Nov 30, 2011

[...تَكُنْ مُهَاجِرًا] Anda Harus Berhijrah!

Tausiah Bulan Desember 2011 / Muharram 1433 H

بسم الله الرحمن الرحيم


[...تَكُنْ مُهَاجِرًا]

يَرَى الْمُسْلِمُ الْوَاعِى دُرُوْسًا وَافِرَةً مِنَ الْهِجْرَةِ النَّّبَوِيَّةِ يَعْتَبِرُهَا بِإِضَافَةِ مَا لَهَا مِنْ ثَمَرَاتٍ ِلأَنَّ الْهِجْرَةَ فِى الْحَقِيْقَةِ هِيَ مِنْ مَدْرَسَةِ اْلإِيْمَانِ وَمِنْ تِلْكَ الثَّمَرَاتِ أَنْ عَمَّرَ اللهُ تَعَالَى لِخَلِيْلِهِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَشْرَفَ بُقْعَةٍ بِأَشْرَفِ ذُرِّيَّةٍ وَأَحْيَا أَفْضَلَ وَادٍ غَيْرَ ذِي زَرْعٍ بِأَفْضَلِ مَاءٍ وَأَقَامَ أَعْظَمَ شَعَائِرِهِ وَهِيَ الصَّلاَةُ فِى أَجَلِّ مَشَاعِرِهِ وَرَفَعَ قَوَاعِدَ أَوَّلِ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ وَجَعَلَهُ لِسَانَ صِدْقٍ فِى اْلآخِرِيْنَ وَأَظْهَرَهُ عَلَى مَنَاسِكِ الْحَجِّ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَغَيْرَ ذَلِكَ .

وَهَكَذَا كَانَتِ الْهِجْرَةُ النَّبَوِيَّةُ الْمُحَمَّدِيَّةُ الَّتِي كَانَتْ مِنْ ثَمَرَاتِهَا الطَّيِّبَةِ كُلُّ خَيْرٍ أَصَابَهُ الْمُسْلِمُوْنَ وَكُلُّ عِـزٍّ أَدْرَكُوْهُ وَكُلُّ سَعْدٍ نَالُوْهُ عَلَى مَرِّ الْعُصُوْرِ , فَلَقَدِ انْتَشَرَ نُوْرُ اْلإِسْلاَمِ – الَّذِى بِهِ صَلاَحُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ – وَقَامَتْ دَوْلَـتُهُ الَّتِى فَتَحَ اللهُ بِهَا مَكَّةَ وَانْتَشَرَ تَعَالِيْمُهُ فِى الْعَالَمِ بَعْدُ بِالْفُتُوْحَاتِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ وَهِيَ بِلاَ شَكٍّ تَخْتَلِفُ فِى مَظْهَرِهَا وَنَتَائِجِهَا عَنْ هِجْرَةِ إِخْوَانِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ السَّابِقِيْنَ وِفْقَ رِسَالَتِهِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ .
ثُمَّ وَسَّعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَفْهُوْمَ الْهِجْرَةِ حَيْثُ يَشْمَلُ الْهِجْرَةَ عَمَّا نَهَى اللهُ عَنْهُ بِتَرْكِ الْمَعَاصِى وَالْمُخَالَفَاتِ قَائِلاً لِفُدَيْكٍ أَحَدُ الصَّحَابَةِ (( يَافُدَيْكُ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَآتِ الزَّكَاةَ وَاهْجُرِ السُّوْءَ وَاسْكُنْ مِنْ أَرْضِ قَوْمِكَ حَيْثُ شِئْتَ تَكُنْ مُهَاجِرًا)) رَوَاهُ الْبَغَوِى وَابْنُ مَنْدَهْ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ . (كَنْـزُ الْعُمَّالِ 8/3031, الْقُدْوَةُ الْحَسَنَةُ لأبوي ص 42)
لِمَاذَا؟ لِمَا قِيْلَ : (زَمَانٌ كَأَهْلِهِ وَأَهْلُهُ كَمَا تَرَي) وَأَهْلُ هَذَا الزَّمَانِ قَدْ تَحَقَّقَ مَا وَقَعَ بِهِمْ مَا أَشَارَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَغَيُّرِهِمْ عَنْ طَرِيْقَتِهِمِ الْجَادَّةِ لِفِتْـنَةٍ دَاهَمَتْهُمْ كَمَا جَاءَ ذَلِكَ فِى عِدَّةٍ مِنْ أَحَادِيْثِهِ الشَّرِيْفَةِ كَمَا يَلِيْ:
1. حَدِيْثُ رَفْعِ اْلأَمَانَةِ عِنْدَ التِّرْمِذِى رَقْمُ 2270 إِلَى أَنْ قَالَ : ((...فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ لاَ يَكَادُ أَحَدُهُمْ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ إِنَّ فِى بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا وَحَتَّى يُقَالَ لِلرَّجُلِ مَا أَجْلَدَهُ وَأَظْرَفَهُ وَأَعْقَلَهُ وَمَا فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ _ الحديث))
وَحَاصِلُهُ : أَنَّهُمْ يَمْدَحُوْنَهُ بِكَثْرَةِ الْعَقْلِ وَالظَّرَافَةِ وَالْجَلاَدَةِ وَيَتَعَجَّبُوْنَ مِنْهُ وَلاَ يَمْدَحُوْنَ أَحَدًا بِكَثْرَةِ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ .
2. ("لَتَـتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ" قَالُوْا : الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ : فمن؟ ) رَوَاهُ الْبُخَارِى عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه . وَرَوَاهُ الْحَاكِمُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِى آخِرِهِ "وَحَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ فِى الطَّرِيْقِ لَفَعَلْتُمُوْهُ " قَالَ الْمُنَاوِي : إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ . وَقَالَ النَّوَوِى:الْمُرَادُ الْمُوَافَقَةُ فِى الْمَعَاصِى وَالْمُخَالَفَاتِ لاَ فِى الْكُفْرِ .(تحفة الأحوذى 6/408)
3. ("لَتَنْقُضُنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ") رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّان وَالْحَاكِمُ (الجامع الصغير 2/123) .
4. ("يَكُوْنُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنٌ كَقِطَعِ اللَيْلِ الْمُظْلِمِ") رَوَاهُ ابْنُ مَاجَة (كنوز الحقائق للمناوى هامش الجامع الصغير2/203)
5.("يُوْشِكُ اْلإِسْلاَمُ أَنْ يَدْرُسَ فَلاَ يَبْقَى إِلا َّاسْمُهُ ") رواه الديلمي فى الفردوس/ كنوز الحقائق للمناوى هامش الجامع الصغير2/203)
قَالَ الله تَعَالَى مُحَذِّرًا عَنِ الْوُقُوْعِ فِى هَذِهِ الْفِتَنِ بِقَوْلِهِ (...وَيُحَذِّرُكُمُ الله نَفْسَهُ وَاللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ) آل عمران:30, مُوْصِيًا بِطَلَبِ الْمَخْرَجِ عَنْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ (يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوا الله لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ) آل عمران آخر السورة:200.

=الله يتولى الجميع برعايته=

Anda Harus Berhijrah!

Seorang muslim yang terbina melihat ada banyak sekali pelajaran dari hijrah nabawiyyah selain memang dalam hijrah terdapat sekian banyak buah (manfaat) karena sebenarnya hijrah adalah madrasah keimanan. Di antara buahnya ialah Allah menyemarakkan untuk kekasihNya Nabi Ibrahim alaihissalam, tanah suci dengan anak keturunan yang mulia (Rasulullah Saw), dan Dia menghidupkan lembah paling utama yang tidak ada tanaman (sama sekali) dengan air yang paling utama (Zam-zam), serta menegakkan syiar utamaNya yaitu shalat di tempat syiarnya yang paling mulia sekaligus meninggikan pilar-pilar rumah pertama yang diletakkan untuk manusia. Allah juga menjadikan Nabi Ibrahim sebagai orang yang selalu disebut dengan kebaikan (lisan shidiq) oleh generasi setelahnya (hingga sekarang) dan menampakkannya dalam manasik haji untuk kaum muslimin dll.

Begitulah hijrah nabawiyyah muhammadiyyah yang di antara buah indahnya adalah seluruh kebaikan yang didapatkan kaum muslimin dan seluruh kemuliaan yang mereka peroleh serta seluruh keberuntungan yang mereka capai sepanjang masa. Sungguh cahaya Islam – sebagai kunci kebaikan dunia dan akhirat - telah tersebar dan pemerintahannya telah beridiri sehingga Makkah bisa ditaklukkan dan sesudah itu ajaran-ajaran Islam tersebar luas di seluruh alam melalui penaklukkan-penaklukkan yang dilakukan Islam. Jadi sudah dipastikan bahwa hijrah nabawiyyah berbeda dengan hijrah saudara-saudara Beliau shallallahu alaihi wasallam yaitu para nabi yang lain yang terdahulu alaihimussalaam sesuai dengan risalah beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperluas pemahaman hijrah sehingga mencakup berhijrah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah dengan meninggalkan maksiat dan sikap melawan kepada Allah. Beliau bersabda kepada salah seorang sahabat bernama Fudek: “Wahai Fudek, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, jauhilah keburukan dan tinggal-lah di manapun dari tanah kaum-mu, tentu kamu tetap menjadi seorang yang berhijrah!”” (HR Baghawi Ibnu Mandah Abu Nuaim/Kanzul Ummal 8/3031, al Qudwah al Hasanah hal 42)

Kenapa? Karena dikatakan: “Masa itu seperti pelakunya. Sedang pelakunya seperti anda saksikan”Ia, pelaku masa sekarang ini telah berada dalam kondisi seperti disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu kondisi berubah dari jalur yang benar akibat terpaan badai fitnah yang begitu dahsyat sebagaimana diberitakan dalam hadits-hadits beliau di bawah ini;

1.Hadits hilangnya Amanah seperti dalam riwayat Imam Turmudzi;2270; ((....sehingga manusia lalu saling melakukan transaksi perdagangan di mana hampir tak ada seorangpun yang menunaikan amanat, sampai dikatakan “bahwa sesungguhnya di suku ini ada seorang yang bisa dipercaya” hingga mereka mengatakan; “Betapa teguh orang ini, betapa cerdas dan betapa berakal dirinya” padahal dalam hatinya tak ada sebiji sawipun keimanan...)) Artinya mereka memujinya sebagai banyak memiliki akal, kecerdasan dan keteguhan serta mengidolakannya. Sementara mereka sama sekali tidak memuji seorangpun karena banyak memiliki ilmu yang bermanfaat dan melakukan amal shaleh.
2. “Sungguh kalian akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sehingga seandainya mereka memasuki lubang biawak niscaya kalian mengikuti mereka” Kami (para sahabat) bertanya; “Orang yahudi dan nashrani (yang anda maksudkan)?” Nabi Saw bersabda; “Lalu siapa (lagi)?”(HR Bukhari dari Abu Said al Khudri ra. Sedangkan Imam Hakim meriwayatkan hadits ini Ibnu Abbas ra di mana dalam akhir teks hadits terdapat riwayat; “...dan sampai andaikan salah seorang mereka mengumpuli isteri di jalan niscaya kalian juga melakukannya” Imam al Munawi mengatakan bahwa hadits riwayat Hakim ini bersanad shahih. Imam Nawawi mengatakan:[Maksudnya adalah menyamai mereka dalam hal kemaksiatan dan pelanggaran, bukan dalam kekafiran]( Tuhfatul Ahwadzi 6/408)

3.”Sungguh kalian akan melepaskan kancing-kancing islam satu persatu. Setiap kali satu kancing terlepas maka manusia beralih kepada kancing berikutnya; pertama dari kancing (yang dilepaskan) itu adalah hukum (daulah islamiyyah) dan yang akhir adalah shalat” (HR Ahmad Ibnu Hibban Hakim/ al jami’ as shaghir 2:203)

4.”Akan ada sebelum kiamat, fitnah-fitnah seperti potongan-potongan gelap malam”(HR Ibnu Majah/ Kunuzul Haqaiq Lil Munawi((Hamisy al jami’ ash shaghir2/203))

5. “Hampir saja Islam musnah sehingga tidak tersisa kecuali namanya” (HR Dailami falam Musnadul Firdaus/ Kunuzul Haqaiq Lil Munawi((Hamisy al jami’ ash shaghir2/203))

Allah ta’alaa memberikan peringatan agar tidak terjatuh dalam fitnah-fitnah ini dengan firmanNya; “Dan Allah memperingatkan kalian akan siksaNya. Dan Allah sangat sayang kepada para hambaNya “QS Ali Imran:30, seraya berwasiat supaya mencari jalan keluar dari hal tersebut; “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah, tabahkanlah diri (bergaul dengan sesama), masuklah dalam jaringan (jamaah) dan bertaqwalah supaya meraih keberuntungan “QS Ali Imran (akhir surat):200)


=الله يتولى الجميع برعايته=

NB:
Format Audio menyusul.

Nov 12, 2011

Dengan Cara Apa Anda Ber-shuhbah?

