Jun 28, 2009

Apakah Hati Kita Masih Hidup?

Tausiyah Abi Ihya' Ulumiddin pada Multaqo Sanawy 1430 H Persyarikatan Dakwah Al Haromain, Tulungagung 27-28 Juni 2009.

Allah tabaaraka wataala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan (hati) kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan". QS. al Anfaal: 24

Hati yang hidup merupakan sisi pandang Allah ta'alaa sekaligus sasaran saputan cahayaNya. Tanpa hati yang hidup, dan ramai oleh iman serta kilau keyakinan ini, manusia sebenarnya telah mati meski masih berada di kalangan orang-orang yang hidup. Allah ta'alaa berfirman: "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?... QS. al An'aam: 122.

Atas dasar inilah tarbiyah kita dalam jamaah ini mengarah kepada pelestarian kehidupan hati agar tidak mati, memakmurkannya supaya tidak sepi dan melunakkannya agar tidak keras (tandus). Sungguh Allah telah menegur ahli iman dengan firmanNya:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk (luluh) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka..." QS. al Hadiid: 16. Dan adalah Nabi shalallahu alaihi wasallam memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak tunduk (luluh), amal yang tidak diangkat (diterima) dan doa yang tidak dikabulkan.


Hati manusia tidak berbeda dengan tubuhnya dalam selalu membutuhkan tiga hal:
1. Penjagaan agar selamat.
2. Makanan agar hidup
3. dan Pengobatan agar sembuh.

Pertama, menjaganya dari hal yang disebut oleh Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dengan Wahan, kecintaan akan dunia yang merupakan pangkal segala kesalahan dan akar semua penyakit, dan Karahiyyatul maut, enggan dengan kematian yang menafikan kenyakinan akan akhirat serta menggerus perasaan selalu mengingat janji pahala di sisi Allah serta siksaan dariNya.

Dengan Wahan manusia terseret kepada sesuatu yang lebih berbahaya bagi dirinya; yaitu kemauan-kemauan hati dan keinginan-keinginan nafsu yang berupa cinta kedudukan dan kekuasaan, mencari popularitas dan sanjungan, menuhankan makhluk Allah, hanya berusaha mendapatkan tepuk riuh massa dan ngatok (asal bapak senang) dengan para tokoh, serta berbagai corak perkara maknawi yang bisa menghancurkan individu dan jamaah. Hal-hal yang menghancurkan (muhlikat) maknawi ini lebih berbahaya dibanding dengan muhlikaat zhahir seperti halnya mencuri, berzina dan meminum miras.Jadi hawa nafsu adalah tuhan terburuk yang disembah di bumi sebagaimana Alloh berfirman, "...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun..." QS. al Qashash: 50.

Kedua, memberinya makanan berupa kontinuitas, senantiasa mengingatNya, bersyukur kepadaNya, dan berbuat Ihsan dalam beribadah kepadaNya sebagai sarana meraih Izza, kemuliaan yang memang diperintahkan oleh Allah agar kita mencarinya. Allah berfirman, "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkanNya..." QS. Fathir: 10.

Jadi kemuliaan bukan dengan harta benda, pangkat, kedudukan dan keturunan, tetapi kemuliaan bisa diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi) untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga, masyarakat dan negara). Sementara keutamaan berdzikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid,takbir dll. Justru semua orang yang beramal ketaatan karena Allah ia termasuk orang yang berdzikir kepada Allah.

Karena itulah setiap dari kita hendaknya betul-betul memperhatikan keharusan-keharusan secara individu atau jamaah (iltizamaat fardiyyah atau jama'iyyah) khususnya;

1. Menghadiri majlis taklim yang disabdakan Rasulullah sholallahu alaihi wassallam:
"Barangsiapa keluar mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali". HR. Turmidzi.
Persamaan mencari ilmu dengan jihad fi sabilillah adalah realitas mencari ilmu yang merupakan usaha menghidupkan agama dan menghinakan setan, memayahkan diri serta memecahkan hawa nafsu dan kelezatan. (Dalil al Falihin 4/197).

2. Mengagungkan dan mendirikan syiar-syiar Allah. Berdasarkan firmanNya:
"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". QS. al Hajj: 32.

