Feb 6, 2014

Mewaspadai Kamuflase Syetan pada Perbuatan Manusia

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّيْ جَارٌ لَّكُمْ فَلَمَّا تَرَآءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّيْ بَرِىءٌ مِّنْكُمْ إِنِّيْ أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan ketika syetan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kalian pada hari ini, dan sesungguhnya aku ini adalah pelindung kalian.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syetan itu balik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya aku takut kepada Alloh. Dan Alloh sangat keras siksa-Nya.’” (QS. Al Anfaal: 48)

Analisis Ayat
 زَيَّنَ لَهُمُ artinya حَبَّبَ لَهُمْ (syetan menjadikan mereka memandang senang terhadap pekerjaan mereka dalam membangun rasa bermusuhan terhadap orang-orang mukmin dengan cara membisiki mereka).
نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ artinya رَجْعُ الْقَهْقَرِيُّ (merosot, mundur, kembali ke belakang).
     
Makna dan Penjelasana Ayat           
Alloh Swt. mengingatkan Rosul-Nya ketika syetan menjadikan orang-orang kafir memandang baik pekerjaan mereka yang bertentangan dengan agama Alloh Swt. dan menjadikan mereka memandang senang terhadap pekerjaan itu, serta membikin khayalan seolah-olah mereka tak akan terkalahkan karena banyaknya jumlah dan perlengkapan mereka, seraya berbisik, “Tidak seorang manusiapun yang dapat menang terhadap kalian pada hari ini, dan sesungguhnya aku ini adalah tetangga kalian.” Maksudnya adalah pembantu dan pelindung bagi mereka. Karena tetangga adalah orang yang memberikan rasa aman bagi orang lain di sekitarnya dari sesuatu yang membuat takut dan cemas. Ucapan tersebut merupakan majas perumpamaan tentang bisikan syetan tersebut.

Tatkala kedua belah pasukan muslimin dan kafir telah saling berhadapan, dan syetan melihat para malaikat di antara mereka, maka ia mundur kembali ke belakang seraya berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian dan dari apa yang telah kalian lakukan; sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat, “ Yakni terhadap tentara Alloh yang telah siap berperang diantara barisan kaum muslimin. Maksudnya syetan telah mengurungkan pekerjaannya membantu pasukan kafir dan merasa kehilangan siasat untuk mengalahkan pasukan muslimin yang dibantu oleh para malaikat. Ini adalah gambaran sikap syetan tatkala bersama orang-orang kafir di dunia, lalu bagaimana sikapnya ketika di akhirat nanti?

Syetan berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Alloh.” Ia berkata demikian karena telah melihat bantuan Alloh Swt. terhadap pasukan muslimin dengan datangnya bala tentara Alloh berupa para malaikat, dan ia merasa teramat takut terhadap mereka. Perkataan syetan, “Aku takut kepada Alloh.” Memiliki kemungkinan makna bahwa ia takut tertimpa sesuatu yang buruk bila harus berhadapan dengan para malaikat Alloh tersebut.


Perkataan syetan, “Dan Alloh sangat keras siksa-Nya.” Inilah sesungguhnya yang ia katakan dengan jujur, sedangkan perkataan dia, “Aku takut kepada Alloh” adalah dusta. Bila ia benar-benar merasa takut kepada Alloh, tentu ia akan menyembah dan mentaati-Nya dengan baik. Akan tetapi dalam hal ini syetan sebenarnya bermaksud menghindar dari kekalahan dalam peperangan tersebut.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada saat itu Iblis menyerupai Suroqoh bin Malik, seorang penyair dari suku Kinan, untuk mengelabui orang-orang kafir.

Kamuflase Syetan Sangat Beragam
            Bila di saat umat manusia masih bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam saja syetan telah cukup berani mengelabui mereka. Lalu bagaimana halnya di zaman ini, ketika kita telah ditinggal oleh beliau 15 abad lamanya. Tentu hal itu menjadi kekhawatiran yang cukup besar. Karena kebatilan semakin merajalela.

            Perbuatan batil memiliki bentuk yang buruk, sedangkan syetan menginginkan kebatilan tetap ada dan dilakukan manusia, oleh karena itu ia kemudian mencari siasat agar mereka memandang baik terhadap kebatilan tersebut, lalu syetan memulainya dari penyesatan ibadah. Ia berjanji pada dirinya sendiri seraya berkata:
لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الأَرْضِ ثُمَّ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan batil) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al Hijr :39)

            Termasuk bentuk pengelabuan seperti diatas adalah siasat syetan dalam mengubah nama perbuatan buruk atau durhaka dengan nama-nama yang menarik dan disukai oleh nafsu manusia. Syetanlah yang menyebut pohon ‘terlarang’ sebagai pohon ‘keabadian’ (QS. Thoha : 120), khamr atau minuman keras sebagai sumber kesenangan, riba sebagai bunga dan keuntungan, tabarruj (berhias melebihi batas) sebagai hak asasi dan kebebasan perempuan, ikhtilat (pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan) sebagai trend dan modernitas, nyanyian sebagai kesenian, pemeran film atau drama sebagai bintang dan pahlawan.

