Dec 24, 2010

Shalat Isyraq

Pertanyaan:

Ustadz Pengasuh Fas’alu yang senantiasa berbahagia. Langsung saja ke pertanyaan, adakah yang namanya shalat Isyraq yang dilakukan saat matahari terbit itu? Kalau ada, bagaimana ketentuannya se¬hingga saya dapat mengamalkannya. Atas jawaban Ustadz, sebelumnya terima kasih.


Mardliyah, di bumi Allah Baureno, Bojonegoro, Jatim

Jawaban:

Saat matahari terbit memang ada larangan untuk melakukan shalat sunnah. Ini memang maklum agar tidak menyerupai para penyembah matahari. Namun, saat matahari terbit itu boleh melaku¬kan shalat Isyraq, istilahnya dengan ketentuan-ketentuan yang membedakannya dari shalat-shalat sunnah pada umumnya. Ketentuan pertama, tidak beranjak dari tempat dia melakukan shalat shubuh. Kedua, shalat Shubuhnya dilakukan dengan berjamaah. Ketiga, jeda waktu antara sehabis shalat Shubuh dengan terbit matahari dimanfaatkan untuk berdzikir. Jika memenuhi tiga ketentuan ini maka dianjurkan melakukan shalat Isyraq yang pahalanya laksana pahala haji dan umrah secara sempurna. Ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

Barangsiapa shalat shubuh berjamaah lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga terbit matahari, kemudian melakukan shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna, yang sempurna, yang sempurna. (Diulangi tiga kali).

(Hadits Hasan Gharib dan diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Lihat Syarful Ummah Al Muhammadiyah, karya Sayyid Muhammad ‘Alawi Al Maliki, hal. 90 dan Tuhfatul Ahwadzi, komen¬tarnya Sunan At Tirmidzi, jilid II hal. 472. Hadits ini menunjuk¬kan keutamaan tetap berada di musholla sehabis sholat Shubuh untuk berdzikir).[]

Dec 18, 2010

Dec 16, 2010

Tiga Golongan dan Tanggungjawab Hidup di Masyarakat

Seri: Tafsir Tematik
Q.S. Al A’raaf: 164-165


Alloh subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya:


Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati golongan yang Alloh akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa (takut dan menghentikan perbuatan buruknya).
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan yang jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.


Analisis Ayat

(ma’dziratan) artinya sama dengan kata udzur (dalih) yaitu lepas tanggung jawab dari dosa.

(yattaqun) maknanya agar mereka bertaqwa. Taqwa di sini berarti tumbuhnya rasa takut atas perbuatan buruk yang dilakukan. Atas dasar rasa takut, perbuatan buruk itu dihentikan.

Makna Ayat
Hari Sabtu bagi bangsa Yahudi adalah hari mulia sebagaimana kedudukan hari Jum’at bagi ummat Islam dan hari Ahad bagi ummat Nasrani. Pada hari yang mulia itu ditetapkan agar Bani Israil menghabiskannya untuk konsentrasi pengabdian kepada Alloh swt. Hari Sabtu ibaratnya sebagai hari ibadah. Namun bangsa Yahudi yang tinggal di kota Eilah (terletak di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan bukit Thur) melanggar kemuliaan hari itu secara terang-terangan. Demi materi, mereka meninggalkan aktivitas ibadah, berpindah pergi ke laut mencari ikan, karena justru pada hari Sabtu ini ikan-ikan bermunculan, banyak dan mudah didapatkan. Sedang pada hari-hari lainnya ikan-ikan seperti tidak tampak dan untuk mendapat-kannya dibutuhkan kerja keras. Seakan-akan kehadiran ikan-ikan itu dijadikan tes bagi keteguhan iman mereka.

Dari kejadian ini penduduk kota Eilah ter-bagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan yang melakukan pelanggaran dengan keluar mencari ikan ke laut terang-terangan. Mereka mendahulukan mengejar materi daripada melaksanakan aktivitas ibadah. Kedua, golo-ngan yang memberikan saran dan kritikan keras terhadap para pelaku pelanggaran tersebut. Di-sarankan dan dinasehati agar orang-orang yang pergi mencari ikan pada hari Sabtu itu mengingat kembali larangan Tuhan. Tidak henti-hentinya aktivitas dakwah ini mereka lakukan. ketiga, orang-orang yang diam. Mereka tidak turut pergi mencari ikan dan tidak pula turut memberikan saran dan nasehat.


