Sep 28, 2011

Sep 27, 2011

Haid Membaca Alqur’an

Pertanyaan:

Setiap kali saya mendampingi adik-adik program TQQ (Ta’lim Qira’ah Al Qur’an) di kampus kami selalu ada pertanyaan klasik seputar boleh dan tidak bolehnya saat haid memegang dan membaca Al Qur’an. Yang saya tanyakan:

1. Bagaimana hukumnya orang yang memegang dan membaca Al Qur’an dalam keadaan haid?
2. Jika tidak boleh, apa alasan-alasan (dalil) yang menjadi dasarnya?
3. Jika boleh, apa pula alasan-alasan (dalil) yang menjadi dasarnya?

Atas jawaban pengasuh Fas’alu, saya ucapkan jazakumullah khairan katsira

Anna Rofiatin, Ketintang Baru XI/10A Surabaya

Jawaban:

1. Demi kemuliaan Al Qur’an, Ijma’/konsensus ulama menyatakan haid menjadi penghalang wanita menyentuh atau memegang mushaf Al Qur’an. Dalil atas konsensus tersebut adalah firman Allah Ta’ala:
لاَ يَمَسُّهُ اِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang suci (QS Al Waqiah: 79)

Dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لاَ يَمَسُّ اْلقُرْأَنَ اِلاَّ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci (HR Nasa’i, Abu Dawud, Malik, Thobarani, dan Al Hakim)

Haid menurut mereka juga menjadi penghalang wanita membaca AlQur’an, berdasarkan pada nash:

لاَ تَقْرَأُ اْلحَائِضُ وَلاَ اْلجُنُوْبُ شَيْـأً مِنَ اْلقُرْأَنِ
Wanita yang haid tidak boleh membaca sesuatupun dari Al Qur’an, tidak pula orang yang junub (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi).

2. Lain dari itu, Imam Bukhari berkecenderungan memperbolehkan wanita yang haid membaca Al Qur’an, seraya mengutip pendapat Ibrahim An Nakho’i, “Tidak berdosa wanita haid membaca ayat AlQur’an.” Hal ini didasarkan pada nash:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ فِى كُلِّ اَحْيَانِهِ
Rasulullah senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap waktu-waktunya (Lihat Shohih Al Bukhori, Sindy I/65)

Kecenderungan Imam Al Bukhari ini, menurut Imam Al Munawi dan Al Hafidz Ibnu Hajar, di samping karena hadits-hadits dalam masalah ini tidak tampak satupun yang shahih, hadits-hadits tersebut juga masih memungkinkan munculnya interpretasi yang lain. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi I:412 dan Fiqih As Sunnah I:59)
3. Imam Malik diceritakan pernah mengatakan bahwa wanita haid boleh membaca AlQur’an karena jika tidak membaca dia bisa terlupakan, sementara masa haid bisa berlangsung lama (menurut penelitian Imam Asy Syafi’i masa haid bisa mencapai setengah bulan). (Lihat Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud I:384 dan Tuhfatul Ahwadzi I:410)
4. Pada waktu-waktu tertentu yang terbilang darurat dan atau hajat, wanita yang haid diperbolehkan membaca AlQur’an, umpamanya pada waktu berdo’a, berdzikir, berniat ta’lim, mengawali sesuatu, dan sebagainya. (Lihat Al Fiqhul Islami I:384)

Status Darah sebelum Melahirkan

Pertanyaan:

Sebelum melahirkan wanita biasanya mengeluarkan darah. Apakah status darah tersebut?

