May 24, 2022

Menuju Kesempurnaan Diri

 

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang sholeh, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali kepada Allah”. (QS. Al Isro’: 25)

Orang-orang sholeh yang di sebut dalam ayat ini adalah orang-orang yang sholeh jiwanya (Sholahun Nafsi). Dari kesholehan jiwa itu lalu terbentuk pula kesholehan segala ucapannya, perbuatannya dan sifatnya. Oleh karena itu barangsiapa tersaksikan melakukan amal-amal sholeh, yaitu amal yang berjalan diatas landasan syara’ dan sunnah-sunnah Nabi, maka ia patut dinyatakan sebagai orang yang sholeh jiwanya, dalam arti ia termasuk golongan orang-orang yang sholeh.

Dalam hal ini Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mensifati orang-orang sholeh yang tercermin dari karakter Ummah Qooimah:

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus: mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat); mereka beriman kepada Allah dan hari akhir; mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan mereka bersegera kepada pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh”. (QS. Ali Imran: 113-114)

Ketika amal sholeh menjadi indikasi (tanda) keshalehan diri, maka orang-orang shaleh berbeda-beda derajat kesalehannya sesuai dengan tingkat perbedaan amal-amal mereka sekaligus perbedaan kedudukan mereka menurut Tuhan yang bisa diketahui oleh Allah Subhanahu Wata’ala, berdasarkan hadits:

“Taqwa itu di sini”. (Rasulullah bersabda demikian seraya berisyarah pada dadanya tiga kali). (HR. Muslim lihat Hadits Arbain Nawawi nomor ke-35)

Untuk mencapai derajat keshalehan diri, mesti harus ada upaya muroqobah (mawas diri) semungkin-mungkinnya agar keshalehan diri terus stabil. Cara yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk mencapai keshalehan diri adalah (banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala) atau dalam kata lain katsrotul awbah (diambil dari lafadz. Al-awwabin).Ketika disebut bahwa sifat orang-orang shaleh adalah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka bersamaan dengan itu disebut pula salah satu Asmaul HusnaNya yang menunjukan akan banyaknya ampunanNya agar tercipta kesesuaian. Artinya, bahwa orang yang banyak kembali kepada Allah pasti harapan besar banyak diampuni.

Inilah yang membedakan antara kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan kembali kepada manusia.manakala seseorang bertambah banyak kembalinya kepada manusia, manusia akan memarahinya. Sementara seseorang bertambah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala maka Allah bertambah mengampuni kepadanya. Bahkan dibanding dengan kembalinya seseorang kepada Allah, ampunan Allah masih lebih luas. Oleh karena itu disebut dengan memakai lafadz (….) yang berarti untuk menguatkan pengharapan akan ampunan.

Dengan demikian ayat di atas mengandung dua hal yang mesti ada pada manusia untuk menyempurnakan dirinya, yaitu:

1.       Keshalaehan Diri (Sholahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat: (……)

2.   Upaya mencapai keshalehan dengan kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ishlahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat: (….)

Dari  sini selama untuk menyempurnakan dirinya manusia bermujaahadah dengan dua hal ini niscaya dengan dengan seizin Allah ia akan sampai cita-cita dan harapannya kepada derajat kesempurnaan. Dan bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk mereflesikan dua hal itu, utamanya bagi anggota Jama’ah Dakwah. 

Wallahu A’lam

May 19, 2022

,

Mujahadatun Nafsi

 

Mujaahadah adalah modal sukses disetiap medan perjuangan. Dengan kadar mujaahadah inilah dibedakan derajat orang orang muslim kelak disurga, mulai dari derajat ‘Usshooh (ahli maksiat), derajat Ashaabul Yamin, derajat Muqarrabin, sampai dengan derajat Abraar. Pada dasarnya mujaahadah adalah Mujaahadatun Nafsi (kesungguhan diri). Rosululloh saw bersabda:

Mujahid adalah orang yang ber-mujaahadatun Nafsi. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Mujaahadatun Nafsi bisa memberi spirit untuk mengegolkan aktivitas, meskipun berat. Sahabat Ummu Kultsum binti   Uqbah bin Abi Muaith hijrah dari Makkah ke Madinah dengan berjalan kaki. Begitu pun dengan Ummu Aiman. Ia berangkat hijrah tanpa bekal, walaupun setetes air minum. Meski dengan kondisi apa adanya, kedua sahabat wanita itu sukses di dalam aktivitasnya, karena keduanya telah mewujudkan di dalam jiwanya sikap Mujaahadatun Nafsi. Dalam hikmah disebutkan:

Dengan kadar apa yang Engkau bekerja keras, Engkau akan peroleh apa yang Engkau cita-citakan.

Dengan bekerja keras akan diperoleh keluhuran, dan barang siapa mencari keluhuran, maka ia terjaga di waktu malam.