Tausiyah Bulan Oktober 2011

Dzunnun Al Mishri berkata: [Jangan berteman akrab menuju Allah kecuali dengan pandangan yang sama. Jangan berteman dengan akran (bershuhbah) dengan makhluk kecuali dengan saling menasehati. Jangan bershuhbah dengan nafsu kecuali dengan perlawanan. Jangan bershuhbah dengan setan kecuali dengan permusuhan] tanwiirul Adzhaan:1/271.

1) Bershuhbah Bersama Menuju Allah

Allah ta’alaa berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.“QS Ali Imran:118.
Sungguh telah dikatakan: “Jangan tertipu performa manusia sebelum kamu mengerti hakikat dirinya”.
Juga dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang itu laksana kotak-kotak terkunci. Dan tiada kunci-kuncinya kecuali sekian banyak uji coba”

2) Bershuhbah dengan Manusia dengan
Saling Menasehati dan Menabahkan Diri

Allah ta’alaa berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“QS al Ashr:1-3.
Allah ta’alaa berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan berjejaringlah serta bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.“QS Ali Imran:200.

Dikatakan:
Bersabarlah atas kepedihan karena orang yang iri hati, karena kesabaranmu pasti akan membunuhnya.
Sungguh api akan memakan dirinya sendiri apabila tidak menemukan sesuatu yang dimakannya.


3) Bershuhbah dengan Nafsu dengan Perlawanan (Sehingga menjadi Lawwamah lalu Muthmainnah)

Allah ta’alaa berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.“QS Yusuf:53.
Yang selalu menyuruh kepada kejahatan adalah salah satu jenis nafsu. Di antara jenis yang lain ialah al lawwaamah, yaitu yang senantiasa dan seringkali mengkritisi dirinya ketika terjatuh dalam kemaksiatan.
Di antara jenis nafsu lainnya adalah al muthma’innah yang disebutkan Allah dalam firmanNya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku” QS al Fajr: 27-30. Nafsu jenis ini merasa tentram dengan keimanan dan pembenaran sepenuhnya akan janji Allah ta’alaa. Nafsu jenis selamanya mendapatkan pertolongan menuju ketaatan dan membenarkan pertemuan dengan Allah ta’aalaa.

Dalam Burdah-nya, Imam al Bushiri mengatakan:

= Nafsu itu seperti anak kecil yang jika kamu membiarkannya maka ia akan tumbuh dewasa dengan tetap suka menyusu (kepada ibunya). Tetapi jika kamu menyapihnya maka iapun bisa tersapih.

= Maka alihkanlah keinginan nafsu dan waspadalah jangan sampai memberinya kuasa, sebab sungguh selama hawa nafsu berkuasa niscaya ia bisa mematikan atau membuat kerusakan(menimbulkan kecacatan)
Nafsu lebih berbahaya daripada setan karena ia musuh dalam rupa seorang teman. Sementara manusia tidak pernah mewaspadai rekayasa teman sendiri. Jadi nafsu adalah musuh dalam selimut.

4)Bershuhbah dengan Setan dengan Permusuhan

Allah ta’alaa berfirman: ” Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala“QS Fathir:6.
Lihatlah apa yang dilakukan setan terhadap ayah kita Nabi Adam alaihissalaam dan isterinya Hawwa’.Ia telah bersumpah sesungguhnya ia bermaksud baik kepada keduanya sebagaimana difirmankan Allah: “Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",QS al A’raaf:21. lalu bagaimana terhadap kita? padahal terhadap kita ia telah bersumpah, seperti difirmankan Allah: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". “QS al Hijr:39-40.

Karena itulah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam memberikan peringatan kepada kita akan rekayasa setan dalam khutbah beliau ketika hajjatul wada’. Beliau bersabda:
“Ingat, sesungguhnya setan telah berputus asa untuk bisa disembah di negeri-negeri kalian ini selamanya. Tetapi akan ada ketaatan kepadanya dalam amal-amal yang kalian anggap remeh sampai akhirnya setan pun rela dengan hal itu”(HR Turmudzi/2248)

Dalam riwayat lain:
“Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk bisa disembah oleh orang-orang yang shalat, tetapi (ia masih berharap) membenturkan di antara mereka”(HR Ahmad Muslim Turmudzi dari Jabir ra/al Jami’ As Shaghiir:1/82)

Dalam kitabnya, Bustanul Waa’izhiin Wa Riyadhus Saami’iin hal 13, Ibnul Jauzi menyebutkan riwayat dari Nabi Muhammad Saw bahwa sesungguhnya beliau saat hajjatul wada’ berkhutbah:

“Wahai manusia, sesungguhnya aku mengharapkan kebaikan untuk kalian dan lagi bisa dipercaya. Ingat sesungguhnya Iblis telah berputus asa dari kalian. Akan tetapi demi Dzat yang mengutusku dengan hak, Iblis, semoga Allah melaknatnya, pasti akan menjadikan kalian menyembah seribu tuhan. Seseorang menyembah untanya, orang lain menyembah isterinya, orang lain menyembah kambingnya, orang lain menyembah tanaman pertaniannya, orang lain menyembah perdagangan (bisnisnya), orang lain menyembah hasil karyanya, orang lain menyembah kendaraannya, dan orang lain menyembah temannya. Seseorang bertanya kepada yang lain: “Bagaimana keadaanmu?” maka temannya menjawab: “Jika bukan karena perdaganganku maka tak ada keadaan (menyenangkan) bagiku”. Ia berkata: “Andai bukan karena pertanianku” orang lain berkata: “Andai bukan karena isteriku” orang lain berkata: “Andai bukan karena kendaraanku” orang lain berkata: “Andai bukan karena temanku” sehingga setan melalaikannya dari mengingat Tuhannya dan membuatnya kepayahan dalam urusan dunianya serta memutuskannya dari Akhiratnya_....”

Hadits tersebut sejalan dengan firman Allah: “...dan tidaklah melupakan aku untuk melakukan hal itu kecuali setan... “QS al Kahfi:63.

Benar, Allah ta’aalaa berfirman: “...dan sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan lemah”QS An Nisa’: 28. Dalam ayat lain: “...sesungguhnya rekayasa setan itu lemah “QS An Nisa’:76. Adalah dua hal yang lemah jika bertarung maka masing-masing keduanya tidak memiliki penolong untuk bisa mengalahkan lawannya. Lalu Allah memerintahkan manusia yang lemah agar memohon pertolongan kepada Tuhannya yang Maha Lembut dari rekayasa musuhnya yang lemah agar Dia Memberinya perlindungan dan pertolongan untuk bisa mengalahkan musuh dengan selalu berdzikir kepadaNya sebagaimana dikatakan:

=Seorang hamba senantiasa dalam lindungan dan penjagaan Allah
dari setiap setan yang sesat dan lalai

=Jika ia memohon perlindungan kepada Sang Maha Pengasih di waktu paginya dan begitu pula di waktu sorenya dengan berdzikir kepada Allah.

والله يتولى الجميع برعايته==

NB:
Format Audio Tausiyah Bulan Oktober 2011 segera menyusul. Admin.

Oct 8, 2011

E-book Panduan Praktis Haji Tamattu'

Bagi pembaca yang akan melaksanakan ibadah haji, ada baiknya membaca dan memiliki buku kecil ini "PANDUAN PRAKTIS HAJI TAMATTU'" karya Abina K.H.M. Ihya' Ulumiddin. Biar pun buku ini kecil, namun isinya lengkap dan dapat dipakai sebagai panduan hajhdan umroh. Buku ini di susun berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw sehingga tidak terlalu tebal, bila dibanding dengan buku panduan haji dan umroh yang dikeluarkan oleh Depag.

Buku ini juga dilengkapi dengan tambahan doa-doa yang didapat dipakai ketika pulang ibadah haji. Semoga buku kecil ini bermanfaat.

Admin.

Download

Sep 28, 2011

Sep 27, 2011

Haid Membaca Alqur’an

Pertanyaan:

Setiap kali saya mendampingi adik-adik program TQQ (Ta’lim Qira’ah Al Qur’an) di kampus kami selalu ada pertanyaan klasik seputar boleh dan tidak bolehnya saat haid memegang dan membaca Al Qur’an. Yang saya tanyakan:

1. Bagaimana hukumnya orang yang memegang dan membaca Al Qur’an dalam keadaan haid?
2. Jika tidak boleh, apa alasan-alasan (dalil) yang menjadi dasarnya?
3. Jika boleh, apa pula alasan-alasan (dalil) yang menjadi dasarnya?

Atas jawaban pengasuh Fas’alu, saya ucapkan jazakumullah khairan katsira

Anna Rofiatin, Ketintang Baru XI/10A Surabaya

Jawaban:

1. Demi kemuliaan Al Qur’an, Ijma’/konsensus ulama menyatakan haid menjadi penghalang wanita menyentuh atau memegang mushaf Al Qur’an. Dalil atas konsensus tersebut adalah firman Allah Ta’ala:
لاَ يَمَسُّهُ اِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang suci (QS Al Waqiah: 79)

Dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لاَ يَمَسُّ اْلقُرْأَنَ اِلاَّ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci (HR Nasa’i, Abu Dawud, Malik, Thobarani, dan Al Hakim)

Haid menurut mereka juga menjadi penghalang wanita membaca AlQur’an, berdasarkan pada nash:

لاَ تَقْرَأُ اْلحَائِضُ وَلاَ اْلجُنُوْبُ شَيْـأً مِنَ اْلقُرْأَنِ
Wanita yang haid tidak boleh membaca sesuatupun dari Al Qur’an, tidak pula orang yang junub (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi).

2. Lain dari itu, Imam Bukhari berkecenderungan memperbolehkan wanita yang haid membaca Al Qur’an, seraya mengutip pendapat Ibrahim An Nakho’i, “Tidak berdosa wanita haid membaca ayat AlQur’an.” Hal ini didasarkan pada nash:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ فِى كُلِّ اَحْيَانِهِ
Rasulullah senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap waktu-waktunya (Lihat Shohih Al Bukhori, Sindy I/65)

Kecenderungan Imam Al Bukhari ini, menurut Imam Al Munawi dan Al Hafidz Ibnu Hajar, di samping karena hadits-hadits dalam masalah ini tidak tampak satupun yang shahih, hadits-hadits tersebut juga masih memungkinkan munculnya interpretasi yang lain. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi I:412 dan Fiqih As Sunnah I:59)
3. Imam Malik diceritakan pernah mengatakan bahwa wanita haid boleh membaca AlQur’an karena jika tidak membaca dia bisa terlupakan, sementara masa haid bisa berlangsung lama (menurut penelitian Imam Asy Syafi’i masa haid bisa mencapai setengah bulan). (Lihat Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud I:384 dan Tuhfatul Ahwadzi I:410)
4. Pada waktu-waktu tertentu yang terbilang darurat dan atau hajat, wanita yang haid diperbolehkan membaca AlQur’an, umpamanya pada waktu berdo’a, berdzikir, berniat ta’lim, mengawali sesuatu, dan sebagainya. (Lihat Al Fiqhul Islami I:384)

Status Darah sebelum Melahirkan

Pertanyaan:

Sebelum melahirkan wanita biasanya mengeluarkan darah. Apakah status darah tersebut?

Akhowat, Pujon Malang

Jawaban:

Semua ulama sepakat bahwa darah yang keluar setelah melahirkan (Wiladah) adalah darah Nifas. Sementara darah yang keluar beserta melahirkan atau saat merasakan sakit akan melahirkan (Tholq) maka menurut Madzhab Syafi’i dan sebagian Hanafi bukan termasuk darah haid dan juga bukan termasuk darah nifas. Imam Syarqowi dalam Hasyiyah Tahrir menyebut bahwa darah ini termasuk darah Fasad. Dalam Bughyatul Mustarsyidin/32 disebutkan: “Darah yang keluar dari wanita hamil sebab melahirkan sebelum bayi terlahir disebut Tholq dan hukumnya adalah seperti darah Istihadhoh yang berarti wajib dibalut, bersuci dan melakukan shalat dan tidak haram baginya segala hal yang diharamkan bagi wanita haid meskipun itu bersenggama (Hasyiyah Syarqowi 1/158). Sedang madzhab Maliki dan Hambali menganggap bahwa darah tersebut termasuk darah Nifas, artinya ketika seorang wanita yang akan melahirkan telah mengeluarkan darah maka saat itulah ia tidak berkewajiban shalat dll.

Sep 14, 2011

Haram Memberikan Loyalitas Kepada Orang-Orang Kafir

Seri Tafsir Tematik:

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكاَفِرِيْنَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقَاةً, وَيُحَذِّرُكُمُ الله نَفْسَهُ. وَإِلَى الله الْمَصِيْرُ (سورة أل عمران :28)

“Janganlah orang-orang mukmin mengangkat orang-orang kafir sebagai wali (teman setia, pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin; dan barangsiapa berbuat demikian, berarti lepaslah dia dari (pertolongan )Alloh, kecuali kamu (bersiasat) memelihara diri (terhadap) sesuatu yang ditakuti dari mereka; dan Alloh memperingatkan kamu (dengan siksaan) dan dari diri-Nya; dan kepada Alloh-lah tempat kembali.” (QS Ali Imran :28)


Analisis Ayat:

Lafadz أولياء , adalah bentuk jamak dari lafadz وَلِيٌّ menurut bahasa berarti an-Naashir ( penolong) dan al-Mu’iin ( yang menolong). (Lihat Ayatul Ahkam I:397). Juga berarti al-muhibb (yang mencintai), atau ash-shadiiq ( teman karib atau sahabat setia), atau al-jaar ( tetangga dekat), atau al-haliif ( sekutu), atau at-taabi’ ( pengikut setia).