Akhowat, Pujon Malang

Jawaban:

Semua ulama sepakat bahwa darah yang keluar setelah melahirkan (Wiladah) adalah darah Nifas. Sementara darah yang keluar beserta melahirkan atau saat merasakan sakit akan melahirkan (Tholq) maka menurut Madzhab Syafi’i dan sebagian Hanafi bukan termasuk darah haid dan juga bukan termasuk darah nifas. Imam Syarqowi dalam Hasyiyah Tahrir menyebut bahwa darah ini termasuk darah Fasad. Dalam Bughyatul Mustarsyidin/32 disebutkan: “Darah yang keluar dari wanita hamil sebab melahirkan sebelum bayi terlahir disebut Tholq dan hukumnya adalah seperti darah Istihadhoh yang berarti wajib dibalut, bersuci dan melakukan shalat dan tidak haram baginya segala hal yang diharamkan bagi wanita haid meskipun itu bersenggama (Hasyiyah Syarqowi 1/158). Sedang madzhab Maliki dan Hambali menganggap bahwa darah tersebut termasuk darah Nifas, artinya ketika seorang wanita yang akan melahirkan telah mengeluarkan darah maka saat itulah ia tidak berkewajiban shalat dll.

Sep 14, 2011

Haram Memberikan Loyalitas Kepada Orang-Orang Kafir

Seri Tafsir Tematik:

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكاَفِرِيْنَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقَاةً, وَيُحَذِّرُكُمُ الله نَفْسَهُ. وَإِلَى الله الْمَصِيْرُ (سورة أل عمران :28)

“Janganlah orang-orang mukmin mengangkat orang-orang kafir sebagai wali (teman setia, pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin; dan barangsiapa berbuat demikian, berarti lepaslah dia dari (pertolongan )Alloh, kecuali kamu (bersiasat) memelihara diri (terhadap) sesuatu yang ditakuti dari mereka; dan Alloh memperingatkan kamu (dengan siksaan) dan dari diri-Nya; dan kepada Alloh-lah tempat kembali.” (QS Ali Imran :28)


Analisis Ayat:

Lafadz أولياء , adalah bentuk jamak dari lafadz وَلِيٌّ menurut bahasa berarti an-Naashir ( penolong) dan al-Mu’iin ( yang menolong). (Lihat Ayatul Ahkam I:397). Juga berarti al-muhibb (yang mencintai), atau ash-shadiiq ( teman karib atau sahabat setia), atau al-jaar ( tetangga dekat), atau al-haliif ( sekutu), atau at-taabi’ ( pengikut setia).

Lafadz تقاة bentuk jamak dari تُقًى yang berarti bertakwa atau takut. Sedangkan maksudnya di sini adalah at-Taqiyyah yang berarti pura-pura bersikap luwes/supel kepada manusia karena takut dari kejahatannya. Menurut Ibnu Abbas, at-Taqiyyah adalah bersikap luwes/supel (al-mudaarah) secara dhahiriyyah tanpa meninggalkan prinsip. Kadang-kadang umat Islam yang berada di tengah-tengah orang-orang kafir, mereka menjaga dirinya dari kejahatan orang-orang kafir dengan lisannya, sementara dalam hatinya tidak ada kasih-sayang atau cenderung kepada mereka.(Lihat Ayatul Ahkam I:398).

Berkaitan dengan firman Alloh swt:إلا أن تتقوا منهم تقاة “Kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”, maksudnya, kecuali bagi orang-orang yang berada di suatu negeri dan pada waktu tertentu, merasa takut terhadap kejahatan orang-orang kafir, maka baginya diperbolehkan bersiasat kepada mereka secara lahirnya saja, bukan secara batin dan niatnya. Sebagaimana Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Darda’ ra, ia berkata:”sesungguhnya kami menampakkan wajah cerah kepada beberapa orang kafir, sedang hati kami melaknat mereka.” (Ibnu Katsir I:365). Sedangkan menurut Ats-Tsauri dari Ibnu Abbas berkata:”Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu bukan dengan amal, melainkan dengan lisan.” Demikian juga menurut al-Aufi dari Ibnu Abbas ra bahwa taqiyyah itu dengan lisan. Hal yang sama juga dikatakan oleh Abul ‘Aliyah, Abu Sya’tsa’, Ad-Dhahhak dan Ar-Rabi’ bin Anas.