Ketiga, mengobatinya dengan sesuatu yang bisa menjadikannya baik dan bersih guna membangkitkan perasaan beragama (as syu'ur ad diinii), mengembangkan dorongan dari dalam diri sendiri, dan memenangkan an nafs al lawwaamah atas an nafs al ammaarah bi as suu'. Sesuatu itulah yang disebut jadwal "Muhasabah", jadwal yang memuat beberapa pertanyaan yang diajukan oleh seseorang kepada diri sendiri dan harus dijawabnya sendiri dengan "ia" atau "tidak" agar ia mengetahui sampai di mana tingkat penjagaan atau keteledorannya. Inilah Muhasabah yang secara sempurna hanya terjadi dalam internal dirinya sendiri tanpa ada pengawas kecuali Allah ta'aalaa. Di antara pertanyaan itu umpamanya:

Apakah anda telah menjalankan sholat maktubah tepat waktu?
Apakah anda menjalankannya dengan berjamaah?
Apakah anda menjalankan Qiyamullail?
Apakah anda telah membaca wirid harian, alQuran atau yang lain?
Apakah anda telah mengunjungi saudara fillaah? Apakah...? Apakah...?

Begitu pula halnya atas ketelodoran di sisi Allah ta'alaa supaya amal shalehnya tidak tertimpa bencana-bencana seperti ujub, riya', kibr, ghurur, ghuluw fiddin, iri hati, melihat diri sendiri, merendahkan orang lain dll. dari berbagai macam penyakit hati.

Dan saya berikan tadzkirah kepada anda sekalian tentang hadits Rasulullah sholallahu alaihi wasallam: "Barangsiapa yang bergembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar) beriman". HR. Thabarani.

Dan ungkapan Ali ra.:
"Keburukan yang menyebabkan kamu susah lebih baik daripada kebaikan yang menjadikanmu berbangga"

Dan ucapan Ibnu Atho'lillah as Sakandari pengarang kitab "al-hikam":
"Seringkali terbuka pintu ketaatan bagimu tetapi tidak terbuka (bersamaanya) pintu penerimaan (qabuul). Seringkali kamu terlibat dalam kemaksiatan yang justru kemaksiatan yang menyebabkan rasa hina dan rendah diri lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan bangga diri dan rasa sombong".

Allohu yatawli al jamii'u biro'aa yatih.

Jun 18, 2009

Wasiat Komplit

Allah Subhana wata’ala berfirman yang artinya

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”

Allah Subhana wata’ala menutup surat ini dengan beberapa pesan yang komplit kepada orang-orang yang beriman di mana jika mereka bisa melaksanakan pesan-pesan tersebut, mereka menjadi yang paling berhak meraih keberuntungan dunia akhirat. Pesan yang dimaksud adalah seperti berikut:

1. Sabar
Sabar akan menjadi sumber segala keutamaan dan aneka ragam kesempurnaan.

2. Mushobaroh
Mushobaroh berarti berusaha maksimal menahan semua hal yang tidak menyenangkan yang diterima dari orang lain. Hal-hal yang termasuk dalam kategori mushobaroh ini adalah:
a. Tabah akan rasa sakit karena ulah keluarga dan tetangga.
b. Tidak membalas perlakuan buruk orang lain.
c. Mendahulukan (mengalah dari) orang lain/Itsar.
d. Memaafkan kedholiman orang lain.
e. Menghadang, mencegah, dan memberikan jawaban atas tindak pengaburan para pendusta serta memberantas keragu-raguan yang mereka sebarkan.


3. Murobathoh
Kata murobathoh memiliki makna asli mengikat kuda untuk berjaga di benteng pertahanan. Meski begitu, yang dimaksud dengan kata murobathoh adalah menyiapkan seluruh potensi kekuatan yang kita miliki secara total untuk menghadapi musuh Islam dengan berbagai macam sarana, baik material (madiyyah), atau nonmaterial (ruhiyyah) secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Selain ini, murobathoh juga memiliki arti lain, seperti diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththo’ dari Abu Hurairoh ra. bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Apakah aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian yang karenanya Allah menghapus dosa dan meninggikan derajat-derajat?” “Ya, wahai Rasulullah,” jawab para sahabat. Beliau lalu bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi tak menyenangkan, banyak langkah ke masjid, menanti shalat demi shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.”

Pertama (menyempurnakan wudhu) merupakan isyarat adanya peperangan dengan nafsu. Kedua, (banyak langkah ke masjid sebagai isyarat adanya pengawasan ketat (muroqobah) terhadap hati dan anggota tubuh. Ketiga, (menanti shalat) menjadi isyarat adanya penjagaan terhadap waktu serta mencari dan memanfaatkan kesempatan.