Lafadz تقاة bentuk jamak dari تُقًى yang berarti bertakwa atau takut. Sedangkan maksudnya di sini adalah at-Taqiyyah yang berarti pura-pura bersikap luwes/supel kepada manusia karena takut dari kejahatannya. Menurut Ibnu Abbas, at-Taqiyyah adalah bersikap luwes/supel (al-mudaarah) secara dhahiriyyah tanpa meninggalkan prinsip. Kadang-kadang umat Islam yang berada di tengah-tengah orang-orang kafir, mereka menjaga dirinya dari kejahatan orang-orang kafir dengan lisannya, sementara dalam hatinya tidak ada kasih-sayang atau cenderung kepada mereka.(Lihat Ayatul Ahkam I:398).

Berkaitan dengan firman Alloh swt:إلا أن تتقوا منهم تقاة “Kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”, maksudnya, kecuali bagi orang-orang yang berada di suatu negeri dan pada waktu tertentu, merasa takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka baginya diperbolehkan bersiasat kepada mereka secara lahirnya saja, bukan secara batin dan niatnya. Sebagaimana Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Darda’ ra, ia berkata:”sesungguhnya kami menampakkan wajah cerah kepada beberapa orang kafir, sedang hati kami melaknat mereka.” (Ibnu Katsir I:365). Sedangkan menurut Ats-Tsauri dari Ibnu Abbas berkata:”Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu bukan dengan amal, melainkan dengan lisan.” Demikian juga menurut al-Aufi dari Ibnu Abbas ra bahwa taqiyyah itu dengan lisan. Hal yang sama juga dikatakan oleh Abul ‘Aliyah, Abu Sya’tsa’, Ad-Dhahhak dan Ar-Rabi’ bin Anas.

Pendapat mereka diperkuat dengan firman-Nya:
من كفر بالله من بعد إيمانه إلاّ من أكْرِهَ وقلبه مطمئنّ بالايمان

“Barangsiapa kafir kepada Alloh swt sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS An-Nisa’:106)

Imam Bukhari berkata dari al-Hasan berkata:”Taqiyyah itu berlaku sampai Hari Kiamat kelak.” Jadi taqiyyah dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan gangguan fisik dan jiwa dari orang-orang kafir, sementara hati tetap beriman kepada Alloh swt. Hal ini juga pernah dilakukan oleh sahabat Amr bin Yasir ra ketika disiksa oleh orang-orang musyrik Mekkah untuk mengakui tuhan-tuhan mereka dan keluar dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Akibat keras dan beratnya siksaan orang-orang musyrik Mekkah, terpaksa Amr bin Yasir ra mengucapkan kata-kata kufur, sementara hatinya tetap beriman kepada Alloh swt dan Rasul-Nya.

Asbabun Nuzul:

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang beriman yang mempunyai sahabat/teman dekat dari kalangan orang-orang Yahudi, maka berkata sebagian sahabat Nabi saw kepada mereka:”Jauhilah mereka orang-orang Yahudi dan berhati-hatilah menjalin persahabatan dengan mereka agar mereka tidak menimpakan fitnah terhadap agama kamu dan tidak menyesatkan kamu setelah kamu beriman kepada Alloh swt.” Tetapi mereka ( beberapa kaum muslimin) menolak nasehat tersebut dan mereka tetap bersahabat dengan orang-orang Yahudi.Maka turunlah ayat tersebut di atas.( Jaami’ul Bayan Li-Thabary III:228, yang dinukil oleh Ali Ash-Shabuni I:399). Menurut Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya dari Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sahabat Ubadah bin Shamit ra-shahabat Anshar yang ikut perang Badar-yang kebetulan mempunyai beberapa sahabat dari kalangan orang-orang Yahudi. Pada saat perang al-Ahzab, Nabi saw keluar dan Ubadah berkata kepada beliau saw:”Ya Nabi Alloh! Sesungguhnya beserta saya lima ratus orang Yahudi. Dan aku menganggap perlu kalau mereka itu keluar bersamaku untuk menghadapi musuh.” Maka Alloh swt menurunkan ayat tersebut di atas.


Sedangkan menurut Ibnu Jarir dari Sa’ad atau Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’ab bin al-Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum muslimin dari kalangan Anshar untuk memalingkan mereka dari agama Islam. Rifa’ah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair serta Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata:”Berhati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan dari agama kalian”. Mereka menolak peringatan itu. Maka Alloh menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung orang-orang beriman.

Penjelasan Ayat:

Berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata:” Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali (penolong, teman setia, pemimpin) dengan mengabaikan orang-orang yang beriman. Selanjutnya Alloh swt mengancam perbuatan seperti itu, yaitu barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari (pertolongan) Alloh swt.”(Ibnu Katsir I:365).

Sedangkan Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya berkata:”Sesungguhnya tidak akan berkumpul dalam hati seorang manusia suatu iman yang sebenar-benarnya kepada Alloh swt apabila mereka menjadikan musuh-musuh Alloh sebagai wali (pemimpin, teman setia). Padahal musuh-musuh Alloh itu telah berpaling dari atau membelakangi seruan untuk berhukum kepada kitab Alloh swt. Oleh karena itu, datanglah ancaman keras ini sekaligus sebagai ketetapan yang pasti bahwa seorang muslim telah keluar dari Islam jika dia menjadikan orang yang tidak ridha menjadikan kitab Alloh sebagai pengatur dalam kehidupan sebagai wali, baik kewalian itu dengan kecintaan hati dan dengan membantunya, ataupun meminta pertolongan kepadanya.” Lebih lanjut Sayyid Qutub berkata:”Ia lepas dari pertolongan Alloh, tidak ada dalam perhitungan Alloh sedikitpun, tidak ada hubungan dan penisbatan, baik agama maupun akidah, tidak ada ikatan dan kewalian. Ia telah jauh dari Alloh dan terputus hubungannya secara total dalam segala sesuatu.”

Berdasarkan ayat tersebut di atas, Allah hanya memberikan kemurahan jika mereka melakukan itu karena siasat memelihara diri terhadap orang yang ditakutinya dalam suatu negeri atau waktu tertentu. Akan tetapi, itu hanya pemeliharaan diri dalam bentuk ucapan lisan, bukan perwalian dalam hati dan amal perbuatan. Sebagaimana Ibnu Abbas ra pernah berkata:

لَيْسَ التَّقِيَّةُ بِالْعَمَلِ, إِنَّمَا التَّقِيَّةَ بِاللِّسَانِ
“Tidak ada taqiyyah (siasat pemeliharaan diri) dengan amal, sesungguhnya taqiyyah itu adalah dengan lisan.”


Taqiyyah yang diperkenankan itu bukan dengan menjalin kasih sayang antara orang-orang mukmin dengan orang kafir. Karena orang kafir itu tidak ridha kalau kitab Alloh dijadikan pemutus perkara atau pedoman dalam kehidupan. Taqiyyah, yang diperbolehkan juga bukan dengan membantu orang kafir dengan amalan nyata dalam suatu bentuk tertentu atas nama taqiyyah. Jadi taqiyyah hanya diperbolehkan, ketika kondisi sangat memaksa hingga mengancam keselamatan jiwa. Dan itupun dilakukan dengan ucapan lisan, sementara hati tetap mengimani Alloh swt dan Rasul-Nya serta mengingkari ajaran orang-orang kafir.

Yang perlu diketahui bahwa taqiyyah itu hanya merupakan rukhshah (keringanan/kemurahan/dispensasi) dari Alloh swt, bukan kewajiban. Bahkan orang mukmin yang meninggalkan cara seperti itu lebih afdhal. Dan taqiyyah itupun boleh dilakukan oleh seorang muslim jika kondisinya benar-benar mengancam keselamatan jiwa dan raga. Sementara jika kondisinya dalam keadaan normal, tidak ada tekanan dari orang-orang kafir secara fisik, maka melakukan taqiyyah diharamkan oleh agama.

Adapun orang-orang kafir menurut pandangan Islam adalah setiap orang yang tidak memeluk agama Islam, tidak mengimani Alloh swt sebagai satu-satunya Dzat yang disembah, ditaati dan ditunduki segala aturan dan hukum-hukum-Nya, membuat sekutu bagi-Nya, mengingkari adanya berita-berita ghaib yang telah dikabarkan oleh Alloh swt dalam Al-Qur’an, tidak mengakui Muhammad saw sebagai hamba dan utusan-Nya yang terakhir, tidak mengimani ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh dan menolak Sunnah Rasul. Dan menurut pandangan Islam, kafir meliputi dua golongan, yaitu Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nashara) serta orang-orang musyrik ( agama yang konsep tauhidnya mengandung kesyirikan), misalnya Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Alloh swt berfirman:

إن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين في نار جهنم خالدين فيها.
أولئك هم شر البرية ( البينة :6)
“Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinat: 6)

Sedangkan kalangan Ahli Kitab menurut Ibnu Katsir dalam mengomentari Surat Ali Imran ayat 64 adalah orang-orang Yahudi dan Nashara serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka.(Ibnu Katsir I:379). Hal ini juga berdasarkan Surat Nabi saw yang dikirimkan kepada Raja Heraqlius, Romawi dengan panggilan “ Yaa Ahlal-Kitab” yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas , dari Abu Sufyan. Begitu juga ketika beliau saw mengirim surat dakwah kepada Gubernur Mesir, Muqauqis dengan panggilan “ Yaa Ahlal-Kitab”. Begitu juga ketika Ibnu Katsir mengomentari Surat Ali Imran ayat 65, bahwa lafadz “ Ahlul Kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nashara. Sedangkan kekufuran dalam bentuk ideologi, misalnya Kapitalis-Liberalisme dan Sosialis-Komunis. Orang-orang yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip tersebut termasuk dalam kategori kafir.

Berkaitan dengan haramnya mengangkat orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin, teman setia dan penolong bagi umat Islam ditegaskan oleh Alloh swt dalam ayat yang lain:

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض. ومن يتولهم منكم فإنه منهم ( المائدة :51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”(QS Al-Maidah:51)

Menurut As-Suddi berkata:”Bahwa ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang salah satunya berkata kepada yang lain, yaitu setelah Perang Uhud:’Adapun aku, sesungguhnya akan pergi kepada orang-orang Yahudi dan berlindung kepadanya serta memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan akan bermanfaat bagiku jika terjadi sesuatu. Sedangkan yang lain berkata:’Adapun aku, akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nashara di Syam, lalu aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya’. Lalu turunlah ayat tersebut. Sedangkan menurut Muhammad bin Ishaq bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Ubadah bin Shamit ketika terjadi peperangan dengan Yahudi Bani Qainuqa, sementara Abdullah bin Ubay berpihak kepada orang-orang Yahudi. Sedangkan Ubadah bin Shamit ketika masih terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Lalu Ubadah bin Shamit menyuruh Bani Auf menghadap Rasulullah saw dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk selanjutnya menuju kepada Alloh swt dan Rasul-Nya.(Ibnu Katsir II:71)

Berkaitan dengan ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:”Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya.” (Ibnu Katsir II:70). Dan Alloh swt menjanjikan bagi mereka yang melakukan perbuatan itu dengan ancaman siksaan yang pedih, akan terjadinya fitnah bagi agama dan umatnya serta kerusakan di muka bumi.

بشر المنافقين بأنّ لهم عذابا أليما. الذين يتخذون الكافرين أولياء من دون المؤمنين. أيبتغون عندهم العزة فإن العزة لله جميعا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Alloh swt.”(QS An-Nisa’:138-139)

والذين كفروا بعضهم أولياء بعض إلا تفعلوه تكن فتنة في الارض وفساد كبير

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu ( kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh swt itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Anfal:73)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا عدوى وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بماجاء كم من الحق ( الممتحنة:1)
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil wali (pemimpin) dari musuh-Ku dan musuhmu, yang kamu menjatuhkan rasa kasih sayang kepada mereka itu; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu” (QS Al-Mumtahanah:1)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبالا ودّزا ما عنتّم قد بدت البغضاء من أفواههم وما تخفى صدورهم أكبر
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka itu tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagi kamu.Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi” (QS Ali Imran:118).

Lafadz بطانة berarti orang dekat yang dapat mengetahui urusan dalam, atau pembantu terdekat atau tangan kanan. Dalam ayat ini, Alloh swt melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang munafik, orang-orang kafir sebagai pembantu dekat/tangan kanan atau orang kepercayaan. Hal itu disebabkan karena mereka lebih banyak menimbulkan madharat dan menjerumuskan orang-orang Islam dalam bahaya dan kehancuran. Imam Bukhari dan An-Nasaiy meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَا بَعَثَ الله مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ , وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالسُّوْءِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ, وَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَهُ الله

“Alloh tidak mengutus seorang Nabi dan tidak juga mengangkat seorang khalifah pun melainkan ia memiliki dua orang pembantu kepercayaan (orang terdekat/tangan kanan); yang pertama menyuruh dan menekankan untuk berbuat baik. Dan yang kedua menyuruh untuk berbuat kejahatan. Hanya orang yang dipelihara oleh Alloh sajalah yang selalu terhindar dari kesalahan dan dosa”
(HR Bukhari dan An-Nasaiy).

