May 24, 2022

Menuju Kesempurnaan Diri

 

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang sholeh, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali kepada Allah”. (QS. Al Isro’: 25)

Orang-orang sholeh yang di sebut dalam ayat ini adalah orang-orang yang sholeh jiwanya (Sholahun Nafsi). Dari kesholehan jiwa itu lalu terbentuk pula kesholehan segala ucapannya, perbuatannya dan sifatnya. Oleh karena itu barangsiapa tersaksikan melakukan amal-amal sholeh, yaitu amal yang berjalan diatas landasan syara’ dan sunnah-sunnah Nabi, maka ia patut dinyatakan sebagai orang yang sholeh jiwanya, dalam arti ia termasuk golongan orang-orang yang sholeh.

Dalam hal ini Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mensifati orang-orang sholeh yang tercermin dari karakter Ummah Qooimah:

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus: mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat); mereka beriman kepada Allah dan hari akhir; mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan mereka bersegera kepada pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh”. (QS. Ali Imran: 113-114)

Ketika amal sholeh menjadi indikasi (tanda) keshalehan diri, maka orang-orang shaleh berbeda-beda derajat kesalehannya sesuai dengan tingkat perbedaan amal-amal mereka sekaligus perbedaan kedudukan mereka menurut Tuhan yang bisa diketahui oleh Allah Subhanahu Wata’ala, berdasarkan hadits:

“Taqwa itu di sini”. (Rasulullah bersabda demikian seraya berisyarah pada dadanya tiga kali). (HR. Muslim lihat Hadits Arbain Nawawi nomor ke-35)

Untuk mencapai derajat keshalehan diri, mesti harus ada upaya muroqobah (mawas diri) semungkin-mungkinnya agar keshalehan diri terus stabil. Cara yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk mencapai keshalehan diri adalah (banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala) atau dalam kata lain katsrotul awbah (diambil dari lafadz. Al-awwabin).Ketika disebut bahwa sifat orang-orang shaleh adalah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka bersamaan dengan itu disebut pula salah satu Asmaul HusnaNya yang menunjukan akan banyaknya ampunanNya agar tercipta kesesuaian. Artinya, bahwa orang yang banyak kembali kepada Allah pasti harapan besar banyak diampuni.

Inilah yang membedakan antara kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan kembali kepada manusia.manakala seseorang bertambah banyak kembalinya kepada manusia, manusia akan memarahinya. Sementara seseorang bertambah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala maka Allah bertambah mengampuni kepadanya. Bahkan dibanding dengan kembalinya seseorang kepada Allah, ampunan Allah masih lebih luas. Oleh karena itu disebut dengan memakai lafadz (….) yang berarti untuk menguatkan pengharapan akan ampunan.

Dengan demikian ayat di atas mengandung dua hal yang mesti ada pada manusia untuk menyempurnakan dirinya, yaitu:

1.       Keshalaehan Diri (Sholahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat: (……)

2.   Upaya mencapai keshalehan dengan kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ishlahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat: (….)

Dari  sini selama untuk menyempurnakan dirinya manusia bermujaahadah dengan dua hal ini niscaya dengan dengan seizin Allah ia akan sampai cita-cita dan harapannya kepada derajat kesempurnaan. Dan bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk mereflesikan dua hal itu, utamanya bagi anggota Jama’ah Dakwah. 

Wallahu A’lam

May 19, 2022

,

Mujahadatun Nafsi

 

Mujaahadah adalah modal sukses disetiap medan perjuangan. Dengan kadar mujaahadah inilah dibedakan derajat orang orang muslim kelak disurga, mulai dari derajat ‘Usshooh (ahli maksiat), derajat Ashaabul Yamin, derajat Muqarrabin, sampai dengan derajat Abraar. Pada dasarnya mujaahadah adalah Mujaahadatun Nafsi (kesungguhan diri). Rosululloh saw bersabda:

Mujahid adalah orang yang ber-mujaahadatun Nafsi. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Mujaahadatun Nafsi bisa memberi spirit untuk mengegolkan aktivitas, meskipun berat. Sahabat Ummu Kultsum binti   Uqbah bin Abi Muaith hijrah dari Makkah ke Madinah dengan berjalan kaki. Begitu pun dengan Ummu Aiman. Ia berangkat hijrah tanpa bekal, walaupun setetes air minum. Meski dengan kondisi apa adanya, kedua sahabat wanita itu sukses di dalam aktivitasnya, karena keduanya telah mewujudkan di dalam jiwanya sikap Mujaahadatun Nafsi. Dalam hikmah disebutkan:

Dengan kadar apa yang Engkau bekerja keras, Engkau akan peroleh apa yang Engkau cita-citakan.

