecuali isteri kawin dengan lelaki lain dan telah dicampuri kemudian dicerai). Jadi suami dibri hak untuk tetap hidup bersama isterinya, karena suami lebih berhak untuk merujuk.

Kedua,
bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa dirinya telah menceraikan isterinya tiga kali. Maka berkata Ibnu Abbas: ”Seseorang di antara kamu mencerai lalu ia menaiki (himar) yang tolol.” Mendengar itu, laki-laki tadi berkata: ”Hai Ibnu Abbas ! Allah kan sudah berfirman bahwa barangsiapa bertakwa kepada-Nya, maka Ia akan memberikan jalan keluar.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas: ”Nampaknya engkau tidak bertakwa kepada Allah, karena itu engkau tidak mendapatkan jalan keluar, engkau telah durhaka kepada Tuhanmu, dan isterimu telah berpisah darimu (talak bai’in).” ( Lihat Tafsir Ayatul Ahkam, oleh Syekh Ali Ash-Shabuni, jilid I). Ketiga, ketika khalifah Umar bin Khathab memutuskan bahwa talak tiga sekaligus jatuh tiga , para shahabat tidak ada yang protes, mengingkari, atau menentangnya. Dengan demikian sikap para shahabat itu dipandang sebagai Ijma’. Ada seorang laki-laki mentalak isterinya 100 kali. Maka kepadanya dikatakan; Yang tiga itu menyebabkan isterimu haram bagimu, adapun yang 97 itu berarti engkau telah mempermainkan ayat Allah. (Ahkamul Qur’an, al-Jashshash jilid I hal 452).

Pendapat ini diikuti juga oleh Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya “al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an.”

Sebagian ulama Adz-Dzahiri berpendapat bahwa talak tiga sekali ucapan, itu tetap jatuh satu. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Thawus, Madzhab Imamiyah dan Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama mutakhirin sebagai usaha untuk tidak menyusahkan orang banyak dan demi memperkecil perceraian. Adapun dalil-dalil yang dipakai oleh golongan ini adalah pertama, Hadits Thawus yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata:
“ Adalah talak di zaman Rasulullah SAW, Khalifah Abu bakar, dan dua tahun pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab adalah tiga kali talak diucapkan sekaligus itu tetap jatuh satu. Lalu Umar r.a berkata: Manusia pada tergesa-gesa dalam satu hal yang seharusnya mereka berlaku sabar padanya. Alangkah baiknya kalau ini kami langsungkan saja. Begitulah lalu ia melangsungkannya.” (HR.Ahmad dan Muslim).      

Kedua, Allah membedakan talak ini dengan firman-Nya “Talak itu dua kali”, maknanya talak harus dijatuhkan secara bertahap, satu persatu. Jadi tidak bisa dijatuhkan dengan sekaligus , seperti halnya li’an yang harus diucapkan secara terpisah. Rasulullah SAW menyuruh kita bertasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali. Maka perintah itu tidak cukup kita ucapkan “subhanallah tsalatsa wa tsalatsina”(subhanallah tiga puluh tiga kali). Tetapi bacaan itu harus diucapkan dengan terpisah, satu persatu sehingga genap 33 kali. Begitu juga dengan talak tiga dengan satu ucapan.

Pendapat ini juga diikuti  oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “A’lamul Muwaqqi’in”, dan juga Imam asy-Syaukani dalam kitabnya “Nailul Authar”.

Lebih jelasnya lihat penjelasan tentang ini di Tafsir Ayatul Ahkam jilid I, karangan Syekh Ali ash-Shabuni.[]