Dalam mengomentari ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:”Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang munafik sebagai teman kepercayaan. Yakni karena mereka akan membuka rahasia dan segala yang tersembunyi untuk memusuhi orang-orang Islam. Dan orang-orang munafik itu dengan segenap daya dan kekuatannya tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi orang-orang yang beriman. Yakni selalu berusaha keras untuk menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya dengan segala cara, serta melakukan berbagai tipu muslihat yang dapat dilakukan.”( Ibnu Katsir I: 406)

لا تجدوا قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادّ الله ورسوله
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan Hari Kiamat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rasul-Nya.” (QS Al-Mujadalah:22)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا الذين اتخذوا دينكم هزوا ولعبا من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم والكفار أولياء. واتقوا الله إن كنتم مؤمنين
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpin kamu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Al-Kitab sebelum kamu, dan orang-orang kafir .Dan bertakwalah kepada Alloh jika kamu benar-benar beriman.”(QS Al-Maidah :57)

Yang demikian itu merupakan peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung kepada musuh-musuh Islam dan sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin yang menjadikan syariat Islam yang suci sebagai bahan ejekan dan permainan menurut keyakinan dan pandangan mereka yang rusak dan fikiran mereka yang beku.

Adapun meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Madzhab Maliki berpendapat bahwa minta bantuan orang kafir dalam peperangan tidak boleh, dengan mengambil dhahirnya ayat.Beliau beristidlal dari hadits Aisyah ra :Bahwa ada seorang pria dari kaum musyrikin yang cukup berani, datang kepada Nabi saw pada Perang Badar untuk minta idzin berperang bersama beliau, lalu Nabi saw bersabda:Kembalilah, aku tidak akan minta bantuan kepada orang musyrik. Sedangkan menurut Jumhur Ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyah) berpendapat bahwa minta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan itu dibolehkan dengan du syarat, yaitu (1).Jika sangat dibutuhkan, (2) Orang tersebut harus dapat dipercaya. Mereka mengambil dalil dari perbuatan Nabi saw yang pernah meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa dan memberi bagian ghanimah kepada mereka. Nabi saw juga pernah minta bantuan kepada Shafwan bin Umayah dalam peperangan Hawazin. ( Ayatul Ahkam I:402)

Sedangkan meminta bantuan kepada orang-orang kafir untuk menjadi tenaga administrasi bagi kepentingan umat islam, sebagian ulama membolehkan selama tidak membahayakan umat Islam. Syekh Ali Ash-Shabuni berkata:”Jika mengangkat orang kafir untuk urusan yang tidak membawa madharat bagi kaum muslimin, sebagaimana tidak menyalahi prinsip-prinsip agama, maka yang demikian itu dibolehkan. Tetapi jika membawa madharat, maka sama sekali tidak diperbolehkan”.

لَنَبُشُّ فِي وُجُوْهِ قَوْمٍ وَقُلُوْبُنَا تَلْعَنُهُمْ
“Sungguh kami akan senyum di hadapan wajah suatu kaum, sedangkan hati kami melaknatnya.”


Berdasarkan beberapa ayat di atas, diharamkannya orang-orang yang beriman mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang kafir, baik dari kalangan Ahlul Kitab atau orang-orang musyrik, disebabkan oleh beberapa alasan;(1). Mereka ( orang-orang kafir itu) menjadikan syariat Islam sebagai bahan ejekan dan permainan. (2). Mereka adalah orang-orang yang menentang Alloh swt dan Rasul-Nya. (3).Mereka tidak henti-hentinya menimbulkan mudharat dan kerusakan bagi umat Islam, kebencian yang ada dalam hati mereka, yang menyebabkan mereka senantiasa menjerumuskan umat Islam dalam kehancuran. Mereka senang jika umat Islam menemui bahaya dan kehancuran, sebaliknya sedih jika umat Islam menemukan kejayaan. (4). Mereka ingkar terhadap kebenaran yang datangnya dari Alloh swt mengenai akan datangnya Nabi dan Rasul akhir zaman yang diterangkan melalui kitab-kitab-Nya. (5). Agar umat Islam tidak berada dibawah kendali kekuasaan orang-orang kafir yang menentang dan tidak mengimani Alloh swt dan Rasul-Nya.
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
“Dan sekali-kali Alloh tidak menjadikan jalan orang-orang kafir menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisa’:140)[]

Aug 28, 2011

Zakat Fithrah dengan Uang

Pertanyaan:

Di lingkungan saya ada puluhan orang yang telah menjadi pelanggan al-Mu’tashim. Para pelanggan itu menanyakan soal keabsahan zakat fitrah dengan nilai uang, bukan seperti biasanya yakni berupa makanan pokok. Lalu bagaimana sebenarnya zakat fitrah itu jika dibayar dengan uang?.

Abu Tamam, Kamulyan Kawunganten Cilacap.

Jawaban:


Menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Malik, zakat fitrah harus berupa makanan pokok. Makanan pokok itu tidak boleh digantikan dengan harga uang atau lainnya. Imam Ibnu Hazm berpendapat lebih keras lagi. Menurut Beliau, sama sekali zakat fitrah dengan harga uang itu tidak tepat sebab hal itu mengubah apa yang telah difardlukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang zakat fitrah.

Sebagian ulama yang lain, semisal Sufyan Tsauri, Imam Abu Hanifah dan pengikutnya (yang antisipasi ijtihadnya ke depan) berpendapat diperbolehkannya membayar zakat fitrah dengan nilai harga. Berdasarkan pernyataan Umar bin Abdul Aziz saat menjadi khalifah. Imam Hasan Basri berkata:”Tidak apa-apa memberikan zakat fitrah dengan dirham (uang).” Abu Ishaq berkata:”Aku menjumpai mereka (ulama) memberikan dirham sebagai ganti makanan di dalam zakat fitrah.” Imam Atho’ pun berkata:” Dalam zakat fitrah aku memberikan perak (uang dinar) sebagai ganti makanan.” (Ahkam Siyam;Ahmad Muhammad Quhuji Rifa’I :137).

Zakat Fithrah setelah Shalat Id

Pertanyaan:

Batas terakhir mengeluarkan zakat fithrah pada umumnya adalah sebelum shalat Id. Kalau dikeluarkan setelahnya maka status zakat fithrah itu berubah menjadi shadaqah biasa. Nah apakah benar demikan itu? Tidak adakah kebolehan mengeluarkannya hingga hari raya? Apa pula makna dari shadaqah biasa itu? Mohon dijelaskan.

Fulan,

Jawaban:

Zakat fithrah fungsi utamanya adalah membantu kalangan fakir miskin agar bisa turut serta berbahagia pada hari raya selain untuk melengkapi kesempurnaan puasa seseorang. Atas dasar ini waktu idealnya zakat sebesar atau senilai satu mud ini ialah diberikan sebelum shalat Id karena ada waktu yang cukup longgar bagi fakir miskin untuk memasak dan mengelolanya saat hari raya. Dalam hadits, Ibnu Abbas berkata:

فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلَّي الله علَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِطُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌمَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَالصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Rasulullah shalallahu alaihi wasalam mewajibkan zakat fithrah sebagai pembersih orang berpuasa dari perbuatannya yang tidak berguna dan dari ucapannya yang buruk serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka dia adalah zakat yang diterima. Barangsiapa menunaikannya setelah shalat maka dia ada-lah shadaqah seperti shadaqah pada umum-nya. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih menurut Al Hakim)

Atau selambat-lambatnya adalah zakat fithrah itu dikeluarkan sebelum matahari terbenam pada hari raya Idul Fitri. Sementara mengeluarkannya setelah itu, setelah hari Id adalah haram bila tanpa udzur yang dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits:

أَغْنُـوْهُمْ عَنِ الطَّلَبِ هَذَاالْيَوْمَ
Cukupilah mereka dari meminta-minta pada hari ini. (H.R. Daraquthni)

Toleransi atau diperkenankannya mengeluarkan zakat fithrah sampai dengan terbenamnya matahari pada hari Id merupakan pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan Malikiyah. Hanya saja idealnya atau waktu yang sangat dianjurkan adalah sebelum shalat Id mengingat hikmah dimuka. Menurut Imam Asy Syaukani, mengeluarkan zakat fithrah sebelum shalat Id adalah wajib sedang mengeluarkannya setelah shalat Id dikategorikan shadaqah biasa, artinya pahala mengeluarkannya sebelum shalat Id jauh lebih besar dibandingkan dengan mengeluarkan setelah shalat Id. Mengeluarkan zakat fithrah setelah shalat Id nilainya lebih kecil. Tetapi bukan berarti tidak diterima. (Ahkamus Shiyam, Al Qahuji, hal. 136 dan Al Fiqh Al Islami II, Az Zuhaili, hal. 908)

Aug 12, 2011

Pemahaman Ikhlash dari Madrasah Ramadhan

Tausiyah Bulan Agustus 2011 / Ramadhan 1432H
Sentra Dakwah Ketintang Surabaya


Firman Allah ta’alaa: “agar kalian bertaqwa” di akhir ayat tentang kewajiban puasa (QS al Baqarah:183) memberikan gambaran kepada kita bahwa puasa adalah madrasah taqwa. Setiap madrasah memiliki manhaj dan tentunya setiap manhaj memiliki landasan. Adalah sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa taqwa adalah manhaj kehidupan untuk meraih keridhoan Allah ta’alaa.

Taqwa mempunyai landasan yaitu Ikhlash seperti difirmankan Allah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama....“QS al Bayyinah:5, dan merupakan hal yang menjadikan setan berputus asa dari menyesatkan orang-orang yang ikhlash seperti difirmankan Allah: “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka"QS al Hijr:39-40.

Dan dari sudut pandang bahwa puasa –seperti diriwayatkan- sebagai pintu ibadah yang menjadikan orang yang sedang berpuasa merasa ringan menjalankan ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, zakat, haji dll karena puasa terasa lebih berat bagi nafsu dan lebih terkait dengan penjernihannya, maka Rasulullah Saw menekankan tentang Ihklash dalam puasa dengan sabda beliau: “Barang siapa berpuasa ramadhan karena iman dan mencari pahala dari Allah maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Ahmad Bukhari Muslim dan Imam empat. Ini shahih). Imam al Khathib al Baghdadi menambahkan riwayat: “...dan dosa-dosa yang akan berlaku”, tetapi ini (dha’if).

Bahasa karena iman memberikan isyarat kewajiban ikhlash dalam beramal karena Allah, yakni bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan perintahNya dan memenuhi seruanNya karena Dialah satu-satunya Dzat Pemberi anugerah . Sebaliknya adalah nifaq.
Bahasa Ihtisab atau mencari pahala dari Allah memberikan isyarat keharusan ikhlash dalam mencari pahala dari Allah, yaitu keinginan mendapatkan manfaat akhirat dengan amal kebaikan. Sebaliknya adalah riya’ atau pamer, yaitu keinginan memperoleh manfaat dunia dengan amalan akhirat. Baik berharap secara langsung dari Allah atau dari manusia. Jadi ikhlash ada dua sebagaimana disebutkan.

Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan janji Allah terkait balasan ikhlash yang terdorong oleh puasa dengan firman Allah dalam hadits qudsi: “Seluruh amal anak Adam adalah miliknya kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa itu milikKu dan Aku akan memberikan balasannya” (Diriwayatkan oleh al Khamsah/lima perowi hadits).

Ungkapan ini ( وأنا أجزي به ) menunjukkan kiranya tiada balasan yang lebih baik daripada balasan Allah kepada hambaNya yang berpuasa. Karena inilah dikatakan: “Barang siapa yang ikhlash karena Allah maka pasti menampak berkah jejak langkahnya”.
Memang demikian halnya, akan tetapi ikhlash sudah pasti memerlukan dalil (bukti) berupa senantiasa mau berkorban dalam segala jenis amalan disertai totalitas sabar, mushabarah, murabathah, ketabahan, ridho dengan pembagian dan kepastian sekaligus sekuat tenaga menjaga diri dari sepuluh hal:

1. Nifaq, : Sebaliknya beramal karena Allah
2. Riya’ : Sebaliknya Ikhlash mencari pahala
3. Takhlith/Mencampur aduk : Sebaliknya Taqwa
4. al Mann/Mengungkit-ungkit : Sebaliknya menyerahkan amal kepada Allah
5. al Adzaa/Menyakiti : Sebaliknya membentengi amal
6. An Nadamah/Menyesali :Sebaliknya meneguhkan hati
7. al Ujub/Rumongso : Sebaliknya mengingat anugerah hanya kepada Allah
8. al Hasrah/Nelongso:Sebaliknya mencari kebaikan
9. At Tahawun/Meremehkan :Sebaliknya mengagungkan taufiq
10. Takut dicela manusia : Sebaliknya takut kepada Allah

Buah ikhlash adalah kelanggengan dan kesinambungan amal sebagai berkah penjagaan dan perawatan dari Allah sebagaimana dikatakan: “Segala sesuatu karena Allah pasti langgeng dan bersambung. Dan segala sesuatu yang bukan karena Allah maka akan terputus dan terpisah”. Allah berfirman: “...Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”QS Ar Ra’d:17.