Dengan bekerja keras akan diperoleh keluhuran, dan barang siapa mencari keluhuran, maka ia terjaga di waktu malam.

Bagi seorang muslim, Mujaahadah Nafsi pertama yang mesti harus di lakukan adalah mengerjakan amal-amal wajib dan meninggalkan amal-amal yang dilarang, karena ini dasar daripada seorang muslim untuk memasuki surga, berdasarkan hadist:

Seorang Badui datang kepada Rosululloh saw, lalu berkata: "Ya Rosululloh, tunjukkanlah kepadaku amal yang jika aku kerjakan aku masuk surga." Beliau bersabda: "Kamu menyembah kepada Alloh seraya tidak menyekutukan sesuatu pun denganNya; kamu dirikan sholat maktubah(fardhu); kamu tunaikan zakat fardlu; dan kamu berpuasa ramadlan." Ia berkata: "Demi Dzat yang diriku berada di dalam kekuasaanNya, aku tidak akan menambah apapun atas ini selamanya dan aku tidak juga akan menguranginya."  Tatkala Baduwi berpaling, Nabi saw bersabda: "Barang siapa ingin melihat seseorang dari penduduk surga, maka hendaklah ia melihat orang ini." (HR. Muslim, jilid 1hal. 31)

Dalam hal (mengerjakan amal-amal wajib dan meninggalkan amal-amal yang dilarang), ada yang sifatnya individu, seperti sholat lima waktu, puasa, zakat, serta ada yang sifatnya jama'y seperti Iqaamatul Khilaafah berikut wasilah-wasilahnya. Sebagaimana amal individu tidak layak diabaikan maka tidak layak pula mengabaikan amal yang sifatnya jama'i.  Karena nilai dari amal jama'y tidak kurang dengan nilai dari amal individu. Bahkan di dalam kaidah fiqih disebutkan:

Amal yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain itu lebih afdhol daripada amal yang bermanfaat hanya untuk diri sendiri.

Dengan bergabung bersama Jamaah Dakwah berarti telah ada Mujaahadatun Nafsi untuk ikut memikirkan Iqaamatul Khilafah sekalipun masih dalam tahap mempersiapkan wasilah dan sekalipun berhukum fardhlu kifayah, tetapi ini tidak kalah dengan amal fardlu yang lain, mengingat dibalik itu ada usaha dan kerja untuk memikirkan nasib banyak orang, terlebih sedikit sekali orang yang punya pemikiran dan kemauan demikian pada saat ini. Imam Al Haromain berpendapat:

Bagi orang yang melakukan fardlu kifayah ada kelebihan atas fardlu ain karena orang yang melakukan fardlu kifayah berarti menggugurkan dosa dari banyak orang."

Setelah masuk Jamaah Dakwah, maka ada satu konsekuensi sikap Mujaahadatun Nafsi , yaitu memikirkan bagaimana Jamaah Dakwah berfungsi secara optimal. Untuk upaya ini, segala potensi (harta dan jiwa) dan keahlian harus disalurkan untuk memperkuat Jamaah Dakwah, dalam kondisi mansyath (giat) maupun kondisi makrah (enggan), sebagaimana dahulu dibaiatkan oleh Rosululloh saw kepada para sahabat.tidak selayaknya ada sikap Ajzun Nafsi (lemah diri) untuk ini, karena sikap itu bisa menimbulkan efek negatif yaitu pasif dan keloyoan. Dan kemandegan aktifitas Jamaah Dakwah akibat Ajzun Nafsi tentu tidak diharapkan. Rosululloh bersabda:

Berikanlah potensimu dan jangan kamu lemah diri. (HR. Abu Dawud, jilid II Hal.123)

Sementara Jamaah Dakwah telah mempunyai sarana-sarana dakwah baik material maupun non-material, maka sebagai bentuk pengejawantahan Mujaahadatun Nafsi, sarana itu mestinya dioptimalkan untuk mendayagunakan peran Jamaah Dakwah dalam kancah perjuangan pergerakan Islam di dunia, seiring dengan terlaksananya progam dan kegiatan yang esensial, seperti qiyamullail bersama, infaq fii sabilillah, pembinaan anggota, perekrutan kader baru, dan lain sebagainya.