Bagi seorang muslim, Mujaahadah Nafsi pertama yang mesti harus di lakukan adalah mengerjakan amal-amal wajib dan meninggalkan amal-amal yang dilarang, karena ini dasar daripada seorang muslim untuk memasuki surga, berdasarkan hadist:

Seorang Badui datang kepada Rosululloh saw, lalu berkata: "Ya Rosululloh, tunjukkanlah kepadaku amal yang jika aku kerjakan aku masuk surga." Beliau bersabda: "Kamu menyembah kepada Alloh seraya tidak menyekutukan sesuatu pun denganNya; kamu dirikan sholat maktubah(fardhu); kamu tunaikan zakat fardlu; dan kamu berpuasa ramadlan." Ia berkata: "Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaanNya, aku tidak akan menambah apapun atas ini selamanya dan aku tidak juga akan menguranginya."  Tatkala Baduwi berpaling, Nabi saw bersabda: "Barang siapa ingin melihat seseorang dari penduduk surga, maka hendaklah ia melihat orang ini." (HR. Muslim, jilid 1hal. 31)

Dalam hal (mengerjakan amal-amal wajib dan meninggalkan amal-amal yang dilarang), ada yang sifatnya individu, seperti sholat lima waktu, puasa, zakat, serta ada yang sifatnya jama'y seperti Iqaamatul Khilaafah berikut wasilah-wasilahnya. Sebagaimana amal individu tidak layak diabaikan maka tidak layak pula mengabaikan amal yang sifatnya jama'i.  Karena nilai dari amal jama'y tidak kurang dengan nilai dari amal individu. Bahkan di dalam kaidah fiqih disebutkan:

Amal yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain itu lebih afdhol daripada amal yang bermanfaat hanya untuk diri sendiri.

Dengan bergabung bersama Jamaah Dakwah berarti telah ada Mujaahadatun Nafsi untuk ikut memikirkan Iqaamatul Khilafah sekalipun masih dalam tahap mempersiapkan wasilah dan sekalipun berhukum fardhlu kifayah, tetapi ini tidak kalah dengan amal fardlu yang lain, mengingat dibalik itu ada usaha dan kerja untuk memikirkan nasib banyak orang, terlebih sedikit sekali orang yang punya pemikiran dan kemauan demikian pada saat ini. Imam Al Haromain berpendapat:

Bagi orang yang melakukan fardlu kifayah ada kelebihan atas fardlu ain karena orang yang melakukan fardlu kifayah berarti menggugurkan dosa dari banyak orang."

Setelah masuk Jamaah Dakwah, maka ada satu konsekuensi sikap Mujaahadatun Nafsi , yaitu memikirkan bagaimana Jamaah Dakwah berfungsi secara optimal. Untuk upaya ini, segala potensi (harta dan jiwa) dan keahlian harus disalurkan untuk memperkuat Jamaah Dakwah, dalam kondisi mansyath (giat) maupun kondisi makrah (enggan), sebagaimana dahulu dibaiatkan oleh Rosululloh saw kepada para sahabat.tidak selayaknya ada sikap Ajzun Nafsi (lemah diri) untuk ini, karena sikap itu bisa menimbulkan efek negatif yaitu pasif dan keloyoan. Dan kemandegan aktifitas Jamaah Dakwah akibat Ajzun Nafsi tentu tidak diharapkan. Rosululloh bersabda:

Berikanlah potensimu dan jangan kamu lemah diri. (HR. Abu Dawud, jilid II Hal.123)

Sementara Jamaah Dakwah telah mempunyai sarana-sarana dakwah baik material maupun non-material, maka sebagai bentuk pengejawantahan Mujaahadatun Nafsi, sarana itu mestinya dioptimalkan untuk mendayagunakan peran Jamaah Dakwah dalam kancah perjuangan pergerakan Islam di dunia, seiring dengan terlaksananya progam dan kegiatan yang esensial, seperti qiyamullail bersama, infaq fii sabilillah, pembinaan anggota, perekrutan kader baru, dan lain sebagainya.

Dengan Mujaahadatun Nafsi, mudah-mudahan diri yang bergabung dalam Jamaah dakwah ini mendapatkan ridlo Alloh Subhanahu wata'ala.

Wallohu A’lam

 

May 16, 2022

Hargamu Adalah Surga

 Allah tabaraka wata’aalaa berfirman:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...QS At Taubah:111.

Sesungguhnya dunia hanyalah titipan-titipan belaka sebagaimana dikatakan oleh Labid:

Tiadalah harta benda dan keluarga kecuali hanya titipan

Dan sudah pasti pada suatu hari titipan-titipan mesti dikembalikan

 Dunia tidak sebanding dengan diri seorang mukmin sebagai harga keimanannya yang merupakan sesuatu yang melekat dalam hati dan dibenarkan oleh amalan. Tidak pula sebanding dengan apa yang didapatkan seorang mukmin sebagai harga jihadnya yang didasari oleh keimanannya. Karena inilah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 1)      Dunia ini terlaknat (tidak ada artinya karena tidak diajuhkan dari rahmat Allah); terlaknat pula apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan segala sesuatu yang mengantarkannya serta orang alim dan orang yang berusaha jadi alim”(HR Turmudzi, Ibnu Majah dan Baihaqi)

2)      Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia dan isinya”(HR Turmudzi Nasa’i)

 Maha benar Allah yang berfirman: Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.QS al Ankabut:64.