Begitulah madrasah ramadhan yang memberikan bimbingan agar seluruh amalan kita, metode dan jalan yang ditempuh, berdiri di atas landasan ini. Inilah roh ketaqwaan yang menjadi syarat diterimanya ketaatan.Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa”QS al Maidah:27.

Ramadhan telah datang. Selamat atas kedatangannya
Sungguh beruntung orang yang berharap keberuntungan dan mengejarnya
Ramadhan madrasah petunjuk, ketaqwaan
dan kemuliaan. Segala kebaikan bisa didapatkan
Ya Allah, selamatkanlah kami untuk ramadhan dan selamatkanlah ramadhan untuk kami. Serahkanlah ia pada kami dengan diterima (sebagai amal sholeh). Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berpuasa dan menjalankan hak-haknya.
Walhamdu Lillaahi rabbil aalamiin


والله يتولى الجميع برعايته==

Referensi;

1. Dzikroyaat wa Munaasabaat. Abuya As Sayyid al Walid
2. Bustanul Waa’izhiin wa riyaadhussaami’in. Imam Ibnul Jauzi
3. Raudhatuth thalibin wa umdatussalikin. Imam Ghazali.

May 18, 2011

Kesiapan Umat Islam Menghadapi Musuh-Musuh Alloh

وَأَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَمِن رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِى عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ تَعْلَمُوْنَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al Anfaal : 60)

Analisis Ayat
رِبَاطِ الْخَيْلِ artinya kuda yang ditambatkan untuk berperang fi sabilillah.
تُرْهِبُوْنَ artinya تُخِيْفُوْنَ (kamu menggentarkan).

Makna dan Penjelasan
Ayat yang mulia di atas memotivasi umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan apapun yang dimilikinya sesuai dengan zaman dan keadaan dalam menghadapi setiap ancaman musuh Alloh, musuh Islam dan kaum muslimin. Disebutkan juga kuda pada zaman dahulu, karena binatang tersebut merupakan bagian dari jenis perlengkapan yang dipersiapkan untuk berperang, hingga kini pun perannya tetap menjadi penting dalam setiap keadaan. Hal itu semua merupakan kelengkapan kolektif. Kemudian zaman mengubah pedang, tombak dan panah yang semula sebagai senjata utama berkembang lebih canggih lagi dengan sentuhan teknologi mutakhir menjadi tank, pesawat tempur, bom nuklir, senjata kimia dan sebagainya.


Seluruh elemen Islam termasuk dalam seruan Ilahi, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” Gambaran kenyataan ini ditampilkan oleh Al Qur’an untuk menjelaskan kepada kita bahwa konsep mempersiapkan kekuatan dengan apapun yang dimiliki terus berlangsung sampai detik ini, tak lekang oleh waktu, dan tetap sesuai sampai kapanpun.

Kekuatan disini maknanya meliputi seluruh bentuk kekuatan yang ada. Ketika bencana penyakit jiwa telah tersebar dan kerusakan moral merajalela di mana-mana, kekuasaan dunia berada di tangan kaum kafir, dan kesesatan menjadi musuh kita secara nyata maupun maya. Maka menjadi jelaslah bahwa umat ini, umat Islam, umat yang menjadi penengah, umat pilihan, harus mempersiapkan segenap kekuatannya untuk menghadapi musuh-musuh Alloh. Kekuatan yang terbangun dari moral, materi, administrasi, kekayaan dan harta, dengan memotivasi semuanya menjadi pahala dan anugerah Alloh Swt. Mungkin inilah yang dimaksud sabda Rosululloh saw.

اَلآ انَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ – قَالَهَا ثَلاَثاً- اخرجه مسلم

“Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah anak panah.” (HR. Muslim)

Bukankah gambaran anak panah yang dilepas dari busurnya mengarah tepat pada sasarannya menjadi isyarat bagi kita akan keharusan terarahnya kekuatan yang kita miliki, baik moral, material, administrasi, kekayaan maupun harta kepada tujuan yang dihadapi sebagai penyerangan. Kekuatan yang terdiri dari kesiapan lahir berupa harta kekayaan yang diinfakkan fi sabilillah juga harus didukung dengan kesiapan batin berupa kekuatan ruhani yang menjadi motivator utama terhadap semua perbuatan kita. Tanpa kekuatan ruhani tak terbayangkan semua persiapan yang dimiliki akan menjadi berguna. Sebaliknya, kekuatan ruhani tanpa ada dukungan lahir tak akan sempurna. Oleh karena itu Alloh Swt. berfirman.

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُوْنَ

“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al Anfaal : 60)

Ghozwul Fikri, Anak Panah Yang Dilepas
Ada tiga agenda utama dalam perang pemikiran yang gencar dilepaskan oleh kalangan Barat (kafir) untuk menyerang jantung kekuatan umat Islam. Yaitu pemisahan agama dari kehidupan mereka (fashlud din ‘anil hayat), penyebaran paham materialis (an naf’iyah ad dunyawiyah), dan penggunaan logika tanpa batas (taskhirul ‘aqli fi ghoiri majaalihi). Padahal bila kita kembali kepada ajaran Islam yang indah dan mulia, akan dijelaskan di dalamnya bahwa sesungguhnya Alloh Swt. mencipatakan kehidupan ini sekaligus dengan menundukkannya pada suatu aturan tertentu yang tak boleh diubah. Firman Alloh Swt. di dalam Al Qur’an.

وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً

“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Alloh.” (QS. Al Ahzab : 62)

Kemudian di dalam aturan kehidupan itu Alloh menjadikan antara kebenaran dan kebatilan saling bertentangan, yang satu dan lainnya harus terpisah. Maka tak ada kebatilan yang mentolerir kebenaran, dan sebaliknya tak ada kebenaran yang mentolerir kebatilan, seperti siang dan malam, seperti putih dan hitam, keduanya berbeda. Pertentangan ini terus berlangsung, suatu saat berupa pemikiran, di saat yang lain berupa politik, dan bisa jadi menjadi tindakan militer yang siap memenggal setiap leher manusia. Hal itu bisa kita lihat pada lembaran-lembaran sejarah Rosululloh saw. Dimana beliau menentang kebatilan dengan dakwah Islam secara pemikiran, politik, dan juga materi.

Pertentangan ini terus berlangsung sampai zaman setelah Rosululloh saw. wafat. Dan sedang akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Bagaimana pertentangan ini akan bisa terhenti, bagaimana sunatulloh juga akan bisa terhenti? padahal umat Islam di masa lalu telah melakukan pertentangan terhadap musuh-musuh Alloh, musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tentu pertentangan ini akan terus berlangsung selama musuh-musuh kebenaran masih berdiri menantang. Dan kini tantangan itu berdiri di depan kita, umat Islam. Tantangan yang datangnya dari Barat dengan senjata kapitalisme dan sekulerisme mereka.

Arah Serangan Harus Tepat Sasaran
Ketika mereka, para penentang kebenaran menyerang umat Islam dengan konsep pemisahan agama dari kehidupannya. Kita sebelumnya harus paham bahwa pemikiran itu berasal dari kebudayaan Barat dan merupakan bagian dari cara pandang mereka terhadap kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa agama hanya ritual saja, simbol-simbol tertentu, ditujukan kepada individu dan bukan untuk masyarakat umum apalagi negara. Oleh karenanya kita melihat agama menurut pandangan Barat hanya menangani masalah-masalah tertentu seperti pernikahan, talak, peribadatan, dan beberapa urusan moralitas serta pegangan hidup pribadi saja, tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi, hukum, politik luar negeri, politik penegakan hukum (penguasa) dan sebagainya. Ini adalah pemahaman yang disodorkan kepada kaum muslimin tanpa harus melalui perantara orang-orang sekuler yang diselundupkan, tapi sedihnya justru ditawarkan dengan propaganda menipu serta retorika yang manis oleh sebagian da’i-da’i Islam, tokoh-tokoh di kalangan kita, sampai pada sebagian komunitas kaum muslimin sendiri yang ada di dalamnya. Seringkali kita mendengar perkataan mereka, “Uruslah diri kita sendiri, tinggalkan politik dan perbaiki saja iman kita. Umat ini tidak diperuntukkan berbicara tentang penegakan hukum syariat, tapi hanya perbaikan individu saja.” Atau, “Para generasi muda tidak usah menyibukkan diri dengan urusan ini, cukuplah mereka mencari ilmu saja,” demikian mereka menyebarluaskannya.

Untuk membalas serangan itu, kita harus mempertajam ‘anak panah’ pemikiran kita dan melepasnya dari ‘busur’ wawasan yang lentur dan luas. Langkah berikutnya kita harus mengarahkan umat ini, masyarakat Islam, dan para da’i yang termasuk di dalamnya kepada pemikiran Islam yang mencakupi semua masalah tersebut. Maka saudara kita yang menyeru kepada penegakan hukum secara individu saja, dan meninggalkan hukum-hukum yang berhubungan dengan umat dan masyarakat luas harus diingatkan kepada pemahaman bahwa Islam adalah agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Alloh memerintahkan kita agar mengambilnya secara sempurna. Firman Alloh Swt., “Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan.” (QS. Al Baqarah : 208)

Alloh Swt. juga melarang kita meniggalkan sebagian hukum-hukum-Nya, dan memisahkan antara perintah dan larangan-Nya. Firman Alloh Swt., “Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Alloh), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur’an itu terbagi-bagi. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (QS. Al Hijr : 90-93)

Dari ayat ini kita tahu bahwa tidak ada dasar yang melegalisasi pemisahan hukum-hukum Islam dan pengunggulan satu hukum atas hukum lainnya, serta penilaian rendah terhadap urgensitas suatu hukum yang ada kecuali terdapat dalil syar’i yang mengatakan demikian.

Karena itu kita tidak boleh menilai bahwa tiga poros pemikiran tersebut di atas hanya berlalu begitu saja di dalam pikiran kita, tanpa pengaruh yang signifikan. Sebab tiga konsep pemikiran itu telah ditanam dan ditebar dalam pelupuk mata umat. Dan bila dibiarkan yang akan terjadi adalah umat Islam akan mengikuti cara pandang mereka, sehingga tidak kembali kepada ajarannya yang mulia, namun terhanyut arus budaya kehidupan masyarakat Barat (kafir). Identitas umat Islam menjadi buram (mublawwaroh), tidak lagi murni karena bercampur dengan lainnya. Maka kewajiban kaum muslimin yang tidak boleh ditinggal adalah menghancurkan pemikiran musuh-musuh mereka dengan sekuat tenaga dan menggantinya dengan pemikiran dan hukum Islam yang mulia.

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِى وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Alloh dengan mulut (ucapan-ucapan mereka, dan Alloh tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS. Ash Shaff : 8)

Berdo'a dan Makanan Haram

Pertanyaan:

Bagaimana status doa orang yang makan barang haram. Diterima atau tidak. Dan bagaimana jika orang itu pergi haji dan berdoa di Multazam, apakah doanya diterima?

Lailatul Badriyah, Ds Jombok No 35 Ngantang Malang

Jawaban:

Makan makanan haram atau pun melakukan praktik kehidupan yang haram menjadi penghalang antara doa seseorang dengan Alloh subhanahu wata’ala, Dzat yang mengabulkan doa. Kecuali kalau usai makan haram itu sesegera bertaubat; mohon ampun dan menyesal, tampak penghalang itu terhapus kalau tidak hancur. Dengan begitu, doanya kepada Alloh subhanahu wata’ala akan menyusuri jalur yang lancar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرْ اللهَ يَجِدْ اللهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Alloh, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa: 110)


Dengan begitu, memakan makanan yang halal di samping bertaubat merupakan tata krama sebelum berdoa, termasuk sebelum berdoa di tempat-tempat yang mustajabah sekali pun seperti Multazam. Terle¬pas bahwa doa mujarab atau tidak menjadi hak prerogatif Alloh subhanahu wata’ala, tetapi hendaknya kala berdoa memperhatikan makanan yang dimakannya. Orang yang senantiasa memperhatikan makanan halal tampak nuraninya bersih, untaian kata-kata yang keluar dari lisannya tulus dan lembut, dan pada akhirnya tidak ada penghalang antara doanya dengan Tuhan seperti dipraktikkan oleh sahabat Saad bin Abi Waqqash dan Ukkasyah. Di dalam hadits disebutkan:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّطَيِّبًاوَإِنَّ اللهَ أَمَرَالْمُؤْمِنِيْنَ بِمَاأَمَرَبِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: يَااَيُّهَاالرُّسُلُ كُلُوْامِنْ الطَيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْاصَالِحًااِنِّىبِمَاتَعْمَلُونَ عَلِيْمً وَقَالَ تَعَالَى: يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُواكُلُوامِنْ طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَالرَّجُلَ: يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَتَ، أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَىالسَّمَاءِ: يَارَبِّ يَارَبِّ يَارَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَبِالْحَرَامِ: فَأَ نَّىيُسْتَجَابُ لَهُ

"Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman sebagai¬mana Dia memerintahkan kepada para Rasul: “Hai para Rasul, makan¬lah sesuatu yang baik dan berusahalah dengan baik. Wahai orang-orang yang beriman, makanlah sesuatu yang baik yang telah diriz-kikan kepadamu.” Ada seorang laki-laki yang berjalan jauh. Ram¬butnya kusut penuh dengan debu. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata: “Ya Rabbi... ya Rabbi...,” sedang maka¬nannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyang-kan dengan barang haram, maka bagaimana ia diterima doanya? (HR. Muslim)

Apr 29, 2011

Solusi Masalah Kalangan Berharta

Tausiyah Mei 20011
oleh | K.H.M. Ihya' Ulumiddin
Tempat: Sentra Dakwah Ketintang Surabaya


Ikuti Kajian Online-nya langsung dari Ketintang Surabaya, Ahad 1 Mei 2011 pukul 08.00 wib. Don't miss it!