Pendapat mereka diperkuat dengan firman-Nya:
من كفر بالله من بعد إيمانه إلاّ من أكْرِهَ وقلبه مطمئنّ بالايمان

“Barangsiapa kafir kepada Alloh swt sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS An-Nisa’:106)

Imam Bukhari berkata dari al-Hasan berkata:”Taqiyyah itu berlaku sampai Hari Kiamat kelak.” Jadi taqiyyah dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan gangguan fisik dan jiwa dari orang-orang kafir, sementara hati tetap beriman kepada Alloh swt. Hal ini juga pernah dilakukan oleh sahabat Amr bin Yasir ra ketika disiksa oleh orang-orang musyrik Mekkah untuk mengakui tuhan-tuhan mereka dan keluar dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Akibat keras dan beratnya siksaan orang-orang musyrik Mekkah, terpaksa Amr bin Yasir ra mengucapkan kata-kata kufur, sementara hatinya tetap beriman kepada Alloh swt dan Rasul-Nya.

Asbabun Nuzul:

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang beriman yang mempunyai sahabat/teman dekat dari kalangan orang-orang Yahudi, maka berkata sebagian sahabat Nabi saw kepada mereka:”Jauhilah mereka orang-orang Yahudi dan berhati-hatilah menjalin persahabatan dengan mereka agar mereka tidak menimpakan fitnah terhadap agama kamu dan tidak menyesatkan kamu setelah kamu beriman kepada Alloh swt.” Tetapi mereka ( beberapa kaum muslimin) menolak nasehat tersebut dan mereka tetap bersahabat dengan orang-orang Yahudi.Maka turunlah ayat tersebut di atas.( Jaami’ul Bayan Li-Thabary III:228, yang dinukil oleh Ali Ash-Shabuni I:399). Menurut Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya dari Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sahabat Ubadah bin Shamit ra-shahabat Anshar yang ikut perang Badar-yang kebetulan mempunyai beberapa sahabat dari kalangan orang-orang Yahudi. Pada saat perang al-Ahzab, Nabi saw keluar dan Ubadah berkata kepada beliau saw:”Ya Nabi Alloh! Sesungguhnya beserta saya lima ratus orang Yahudi. Dan aku menganggap perlu kalau mereka itu keluar bersamaku untuk menghadapi musuh.” Maka Alloh swt menurunkan ayat tersebut di atas.


Sedangkan menurut Ibnu Jarir dari Sa’ad atau Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’ab bin al-Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum muslimin dari kalangan Anshar untuk memalingkan mereka dari agama Islam. Rifa’ah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair serta Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata:”Berhati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan dari agama kalian”. Mereka menolak peringatan itu. Maka Alloh menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung orang-orang beriman.

Penjelasan Ayat:

Berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata:” Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali (penolong, teman setia, pemimpin) dengan mengabaikan orang-orang yang beriman. Selanjutnya Alloh swt mengancam perbuatan seperti itu, yaitu barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari (pertolongan) Alloh swt.”(Ibnu Katsir I:365).

Sedangkan Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya berkata:”Sesungguhnya tidak akan berkumpul dalam hati seorang manusia suatu iman yang sebenar-benarnya kepada Alloh swt apabila mereka menjadikan musuh-musuh Alloh sebagai wali (pemimpin, teman setia). Padahal musuh-musuh Alloh itu telah berpaling dari atau membelakangi seruan untuk berhukum kepada kitab Alloh swt. Oleh karena itu, datanglah ancaman keras ini sekaligus sebagai ketetapan yang pasti bahwa seorang muslim telah keluar dari Islam jika dia menjadikan orang yang tidak ridha menjadikan kitab Alloh sebagai pengatur dalam kehidupan sebagai wali, baik kewalian itu dengan kecintaan hati dan dengan membantunya, ataupun meminta pertolongan kepadanya.” Lebih lanjut Sayyid Qutub berkata:”Ia lepas dari pertolongan Alloh, tidak ada dalam perhitungan Alloh sedikitpun, tidak ada hubungan dan penisbatan, baik agama maupun akidah, tidak ada ikatan dan kewalian. Ia telah jauh dari Alloh dan terputus hubungannya secara total dalam segala sesuatu.”