Golongan ketiga seperti ditegaskan pada ayat pertama melontarkan pertanyaan terhadap golongan kedua: “Ada apa kalian memberikan nasehat pada golongan yang sudah pasti akan diadzab oleh Alloh swt akibat pelanggaran-nya?” Golongan kedua menjawab: “Kami melakukan ini agar kami memiliki dalih kelak ketika ditanya mengapa diam terhadap kemunkaran? Dengan aktivitas nahi munkar ini kami bisa berlepas dari tanggung jawab. Di samping dengan nasehat itu mudah-mudahan mereka teringat dan menghentikan kemunkarannya,” jawab golongan kedua.

Sikap yang ditunjukkan oleh golongan kedua merupakan bentuk tanggung jawab hidup di masyarakat. Manakala kemungkaran kelihatan di depan mata mestinya harus ada sekelompok orang yang mencegahnya. Kemungkaran itu tidak boleh dibiarkan begitu saja berlangsung dan merajalela. Tetapi harus dihentikan. Paling tidak harus diminimalisasi. Ini adalah tanggungjawab bersama baik orang alim maupun orang awam terutama orang-orang yang hidupnya dihabiskan untuk mengemban misi utama para Nabi itu. Aktivitas dakwah amar makruf nahi munkar ini merupakan prinsip utama dari ajaran Islam. Alloh swt berfirman yang artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolo-ngan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104)

Sabda Rasulullah saw: yang artinya

Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya. Kalian mesti beramar makruf dan nahi mungkar atau kalau tidak maka Allah hampir saja menimpakan kepadamu siksa lalu kamu berdoa kemudian tidak dikabulkan-Nya. (HR Tirmidzi dari Hudzaifah Ibnul Yaman)

Atau setidak-tidaknya, kita memilih diam dengan tetap mencela kemungkaran yang ada di dalam hati. Tidak sekali-kali terbersit dalam jiwa kehendak untuk justru turut melakukan kemunkaran. Bukan diam yang berarti setuju dan mendukung (ridla) atas kemungkaran itu. Namun diam karena kemampuan diri terbatas sedang kekuatan atau power tidak dimiliki. Akan tetapi sikap semacam ini tidak ideal. Idealnya justru apa pun yang terjadi kita berteriak keras terhadap suatu kemungkaran seperti yang selalu dilakukan oleh sahabat Abu Dzar Al Ghifari. Bisa dibayangkan bagaimana bila seluruh komponen masyarakat memilih diam daripada bersuara. Siapa yang bertanggung jawab terhadap menjamurnya kemunkaran? Tetapi sikap diam tetap ditoleransi dalam batas-batasnya sebagai suatu rukshoh (keringanan) dari Allah swt meskipun sikap itu bukti dari kelemahan iman. Dalam hadits disebutkan yang artinya:

Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya. Dan bila tidak mampu, maka hendaklah dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim dari Abu Said Al Khudri)

Rasulullah saw menggambarkan kepedulian hidup bersama dalam sebuah haditsnya demi-kian. Orang yang menjauhi larangan Allah dan orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berundi tempat di kapal. Sebagian mereka mendapatkan undian di dek atas dan sebagian yang lain di dek bawah. Orang-orang di dek bawah jika memerlukan air harus melewati dek atas. Mereka lalu berkata: “Lebih baik kami melubangi saja di bagian bawah kami ini, agar tidak mengganggu orang-orang di dek atas.” Maka jika ulah orang-orang tersebut dibiarkan, tidak ada yang peduli, pasti isi perahu binasa semua (tenggelam). Tetapi kalau ulah itu dicegah, niscaya selamatlah isi perahu seluruhnya. (H.R. Bukhari)

Pada ayat selanjutnya diterangkan balasan dan akibat dari sikap masing-masing golongan yang dipilihnya. Golongan yang selalu membe-rikan nasehat untuk menghentikan kemungkaran diselamatkan oleh Alloh swt dari siksa. Adapun golongan yang berbuat kemungkaran dan enggan menghentikan kemungkarannya meski telah dinasehati, mereka mendapatkan adzab atas kedzalimannya. Adzab akhirat rasanya sudah barang tentu (pasti), malah bisa ditambah dengan adzab segera di dunia. Penduduk Eilah ini misalnya akibat pelanggarannya fisik mereka berubah secara tiba-tiba menjadi fisik kera. Dalam tiga hari kemudian mereka sama mati karena rasa duka yang mendalam atas perubahan wujud dirinya yang sangat buruk dan menyeramkan.