Dalam Alqur'an Allah menyebutkan karakter manusia ketika memiliki kebaikan atau harta benda, yaitu ia menjadi bersikap kikir/emanan (manuu') kecuali orang yang mendermakan harta bendanya itu, maka ia akan menyaksikan kemudahan yang dijanjikan.

Karena bersikap kikir/emanan maka manusia tidak menyalurkan hak harta benda dengan sebaik-baiknya yang merupakan syarat harta benda terbentengi, sehingga harta bendanya dihampiri bencana-bencana dan kerusakan-kerusakan.(akibatnya) iapun bersedih dan mengeluh serta segera bergerak mencari solusi, sementara ia mengerti bahwa tidak ada solusi seperti Taqwa. Lalu jenis Taqwa manakah yang bisa membawanya keluar dari himpitan ini? Di sinilah kemudian Junjungan kita Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menunjukkan solusi tersebut, beliau bersabda: “Haji berturut- turut dan umrah yang beruntun bisa menolak kematian buruk dan sangatnya kemiskinan” (HR Abdurrazzak As Shan'aani dari Amir bin Abdillah bin Zuber ra secara Mursal. Al Jami' As Shaghir 1/146).

Beliau juga bersabda: “Orang-orang yang berhaji dan orang-orang yang berumrah adalah duta Allah; jika meminta maka mereka diberi, jika berdo'a maka mereka dikabulkan, dan jika berinfak maka mereka diberikan ganti...”(HR Baihaqi).

Dan sudah dimaklumi bahwa haji dan umrah berturut-turut tidak bisa dijalankan kecuali oleh orang yang memang memiliki kemampuan berupa melimpahnya sarana harta benda. Maka hal itulah yang menjadi cara menutup cacat yang terjadi dalam harta benda sebagai akibat tidak memenuhi haknya. Begitulah sunnah Allah dalam makhlukNya bahwa segala himpitan mesti ada solusi, dan semua kesusahan mesti ada kesenangan sesuai kehendak alamiahNya karena kebaikanNya yang bertubi-tubi dan tambahan anugerah serta kemurahanNya.

Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa solusi yang sama sekali tidak terbersit dalam hati akan menjadi kenyataan apabila berusaha diperoleh dengan memperbaiki tujuan serta meluruskan niat dalam menjalani haji dan umrah; yaitu karena Allah dan ikhlash karenaNya, bukan karena pamer, popularitas dan plesiran, berbeda sama sekali dengan realitas yang diiisyaratkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Akan datang kepada manusia, suatu masa di mana orang-orang kaya berhaji untuk wisata, kalangan ekonomi menengah untuk berdagang, para ulama untuk pamer dan popularitas dan orang-orang miskin untuk meminta-minta”(HR Abu Faraj Ibnul Jauzi dalam Mutsiirul Gharam dengan menyebutkan sanad/ Lihat Al Qiroo Li Qaashidi Ummil Quroo tulisan al Hafizh Muhibbuddin At Thabari hal 31).

Maka dari itulah hendaknya orang yang berhaji atau berumrah secara serius berusaha menjernihkan tujuannya dari segala hal tersebut kalau memang ia benar-benar mencari solusi.

=والله يتولى الجميع برعايته=

Apr 5, 2011

Tidak Memiliki Maka Tidak Memberi

Tausiyah Bulan April 2011
Vol XII Edisi 140
Oleh : K.H M Ihya' Ulumiddin


Allah ta’ala berfirman:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”QS at Taubah:41.

Termasuk jihad fi sabilillah adalah mendermakan harta benda demi kehidupan dakwah. Mencari harta benda demi kepentingan dakwah, menyokong dan mengokohkannya termasuk dalam kategori hal yang menjadi syarat sempurna suatu kewajiban.
Cukuplah sebagai gambaran bagi kita ketika Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang ahli perdagangan sejak sebelum diutus saat usia beliau baru dua puluh tahun.

Setelah diutus, Allah lalu mengokohkannya dengan dukungan isterinya Sayyidah Khadijah al Kubro yang juga seorang pedagang, para khalifah empat dan sepuluh orang yang dijamin masuk surga, serta yang lain di mana kebanyakan adalah para pedagang.

Dan bagaimana kekayaan para sahabat begitu melimpah sejak hijrah mereka masih berjalan tidak lebih dari tujuh tahun. Dan bagaimana pula nenek moyang kita di negeri ini memeluk islam juga melalui tangan-tangan para pedagang yang notabenenya adalah para da’i. Serta bagaimana pula sekarang ini, yahudi yang meski minoritas tetapi menguasai dunia karena kekuatan ekonomi dan perdagangan mereka.

Tuhan kita Allah ta’aala adalah Dzat Maha Kaya dan Maha Memberikan kekayaan. Maka sudah semestinya hambaNya memiliki sifat ini dari sisi memperoleh kekayaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri adalah figur yang kaya lagi dermawan hingga tidak pernah menyimpan rizki untuk esok harinya. Karena hal-hal tersebut inilah Alqur’an menyinggung tentang pentingnya perdagangan: “...kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya... “QS al Baqarah:282. “ ... mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,... “QS Fathir:29. “ ... perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya... “QS at Taubah:24. “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.... “QS an Nuur: 37. Dan tentunya itu semua dengan mengetahui simpul-simpul yang kuat dan kokoh dalam menjalankan perdagangan.

Sudah dimaklumi bahwa jalan dakwah memiliki tahapan-tahapan, maka sudah tibalah saatnya bagi kita dalam tahapan ini untuk menyokong dakwah kita dengan sokongan harta benda melalui apa saja yang mudah dilaksanakan untuk menghimpun harta benda secara berjamaah seraya memurnikan niat mendahulukan kemaslahatan jamaah atas kepentingan pribadi dan menjauhkan diri dari istighlal (menggunakan kesempatan).

Karena inilah rahasia kesuksesan dan keberuntungan dalam urusan ini. Serta didukung dengan langkah cepat sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. Dan usahanya itu pasti akan terlihat”, kejujuran sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ”Dia pasti beruntung jika ia jujur“ dan tangan yang terpercaya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Berikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu “ serta tidak meremehkan dan bersikap santai.

=والله يتولى الجميع برعايته=

Versi Audio


Download:

Mar 9, 2011

Di Antara Jalan Terbesar Menuju Wushul


Tausiyah Abina Muhammad Ihya' Ulumiddin
Bulan Maret 2011

Di antara jalan terbesar untuk bisa sampai, wsuhul kepada Allah adalah menyibukkan diri dengan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal demikian karena berbagai alasan yang di antaranya:

1. Shalawat mengandung tawassul kepada Allah ta’alaa dengan kekasih dan pilihanNya. Sungguh Allah telah berfirman: “...dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya... “QS al Maidah:35. dan kiranya tiada wasilah kepada Allah lebih agung daripada RasulNya yang mulia shallallahu alaihi wasallam.

2. Sesungguhnya Allah memerintahkan dan mendorong kita agar bershalawat demi memuliakan, mengagungkan dan mengunggulkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ini berarti shalawat termasuk amalan paling manjur, kondisi paling unggul, pendekatan yang paling tepat serta berkah yang paling merata.

3. Shalawat mengandung ungkapan rasa syukur atas sarana (jalan) nikmat-nikmat Allah kepada kita yang memang diperintahkan untuk disyukuri. Maka tiada nikmat yang telah lewat dan yang akan didapat berupa penciptaan dan uluran anugerah di dunia dan akhirat kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sebab (sarana) sampai dan mengalirnya nikmat itu kepada kita.
Jadi nikmat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita adalah mengikuti nikmat-nikmat Allah ta’aalaa yang tidak bisa terhitung. Maka ada hak bagi Beliau atas kita. Dan dalam mensyukuri nikmat beliau, wajib bagi kita untuk tidak kendor bershalawat atasnya.

4. Sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam dicintai oleh Allah dan mulia derajat di sisiNya. Karena itulah wajib mencintai orang yang dicintai Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai dan mengagungkannya. Dan (tentunya) wajib pula bershalawat atasnya serta mengikuti shalawatNya dan shalawat malaikat atasnya.

5. Segala yang warid tentang keutamaan shalawat dan besarnya pahala yang dijanjikan karenanya serta sebutan yang mulia. Di antaranya adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam: “Barang siapa bershalawat kepadaku sekali shalawat maka Allah bershalawat atasnya sepuluh kali”(HR Muslim Abu Dawud Nasai Turmudzi). Maksudnya Allah menyambutnya dengan sepuluh rahmat, melebur darinya sepuluh kesalahan, dan mengangkatnya sepuluh derajat sebagaimana dalam hadits Anas ra dari riwayat Imam Ahmad di mana ini termasuk kategori tambahan dalam pahala sebab besarnya keutamaan shalawat. Dan karena Allah tidak menjadikan balasan mengingat nabiNya kecuali berupa perhatianNya kepada orang yang mengingat nabiNya. Dan tentu perhatian Allah kepada seorang hamba lebih agung dan lebih mulia serta memiliki keutamaan yang lebih merata dan lebih sempurna (Fathul Qarib al Mujib Lissayyid Alawi al Maliki hal 89)


Dan karena di dalam shalawat ada sekian banyak hikmah tersebut maka shalawat menjadi sarana meraih ridho Allah Maha Penyayang dan sarana mendapatkan keberuntungan. Shalawat menjadikan berkah-berkah menampak, do’a-do’a dikabulkan dan tangga menaiki derajat-derajat tinggi. Dengan shalawat keretakan hati bisa ditutupi dan dosa-dosa bisa diampuni. Hal demikian sebagaimana diajarkan dalam hadits Ubayy bin Ka’ab: “Maka saya menjadikan seluruh shalawatku hanya untukmu” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika demikian maka seluruh kesusahanmu akan diselesaikan dan dosamu akan diampuni”(HR Ahmad Turmudzi dan Hakim. Imam Hakim menshohihkannya. Imam Turmudzi berkata: Ini hadits hasan dan shohih)
Dalam hadits ini ada ada jaminan kecukupan urusan dunia dan akhirat bagi orang yang menjadikan seluruh shalawatnya untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan karena hal demikian termasuk mengahadiahkan pahala amalan ini dalam lembar catatan amal beliau shallallahu alaihi wasallam.

Maka dari itulah hingga diucapkan bahwa sesungguhnya shalawat mencukupi dan menempati posisi seorang guru murobbi di jalan akhirat. Sayyidi al Walid Abuya rahimahullah mengatakan: “Setiap orang membutuhkan pembimbing yang bisa mendidik dan mengarahkan. Ia yang mendidik hatinya, membersihkan akhlaknya dan menuntun tangannya menuju Allah. Dialah figur dimana (berkah) bergaul akrab dengannya, Allah menjaga dia dari keburukan, hawa nafsu dan kemaksiatan. Apabila kita tidak ,menemukannya lantas apa yang kita lakukan? Shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah guru orang yang tidak memiliki guru”

=والله يتولى الجميع برعايته=

Rujukan:

1.Ad Dzakha’ir al Muhammadiyyah Li Sayyidi al Walid Abuya 148-152
2.Sebagian Taushiah beliau di Malaisia
3. Fathul Qarib al Mujib Lissayyid Alawi al Maliki hal 89-91


Versi Audio:


Download:

Feb 11, 2011

Mengqashar Shalat, Waktu Berbuka, dan Bepergian ke Luar Negeri

Pertanyaan:

Melalui surat ini saya ingin mengajukan beberapa saran dan pertanyaan:
1) Untuk kolom Fas’alu terima kasih karena sudah menerbitkan bundelnya dengan judul: “Tanya Jawab Aktual Fas’alu”, tetapi saya merasa janggal dengan kata “Fas’alu” yang memiliki tanda koma setelah huruf “s”, padahal kalau tidak salah kata itu diambil dari fi’il madhi “سأل” atau saala (tidak memakai ‘ain).
2) Perkembangan teknologi membuat kita harus lebih hati-hati dan waspada. Kalau dulu untuk pergi ke suatu kota kita harus berjalan kaki berjam-jam bahkan berhari-hari tapi sekarang cukup beberapa menit saja kita sudah sampai di tempat tujuan. Yang menjadi pertanyaan saya:
a. Apakah dalam masalah sholat kita masih boleh mengqashar atau menjamak, meski jarak yang kita tempuh melebihi 16 farsakh atau sama dengan 81 km dapat ditempuh dalam beberapa jam bahkan menit?
b. Bagaimanakah buka puasa orang yang bepergian dan sholat orang yang bepergian, apakah mengikuti waktu yang dituju?
c. Apabila saya pergi ke suatu negara (luar negeri) dan sebelum berangkat saya melakukan sholat Ashar, tetapi sampai di sana sudah masuk waktu sholat Isya’. Apakah boleh saya melaksanakan sholat Isya’ jamak dan qashar dengan shalat maghrib serta sholat mana yang harus saya dahulukan?
3) Bagaimana hukumnya mengadakan ulang tahun yang di dalamnya ada acara tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Mohon diberi dalil atau alasan yang kuat!