 Jadi dunia dan segala yang ada di dalamnya berupa emas, perak, kedudukan, rumah-rumah dan istana-istana dll sama sekali tidak berhak mendapatkan setetes air mata karena semuanya ini tidak bisa memperlambat ajal manusia meski hanya sedetik saja. Sungguh telah dikatakan:

 Diriku yang memiliki banyak sesuatu pasti juga akan sirna

Lantas mengapa aku menangisi sesuatu yang musnah?

Imam Hasan al Bashri mengatakan: [Jangan jadikan selain surga sebagai harga untuk dirimu karena diri seorang mukmin itu mahal. (sayang) justru sebagian mereka menjualnya dengan harga murah]. Dalam pribahasa Makkah dikatakan: “Surga tidaklah gratis”

 Al Arif billaah As Sayyid Ahmad bin Idris al Maghribi mengatakan: [Seluruh upaya manusia demi dunia di dalamnya ada kesulitan dan kerepotan. Ia tidak mendapatkan keinginan kecuali dengan kepayahan. Dan (meski begitu) terkadang ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Seluruh upaya manusia demi akhirat begitu mudah dan sama sekali tidak terdapat kesulitan di dalamnya. Manusia bisa mendapatkan taman-taman, pepohonan dan sungai-sungai di surga. Maka betapa mudah usaha untuk akhirat dan betapa susah usaha-usaha demi dunia[1].]

Seorang muslim yang terbina tidak menyesalkan sesuatu yang sirna karena segala sesuatu dalam kehidupan ini akan sirna kecuali DzatNya subhaanahu wata’aalaa. Dan karena seorang yang menyesalkan dunianya adalah seperti anak kecil yang menangis karena kehilangan mainannya. Muslim yang terbina juga menyadari bahwa ia menjadi begitu remeh (rendah) sesuai kadar penyesalannya atas sesuatu yang sirna tersebut. Akan tetapi (semestinya) seorang muslim yang terbina menyesal dan bersedih atas keimanannya yang berkurang, kesalahan-kesalahan, dosa-dosa dan keteledorannya dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhannya. Sungguh masalahnya di sini adalah masalah nilai-nilai dan norma-norma. Masalah sikap-sikap dan risalah.

 Ini berbeda dengan orang-orang yang mencintai dan memilih kehidupan dunia. Merekalah yang disebutkan Allah dalam firmanNya: Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).”QS al Insan:27.

=والله يتولي الجميع برعايته=




[1] Al Iqdunnafiis fi Nazhmi Jawahiritadriis hal 167

Dec 4, 2021

Tausiah Bulan Desember 2021

 Demi Keselamatan Hatimu!

Di antara do’a Sayyidina Ibrahim a.s adalah: “dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih“ (QS As Syuara’:87-89)

Dan demi keselamatan hatimu maka renungkanlah isyarat ayat-ayat yang mulia berikut ini:

1. “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah...” “(QS al Kahfi:39)

“maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah“ maksudnya apa yang dikehendaki Allah semua pasti terwujud dan apa yang tidak dikehendakiNya pasti tidak akan pernah terwujud. Segala urusan adalah sesuai kehendak Allah, bukan selainNya. 

Jadi ketika manusia diberikan oleh Allah derajat maka itu semata ia dapatkan agar menampakkan merendahan diri di hadapan Allah Swt. Jika ia lalu merasa tinggi diri, angkuh dan sombong disebabkan derajat itu maka hal yang mengantarkan dirinya pada derajat itu dianggap batal dan ia pun menjadi orang yang ditolak.

Selengkapnya, ada di nasroh tausiah, silahkan di unduh di sini

May 29, 2020

Bagaikan Satu Tubuh


#Taushiah

oleh | Abi KHM. Ihya' Ulumiddin

Rosululloh shallallahu 'alaihi wassalam bersabda:

Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga cintanya kepada saudaranya bagaikan cintanya pada dirinya sendiri.(Muttafaq ‘Alaih)

Seorang muslim seyogyanya mencintai saudara muslimnya seperti  ia mencintai dirinya sendiri.Merealisasikan hadis tersebut secara tersurat terasa berat sekali (ash sho’bul mumtani’),seolah-olah tak sanggup.Hal ini dikarenakan sifat egoisme individu selalu dominan,bahkan dibakar oleh masyarakat dan media-media elektronik.Tak heran apabila kehidupan sesama muslim masih seperti kehidupan orang-orang dalam kereta.Mereka seolah-olah berjalan dalam satu gerakan,namun setelah kereta berhenti masing-masing menetukan nasibnya sendiri-sendiri.Kadang-kadang mereka saling sikat,saling copet dan lainnya.

Walau demikian,seorang muslim harus menerapkan hadis di atas.Penerapannya dengan mengikuti makna hadis sebagai berikut:

1.    Makna dari lafadz “Laa Yu’minu” adalah meniadakan kamalul iman (kesempurnaan Iman),bukan nafyul iman (meniadakan iman) sama sekali.

