Aug 21, 2008

Paradigma Fir’aunisme, Adzab, Tasya’um (Tathayyur) dan Tafa’ul

Q.S. al-A’raaf: 130-131

Oleh | KH.M. Ihya’ Ulumiddin

Allah Swt. Berfirman:

130. Dan Sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.

131. Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Analisa Kata

!$tRõs{r& (akhodzna) artinya Kami mengadzab atau Kami memberi hukuman dengan keras. Al Quran kerap memakai kata:

“akhodzna-ya’khudzu-akhdzan” untuk menyebut adzab dan sanksi atau hukuman yang keras, seperti firman Allah Swt. Dalam surat Hud ayat 102.

(as sinin) berasal dari kata dasar “sanan” artinya tahun. Hanya saja kata ini lazim diartikan tahun paceklik, tahun kemarau panjang (kekeringan), dan tahun kelaparan.

(al hasanantu) arti dasarnya kebaikan. Kata ini maksudnya di sini adalah kemakmuran, kesuburan, dan kesentosaan.

ƒ (yatthoyyaru) artinya merasa mendapatkan sial, celaka, atau keburukan. Merasa mendapat sial, celaka atau keburukan diistilahkan tathoyyur (thiyaroh) atay tasya’um. Kebalikan dari tathoyyur atau tasya’um adalah tafa’ul (bhs. Jawa: ngalap ketularan, berpengharapan nasib baik ).

Makna Ayat

Dalam ayat ini Allah Swt. Bersumpah, bahwa Dia telah mengadzab Fir’aun, para pembesar di sekitarnya, berikut kaumnya, berupa kemarau panjang, paceklik, kelaparan, krisis buah-buahan (hasil cocok tanam jelek, hama merajalela, biaya produksi mahal, harga jual pasca panen anjlok, krisis keuangan), resesi ekonomi, kehancuran alat-alat produksi yang vital, dan lain sebagainya. Adzab ini melingkupi seluruh kekuasaan Fir’aun baik di desa maupun kota sebagai akibat arogansi mereka pada saat dibeberkan di mukanya kebenaran. Konon saat itu pohon kurma berbuah hanya satu butir.

Seperti dituturkan oleh ayat-ayat sebelumnya, arogansi, kekufuran, keadzaliman, dan perbuatan semena-mena Fir’aun, para punggawa dan kaumnya luar biasa. Kepada Nabi Musa a.s. yang menyerukan kebenaran. Fir’aun berkata:

106. Fir'aun menjawab: "Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, Maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu Termasuk orang-orang yang benar". (Q.S. al-A’raaf: 106, periksa pula Q.S. Asy Syuro: 31)


Pada saat Nabi Musa a.s. tampil ekselen (istimewa) di mukanya dengan membawa bukti berupa mukjizat (tongkat berubah ular dan tangan mengeluarkan cahaya putih), Fir’aun justru mengingkari. Ditambah dukungan pengingkaran dari para punggawa di sekelilingnya. Bahkan dengan menampilkan mukjizat itu, Nabi Musa a.s. dituduh berpraktik sihir.

Untuk menghinakan Musa a.s. berikutnya Fir’aun mengumpulkan pakar sihir yang menurut Ikrimah (seorang tabiin) yang berjumlah 70.000 pakar sihir ddari berbagai penjuru dunia di lapangan. Namun praktek sihir dari 70.000 pakar itu dengan mudah dimentahkan oleh Nabi Musa a.s. Di saat itulah puluhan ribu pakar sihir ini sadar, mengaku kalah dan beriman. Kekalahan besar di depan rakyat banyak ini tidak malah membuat Fir’aun sadar. Dia justru bertindak membabi buta (bahasa jawa: dodro) dengan membuat keputusan-keputusan tidak masuk akal. Pakar sihir berjumlah 70.000 dibantai dengan memotong kaki dan tangan secara bersilang. Lalu kemudian mereka disalib seluruhnya, semata-mata hanya mereka teguh beriman. Tentang pakar sihir ini, Imam Qotadah berkata:

“Mereka di pagi hari pakar sihir yang kafir sementara di sore hari mereka syuhada yang mulia-mulia”

Tidak hanya itu, Fir’aun juga membuat kebijakan yang sungguh mengerikan. Kebijakan yang tidak bijak. Inti kebijakan itu anak-anak dari kaum laki-laki yang beriman (pengikut Musa a.s.) seluruhnya harus dibunuh, sementara kaum perempuan dibakar hidup-hidup. Ini adalah keputusan kedua kalinya setelah keputusan serupa diambil bersamaan kelahiran bayi Nabi Musa a.s. Dengan kebijakan kejam ini Fir’aun ingin melanggengkan kekuasaan, tanpa pesaing, secara mutlak (otoriter), di atas segala-galanya. Tentu saja Fir’aun dalam hal ini tidak bertindak sendirian, akan tetapi ia mendapatkan dukungan penuh dari rakyat, juga dukungan vital dari para menteri dan pejabat kerajaan. Artinya Fir’aun, menteri, pejabat dan raktu waktu itu berperan sama di dalam menghantam dan membantai kebenaran.