4. Taqwa
Taqwa dimaksudkan sebagai upaya menjaga diri dari kebencian dan kemarahan Allah yang tidak terwujud kecuali setelah mengenal-Nya dan mengetahui apa yang membuat keridhoan-Nya atau menyebabkan kebencian-Nya.

Semoga Allah Subhana wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk bisa melakukan aktivitas yang membuat-Nya ridho sehingga kita akan mengapai keberuntungan dunia akhirat dengan anugerah, kebaikan, dan kemurahan-Nya. Washolallahu ‘ala Sayydina Muhammad wa’ala alihi washohbihi wasallam.[]

Jun 8, 2009

Muhasabah

Tausiyah bulan Juni 2009, Abi Ust. Ihya’ Ulumiddin menyampaikan materi tausyiah yang berjudul Muhasabah, bertempat di Ketintang Surabaya. Seluruh anggota jamaah Persyadha hadir, baik yang dari luar kota maupun dalam kota Surabaya. Tausiyah ini juga diadakan di Malang.

Berikut materi tausyiah:
Koreksi diri adalah pohon yang membuahkan taubat yang merupakan salah satu pintu dari berbagai pintu rahmat yang telah disipakan oleh Allah bagi setiap orang yang memiliki keinginan meniti jalan lurus dalam suluk menuju ridho Allah dan tidak berbuat teledor di sisiNya demi kelanggengan hubungan dengan Tuhannya.Inilah dasar beramal dan sumber segala kesholehan amal perbuatan. Karena itulah Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“QS al Hasyr:18.

Seorang mukmin yang terbina sangat bertanggung jawab kepada dirinya yang kelak akan dihisab oleh Allah. Ini karena ia memahami sebab-sebab yang memperbaiki hatinya untuk mengingat Allah. Di antara sebab-sebab itu ialah:

1). Pemahamannya bahwa kemuliaan seluruhnya hanyalah milik Allah sebagaimana pujian tidak seyogya kecuali bagiNya. Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” QS Fathir:10.

Jadi kemuliaan bukan dengan harta benda, pangkat kedudukan ataupun keturunan, tetapi kemuliaan bisa diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi) untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga, masyarakat dan negara).


2). Pemahamannya bahwa seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai olehNya dari mereka adalah mereka yang paling memberi manfaat kepada keluargaNya sebagaimana diriwayatkan dalam hadits-hadits. Karena itulah Fudhel bin Iyadh mengatakan: “Di kalangan kami orang yang mendapatkan (derajat kewalian) tidak mendapatkannya dengan banyak puasa atau shalat. Tetapi ia mendapatkan dengan jiwa yang dermawan (sakha’ an nafs), hati yang selamat (salamatusshadri) dan berkehendak baik untuk umat (an nush lil ummah). Ini karena ibadah orang yang beribadah hanya menjadi miliknya sendiri sementara kedermawanan orang yang dermawan menjadi milik banyak orang. Sungguh telah dikatakan: Sesuatu yang menular lebih utama daripada yang tidak menular”.

Musa bin Isa Ad Dinawari berkata: “Berderma dengan apa yang ada merupakan puncak kedermawanan. Sedang kikir dengan apa yang ada adalah bentuk buruk sangka kepada Dzat yang disembah”

3). Pemahamannya akan kewajiban merespon anugerah dan rahmat Allah dengan kegembiraan yang diikuti dengan pujian atasNya serta pengakuan akan pemberianNya. Bukan malah berbangga diri menyambut anugerah dan rahmat tersebut. Ini berdasarkan firman Allah yang artinya, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembir kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" QS Yunus:58. Inilah Nabi Sulaiman alaihissalam, Beliau berkata: “Ini adalah dari anugerah Tuhanku apakah aku bersyukur atau kufur…” QS an Nahl: 4, berbeda dengan Qarun yang berkata: “diberikan kepadaku (semua ini) adalah hanya karena ilmu yang ada padaku “ QS al Qashash: 78.

Beginilah, bangga diri (ujub) memang serupa dengan bergembira (farah). Karenanya barang siapa yang bergembira dengan kataatan karena ketaatan itu muncul dari dirinya maka sungguh ia telah kedatangan ujub. Berdasarkan firman Allah yang artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…“ QS al Bayyinah: 5.