2. Adanya riwyat dari Imam An Nasa’I yang menyebutkan “Minal Khoir” sebagai tambahan “Maa yuhibbu li nafsihi”.Dengan riwayat itu realisasi hadis tersebut terasa lebih mudah,lebih-lebih bagi yang berhati salim,sebab dimensi al khoir luas dan tidak terbatas serta bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi.Karena itu Alloh Subhanahu Wata’aala berfirman:

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS Al Baqoroh: 148)

Sebelum kita merealisasikan kepada sesama muslim secara terbuka,alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu merealisasikan secara intern antar jamah (sebagai upaya tajribah) yang telah mengikat pada Robithoh Al Ukhuwwah Al Imaniyah,dengan istilah murofaqoh atau iltizam.Dimana ikatan itu sejak semula kita arahkan menuju tahaabub (saling mencintai) untuk mencapai mahabbatulloh.Sebab tanpa tahaabub itu kita tidak akan mencapai derajat kesempurnaan iman (mahabbatulloh).Upaya ini sesuai dengan hadis Nabi :

Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman.Dan kalian tidak beriman sehingga kalian tahaabub. (HR.Muslim)

Konsekuensi tahaabub dalam hidup berjamaah adalah sebagai berikut:

1.Wala’ (loyalitas) dan Shuhbah.

Sikap wala’ ini pertama kali ditunjukkan kepada Rois Jamaah,sebagaimana seorang makmum harus loyal kepada imam sholatnya.Sikap wala’ ini bukan sekedar figuritas (karismatik tokoh),sekedar melepaskan dosa,atau sekedar ketaatan kepada seorang guru ngaji.Tetapi lebih dari itu kita relakan wala’ untuk meningkatkan aktifitas guna mencapai ridlo Alloh Subhanahu wata’ala:

“Orang mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka harus menampakkan wala’ kepada sebagian yang lain”. (QS At Taubah 71)

Shuhbah dalam arti ingin meniti kehidupan para sahabat bersama Rosululloh saw.Dalam praktek tersebut para sahabat selalu kintil,memperhatikan semua kepentingan Rosululloh dan aktifitas dakwahnya.

Untuk menuju sikap wala’ dan shuhbah seperti di atas,kita membiasakan praktek ta’rif dan ta’aruf.Semua anggota harus memahami aktifitas dan tugasnya masing-masing,termasuk aktifitas yang menjadi prioritas jamaah yang kita ekspos ke luar secara formal dalam bentuk Yayasan dan Majelis Ta’lim.Sehingga saat ini keduanya harus mulai difungsikan secara aktif,efektif dan optimal.Garapan-garapan jangka pendek dan jangka panjang harus terprogram secara rapi sehingga tidak berjalan karena reaksi keadaan.Semisal program dalam menghadapi perubahan politik dan kebijaksanaan orde baru kurun 90-an ini,bagaimana program menghadapi anggota jamaah yang telah memiliki putra-putri  baru ini,dll.

Tidak kalah perlunya dalam hal ta’rif dan ta’aruf ini adalah kepeduliaan masing-masing Naib Manthiqy dan Naqib untuk tafaqqud (meneliti) keberadaan anggota-anggotanya.Sedapat mungkin meminimalkan pengangguran aktifitas.Tidak sampai dijumpai anggota kerja keras sementara yang lain bermalas-malasan .Dalam hal ini kita membutuhkan orang yang ringan tangan dalam melaksanankan setiap tugas.

Selain itu antar sesama jamaah seyogyanya bersikap terbuka (open action) dan komunikatif.Praktek wala’ dan shuhbah ini perlu untuk menggalang nushroh demi mensukseskan program-program kejamaahan.

2.Wafa’

Tugas kita setelah memasuki  jamah adalah wafa’,yaitu kesiapan memenuhi beberapa konsekuensi yang telah kita ikrarkan dahulu.Bila konsekuensi berjamaah tidak dipedulikan,berarti sama dengan memilih diantara tiga pilihan,yaitu taqshir,mukholafah atau khianat.Dan ketiga pilihan itu bukanlah sifat seorang mukmin.Rosululloh saw adalah tipe manusia yang paling wafa’,baik dalam kondisi syiddah (sulit) maupun Rokho’ (mudah).

Murofaqoh dan iltizam jamaah memerlukan wafa’.Karena itu menghadiri majelis taushiyah misalnya,tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya selain udzur syar’iy.Jauhnya tempat dan kondisi diri semisal tiada bekal,kesibukan rutin bukan termasuk udzur.Pehatikan perilaku shohabat dalam menerima konsekuensi atas keimanannya.Mereka mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk mewujudkan konsekuensi tersebut.

3.Memahami milik bersama

Hidup berjamaah adalah hidup bersama.Karena itu masing-masing anggota harus mengetahui milik jamaah.Jika jamaah mempunyai program,baik rutin maupun insidentil,maka harus didukung dan diupayakan keberhasilannya.Program tersebut berarti harus diangkat sebagai kepemilikan bersama,semua merasa memiliki dan seterusnya.Contoh progam: penyebaran ide dakwah lewat majalah Al Mu’tashim dan buletin Shuhuf,penggalangan dana lewat toko Buurika (Surabaya),Tabriika (Malang),Mabruka (pujon) serta BMT Pujon.Pengumpulan calon generasi lewat lembaga terpadu TK/SD Plus (dalam program di Pujon),sentralisasi aktifitas Markazy dengan membangun gedung di Nambangan Surabaya.Penanganan daerah minus dengan menyebar pesantren cabang (Wates-Kediri,Bendo Rejo-Ngantang,Al Ma’wa Sebaluh,Tahfidzul Quran Putri Mantung-Pujon,Pesantren Putri Pujon Kidul,Pesantren Putra Pujon Kidul dan lain sebagainya),penggalangan kader kecil dengan TPA/TPQ sebanyak 12 lembaga di daerah Pujon,Batu dan Ngantang.Ternyata kita bersama memiliki asset yang kalau sekiranya diuangkan akan bernilai jutaan rupiah,sekalipun Yayasannya mengkas-mengkis,hidup segan matipun tak mau.Hal ini dapat terwujud,mungkin dikarenakan sisi barokah perjuangan secara jamaah disertai niat ikhlas menjauhkan diri dari ightiror bil jamaah.