Adzab dan hukuman keras tersebut di muka diberikan agar Fir’aun beserta pejabat dan rakyatnya sadar atas kesalahan besar yang telah diperbuatnya, di samping seruan agar mereka mengambil pelajaran dari kejadian dan peristiwa adzab dan hukuman keras itu.

Adalah sunatullah (hokum alam), bahwa Allah Swt. Mengirim adzab dan sanksi keras berupa musibah, bencana, kekurangan buah-buahan, termasuk paceklik, krisis politik, krisis keuangan, dan resesi. Ibarat petani misalnya hasil produksi jelek, diserang hama, harga anjlok, padahal biaya produksi mahal. Adzab dan hukuman keras ini dalam rangka sebagai peringatan, kewaspadaan, lampu kuning, agar kalangan elite dan kalangan alit kembali kepada jalan yang lurus dan bertaubat. Akan baiklah keadaan (krisis selesai), kalau mereka sadar dan bertaubat. Kalau tidak, maka sebaliknya, akan ada kerusakan yang lebih parah dan kepastian ketentuan (qadla) yang lebih buruk.

Fir’aun bersama pengabdinya termasuk kategori golongan akhir ini. Peringatan dari Allah Swt. Tidak menjadikannya sadar, malah membuatnya semakin rusak menjadi-jadi. Termasuk sama dengan Fir’aun adalah pribadi atau masyarakat kampong, wilayah, maupun Negara bangsa yang tidak mengindahkan peringatan yang ditimpakan atas kesalahan yang diperbuat, juga yang enggan mengambil pelajaran dari sekian kasus dan peristiwa yang terjadi (dialami) di setiap masa sampai hari kiamat kelak.

Salah satu karakter Fir’aunisme dulu dan sekarang adalah mereka mengandalkan kemampuan diri sendiri, tanpa melibatkan Allah Swt. Angkuh dengan ilmu, eksperimen dan pengamatannya. Sombong dengan kata yang keluar dari mulutnya. Arogan dengan kapasitas dan posisinya. Sehingga kalau hari-hari terasa cerah, aman, sentosa, adil dan makmur, misalnya usainya krisis, keadaan kacau kembali normal, maka orang-orang (pribadi atau bangsa) yang bertipe Fir’aunisme ini berujar, “Ini karena kerja keras kami. Ini karena ilmu, pengetahuan dan eksperimen kami. Kebaikan ini karena peran kami,”dan lain sebagainya. Tidak ada bagi mereka konsep, system atau sekedar kemauan untuk menisbatkan keadaan yang stabil itu sebagai anugerah dari Allah Swt.

Anehnya di sisi lain mereka bersikap oportunis (mengambil untung sendiri). Pada saat keadaan labil, goncang, susah, paceklik, krisis, resesi, dan segala upaya, rekayasa, ilmu dan kemampuan dikerahkan tak juga membawa hasil, Fir’aunisme dan pengabdianya tidak mau menisbatkan keburukan ini sebagai akibat dari ulah, ilmu, eksperimen, kapasitas dan posisinya. Tetapi, mereka tanpa kejelasan alas an menisbatkan keburukan ini seluruhnya kepada Musa a.s. dan oran-orang yang bersamanya. Mereka merasa mendapat sial, nasib buruk, disebabkan Nabi Musa a.s. dan orang-orang yang beriman. “Ini gara-gara mereka”, ujarnya. Tradisi ini disebut tathoyyur atau tasya’um. Karakter mengklaim keadaan baik dan kalau keadaan berubah buruk berlepas diri bahkan menisbatkannya kepada orang-orang yang beriman adalah indikasi keras kepala dan tebal tutup hati mereka terhadap berbagai peringatan, adzab dan hukuman keras yang menimpanya atau menimpa orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak menyadari bahwa keburukan dan kesialan semuanya berasal dari Allah Swt. Yang terkait dengan sebab akibat (kausalitas) perilaku mereka. Tidak ada kaitannya dengan Nabi Musa a.s. dan orang-orang yang beriman.