            Peristiwa pengelabuan syetan terhadap manusia dalam ayat di atas harus menjadi peringatan yang cukup keras bagi kita semua. Kewaspadaan terhadap kamuflase yang dilakukan musuh Alloh tersebut adalah tugas bersama kaum muslimin. Terutama siasat pengelabuan yang dilakukan syetan pada perbuatan manusia. Tak jarang kita melihat seseorang mudah mengatakan kalimat yang baik hanya sebagai pemanis bibir saja, sekedar klise, dan tak memberi makna terdalam bagi yang mendengarnya.      

            Dalam realitas hidup kita dapat menghubungkannya dengan ucapan orang non-muslim yang seringkali meniru atau mengutip ucapan orang Islam. Seorang kafir misalkan, ia juga bisa mengucapkan “Assalamualaikum” dengan baik dan fasih. Pada salah satu sambutannya, presiden Amerika Serikat George W. Bush, juga pernah mengutip terjemahan ayat Al-Quran dengan ekspresi penuh penghayatan. Hal ini juga bisa dilakukan oleh orang fasik yang citranya di masyarakat dinilai buruk, seorang penyanyi dangdut misalkan, pemain film mesum, ahli maksiat, atau seorang cendikiawan muslim yang pemikirannya telah tercampuri ideologi dan pemikiran Barat dan sebagainya. Mereka dengan mudah mengucapkan kalimat yang identik dengan Islam dan kesalehan (contoh: Alhamdulillah, mudah-mudahan mendapat ridlo Alloh, ini kan demi mencari nafkah yang halal, ini kan takdir Alloh dsb.), serta mengemukakan gagasan atau permasalahan baru yang nyatanya ajaran Islam sendiri berlepas diri darinya, dan semua itu belum tentu mewakili kebenarannya. Semua orang mungkin juga bisa melakukan hal yang demikian. Namun, apakah yang diucapkannya terlahir dari kejujuran atau kesungguhan diri, sehingga memiliki makna yang dalam, berkesan, dan memberi pengaruh baik bagi pendengarnya. Disinilah kita harus waspada, teliti, dan hati-hati memikirkannya, penuh pertimbangan dan menghindari ketergesaan dalam menilai. Untuk itu Ibnu Qudamah telah berpesan kepada kita:
وَرُبَّمَا يَنْتَهِى الْعِلْمُ بِأَهْلِ الْعِلْمِ اِلَى أَنْ يَتَغَايَرُوا كَمَا يَتَغَايَرَ النِّسَآءُ
Dan mungkin ilmu terhenti menurut para cendikianya, sehingga ia dapat berubah (menurut kemaun mereka) seperti halnya wanita yang mudah berubah.”

            Kekhawatiran itu rasanya mulai terlihat di saat ini. Dimana manusia telah lebih memilih kecenderungan negatif dirinya daripada kecenderungan positif dalam berbuat sesuatu. Dalam melihat, mendengar, berkata, berpikir dan menggerakkan langkahnya. Semua itu menjadi penentu sikap kita.

Mengkaji Kembali Makna Kejujuran
            Makna kejujuran atau kesungguhan (ash shidq) harus kita kaji kembali, karena pemaknaannya saat ini tidak lagi sesuai dengan kemurniannya yang hakiki. Menurut Ibnu Qudamah, kata kejujuran atau kesungguhan hati pada umumnya digunakan dalam beberapa arti. Kejujuran atau kesungguhan diri dalam perkataan, niat dan keinginan, tekad dan pelaksanaannya, dalam perbuatan, serta maqam dalam agama (seperti khauf dan roja’, zuhud, ridlo, cinta, dan tawakal).

            Kejujuran atau kesungguhan yang ada pada diri seseorang akan memunculkan sikap menjaga ucapan, tidak berkata kecuali dengan jujur, memurnikan perbuatannya karena Alloh, melaksanakan tekad, memenuhi janji, menyeimbangkan antara lahir dan batin, dan terus bermujahadah mencapai maqam kemuliaan di sisi Alloh.  

            Pemaknaan kembali kejujuran atau kesungguhan diri akan membantu kita melihat dengan jernih setiap peristiwa yang ada, sehingga kita tidak mudah membenarkan sesuatu yang tidak jelas kebenarannya, atau menyalahkan sesuatu yang tidak jelas pula kesalahannya.