Hal yang terpenting dalam hal ini ialah melaksanakan amanah sebagai seorang muslim untuk berdakwah; beramar makruf nahi mun-kar. Untuk soal tabligh kita apakah diterima atau ditolak itu bukan lagi urusan kita. Biarlah itu menjadi tanggung jawab sasaran dakwah (mad’u) bersamaan dengan hidayah atau khidzlan yang diberikan oleh Alloh swt kepada mereka sesuai dengan respon mereka. Dalam mutiara hikmah dikatakan:

Barangsiapa telah memberikan peringatan maka benar-benar ia telah lepas dari tang-gung jawab (memiliki dalih).

Allah swt berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk (dengan mendakwahi mereka). Hanya kepada Alloh kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al Maidah: 105)

Bagaimana dengan golongan yang memilih sikap diam? Ulama ahli tafsir berbeda pendapat. Pertama, golongan yang bersikap diam ini tetap disiksa karena teks ayat hanya menyebutkan golongan yang mau berdakwah yang diselamatkan. Kedua, golongan yang diam ini selamat karena mereka ingkar dan mencela kemunkaran meski dalam hatinya. Mereka tidak memberi-kan nasehat karena dengan kondisi pembangkangan sedemikian rupa, nasehat diyakini akan menjadi percuma, tak berarti dan sia-sia, bahkan malah matri dakwah bisa jadi bahan cemoohan. Sementara mereka memilih metode kalem daripada garis keras karena diyakininya jalan masih panjang.

Dari sini kalau diam dalam arti tidak mem-punyai sikap, masa bodoh, mendukung kemunkaran diam-diam, dan malah mencela da’i yang bersuara lantang, maka diam adalah sikap mental jelek dan akibatnya akan disiksa. Adapun kalau diam setelah berusaha keras menghentikan kemungkaran, maka sikap ini bisa ditoleransi mengingat kemampuan setiap orang tidak sama. Ini merupakan perwujudan dari kelonggaran beban dakwah. Dakwah tidak harus dengan jalan kekerasan, namun mengingat jalan masih panjang bisa dengan cara halus dan bertahap dalam batas-batas tertentu.

Adanya tiga golongan seperti tercermin dari masyarakat Bani Israil yang tinggal di kota Eilah adalah kondisi yang akan terjadi pada setiap masa kapan pun dan di mana pun. Akan ada orang-orang yang bergelimang dosa. Ada orang-orang yang memberikan nasehat. Dan ada orang-orang yang bersikap diam. Dengan menelusuri akibat buruk yang ditimpakan kepada masing-masing golongan, maka idealnya kita bertindak sebagai orang-orang yang turut andil dalam tabligh dan dakwah amar makruf nahi munkar. Paling tidak kita mencela dengan hati kita. Sikap yang harus dihindari ialah justru turut mendukung apalagi mempelopori kemungkaran. Inilah tanggung jawah hidup bersama di masyarakat. Kecuali bila kita menyodorkan diri bersama-sama untuk mendapatkan adzab yang keras dari Allah swt. Dalam hadits disebutkan yang artinya

Sesungguhnya orang banyak bila melihat orang dzalim (bereaksi) lalu mereka tidak menghentikannya, maka hampir saja Allah meratakan adzab pada mereka semua. (HR Tirmidzi dan Nasa’i dari Abu Bakar Ash Shiddiq).[]

Dec 11, 2010

Al Wasathiyyah Manhaj Rabbani

Tausiah Bulan Desember 2010
Tempat: Surabaya: Sentra Dakwah Persyadha Ketintang
Malang: PP. Nurul Haromain Pujon

Waspadalah fitnah-fitnah laksana penggalan-penggalan malam gelap gulita yang tidak bisa dihindarkan dalam seluruh lintasan-lintasan masa. Bahkan telah terjadi dalam sebaik-baik masa. Ini karena Allah telah menyatakan: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya....“ QS. al Mulk: 2.