Dengan Mujaahadatun Nafsi, mudah-mudahan diri yang bergabung dalam Jamaah dakwah ini mendapatkan ridlo Alloh Subhanahu wata'ala.

Wallohu A’lam

 

May 16, 2022

Hargamu Adalah Surga

 Allah tabaraka wata’aalaa berfirman:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...QS At Taubah:111.

Sesungguhnya dunia hanyalah titipan-titipan belaka sebagaimana dikatakan oleh Labid:

Tiadalah harta benda dan keluarga kecuali hanya titipan

Dan sudah pasti pada suatu hari titipan-titipan mesti dikembalikan

 Dunia tidak sebanding dengan diri seorang mukmin sebagai harga keimanannya yang merupakan sesuatu yang melekat dalam hati dan dibenarkan oleh amalan. Tidak pula sebanding dengan apa yang didapatkan seorang mukmin sebagai harga jihadnya yang didasari oleh keimanannya. Karena inilah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 1)      Dunia ini terlaknat (tidak ada artinya karena tidak diajuhkan dari rahmat Allah); terlaknat pula apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan segala sesuatu yang mengantarkannya serta orang alim dan orang yang berusaha jadi alim”(HR Turmudzi, Ibnu Majah dan Baihaqi)

2)      Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia dan isinya”(HR Turmudzi Nasa’i)

 Maha benar Allah yang berfirman: Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.QS al Ankabut:64.

 Jadi dunia dan segala yang ada di dalamnya berupa emas, perak, kedudukan, rumah-rumah dan istana-istana dll sama sekali tidak berhak mendapatkan setetes air mata karena semuanya ini tidak bisa memperlambat ajal manusia meski hanya sedetik saja. Sungguh telah dikatakan:

 Diriku yang memiliki banyak sesuatu pasti juga akan sirna

Lantas mengapa aku menangisi sesuatu yang musnah?

Imam Hasan al Bashri mengatakan: [Jangan jadikan selain surga sebagai harga untuk dirimu karena diri seorang mukmin itu mahal. (sayang) justru sebagian mereka menjualnya dengan harga murah]. Dalam pribahasa Makkah dikatakan: “Surga tidaklah gratis”

 Al Arif billaah As Sayyid Ahmad bin Idris al Maghribi mengatakan: [Seluruh upaya manusia demi dunia di dalamnya ada kesulitan dan kerepotan. Ia tidak mendapatkan keinginan kecuali dengan kepayahan. Dan (meski begitu) terkadang ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Seluruh upaya manusia demi akhirat begitu mudah dan sama sekali tidak terdapat kesulitan di dalamnya. Manusia bisa mendapatkan taman-taman, pepohonan dan sungai-sungai di surga. Maka betapa mudah usaha untuk akhirat dan betapa susah usaha-usaha demi dunia[1].]

Seorang muslim yang terbina tidak menyesalkan sesuatu yang sirna karena segala sesuatu dalam kehidupan ini akan sirna kecuali DzatNya subhaanahu wata’aalaa. Dan karena seorang yang menyesalkan dunianya adalah seperti anak kecil yang menangis karena kehilangan mainannya. Muslim yang terbina juga menyadari bahwa ia menjadi begitu remeh (rendah) sesuai kadar penyesalannya atas sesuatu yang sirna tersebut. Akan tetapi (semestinya) seorang muslim yang terbina menyesal dan bersedih atas keimanannya yang berkurang, kesalahan-kesalahan, dosa-dosa dan keteledorannya dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhannya. Sungguh masalahnya di sini adalah masalah nilai-nilai dan norma-norma. Masalah sikap-sikap dan risalah.

 Ini berbeda dengan orang-orang yang mencintai dan memilih kehidupan dunia. Merekalah yang disebutkan Allah dalam firmanNya: Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).”QS al Insan:27.

=والله يتولي الجميع برعايته=




[1] Al Iqdunnafiis fi Nazhmi Jawahiritadriis hal 167