Kesempurnaan Maqam Ikhlash didapatkan dengan kesaksian seorang hamba bahwa peranannya di dalam sebuah amal shaleh darinya tidak lebih hanyalah nisbat taklif serta tidak pula datang kepadanya bencana amal (aafaatul amal) yang ada tiga; ujub, riya’ dan sombong. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Barang siapa yang bergembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar) beriman”(HR Thabarani- al Jami’ as Shaghir 2/173) maksudnya bergembira sebab ketaatan dan sedih akibat kehilangan ketaatan adalah di antara tanda-tanda keimanan. Tetapi, kegembiraan sebab ketaatan itu harus berasal dari sisi di mana ketaatan itu adalah anugerah Allah dan taufiq dariNya sebagaimana kesedihan atas hilangnya ketaatan juga harus dibarengi dengan usaha menjalankannya atau sedih karena kendor dan teledor menetapinya.

Adapun seorang yang tidak merasa sedih atas hilangnya ketaatan dan tidak menyesal karena telah bermaksiat maka itu menjadi pertanda kematian hatinya.

4). Pemahamannya bahwa shidiq bersama Allah adalah dasar keberuntungan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya: “Ia pasti beruntung jika ia jujur” Muttafaq alaih. Sungguh Alqur’an telah mendorong kepada pertemanan dengan ahli shidiq karena pertemanan ini memiliki nilai kemuliaan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tempatkanlah dirimu bersama orang-orang yang jujur” QS at Taubah: 119 sebagaimana pula diisyaratkan dalam do’a Nabi Yusuf alaihissalam: “…wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh “ QS Yusuf:101.

Atas dasar ini maka memilih teman, sahabat dan kawan akrab yang shaleh adalah bagian dari urgensi kehidupan -di masa seperti sekarang ini yang tepat dikatakan, “Masa seperti halnya pelakunya sementara pelakunya seperti yang kamu lihat”- semata demi keselamatan agama dan berlari dari ujian-ujiannya. Dikatakan: ”Halal itu sebelum harta, tetangga sebelum rumah dan teman sebelum perjalanan” Lantas, siapakah teman dan sahabat anda? Dialah orang jujur kepada anda dan bukan orang yang selalu membenarkan anda.

Seseorang dikenal dengan temannya sebagaimana dikatakan:
”Jangan bertanya tentang seseorang, tanyakanlah tentang temannya, karena setiap teman selalu mengikuti orang yang bersamanya”
[]

Jun 3, 2009

Kepimpinan Dalam Islam, Istiqomah, dan Paradigma Figuritas

Di dalam kitab Al Muwatto' karya Imam Malik bin Anas diceritakan pemimpin kaum muslimin, khalifah Umar bin Khattab berjumpa seorang wanita yang ditimpa penyakit kusta (lepra) hendak melakukan thawaf di Baitulloh. Khalifah berkata kepadanya, "Wahai hamba Alloh perempuan, jangan kamu membuat susah manusia. Andai kamu duduk-duduk di rumahmu (tentu lebih baik)." Wanita ini menuruti nasehat khalifah sehingga ia tidak jadi thawaf, tapi dirumah saja. Beberapa tahun kemudian, setelah khalifah Umar bin Khattab wafat, seseorang mendatanginya dan berkata, "Hai wanita, sesungguhnya orang yang dulu mencegahmu kini telah mati. Maka keluarlah kamu (untuk thawaf)". Wanita itu menjawab yang artinya:

Tidaklah aku mentaati khalifah semasa hidupnya, sementara setelah beliau wafat, aku mendurhakainya.
(HR. Malik dari Ibnu Abi Mulaikah, hadits mauquf, lihat syarah Az Zarqani: II/399, hadits nomor 979)


Kepemimpinan (qiyadah, imarah) dalam Islam merupakan masalah penting yang mendasar. Masalah kepemimpinan adalah masalah agama (syara'), bukan masalah duniawi semata. Al Islam dinun wa daulah. Jangankan kepemimpinan yang lingkupnya luas, dalam lingkup kecil pun agama mengajarkan dan menyerukan kepemimpinan. Misalnya kepemimpinan diwaktu berpergian. Di dalam hadits disebutkan yang artinya:

Dari Nafi, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Jika tiga orang berpergian, maka hendaklah mengangkat pimpinan salah satu dari mereka." Nafi berkata, "Lalu kami berkata kepada Abu Salamah, "Kalau begitu, anta amiruna (engkau pimpinan kami)". HR Abu Dawud: III/36 hadits nomor 2609