Demikian beberapa pertanyaan dan saran yang dapat saya ajukan. Atas perkenan dan jawaban pertanyaannya, saya mengucapkan terima kasih.

Abdul Azis
Jl. Made Karyo VI/2 Made Lamongan 62251


Jawaban:
Terima kasih kembali atas segala perhatiannya. Mengenai pertanyaan pertama, mengapa kata Fas’alu ditulis Fas’alu, memakai koma, bukan Fasalu (tanpa koma), padahal memakai hamzah bukan ain, saya kira hal ini soal teknis. Kata Fas’alu dipetik dari kata dalam Al-Qur’an: فسئلوا . (Q.S. An-Nahl: 63) Artinya bertanyalah.
Kita memilih menulis Fas’alu (dengan memakai koma) agar tidak rancau yang menyebabkan salah baca. Sementara dalam keseharian kita sering menulis atau menjumpai tulisan kata “Al-Qur’an”, dengan menggunakan koma, bukan “Al-Quran” (tanpa koma), padahal huruf yang dikasih koma itu bukan ain melainkan hamzah. Pilihan ini agaknya dilakukan agar terhindarkan dari salah baca.
Apalagi hingga saat ini kita belum memiliki standar transliterasi Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia yang disepakati semua pihak.

Mengenai pertanyaan kedua (a), masalah jarak diperbolehkan qashar sepanjang 81 km dan bisa ditempuh beberapa menit saja, bolehkah dilakukan qashar. Hal ini kita kembalikan kepada kesepakatan ulama di samping nash-nash hadits nabawi. Kesepakatan ulama berkaitan dengan hal ini menyatakan bahwa standar dari bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah jarak atau yang disebut masafah atau masirah, bukan waktu. Berapa jaraknya, bukan berapa waktunya. Jika jaraknya mencukupi dilakukan qashar, maka tidak mengapa dilakukan qashar, meski untuk menempuh jarak itu bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam saja, misalnya kalau naik pesawat terbang.

Bila di dalam teks hadits disebutkan Rasulullah bepergian dari Madinah ke Makkah dan beliau melakukan qashar shalat, itu maknanya adalah jarak yang ditempuh antara Madinah ke Makkah telah mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Begitu pula teks hadits ketika Rasulullah saw. melarang mengqashar shalat bila bepergian dari Makkah ke Usfan karena perjalanan ini tidak mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.

Bila Al-Auzai berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan sehari, atau dalam perjalanan dua hari dua malam menurut Asy-Syafii dan Ahmad, atau dalam perjalanan tiga hari tiga malam menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, hal ini semua berkaitan dengan jarak (masafah). Jarak perjalanan sehari misalnya adalah diperkirakan sejauh 37,5 km. Jarak perjalanan dua hari dua malam adalah diperkirakan sejauh 81-90 km. Dan jarak perjalanan tiga hari tiga malam diperkirakan sejauh 121,5 km. Dan sebagainya. Dalam jarak itu artinya orang yang bepergian diperkenankan melakukan qashar.

Qashar shalat (dari empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat) merupakan keringanan dari Allah swt. lantaran melakukan bepergian (safar). Sedang bepergian lazimnya menjadikan orang capek, letih, dan lelah. Di saat itu dia diperkenankan menerima keringanan, mengqashar shalat, walaupun boleh-boleh saja, dia melakukan shalat secara sempurna, tidak melaksanakan keringanan itu, karena dia merasa misalnya perjalanan perginya tidak melelahkan.
Untuk ihwal menjamak shalat, ketentuannya lebih longgar dibanding dengan ketentuan mengqashar shalat.

Soal pertanyaan kedua (b), kaitannya dengan buka puasa dan shalat, mengikuti waktu manakah orang yang bepergian, agaknya setiap orang hanya menjalani satu waktu saja, yaitu waktu di mana ia berada dan mengetahuinya. Maka, waktu yang tengah dialaminya di mana ia berada itulah waktu yang dibuat ukuran. Secara mudah, kalau berada di Amerika, berarti ia memakai waktu Amerika, dan kalau berada di Jakarta, ia memakai waktu Jakarta.

Tentang pertanyaan kedua (c), hal ini sudah kami singgung di poin (a). Pada dasarnya, kalau jarak bepergian yang ditempuh memenuhi ukuran diperkenankannya qashar (baik bepergian di dalam negeri maupun ke luar negeri), maka tidak mengapa dilakukan qashar. Mengenai shalat mana yang didahulukan, bila telah masuk waktu Isya’ dan Anda mendahulukan shalat Maghrib disusul kemudian shalat Isya’, maknanya Anda melakukan tertib shalat. Sedang bila Anda mendahulukan shalat Isya’ baru kemudian shalat Maghrib, maknanya Anda “menghormati” waktu di mana shalat dilakukan. Jadi pada dasarnya kedua-duanya boleh. Tinggal pilih.

Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, yaitu soal mengadakan acara ulang tahun dengan tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Acara ulang tahun pada dasarnya tidak ada nash yang jelas-jelas memerintahkan dan juga tidak ada nash yang jelas-jelas melarang. Sekarang mari diurai acara ini dari dalil-dali nash yang ada.
Usia merupakan karunia Allah swt. Semakin usia bertambah semakin banyak karunia Allah swt. yang kita terima, apakah itu kesehatan, kemampuan, kesempatan, kematangan fisik-mental, dan sebagainya. Hal ini patut untuk disyukuri. Bila acara ulang tahun dimaksudkan sebagai sarana untuk bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat-nikmat-Nya, mengundang tetangga dan relasi untuk memberikan doa seraya memberikan jamuan, di samping untuk membuat segar suasana, agaknya tidak ada masalah. Suatu tradisi yang baik. Sekian banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyeru kita mengungkapkan syukur kepada Allah swt.

Persoalannya adalah apakah eskpresi syukur yang dimanifestasikan dalam acara ulang tahun itu benar-benar sesuai dengan sikap mensyukuri nikmat yang diajarkan oleh syariat Islam? Apakah di dalam acara itu tidak ada kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada kebatilan? Hal ini yang menjadi masalah. Bila ada pandangan mengadakan ulang tahun adalah suatu kewajiban ini adalah suatu kesalahan, karena syariat Islam ternyata tidak mewajibkannya. Bila ada acara tiup lilin, ini kayaknya menyerupai kalangan penyembah api. Bila tiup lilin dimaksudkan sebagai ungkapan mematikan marabahaya, ini termasuk bagian dari ungkapan tasyaum (merasa mendapatkan sial). Sementara tasyaum tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Apakah dalam acara ulang tahun tidak ada pemborosan, ini juga persoalan. Sementara Islam mengajarkan menjauhi pemborosan.

Bila ada kebatilan dalam praktik mensyukuri nikmat jangan-jangan hal itu termasuk bagian dari sikap menukar nikmat Allah swt. dengan perilaku pembangkangan.
Sebaiknya acara ulang tahun itu dimodifikasi hingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, misalnya dengan mengundang tetangga dan relasi, meminta doa dari mereka, serta menjamunya di samping menyegarkan suasana dengan hiburan-hiburan yang baik, tanpa banyak acara yang hanya bersifat seremonial, atau dengan mengundang kalangan dhuafa’, meminta doa, menjamunya, menggembirakanya, dan memberi bingkisan kepada mereka.

Usia di samping karunia hakikatnya adalah hujjah dari Allah swt. Bila usia tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya, ia adalah suatu kerawanan. Di sinilah perlunya kita mawas diri. Semakin bertambah usia seyogyanya semakin meningkat kewaspadaan diri kita, dengan menghindari hal-hal yang tidak berguna, memfokuskan kepada hal-hal yang bermanfaat dan berdimensi ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam bis shawab.

Feb 7, 2011

Kala Nurani Menginsafi dan Lidah Mengingkari

Q.S. An-Naml: 14

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini kebenarannya.

Makna dan Penjelasan Ayat
Ayat ini berkaitan dengan kepribadian rezim Fir’aun. Fir’aun amat resah begitu juru ramal istana memprediksi akan ada bayi laki-laki Bani Israil kini yang akan menghancurkannya kelak. Keresahan itu lalu dilampiaskannya dengan membunuhi setiap bayi yang lahir laki-laki dari kalangan Bani Israil secara membabi-buta. Keresahan itu kemudian berubah menjadi kekesalan dan duka mendalam begitu dia sadar, bayi yang diramalkan itu bukan orang lain, melainkan anak angkatnya sendiri yang diasuhnya semenjak kecil, lebih dari 18 tahun.

Bayi itu adalah Nabi Musa as. Namun, Nabi Musa as kini bukanlah Musa as kecil, karena sekarang beliau telah diangkat menjadi nabi dan rasul. Dia diperintah menyeru ayah angkatnya yang super arogan hingga mengaku tuhan itu sadar dan kembali kepada tauhid, dengan hanya mengesakan Allah swt, di samping diutus kepada bangsa Egipt (Qibthi, Mesir) dan Bani Israil.

Untuk kepentingan misi itu Allah swt telah menyokongnya dengan mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi seekor ular besar dan tangan dapat mengeluarkan cahaya putih terang benderang. Beliau mendemonstrasikan dua mukjizat itu di hadapan Fir’aun dan para pembesar istana demi memperkuat seruan tauhidnya. Mereka berdecak kagum menyaksikannya. Namun, sekadar itu. Karena lambang-lambang kebenaran yang jelas terpampang di hadapannya itu tidak membuatnya insaf, malah menjadikannya bertambah arogan dan durhaka.


Bentuk arogansi dan kedurhakaan itu Fir’aun menuduh keajaiban yang ditunjukkan Nabi Musa as sebagai sekadar sihir, sihir tingkat tinggi dan sempurna untuk mengusir rakyat dari negeri Egipt, negeri yang didiami Fir’an. Tuduhan ini adalah bentuk agitasi dan provokasi kepada rakyat untuk tetap menyudutkan duta Allah swt itu. Bentuk lainnya adalah usaha Fir’aun mengumpulkan pakar-pakar sihir sedunia untuk menandingi “sihir” Nabi Musa as.

Fir’aun lalu menyebarkan bala tentara, intel, dan bawahannya mencari dan mengundang pakar sihir dari seluruh dunia untuk mengalahkan Nabi Musa as di samping melalui brosur dan pamflet.

Konon saat itu menurut Ikrimah (tokoh tabiin) hadir dan terkumpul 70.000 pakar sihir. Menurut Kaab, sebanyak 12.000 pakar sihir. Sementara menurut Ibnu Ishaq, pakar sihir yang hadir dan berkumpul waktu itu sebanyak 15.000 orang dari berbagai belahan dunia. Disepakati waktu itu, bila mereka menang, Fir’aun akan memberikan upah yang sangat besar. Fir’aun menambahkan bila menang mereka akan mendapat posisi terhormat di istananya. Sebuah support yang amat besar demi memenangkan harga diri atas Nabi Musa as. Dan dari awal, para pakar sihir itu datang dengan kelewat percaya diri bahwa mereka pasti menang.

Ditetapkanlah hari pertunjukan besar itu di sebuah lapangan terbuka di Iskandaria. Bersama itu, para punggawa Fir’aun melakukan ekspos besar-besaran pertunjukan itu kepada rakyat agar mereka hadir menyaksikan kemenangan para pakar sihir atas Musa as. Rakyat pun sama berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan besar itu.
Dengan amat congkak, para pakar sihir bilang: “Wahai Musa, kamu yang mulai melemparkan lebih dahulu atau kita?!” Nabi Musa as dengan rendah mengatakan: “Lemparkanlah lebih dahulu.” Puluhan bahkan ratusan ribu pakar sihir itu lalu sama melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka seraya membaca mantra seperti diabadikan Al-Qur’an:

وَقَالُوْا بِعِزَّةِ فِرْعَوْنَ إِنَّا لَنَحْنُ الْغَالِبُوْنَ
Mereka berkata: “Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang.” (Q.S. Asy-Syuaraa’: 44)

Kala dilemparkan, tali temali dan tongkat-tongkat itu menyulap mata orang yang menyaksikan. Ribuan bahkan ratusan ribu tali temali dan tongkat-tongkat itu tampak seakan-akan berubah menjadi ular-ular kecil yang banyak sekali. Namun sekadar ilusi bukan hakiki. Sekadar sulap. Tetapi itu cukup membuat decak kagum hadirin. Para pakar sihir itu benar-benar mendatangkan sihir yang menakjubkan.