Berdasarkan ayat tersebut di atas, Allah hanya memberikan kemurahan jika mereka melakukan itu karena siasat memelihara diri terhadap orang yang ditakutinya dalam suatu negeri atau waktu tertentu. Akan tetapi, itu hanya pemeliharaan diri dalam bentuk ucapan lisan, bukan perwalian dalam hati dan amal perbuatan. Sebagaimana Ibnu Abbas ra pernah berkata:

لَيْسَ التَّقِيَّةُ بِالْعَمَلِ, إِنَّمَا التَّقِيَّةَ بِاللِّسَانِ
“Tidak ada taqiyyah (siasat pemeliharaan diri) dengan amal, sesungguhnya taqiyyah itu adalah dengan lisan.”


Taqiyyah yang diperkenankan itu bukan dengan menjalin kasih sayang antara orang-orang mukmin dengan orang kafir. Karena orang kafir itu tidak ridha kalau kitab Alloh dijadikan pemutus perkara atau pedoman dalam kehidupan. Taqiyyah, yang diperbolehkan juga bukan dengan membantu orang kafir dengan amalan nyata dalam suatu bentuk tertentu atas nama taqiyyah. Jadi taqiyyah hanya diperbolehkan, ketika kondisi sangat memaksa hingga mengancam keselamatan jiwa. Dan itupun dilakukan dengan ucapan lisan, sementara hati tetap mengimani Alloh swt dan Rasul-Nya serta mengingkari ajaran orang-orang kafir.

Yang perlu diketahui bahwa taqiyyah itu hanya merupakan rukhshah (keringanan/kemurahan/dispensasi) dari Alloh swt, bukan kewajiban. Bahkan orang mukmin yang meninggalkan cara seperti itu lebih afdhal. Dan taqiyyah itupun boleh dilakukan oleh seorang muslim jika kondisinya benar-benar mengancam keselamatan jiwa dan raga. Sementara jika kondisinya dalam keadaan normal, tidak ada tekanan dari orang-orang kafir secara fisik, maka melakukan taqiyyah diharamkan oleh agama.

Adapun orang-orang kafir menurut pandangan Islam adalah setiap orang yang tidak memeluk agama Islam, tidak mengimani Alloh swt sebagai satu-satunya Dzat yang disembah, ditaati dan ditunduki segala aturan dan hukum-hukum-Nya, membuat sekutu bagi-Nya, mengingkari adanya berita-berita ghaib yang telah dikabarkan oleh Alloh swt dalam Al-Qur’an, tidak mengakui Muhammad saw sebagai hamba dan utusan-Nya yang terakhir, tidak mengimani ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh dan menolak Sunnah Rasul. Dan menurut pandangan Islam, kafir meliputi dua golongan, yaitu Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nashara) serta orang-orang musyrik ( agama yang konsep tauhidnya mengandung kesyirikan), misalnya Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Alloh swt berfirman:

إن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين في نار جهنم خالدين فيها.
أولئك هم شر البرية ( البينة :6)
“Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinat: 6)

Sedangkan kalangan Ahli Kitab menurut Ibnu Katsir dalam mengomentari Surat Ali Imran ayat 64 adalah orang-orang Yahudi dan Nashara serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka.(Ibnu Katsir I:379). Hal ini juga berdasarkan Surat Nabi saw yang dikirimkan kepada Raja Heraqlius, Romawi dengan panggilan “ Yaa Ahlal-Kitab” yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas , dari Abu Sufyan. Begitu juga ketika beliau saw mengirim surat dakwah kepada Gubernur Mesir, Muqauqis dengan panggilan “ Yaa Ahlal-Kitab”. Begitu juga ketika Ibnu Katsir mengomentari Surat Ali Imran ayat 65, bahwa lafadz “ Ahlul Kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nashara. Sedangkan kekufuran dalam bentuk ideologi, misalnya Kapitalis-Liberalisme dan Sosialis-Komunis. Orang-orang yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip tersebut termasuk dalam kategori kafir.