Aksi terbaik agar selamat dari fitnah tersebut adalah manhaj al wasath (sikap mengambil jalan tengah) yang merupakan manhaj umat ini seperti diisyaratkan dalam firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan...“ QS. al Baqarah:143.

Jadi tidak ketimuran juga tidak kebaratan, tidak kebangetan juga tidak kepengkuan, tidak terlalu juga tidak teledor, tidak bersuara keras juga tidak bersuara pelan, tidak berfoya-foya juga tidak mengirit, tidak menggenggam tangan (pelit) juga tidak membentangkannya (blobo), tidak mendito (menjauh dari wanita) juga tidak bergaul bebas dengan wanita, tidak eksklusif juga tidak inklusif dan tidak ini juga tidak itu.

Akan tetapi kita meniti jalan tengah di antara kesemuanya.
Sesungguhnya kedermawanan berada pada posisi di antara foya-foya dan pelit, keberanian di antara ketakutan dan tindakan ngawur, sikap bijak di antara sikap kasar dan acuh tak acuh, senyuman di antara raut wajah cemberut dan gelak tawa, sabar di antara sikap keras dan mengeluh.

Kelas menengah dalam ekonomi adalah yang terbaik. Bukan kekayaan yang memunculkan keangkuhan. Bukan kemiskinan yang melupakan. Akan tetapi sesuatu yang mencukupi, melegakan dan mencukupi keinginan. Sungguh dikatakan: “Ambil dari cinta sesuatu yang jernih. Dan dari penghidupan sesuatu yang mencukupi!”

Inilah jalan hidup (manhaj) tengah-tengah dan keseimbangan dalam menjalani urusan-urusan sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Bermadyalah, bermadyalah maka kalian akan menggapai tujuan...” HR. Bukhari. “Tetapilah oleh kalian petunjuk jalan tengah-tengah” HR. Ahmad. .”Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah” HR. Ibnu Sam’ani.

=والله يتولى الجميع برعايته=

Versi Audio:

Dec 4, 2010

Kuis Berhadiah

Pertanyaan:

Akhir-akhir ini, semakin marak acara-acara kuis berhadiah, baik di media cetak maupun elektronik. Pertanyaan maupun cara yang ditawarkan sangat mudah dibanding dengan hadiah yang sedemikian besar. Bagaimana kita menyikapinya? Apakah hukumnya sama dengan judi?

Jawaban:


Kuis-kuis berhadiah itu barangkali ada manfaatnya, yakni bagi pemenang (dapat hadiah meriah tanpa bersusah payah). Sisi lain ada madlorotnya yakni bagi sekian ribu peserta yang kalah sementara mereka telah berkorban waktu, pikiran, pulsa dan sebagainya. Belum lagi madlorot dari sisi mentalitas spiritual. Lazimnya orang yang terobsesi dengan harapan yang muluk-muluk dan terlena dengan permainan yang mengasyikkan akan cenderung lalai dari melakukan kewajiban-kewajiabnn hidupnya bahkan kewajiban kepada Rabbnya semacam sholat, mengaji, dan berdzikir. Jadi, apakah kuis-kuis itu hukumnya sama dengan maisir (judi) ?Marilah kita renungkan dua buah ayat berikut ini:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan maisir. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS Al Baqarah: 219)

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran khomr dan maisir itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Alloh dan sholat; maka berhentilah kamu (dari mengerjalan pekerjaan itu)” (QS Al Maidah: 91)

Menurut Imam Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar As Shiddiq (dari generasi tabi’in), termasuk kategori maisir adalah setiap sesuatu yang melalaikan dari dzikir kepada Allah dan melalaikan dari shalat. (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir I/544). Dengan demikian, semestinya seorang muslim menghindar dari terbuai oleh kuis-kuis berhadiah diatas, terlebih terhadap soal budaya kapitalistik yang didorong oleh ghozwul fikri hendaknya seorang muslim melakukan upaya tawattur fil alaqot, yaitu gerakan pemutusan hubungan.[]