Dengan demikian setiap anggota harus mempunyai aktifitas dan garapan dakwah yang jelas.Diupayakan dirinya harus selalu tasyghil (menyibukkan diri) dalam kancah dakwah.Jika belum,maka harus punya azzam yang untuk itu menurut kemampuannya masing-masing.Ini baru salah satu mengangkat program dakwah sebagai amal jama’I dai jamaah kita.

4.Sentralisasi

Sebagaimana yang paling dominan dalam tubuh manusia adalah kepala sebagai tempat merujuk ide dan konsep gerak dan langkah anggota badan yang lain,maka Ro’is,Naib dan Naqib juga demikian.Oleh karena itu,agar tercipta gerak dan langkah yang sama,baik pikir maupun jiwa,maka anggota harus merujuk kepada sentral jamaah,yaitu Rois dalam arti memahami penentuan sikap yang harus dilakukan sehingga adanya kesenjangan selama ini seperti ikhtilaf fil fikroh,ke-eksklusifan,kekakuan,pementahan program,pemaksaan keanggotaan (padahal ini praktek yang tidak boleh),dan lain-lain tidak dijumpai.Oleh Karen itu agar tidak dijumai kesenjangan ,maka anggota diharapkan mengikuti ta’lim ‘aam dan sering berkonsultasi dengan Rois secara pribadi.Juga perlu kesadaran,bahwa produk yang dikeluarkan oleh Rois,Naib,dan Naqib telah melalui pemikiran dan ….. yang matang.Bahkan perlu dipahami prodruk tersebut bukan untuk kepentingan individu mereka.Karena itu anggota jamaah harus taslim dengan produk yang telah dikeluarkan daripada produk luar sebagai konsekuensi as sam’u wat tho’ah fiima ahabba au kariha (mendengar dan taat,baik suka atau tidak).Sikap ini tidak didasarkan pada ta’ashshub (fanatisme),namun untuk keselamatan jamaah.

Konsekuensi sebagai muslim yang dapat tahaabub dalam berjamaah,sebagai mana tersebut di atas terasa amat berat.Namun hal itu akan terasa ringan jika disadari bahwa berjamaah termasuk bagian dari perjuangan.Dan perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan.Sebagaimana rahasia yang terungkap dari firman Alloh ta’aala:

1.       Surat Al A’rof 199

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah untuk mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”

2.       Surat Al ‘Ashr ayat 3

“Dan saling nasehat –menasehatilah engkau dengan kebenaran dan kesabaran”

Dua ayat tersebut menunjukkan bagaimana bersikap dalam amar bil ‘urfi dan wishoyah bil haq.Sikap beramar ma’ruf akan berhadapan dengan celaan orang-orang bodoh.Sedangkan Wishoyah akan berhadapan dengan tantangan sehingga dituntut sabar dalam menghadapinya.

Meningkatkan aktifitas diri dalam kehidupan berjamaah  dengan saling tahaabub,insyaAlloh akan menjadikan jamaah ada ruhnya.Program-program akan terselesaikan sesuai target,karena tidak terjadi keteledoran-keteledoran baik dari pemimpin atau anggota.Hasilnya adalah jamaah yang solid,bagaikan satu tubuh yang sempurna,sehat dan kuat.Semua anggota tubuh dapat difungsikan sesuai keahlian dan tugasnya masing-masing.

Wallohu A’lam.


May 17, 2020

Ketakwaan Membuahkan Kemuliaan.


يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَآمَنُوْا إِنْ تَتَّقُوْا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُوْ الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Alloh, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Alloh mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Anfaal:29)

 Makna dan Penjelasan Ayat

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Alloh Swt. akan menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman bakat furqaan bila mereka bertakwa kepada-Nya dengan makna takwa yang sebenarnya. Takwa yang bermakna menjaga diri dari siksa Alloh Swt., tidak mendurhakai-Nya dengan tindakan maksiat dan melaksanakan perintah-Nya. Dengan takwa seseorang akan mengendalikan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya, yang berarti ia memenuhi dorongan-dorongan itu dalam batas yang diperkenankan oleh ajaran agama. Selain itu terkandung perintah kepada manusia agar ia melakukan tindakan yang baik, berlaku benar, adil, memegang amanat, dapat dipercaya, dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain, dan menghindari permusuhan serta berlaku aniaya.