Berkaitan dengan haramnya mengangkat orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin, teman setia dan penolong bagi umat Islam ditegaskan oleh Alloh swt dalam ayat yang lain:

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض. ومن يتولهم منكم فإنه منهم ( المائدة :51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”(QS Al-Maidah:51)

Menurut As-Suddi berkata:”Bahwa ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang salah satunya berkata kepada yang lain, yaitu setelah Perang Uhud:’Adapun aku, sesungguhnya akan pergi kepada orang-orang Yahudi dan berlindung kepadanya serta memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan akan bermanfaat bagiku jika terjadi sesuatu. Sedangkan yang lain berkata:’Adapun aku, akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nashara di Syam, lalu aku berlindung kepadanya dan memeluk agama Nasrani bersamanya’. Lalu turunlah ayat tersebut. Sedangkan menurut Muhammad bin Ishaq bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Ubadah bin Shamit ketika terjadi peperangan dengan Yahudi Bani Qainuqa, sementara Abdullah bin Ubay berpihak kepada orang-orang Yahudi. Sedangkan Ubadah bin Shamit ketika masih terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Lalu Ubadah bin Shamit menyuruh Bani Auf menghadap Rasulullah saw dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk selanjutnya menuju kepada Alloh swt dan Rasul-Nya.(Ibnu Katsir II:71)

Berkaitan dengan ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:”Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya.” (Ibnu Katsir II:70). Dan Alloh swt menjanjikan bagi mereka yang melakukan perbuatan itu dengan ancaman siksaan yang pedih, akan terjadinya fitnah bagi agama dan umatnya serta kerusakan di muka bumi.

بشر المنافقين بأنّ لهم عذابا أليما. الذين يتخذون الكافرين أولياء من دون المؤمنين. أيبتغون عندهم العزة فإن العزة لله جميعا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kemuliaan kepunyaan Alloh swt.”(QS An-Nisa’:138-139)

والذين كفروا بعضهم أولياء بعض إلا تفعلوه تكن فتنة في الارض وفساد كبير

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu ( kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Alloh swt itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Anfal:73)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا عدوى وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بماجاء كم من الحق ( الممتحنة:1)
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil wali (pemimpin) dari musuh-Ku dan musuhmu, yang kamu menjatuhkan rasa kasih sayang kepada mereka itu; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu” (QS Al-Mumtahanah:1)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبالا ودّزا ما عنتّم قد بدت البغضاء من أفواههم وما تخفى صدورهم أكبر
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka itu tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagi kamu.Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi” (QS Ali Imran:118).

Lafadz بطانة berarti orang dekat yang dapat mengetahui urusan dalam, atau pembantu terdekat atau tangan kanan. Dalam ayat ini, Alloh swt melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang munafik, orang-orang kafir sebagai pembantu dekat/tangan kanan atau orang kepercayaan. Hal itu disebabkan karena mereka lebih banyak menimbulkan madharat dan menjerumuskan orang-orang Islam dalam bahaya dan kehancuran. Imam Bukhari dan An-Nasaiy meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَا بَعَثَ الله مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ , وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالسُّوْءِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ, وَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَهُ الله

“Alloh tidak mengutus seorang Nabi dan tidak juga mengangkat seorang khalifah pun melainkan ia memiliki dua orang pembantu kepercayaan (orang terdekat/tangan kanan); yang pertama menyuruh dan menekankan untuk berbuat baik. Dan yang kedua menyuruh untuk berbuat kejahatan. Hanya orang yang dipelihara oleh Alloh sajalah yang selalu terhindar dari kesalahan dan dosa”
(HR Bukhari dan An-Nasaiy).