Kini giliran Nabi Musa as di saat para pakar sihir telah merasa di atas angin. Beliau melemparkan tongkat mukjizatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi seekor ular raksasa yang menghebohkan. Ular raksasa itu menelan ular-ular ilusi para pakar sihir satu per satu hingga habis dan hendak menelan juga manusia di sekitarnya. Ini lebih menakjubkan lagi. Hadirin ribut. Nabi Musa as lalu memberi isyarat dan kembalilah ia menjadi tongkat seperti sedia kala. Hadirin tiada henti-hentinya berdecak kagum. Keajaiban ini menjadi bibit-bibit keimanan yang bersemi pada diri Asiah, istri Fir’aun sendiri.

Ribuan bahkan ratusan ribu pakar sihir menyaksikan kenyataan itu terpana. Mereka yakin, yang ditunjukkan Musa as bukanlah sihir, karena mereka memahami seluk-beluk dan berbagai jenis sihir namun tidak mendapati sihir semacam yang ditunjukkan Musa as. Mereka yakin itu adalah mukjizat dari Allah swt. Maka insaflah mereka. Mereka sadar. Menyesal.

Keinsafan akal yang dipadu dengan fitrah tauhid menggerakkan 15.000 pakar sihir tersebut tersungkur bersujud kepada Allah swt di lapangan terbuka itu sekaligus mendeklarasikan keimanannya. Dinyatakan dalam Al-Qur’an:

قَالُوْا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ رَبِّ مُوْسَى وَهرُوْنَ
Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan Musa dan Harun.” (Q.S. Al-A’raaf: 121-122)

Fir’aun murka dengan kekalahan memalukan ini. Tapi lebih murka lagi begitu disaksikan 15.000 pakar sihir yang didatangkannya justru beriman kepada Nabi Musa as, musuh besarnya, dan mendeklarasikan tauhid kepada Allah swt. Dia spontan keluar alasan untuk mendiskreditkan pakar sihir yang beriman itu. Katanya seraya geram: “Apakah kalian beriman kepadanya sebelum aku memberi izin? Sesungguhnya tragedi ini adalah muslihat yang kalian rencanakan bersama Musa di dalam kota ini untuk mengeluarkan penduduk darinya. Maka kamu akan mengetahui akibat perbuatan kalian ini.”

Fir’aun memutuskan para pakar sihir itu seluruhnya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang untuk kemudian disalib di tiang gantungan. Keputusan berat dan kejam ini ternyata tidak menyurutkan keimanan mereka. Mereka tetap kokoh dengan tauhidnya. Mereka merespon keputusan itu dengan tabah dan tawakkal. “Silakan hukum kami; tidak ada kemudharatan bagi kami; sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali,” kata mereka. “Dan kamu tidak membalas dendam dengan menyiksa kami melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami,” lanjut mereka kepada Fir’aun.

Para pakar sihir kemudian tidak lagi menggubris Fir’aun dengan keputusannya. Mereka berkonsentrasi menghadapkan diri kepada Allah swt semoga dikaruniai kesabaran dan mati dalam keadaan muslim. Bagi mereka, inilah resiko keimanan di samping sebagai penebus dosa-dosa mereka sebelumnya. Doa mereka:

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (muslim). (Q.S. Al-A’raaf: 126)

Inilah kisah keinsafan umat manusia yang luar biasa. Nurani fitrah yang dipadu dengan akal menumbuhkan rasa keimanan yang kokoh. Mereka rela dipotong tangan dan kakinya bersilang serta disalib demi mempertahankan nurani fitrahnya bertauhid kepada Allah swt. Berkaitan dengan keteguhan iman para pakar sihir ini, Qotadah (tokoh tabiin) berkata:

كَانُوْا فِى أَوَّلِ النَّهَارِ سَحَرَةً كَفَرَةً وَفِى آخِرِ النَّهَارِ شُهَدَاءَ بَرَرَةً
Mereka di pagi hari pakar sihir yang kafir, sementara di sore hari mereka syuhada yang mulia-mulia.

Sementara Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana disebutkan oleh ayat tema di atas, tetap tidak beriman, karena fitrah tauhidnya tertutup oleh arogansi kekuasaan dan sikap kesewenang-wenangan.

Pelajaran dari Ayat
Dari sini umat manusia pada dasarnya mengakui hakikat kebenaran bahwa hakikat kebenaran itu adalah tauhid atau agama Islam. Iblis, Fir’aun, Abu Lahab, dan orang-orang kafir pun nurani mereka bahkan mengakui tauhid (Q.S. Al-Mu’minun: 84-89 dan Q.S. Al-Ankabuut: 61 dan 63). Namun atas dasar cara berpikir mereka yang keliru, ditambah arogansi dan kedengkian yang meluap-luap, mereka menentang suara hatinya sendiri. Dan untuk merevolusi hati nurani, mengalihkannya dari fitrah, tentulah dibutuhkan rekayasa yang luar biasa.
Maka berbahagialah umat manusia yang hati kecilnya menyadari hakikat kebenaran sementara lidahnya dapat mengekspresikan hakikat kebenaran itu dengan baik. Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.

Jan 27, 2011

Makar Musuh-Musuh Islam Terus Berlangsung

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ اَوْ يَقْتُلُوكَ اَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ وَاِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَاءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَذَا اِنْ هَذَا اِلاَّ اَسَاطِيرُ اْلاَوَّلِينَ

"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang-orang purbakala". (QS. Al Anfaal : 30-31)

Analisis Ayat
يَمْكُرُ بِكَ (memikirkan tipu daya terhadapmu) bentuk fi'il mudlari' atau kata kerja yang menunjukkan perbuatan sedang (hal) dan akan datang (istiqbal) memiliki fungsi makna penunjukan atas berlakunya perbuatan tersebut secara terus menerus. Dalam hal ini maksudnya adalah perbuatan orang-orang kafir dalam memikirkan tipu daya terhadap kaum muslimin untuk menangkap dan memenjarakan, membunuh, dan mengusir mereka tidak hanya terjadi antara kafir Quraisy dan pengikut Rosululloh saw. di kala itu saja. Sikap dan perbuatan mereka di dalam memusuhi kaum muslimin, siasat dan makar yang mereka lakukan akan terus berlangsung sampai kapanpun, sepanjang masa.

Makna dan Penjelasan Ayat
Makar adalah siasat atau rencana yang dilakukan secara terselubung untuk menyampaikan suatu akibat buruk, kecelakaan, keteraniayaan, atau penderitaan kepada seseorang yang dituju (al mamkur bihi) tanpa terduga sebelumnya.


Dalam ayat ini Alloh Swt. menyebutkan anugerah yang telah diberikan kepada Rosululloh saw. secara pribadi. Dimana Alloh Swt. telah mengingatkan Rosululloh saw. pada masa yang relatif singkat, di saat orang-orang kafir melakukan makar yang dilakukannya secara terselubung melalui beberapa insiden yang membahayakan diri beliau. Namun siasat dan rencana buruk mereka semuanya dapat digagalkan. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi tersebut sebenarnya merupakan penunjukan yang dilakukan Alloh Swt. kepada orang-orang kafir dan kaum muslimin di masa Nabi saw. dan masa sesudahnya sebagai argumen terkuat atas kebenaran dakwah yang dibawa oleh beliau, dan kebenaran janji Alloh untuk senantiasa memberi pertolongan kepadanya. Makar, siasat, atau rencana yang dilakukan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin sepanjang masa hampir tidak terlepas dari tiga cara. (1) Memenjara dan mengisolir mereka dari berinteraksi dengan masyarakat luas. (2) Membunuh secara massal. (3) Mengeluarkan kaum muslimin dari negerinya. Hanya Alloh Swt. saja yang dapat menahan setiap rekayasa buruk mereka, rekayasa yang telah dilakukan terhadap Nabi saw. dan para sahabatnya, karena Dialah sebaik-baik pembalas tipu daya.

Sedangkan rekayasa orang-orang kafir terhadap agama Islam dan kitab suci Al Qur'an adalah memberikan komentar bahwa. "kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini." Demikian mereka mengatakannya dengan kebodohan, pembangkangan, permusuhan, kedunguan, dan penuh kesombongan. Padahal dalam kenyataannya tidak ada satupun dari mereka yang mampu menandingi keindahan sastra dan bahasa yang terkandung di dalam Al Qur'an. Dahulu pernah muncul seorang yang mengaku nabi, Musailimah Al Kadzdzab dengan Al Qur'an tandingannya yang lucu, kekanak-kanakan, dan jauh dari pesan kebenaran. Di zaman ini muncul juga seperti Salman Rusydi dengan ayat-ayat syetannya yang menggemparkan, subjektif, penuh antagonisme, dan sinisme terhadap kesamaan hak asasi manusia.

Dari penjelasan ini kita disadarkan, bahwa bagi setiap aktivis Islam, pembela kemurnian ajrannya, penyelaras keteladanan yang dibawa Rosululloh saw. dalam berdakwah, bermujahadah membela kemuliaan Islam dan kaum muslimin akan selalu berhadapan dengan teror, mendapatkan tekanan, pemboikotan, pengucilan (terisolir), penculikan, penahanan, penyiksaan, bahkan sampai pada tingkat pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan secara massal, dengan perang misalnya, bom nuklir, atau senjata pemusnah massa lainnya. Akan tetapi kita juga perlu menyimpan kuat ingatan, bahwa pembelaan Alloh Swt. dan pertolongan-Nya terus ada bersama kita.

Makar Musuh Islam Kini
Keberlangsungan makar yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin terus bergulir dari masa ke masa. Dan ketika kita masih berpijak di abad ini, di saat banyak orang mendengungkan perdamaian, kesetaraan gender, kebebasan hak, dan persamaannya. Di tempat yang tak sama, di negeri yang berbeda, akan tetapi masih di bumi yang satu. Sebuah negara adidaya, Amerika Serikat, dan beberapa sekutunya sesama pecundang perang, melancarkan serangan terhadap kota Baghdad, Irak, negeri seribu satu malam. Dimana tersimpan di dalamnya sejarah-sejarah agung peradaban Islam, lahir di tanahnya juga ribuan sarjana muslim terkenal, dan yang tak pernah terlupakan, kekhilafahan Islam pernah berkuasa beberapa abad lamanya disana di bawah kedaulatan Dinasti Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M) .
Tepat pada hari selasa, 18 Maret 2003 yang lalu. George W. Bush berbicara di depan publik, disiarkan oleh ratusan televisi, dan diberitakan oleh ribuan media pers, bahwa hari itu adalah dimulainya rencana penyerangan AS dan sekutu-sekutunya terhadap rezim yang berkuasa di bawah pemerintahan Saddam Husen secara khusus. Namun suatu kemustahilan bila peperangan ini nantinya tanpa sedikitpun mengenai rakyat Irak secara umum.

Terlepas bahwa Saddam Husen dan motor penggerak kekuasaannya, Partai Ba'ath, adalah rezim yang tidak terlalu bersimpati terhadap pergerakan Islam, sedangkan yang lebih terlihat disana adalah nilai nasionalisme kerakyatannya yang kuat. Namun dari jumlah penduduk diatas 20 juta yang menganut agama Islam (95,8%), Kristen dan Yahudi (3,5%), maka bagaimanapun republik di bagian barat daya Asia ini tetap merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Dan setiap kecemasan, ancaman penganiayaan, serta penderitaan mereka yang dilakukan oleh kekuatan musuh-musuh Islam adalah juga sama bagian dari keprihatinan kita, saudara seagamanya di negeri yang lain. Mungkin, bagi mereka nazilah ini merupakan fitnah yang menimpa akibat ulah orang-orang dzalim yang berkuasa. Alloh Swt. berfirman,

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا اَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al Anfaal : 25)

Dalam keprihatinan ini kita berharap doa kaum muslimin Irak yang didukung oleh doa kaum muslimin di seluruh dunia menjadi "batu" bagi tergelincirnya negara adidaya Amerika Serikat yang saat ini masih berdiri dengan kecongkakan, kebiadaban, dan kedunguannya dari kebenaran dan kemurnian agama Alloh Swt. yang hanif. Sehingga ketergelinciran itu berakibat pada jatuh ambruknya kekuasaan mereka di segala bidang. Baik secara politik, sosial, maupun ekonomi. Harapan ini semoga semakin menunjukkan kejelasan hasilnya dengan melihat reaksi buruk dunia internasional terhadap pemerintah Amerika, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Gelombang kecaman atas ulah George W. Bush semakin besar, dan kita menginginkannya lebih besar lagi. Karena bagaimanapun juga doa orang-orang yang teraniaya adalah mustajabah (mudah terkabulkan). Alloh Swt. berfriman,

اَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ اْلاَرْضِ اَئِلَهٌ مَعَ اللهِ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ

"Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)." (QS. An Naml : 62) Wallohu A'lam.