Tradisi tathoyyur dan tasya’um (merasa mendapatkan sial, nasib buruk, bahasa jawa: gugon tuhon) awalnya bermula dari perilaku masyarakat Arab yang merasa mendapatkan nasib baik dan buruk dengan menyakini isyarat burung (thair). Jika mereka hendak pergi dan melihat burung terbang kearah kanan, dia merasa akan mendapatkan nasib baik, maka pergilah dia. Kalau burung itu terlihat terbang kea rah kiri, dia buru-buru mengurungkan niatnya pergi, karena merasa akan mendapatkan sial, nasib buruk. Tathoyyur dan tasya’um ini kemudian dihapuskan oleh Nabi Saw. Nasib baik dan buruk tidaklah terkait dengan isyarat burung, misalnya burung gagak atau lainnya, melainkan sudah ketentuan qodlo dan qodar dari Allah Swt.

Sementara ajaran agama Islam menyukai tafa’ul (bahasa jawa: ngalap ketularan, berpengharapan memperoleh kebaikan), sebagai ganti revolusioner dari tathoyyur dan tasya’um. Tafa’ul dengan perkara yang sesuai dengan syara’, setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan eksperimen yang valid dan logis, ditekankan. Misalnya tafa’ul dengan nama, binatang aqiqoh, pengobatan, dan lain sebagainya. Memberi nama puternya Muhammad misalnya biar dia kelak terpuji. Nama Rofi’I misalnya agar terangkat derajatnya. Menyembelih binatang aqiqoh, contoh lain agar durhakanya pada orang tua lenyap. Sahabat Umar bin Khattab pernah hendak meminta tolong pada seseorang. “Siapa namamu?” tanyanya. “Dzalim bin Surraq (orang dzalim putera maling).” Jawabnya. Amir orang-orang yang beriman ini berkata, “Kamu dzalim ya dan ayahmu maling?!” sambil mengurunkan niatnya meminta bantuan. Ini menunjukkan nama-nama yang jelek hendaknya diubah menjadi nama-nama yang baik. Karena pada nama-nama yang baik itu ada maksud tafa’ul. Sementara Allah Swt. Menunjukkan kebaikan dan di sisi lain menolak kejelekan.

Kini agaknya sejarah itu mengulang dirinya. Karakter Fir’aunisme yang dicela dalam alQuran tersebut hidup kembali. Tidak sedikit individu, masyarakat, Negara bangsa justru berkehendak membantai kebenaran dengan segala caranya, tidak mengindahkan adzab dan hukuman keras terhadapnya, mengklaim kebaikan sebagai hasil ilmu dan rekayasanya, tanpa melibatkan anugerah Yang Maha Kuasa, sementara kalau terjadi keburukan, berlepas diri seraya melemparkan kepada orang lain. Tidak lagi qodlo qodar diimani. Maka, belum saatnyakah mengambil pelajaran dari karakter Fir’aun?

Ataukah Fir’aunisme mesti harus dihidupkan kembali?[]

Trend Golden Facial

Pertanyaan:

Dewasa ini mulai muncul trend dan berkembang model kecantikan dengan memanfaatkan emas 24 karat sebagai salah satu bahan campuran untuk cuci wajah ( Facial ) serta masker. Bagaimana pandangan Islam terkait fenomena tersebut?.

Ahmad Muflih UB,
Pemerhati Kecantikan dari Kediri

Jawaban:

Emas dalam bahasa latin disebut dengan aurum / Au, yang berarti senja bersinar. Karena sifatnya yang bersinar, solid, empuk, fleksibel dan elastis maka emas 24 karat dalam bentuk molekul bisa digunakan untuk cuci muka atau golden facial sebab mudah terserap kulit wajah. Teknis golden facial inipun tidak berbeda dengan cuci muka biasa yakni cleansing, toner, serum, gel, dan scrub. Bedanya, dalam setiap proses tersebut semuanya mengandung emas. Ketika seluruh rangkain facial ini selesai barulah terlihat sisa kilatan di wajah.

Pada dasarnya emas ( dan sutra ) bagi wanita adalah halal seperti dalam hadits:

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حِلٌّ ِلإِنَاثِهَا
“Sesungguhnya keduanya ini ( emas dan sutera ) haram bagi para lelaki umatku dan halal bagi para wanita mereka “ ( HR Turmudzi dari Abu Musa al Asy’ari )

Kendati halal, bukan berarti para wanita diperbolehkan menggunakan emas seenaknya. Prinsip tidak boleh ada berlebihan ( Israf ) dan berbangga ( Khuyala’ ) dalam segala hal tetap harus dipegang seperti disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

…لاَ تَشْرَبُوْا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلاَ تَأْكُلُوْا فِى صِحَافِهَا
“…jangan kalian minum dalam bejana emas dan perak. Jangan makan di piring ( terbuat dari ) keduanya…” ( HR Bukhari Muslim dari Hudzaifah bin al Yaman )

Larangan di sini jelas tanpa perbedaan bagi lelaki dan perempuan serta dalam semua jenis pemakaian. Sementara itu para ulama menangkap ilat di balik larangan pemakaian tersebut yaitu adanya Israf dan berbangga - bangga. Jika Israf saja dilarang maka dalam kasus Golden Facial yang terjadi justru lebih parah daripada Israf, yakni adanya Tabdziir, menyia - nyiakan harta yang disebut oleh Allah “ Sesungguhnya orang - orang yang berbuat tabdzir adalah saudara - saudara setan “ QS al Isra’ : 27.