Dalam mengomentari ayat tersebut, Ibnu Katsir berkata:”Alloh swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang munafik sebagai teman kepercayaan. Yakni karena mereka akan membuka rahasia dan segala yang tersembunyi untuk memusuhi orang-orang Islam. Dan orang-orang munafik itu dengan segenap daya dan kekuatannya tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi orang-orang yang beriman. Yakni selalu berusaha keras untuk menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya dengan segala cara, serta melakukan berbagai tipu muslihat yang dapat dilakukan.”( Ibnu Katsir I: 406)

لا تجدوا قوما يؤمنون بالله واليوم الاخر يوادّون من حادّ الله ورسوله
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan Hari Kiamat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rasul-Nya.” (QS Al-Mujadalah:22)

يا أيها الذين أمنوا لا تتخذوا الذين اتخذوا دينكم هزوا ولعبا من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم والكفار أولياء. واتقوا الله إن كنتم مؤمنين
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpin kamu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Al-Kitab sebelum kamu, dan orang-orang kafir .Dan bertakwalah kepada Alloh jika kamu benar-benar beriman.”(QS Al-Maidah :57)

Yang demikian itu merupakan peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung kepada musuh-musuh Islam dan sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin yang menjadikan syariat Islam yang suci sebagai bahan ejekan dan permainan menurut keyakinan dan pandangan mereka yang rusak dan fikiran mereka yang beku.

Adapun meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Madzhab Maliki berpendapat bahwa minta bantuan orang kafir dalam peperangan tidak boleh, dengan mengambil dhahirnya ayat.Beliau beristidlal dari hadits Aisyah ra :Bahwa ada seorang pria dari kaum musyrikin yang cukup berani, datang kepada Nabi saw pada Perang Badar untuk minta idzin berperang bersama beliau, lalu Nabi saw bersabda:Kembalilah, aku tidak akan minta bantuan kepada orang musyrik. Sedangkan menurut Jumhur Ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyah) berpendapat bahwa minta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan itu dibolehkan dengan du syarat, yaitu (1).Jika sangat dibutuhkan, (2) Orang tersebut harus dapat dipercaya. Mereka mengambil dalil dari perbuatan Nabi saw yang pernah meminta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa dan memberi bagian ghanimah kepada mereka. Nabi saw juga pernah minta bantuan kepada Shafwan bin Umayah dalam peperangan Hawazin. ( Ayatul Ahkam I:402)

Sedangkan meminta bantuan kepada orang-orang kafir untuk menjadi tenaga administrasi bagi kepentingan umat islam, sebagian ulama membolehkan selama tidak membahayakan umat Islam. Syekh Ali Ash-Shabuni berkata:”Jika mengangkat orang kafir untuk urusan yang tidak membawa madharat bagi kaum muslimin, sebagaimana tidak menyalahi prinsip-prinsip agama, maka yang demikian itu dibolehkan. Tetapi jika membawa madharat, maka sama sekali tidak diperbolehkan”.

لَنَبُشُّ فِي وُجُوْهِ قَوْمٍ وَقُلُوْبُنَا تَلْعَنُهُمْ
“Sungguh kami akan senyum di hadapan wajah suatu kaum, sedangkan hati kami melaknatnya.”


Berdasarkan beberapa ayat di atas, diharamkannya orang-orang yang beriman mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang kafir, baik dari kalangan Ahlul Kitab atau orang-orang musyrik, disebabkan oleh beberapa alasan;(1). Mereka ( orang-orang kafir itu) menjadikan syariat Islam sebagai bahan ejekan dan permainan. (2). Mereka adalah orang-orang yang menentang Alloh swt dan Rasul-Nya. (3).Mereka tidak henti-hentinya menimbulkan mudharat dan kerusakan bagi umat Islam, kebencian yang ada dalam hati mereka, yang menyebabkan mereka senantiasa menjerumuskan umat Islam dalam kehancuran. Mereka senang jika umat Islam menemui bahaya dan kehancuran, sebaliknya sedih jika umat Islam menemukan kejayaan. (4). Mereka ingkar terhadap kebenaran yang datangnya dari Alloh swt mengenai akan datangnya Nabi dan Rasul akhir zaman yang diterangkan melalui kitab-kitab-Nya. (5). Agar umat Islam tidak berada dibawah kendali kekuasaan orang-orang kafir yang menentang dan tidak mengimani Alloh swt dan Rasul-Nya.
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
“Dan sekali-kali Alloh tidak menjadikan jalan orang-orang kafir menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisa’:140)[]