Tingkatkan Kewaspadaan 
            Kewaspadaan ini harus terus kita tingkatkan, karena saat zaman semakin akhir ancaman pengelabuan yang dilakukan oleh syetan dan musuh-musuh Islam yang bersekongkol dengannya juga semakin meningkat tajam. Demikian besar, licik dan kuat syetan mengelabui kita, membuat kamuflase yang menjebak perbuatan manusia agar terperangkap dalam kedustaan, kedurhakaan dan keburukan akhlak. Bahkan, jika bisa ia menginginkan umat manusia seluruhnya menjadi teman abadi di neraka.    Kewaspadaan kita sudah seharusnya ditingkatkan semaksimal mungkin hingga pada titik tersulit bagi syetan untuk menjangkaunya. Dan kewaspadaan paling sederhana yang bisa kita lakukan sejak saat ini adalah fasta’idz billahi minasy syaithonir rojim (meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan dan bisikan syetan yang terkutuk), lalu ditindaklanjuti dengan kewaspadaan yang lebih baik lagi setelahnya.       
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syetan, maka berlindunglah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 200).[]



Rambut dan Kuku Janabat Menjadi Api


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. Wb.
Kyai, saya ingin bertanya. Di lingkungan ana ada pemahaman bahwa orang yang junub sebelum sempat mandi janabat lalu rambutnya jatuh atau kukunya dipotong maka rambut dan kuku tersebut harus dicari, dikumpulkan, lalu disertakan dalam mandi janabat. Bila tidak, menurut pemahaman itu, rambut dan kuku tersebut kelak berubah menjadi api neraka. Apakah benar pemahaman tersebut? Bila benar, tidakkah hal ini akan menyulitkan umat? Mohon dijelaskan kedudukannya secara benar. Bila memang hukum memastikan demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali ana harus mengikutinya.
Jazakumullah.

Musthofa Alydrus, Jl Masjid At Taqwa 23 Telagamas Ampenan Utara Mataram NTB

Jawaban:

Pemahaman bahwa rambut orang junub yang jatuh dan kukunya yang dipotong harus dicari, dikumpulkan, lalu disertakan dalam mandi janabat (mandi untuk menghilangkan hadats besar) insya Allah berdasarkan pada hadits yang bunyinya sebagai berikut:

مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ (لَمْ يَغْسِلْهَا ) فُعِلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa meninggalkan satu tempat rambut dari janabat (tidak membasuhnya) maka dengan itu ia akan diperlakukan begini dan  begini dari api neraka (gambaran tentang beratnya balasan siksa di neraka) (HR Abu Daud jilid I hal 65 no. hadits 249,di dalam sanadnya terdapat Atho' binSaib).

Dalam hadits ini, perawi pertamanya adalah sahabat Ali bin Abi Thalib ra. yang karena hadits ini Beliau senantiasa gundul (memotong pendek) rambutnya karena takut jika air tidak dapat sampai pada pangkal rambutnya (ushuulus sya'ar) ketika mandi janabat. Hal yang perlu diperhatikan disini adalah kata-kata tempat rambut atau pangkal rambut, bukan ditujukan pada rambutnya. Ummu Salamah diperintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika mandi besar untuk tidak usah melepas gelungnya. (Bulughul Maram no. hadits 131). Madzhab Syafi'i sendiri berpendapat wajib sampainya air ke pangkal rambut. Sedangkan, hadits yang memerintahkan membasuh seluruh rambut yang teksnya berbunyi :

اِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً فَاغْسِلُوْا الشَّعْرَ وَاَنْقُوْا اْلبَشَرَ


"Sesungguhnya di bawah tiap-tiap rambut ada janabat maka basuhlah seluruh rambut dan bersihkanlah kulit". Menurut ittifaq ulama, hadits ini dhoif, karena di dalam sanadnya terdapat Harts bin Wajih, ia munkar haditsnya. (lihat Abu Daud jilid I hal 65 no. hadits 248 dan Bulughul Maram no. hadits 134).

Sementara itu, Imam Atho' (generasi tabi'in) dalam Shahih Al Bukhari Sindy Jilid I  hal 62 berpendapat bahwa orang yang junub boleh berbekam (canduk), boleh memotong kukunya, dan boleh pula memotong rambutnya sekalipun orang yang junub tersebut belum berwudlu.

Jadi, tidak perlu mencari rambut yang rontoh ketika mandi janabat kemudian dikumpulkan jadi satu dan dibasuh bersama-sama. Akan kerepotan sekali jika rambut yang rontok ketika mandi janabat tersebut jatuh dan tidak tahu tempatnya. Semoga bermanfaat.[]