Syekh Ahmad bin Ruslan, seorang yang memadukan amaliah fiqh dengan tasawuh pun mengangkat wajibnya menegakkan kepemimpinan yang artinya

Dan apa saja yang terjadi di antara sahabat, kita tidak mengomentarinya. Kita menetapkan kepada mereka pahala berijtihad. Kewajiban bagi manusia menegakkan atau mendirikan pemimpin. Dan tidaklah ada sesuatu apapun diwajibkan bagi Tuhan. (Az Zubad bait ke-41 & ke-42)

Pentingnya kepemimpinan dalam Islam bisa dilihat dari peristiwa dialog dan musyawarah pada sahabat di Saqifah (balai pertemuan) Bani Saidah, saat Rasulullah saw. wafat. Setelah problem kepemimpinan selesai dengan terpilihnya sahabat Abu Bakar Asshiddiq sebagai pemimpin diforum itu, barulah Rasulullah saw. dimakamkan. Dan pemakaman ini menunggu bahkan sampai tiga hari. Seperti diketahui Rasulullah saw. wafat pada hari Senin, 13 Rabiul Awal 11/8 Juni 632 M sementara dimakamkan pada hari Rabu, 15 Rabiul Awal.

Dari peristiwa Saqifah Bani Saidah terdapat sekian pelajaran, di antaranya kesadaran perlunya stabilitas kepemimpinan, baik di masa Rasulullah saw. maupun masa-masa setelahnya. Di masa gesang beliau maupun setelah wafatnya. Tidak adanya beliau tidak mempengaruhi proses kelangsungan perjalanan kepemimpinan. Madzhab ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengatakan tidak boleh ada kevakuman kepemimpinan sesaat pun.

Di sinilah jamaah dakwah yang sudah mengikat diri dengan qiyadah, hendaknya konsisten dengan qiyadah itu kapan dan di mana saja. Ada tidaknya figur yang diidolakan maupun pasca regenerasi kelak seandainya terjadi. Dari semula disepakati, keikutsertaan dan penggabungan terhadap qiyadah jamaah adalah atas dasar kesamaan pemikiran fiqhiyan wa siyasiyan, kesatuan visi dan misi untuk berdakwah, menjalin rasa kebersamaan, menciptakan karya, mengemban perjuangan, melangsungkan pendidikan dan pengabdian kepada kaum muslimin. Bukan atas dasar figur. Adanya figur syeikh. Hidupnya figur guru. Sementara tidak adanya figur dan wafatnya figur menjadikan diri berlepas dan qiyadah rusak.

Figuritas memang naluri manusia. Wajar, syeikh membina, membimbing, dan mengarahkan, di samping memotivasi dan memberikan dorongan. Abi Yazid Al Busthomi mengatakan, "Barangsiapa tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan". Namun, selanjutnya, hasil dari pembinaan, bimbingan dan pengarahan syeikh akan kembali kepada jiwa (hati nurani) masing-masing, berupa kesungguhan, keseriusan (azimah), dan kesemangatan hati (roghbah qolbiyah) yang bersumber dari sikap istiqomah dalam perilaku (suluk).

Istiqomah dalam suluk merupakan tuntutan keimanan seseorang, di samping istiqomah dalam aqidah, istiqomah dalam perangai dan istiqomah dalam perbuatan. Istiqomah dalam suluk perwujudannya adalah melanggengkan perilaku diri, baik dalam ibadah maupun muamalah. Konsisten dengan kesepakatan. Memahami dan mematuhi peraturan. Kapan dan di mana saja. Apapun yang terjadi. Istiqomah inilah penegak qiyadah kejamaahan. Sahabat-sahabat senoir dahulu, kalau tidak atas dasar istiqomah dalam perilaku ini, niscaya mereka enggan atau malah menolak mentah-mentah kala Rasulullah saw. mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah yang baru 17 tahun menjadi pimpinan. Istiqomah dalam suluk ini pula kiranya yang mendasari wanita lepra tersebut di muka mentaati saran khalifah Umar bin Khattab, menjaga betul saran itu dijiwanya, sampai pun khalifah yang muhdats ini wafat, ketaatan kepadanya pun tetap dipatuhi.

Wallahu subhhanahu wata'ala 'alam.