Furqaan adalah bakat perwatakan manusia yang dengannya ia dapat mengetahui dan membedakan antara hak dan batil, memilah antara petunjuk dan kesesatan, serta yang manfaat dan yang mudlarat. Dengannya pula ia dapat menghapuskan noda-noda dosa dari jiwa, membersihkannya, dan menjaga jiwa agar tidak kembali terkotori olehnya. Alloh Swt. dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Karunia tersebut diberikan sebagai fadlol dan ihsan dari Alloh Swt. tanpa perantara dan perwakilan oleh siapapun. Itulah cahaya ilmu pengetahuan yang setiap pencarinya tidak akan menemukan kecuali dengan takwa. Itulah hikmah yang telah disebutkan-Nya dalam Al-Qur’an.

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْبَابِ

Dan barangsiapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Alloh).” (QS. Al Baqarah:169)  

 

            Dari ketakwaan itu kemudian berbuahlah bakat perwatakan furqaan yang pemiliknya dapat membedakan sesuatu dengan sumber kesadaran ilmu, hikmah, dan amal perbuatannya. Hidup orang yang bertakwa diberkahi dengan kemuliaan, dan kemuliaan hasil dari ketakwaan.

 

Pengertian Kemuliaan

            Kemuliaan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al ‘izzah bermakna al syarof wa al man’ah (kemuliaan dan kekuatan). Kemuliaan merupakan hasil dari sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan. Demikian halnya dengan ‘izzu al Islam wa al muslimin (kemuliaan dan kekuatan Islam dan kaum muslimin) bukanlah suatu hal yang mudah diraih. Semudah orang mengatakannya, semudah orang membolak-balikkan lidah dan nama itu sudah terucapkan. Namun ‘izzu al Islam wa al muslimin sebagai kata kerja merupakan proses panjang dan berkesinambungan yang memerlukan banyak tahapan dan kesepakatan. Alloh Swt. telah berfirman,“Padahal kekuatan itu hanya bagi Alloh, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al Munaafiquun:8)

            Dari pengertian ini kita hendaknya sepakat, menyatukan persepsi, yang semula mungkin tidak seluruhnya sama, tentang apa dan bagaimana ‘izzu al Islam wa al muslimin. Bahwa kemuliaan dan kekuatan itu hanyalah bagi Alloh Swt., bagi Rosululloh saw. dan kaum muslimin. Maka kembalikanlah makna kemuliaan dan kekuatan itu juga pada ajaran Alloh Swt. yang disampaikan melalui Rosu-Nya dan menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh kaum muslimin.

 

Manhaj Individu dan Masyarakat

            Langkah awal kenabian adalah dakwah yang menyentuh manhaj (metode) pembinaan individu. Dimana baginda Nabi saw. memulai mendakwahkan ajarannya kepada istri, keponakan, sahabat karib, dan kemudian kepada beberapa sanak keluarga serta sahabat beliau yang lain. Ketika setiap individu dengan kelengkapan hidup yang meliputi raga, ras, rasio dan rukun tersebut mulai bergerak ke satu titik, membentuk pola pikir dan prilaku yang sama sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (tawhid al fikroh), Maka rukun atau hidup sosial yang dilakukan dengan sesama individu secara harmonis, damai dan saling melengkapi (al shuhbah) itupun berjalan sebagai fungsi perangkat (al tathbiq) yang dapat mempengaruhi individu lain untuk membentuk suatu kelompok sosial dengan harapan dan tujuan (al hadf) yang telah menyesuaikan diri dalam norma dan tata nilai kelompok tersebut (tatsqif al jama’ah). Disinilah kemudian terbangunnya masyarakat Islam yang memiliki kemuliaan dan kekuatan mempesona.  

Prinsip-prinsip ajaran yang dibawa oleh Rosululloh saw. tak lepas dari tiga hal sebagaimana telah dijelaskan Al Qur’an,“Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus diantara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatanag Rosul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imron : 164)

Abdulloh bin ‘Abbas ra., bercerita, ketika suatu hari ia berada di belakang Nabi saw. bersama para sahabat yang lain, beliau bersabda, “Wahai anak muda, aku hendak mengajarimu beberapa kata; jagalah Alloh, makaDia akan menjagamu; jagalah Alloh, maka kamu akan menjumpai-Nya memberi jalan terang padamu; jika ingin meminta (sesuatu), mintalah kepada Alloh; dan jika ingin memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh…” (HR. Tirmidzi)

Kata demi kata, pelan dan mantap disampaikan oleh Nabi saw. sebagai nasihat. Bila kita mengikatnya menjadi suatu keyakinan, pengertian, dan kesadaran diri, maka ini akan menjadi aqidah yang kokoh tersimpan di balik dada seorang muslim.

Ketika aqidah dijalani dengan baik, teratur, sebagaimana sabda Nabi saw., “ihfadhilllaha yahfadhka,” (jagalah Alloh, maka Dia akan menjagamu), menjaga segala perintah Alloh, larangan-Nya, dan batasan-batasan serta setiap hak-Nya. Maka sebenarnya kita telah melaksanakan syariat-Nya.