Manusia Tercipta Dalam Keadaan Kelemahan

oleh | KH. M. Ihya’ Ulumiddin

Allah Swt. berfirman:
dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” Q.S. An Nisa’: 28

Dalam ayat ini terkandung banyak hikmah yang senantiasa mampu dipahami oleh seorang muslim yang terbina. Hikmah-hikmah itu adalah:

1. Arahan agar bersikap meringankan (takhfif) dan menampakkan keistimewaan agama ini yang berupa tidak adanya kesusahan (adamul haraj) di dalamnya. Jadi kemudahan merupakan salah satu pondasi dan prinsip dasar syariat Islam di mana dari sanalah kemudian muncul aneka ragam keringanan-keringanan. Seperti inilah yang selalu diperintahkan Rasulullah Saw. sendiri kepada para duta dakwah yang Beliau kirim dalam misi penyebaran agama. Beliau berpesan kepada Muadz dan Abu Musa, “Bersikaplah memudahkan dan jangan kalian berdua bertindak menyulitkan.” Beliau juga berpesan, “Sesungguhnya kalian hanya diutus untuk memberikan kabar gembira, bukan membuat orang lari.”

2. Manusia itu lemah dan karena kelemahan ini ia lemah tidak berdaya melawan keinginannya sehingga ia tidak sabar dari meninggalkan keinginan-keinginan. Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian tidak sempurna iman sehingga keinginannya (hobinya) adalah mengikuti apa yang aku bawa.” H.R. Dailami dalam Musnad al Firdaus. Beliau Saw. juga bersabda, “Jagalah diri kalian, niscaya para istri kalian juga akan menjaga diri. Berbaktilah kepada orang tua kalian niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” H.R. Thabarani.

Abu Hurairah r.a. berdoa, “Ya Allah, saya memohon perlindunganMu dari berbuat zina dan mencuri.” karena inilah ditanyakan kepadanya, “Usia sudah tua sementara anda adalah sahabat Rasulullah Saw., apakah anda khawatir akan berbuat zina dan mencuri?” Abu Hurairah r.a. menjawab, “Bagaimana diriku merasa aman sedangkan iblis masih hidup?”

3. Habib Abdullah bin Alawi al Haddad berkata, “Manusia itu lemah dan karena kelemahan ini ia lebih banyak berpegang pada prasangkaan-prasangkaan (Tawahhumat) daripada bersandar kepada keyakinan-keyakinan (Yaqiiniyyat). Dikatakan dalam sebuah hikmah, “Hendaknya kepercayaan orang beriman lebih kuat kepada Allah daripada kepada apa yang ada dalam genggaman tangannya.”

4. Manusia itu lemah dan karena kelemahan inilah satu sama lain saling membutuhkan pertolongan. Apalagi pada kenyataannya tidak ada seorangpun kecuali pada satu sisi ia menggunakan orang lain sementara di sisi lain ia dipergunakan oleh orang lain seperti ditegaskan Allah dalam firmanNya, “kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian lain.” Q.S. Az Zukhruf: 32. Dengan demikian satu dengan yang lain menjadi sarana berjalannya kehidupan. Orang ini dengan hartanya, sedang yang lain dengan pekerjaannya sehingga sempurnalah putaran roda kehidupan. Jadi bukan karena kesempurnaan yang dimiliki orang kaya (al Muusi’) dan bukan pula karena kekurangan yang ada pada orang yang pas-pasan (al Muqtir). Rasulullah Saw. bersabda, “Pemimpin kaum adalah pelayan mereka.” H.R. al Khathib. Dan dikatakan pula, “Manusia, sebagian dari mereka adalah milik sebagian yang lain meski mereka tidak merasa bahwa sebenarnya mereka adalah para pelayan.”
Karena itu semua, dalam firmanNya, Allah memberikan peringatan/tahdzir kepada kita agar tidak tertipu diri sendiri serta supaya mengakui kelemahan dan ketidakberdayaan. Dia berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik, (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih Mengetahui ketika Dia Menciptakan kamu dari tanah dan ketika kamu kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” Q.S. An Najm: 31-32. “…. dan andai tidak ada anugerah Allah atas kalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian yang bersih (dari perbuatan keji dan munkar) selamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Q.S. An Nuur: 21.

Wallahi yatawaliiljamii’a biru’aayatih.