Menjaga segala perintah artinya melaksanakan segala perintah Alloh dan Rosul-Nya, seperti sholat yang lima waktu, puasa di bulan Romadlon, membayar zakat, berhaji ke baitulloh, dan lain sebagainya. Menjaga segala larangan artinya menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Alloh dan Rosul-Nya, seperti kufur, membunuh, berzina, mencuri, berjudi, dan seterusnya. Siapa yang mampu menjalaninya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan, maka Alloh Swt. membanggakan dan memuji, serta menempatkannya sebagai golongan awwabin (orang-orang yang selalu kembali kepada Alloh) dan hafidzin (orang-orang yang selalu memelihara syariat). Dimana isinilah letak keimanan itu berada.

Dengan bahasa pendekatan tersebut, hubungan interpersonal yang terbangun dalam satu kebersamaan akan lebih berfungsi sebagai model peranan. Selanjutnya, dengan model itu setiap orang harus melakukan perannya sesuai dengan pola dasar pembinaan (mabda’ al tau’iyah) yang menjadi norma dan tata nilai bagi sebuah masyarakat idaman. Hubungan interpersonal yang dipraktekkan Nabi saw. bersama para sahabat dapat berkembang baik, karena setiap individu di masa yang penuh keteladanan itu bertindak sesuai dengan ekspedisi peranan dan tuntutan peranan, memiliki keterampilan peranan dan terhindar dari konflik peranan serta kerancuan peranan. Kita tahu, begitu tepat dan bijaknya Rosululloh saw. di dalam memberi setiap pesan perintah kepada para sahabat sesuai dengan karakter individu yang dimiliki mereka. Hubungan interpersonal yang terbangun tidak bersifat statis dan kaku, tetapi selalu berubah, dinamis dan penuh kreatifitas. Dipelihara dan diperteguh dengan perubahan (al tajdid) yang memberikan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (al ta’adul). Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan itu. Pertama keakraban (al tawadud), kedua kontrol (al ta’awun), ketiga respons yang tepat (al talathuf), dan keempat nada emosional yang tepat (al tarahum). Dari keselarasan yang dihasilkan empat faktor tersebut, setiap konflik yang muncul akan diselesaikan dengan baik dan bijaksana, tanpa harus mengalahkan kepentingan bersama, apalagi sampai memutus rasa persaudaraan sesama muslim.

            Dengan ‘aqidah yang membangun kesatuan pemikiran (tawhid al fikroh), pembinaan umatpun dimulai. Sejak awal umat telah dikenalkan kepada Alloh Swt. dan ditanamkan pula kebenaran syariat Islam sebagai satu-satunya ajaran yang layak untuk dipergunakan. Berangkat dari ‘aqidah yang menancap kuat (‘aqidah rosikhoh) inilah akan muncul kemudian pribadi-pribdai yang tangguh, yang bertingkah laku sesuai dengan akhlak Islam, dan dihiasi dengan tutur kata yang baik serta amal saleh sebagai hasil dari bentuk pembinaan tazkiyah. Kemudian dari dua pembinaan tersebut disempurnakan lagi dengan sistem pembinaan yang ketiga, yaitu tsaqofah. Pembinaan yang menambah wawasan keilmuan dalam upaya pengejewantahan Islam totalitas (kaffah) sesuai manhaj Al Kitab dan As Sunnah. Mengajarkan isi kandungannya sebagai disiplin ilmu, baik keagamaan maupun iptek, seperti tafsir, hadits, ushul fiqhi, bahasa (lughoh), ekonomi (iqtishodi), politik (siyasah) dan lain sebagainya.         

Kemuliaan dan kekuatan yang kita cita-citakan bukanlah dinilai dari sisi besarnya jumlah (kuantitas) semata, atau dari sisi kekuatan dan kestabilan ekonomi saja. Namun kemulian dan kekuatan Islam yang menjadi milik kaum muslimin itu ‘dilahirkan’ dari sekian banyak ‘keringat’ yang berbentuk ikhtiar melalui perkataan-perkataan baik dan amal saleh. Maka pendidikan yang berorientasikan pembinaan terhadap generasi-generasi berikut (takwin al rijal) dengan mengedepankan hasil terbaik (kualitas) merupakan kunci dari pintu bangunan Islam nan mulia ini. Jangan sampai kita memahaminya dari manhaj selain Al Kitab dan As Sunnah, karena kebenaran yang diperoleh darinya masih akan menjadi tanda tanya besar di balik dada kita. Alloh Swt. berfirman, “Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Alloh.” (QS. An Nisaa’:139). []

 


May 13, 2020

Pemahaman Ikhlash dari Madrasah Ramadhan


بسم الله الرحمن الرحيم

Pemahaman Ikhlash

dari Madrasah Ramadhan

 

Firman Allah ta’alaa: “agar kalian bertaqwa” di akhir ayat tentang kewajiban puasa (QS al Baqarah:183) memberikan gambaran kepada kita bahwa puasa adalah madrasah taqwa. Setiap madrasah memiliki manhaj dan tentunya setiap manhaj memiliki landasan. Adalah sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa taqwa adalah manhaj kehidupan untuk meraih keridhoan Allah ta’alaa.

 

Taqwa mempunyai landasan yaitu Ikhlash seperti difirmankan Allah: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama....QS al Bayyinah:5, dan merupakan hal yang menjadikan setan berputus asa dari menyesatkan orang-orang yang ikhlash seperti difirmankan Allah: Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka"QS al Hijr:39-40.

Dan dari sudut pandang bahwa puasa –seperti diriwayatkan- sebagai pintu ibadah yang menjadikan orang yang sedang berpuasa merasa ringan menjalankan ibadah-ibadah yang lain seperti shalat, zakat, haji dll karena puasa terasa lebih berat bagi nafsu dan lebih terkait dengan penjernihannya, maka Rasulullah Saw menekankan tentang Ihklash dalam puasa dengan sabda beliau: “Barang siapa berpuasa ramadhan karena iman dan mencari pahala dari Allah maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Ahmad Bukhari Muslim dan Imam empat. Ini shahih). Imam al Khathib al Baghdadi menambahkan riwayat: “...dan dosa-dosa yang akan berlaku”, tetapi ini (dha’if)[1].

Bahasa karena iman memberikan isyarat  kewajiban ikhlash dalam beramal karena Allah, yakni bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan perintahNya[2] dan memenuhi seruanNya[3] karena Dialah satu-satunya Dzat Pemberi anugerah[4]. Sebaliknya adalah nifaq.

Bahasa Ihtisab atau mencari pahala dari Allah  memberikan isyarat keharusan ikhlash dalam mencari pahala dari Allah, yaitu keinginan mendapatkan manfaat akhirat dengan amal kebaikan. Sebaliknya adalah riya’ atau pamer, yaitu keinginan memperoleh manfaat dunia dengan amalan akhirat. Baik berharap secara langsung dari Allah atau dari manusia. Jadi ikhlash ada dua sebagaimana disebutkan.

 

Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan janji Allah terkait balasan ikhlash yang terdorong oleh puasa dengan firman Allah dalam hadits qudsi:Seluruh amal anak Adam adalah miliknya kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa itu milikKu dan Aku akan memberikan balasannya” (Diriwayatkan oleh al Khamsah/lima perowi hadits).

 

Ungkapan ini (  وأنا أجزي به ) menunjukkan kiranya tiada balasan yang lebih baik daripada balasan Allah kepada hambaNya yang berpuasa. Karena inilah dikatakan: “Barang siapa yang ikhlash karena Allah maka pasti menampak berkah jejak langkahnya”.

Memang demikian halnya, akan tetapi ikhlash sudah pasti memerlukan dalil (bukti) berupa senantiasa mau berkorban dalam segala jenis amalan disertai totalitas sabar, mushabarah, murabathah, ketabahan, ridho dengan pembagian dan kepastian sekaligus sekuat tenaga menjaga diri dari sepuluh hal:

 

1.                  Nifaq,  : Sebaliknya beramal karena Allah

2.        Riya’         : Sebaliknya Ikhlash mencari pahala

3.         Takhlith/Mencampur aduk : Sebaliknya Taqwa

4.        al Mann/Mengungkit-ungkit :

 Sebaliknya menyerahkan amal kepada Allah

5.        al Adzaa/Menyakiti :

 Sebaliknya membentengi   amal

6.        An Nadamah/Menyesali :

Sebaliknya meneguhkan hati

7.        al Ujub/Rumongso :

Sebaliknya mengingat anugerah hanya kepada Allah

8.     al Hasrah/Nelongso:

Sebaliknya mencari kebaikan

9.    At Tahawun/Meremehkan :

Sebaliknya mengagungkan taufiq

10.              Takut dicela manusia :

 Sebaliknya takut kepada Allah

 

Buah ikhlash adalah kelanggengan dan kesinambungan amal sebagai berkah penjagaan dan perawatan dari Allah sebagaimana dikatakan: “Segala sesuatu karena Allah pasti langgeng dan bersambung. Dan segala sesuatu yang bukan karena Allah maka akan terputus dan terpisah”. Allah berfirman: “...Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”QS Ar Ra’d:17.

 

Begitulah madrasah ramadhan yang memberikan bimbingan agar seluruh amalan kita, metode dan jalan yang ditempuh, berdiri di atas landasan ini. Inilah roh ketaqwaan yang menjadi syarat diterimanya ketaatan.Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa”QS al Maidah:27.

 

 

 

 

Ramadhan telah datang. Selamat atas kedatangannya

Sungguh beruntung orang yang berharap keberuntungan dan mengejarnya

Ramadhan madrasah petunjuk, ketaqwaan

dan kemuliaan. Segala kebaikan bisa didapatkan

Ya Allah, selamatkanlah kami untuk ramadhan dan selamatkanlah ramadhan untuk kami. Serahkanlah ia pada kami dengan diterima (sebagai amal sholeh). Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berpuasa dan menjalankan hak-haknya.

Walhamdu Lillaahi rabbil aalamiin

والله يتولى الجميع برعايته==

 

Referensi;

 

  1. Dzikroyaat wa Munaasabaat. Abuya As Sayyid al Walid
  2. Bustanul Waa’izhiin wa riyaadhussaami’in. Imam Ibnul Jauzi
  3. Raudhatuth thalibin wa umdatussalikin. Imam Ghazali.

 



[1] Al Jami’ As Shaghir 2/174

[2] QS al Hajj:32

[3] QS al Anfaal:24

[4] QS Yunus:58