May 18, 2011

Kesiapan Umat Islam Menghadapi Musuh-Musuh Alloh

وَأَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَمِن رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِى عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ تَعْلَمُوْنَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al Anfaal : 60)

Analisis Ayat
رِبَاطِ الْخَيْلِ artinya kuda yang ditambatkan untuk berperang fi sabilillah.
تُرْهِبُوْنَ artinya تُخِيْفُوْنَ (kamu menggentarkan).

Makna dan Penjelasan
Ayat yang mulia di atas memotivasi umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan apapun yang dimilikinya sesuai dengan zaman dan keadaan dalam menghadapi setiap ancaman musuh Alloh, musuh Islam dan kaum muslimin. Disebutkan juga kuda pada zaman dahulu, karena binatang tersebut merupakan bagian dari jenis perlengkapan yang dipersiapkan untuk berperang, hingga kini pun perannya tetap menjadi penting dalam setiap keadaan. Hal itu semua merupakan kelengkapan kolektif. Kemudian zaman mengubah pedang, tombak dan panah yang semula sebagai senjata utama berkembang lebih canggih lagi dengan sentuhan teknologi mutakhir menjadi tank, pesawat tempur, bom nuklir, senjata kimia dan sebagainya.


Seluruh elemen Islam termasuk dalam seruan Ilahi, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” Gambaran kenyataan ini ditampilkan oleh Al Qur’an untuk menjelaskan kepada kita bahwa konsep mempersiapkan kekuatan dengan apapun yang dimiliki terus berlangsung sampai detik ini, tak lekang oleh waktu, dan tetap sesuai sampai kapanpun.

Kekuatan disini maknanya meliputi seluruh bentuk kekuatan yang ada. Ketika bencana penyakit jiwa telah tersebar dan kerusakan moral merajalela di mana-mana, kekuasaan dunia berada di tangan kaum kafir, dan kesesatan menjadi musuh kita secara nyata maupun maya. Maka menjadi jelaslah bahwa umat ini, umat Islam, umat yang menjadi penengah, umat pilihan, harus mempersiapkan segenap kekuatannya untuk menghadapi musuh-musuh Alloh. Kekuatan yang terbangun dari moral, materi, administrasi, kekayaan dan harta, dengan memotivasi semuanya menjadi pahala dan anugerah Alloh Swt. Mungkin inilah yang dimaksud sabda Rosululloh saw.

اَلآ انَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ – قَالَهَا ثَلاَثاً- اخرجه مسلم

“Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah anak panah.” (HR. Muslim)

Bukankah gambaran anak panah yang dilepas dari busurnya mengarah tepat pada sasarannya menjadi isyarat bagi kita akan keharusan terarahnya kekuatan yang kita miliki, baik moral, material, administrasi, kekayaan maupun harta kepada tujuan yang dihadapi sebagai penyerangan. Kekuatan yang terdiri dari kesiapan lahir berupa harta kekayaan yang diinfakkan fi sabilillah juga harus didukung dengan kesiapan batin berupa kekuatan ruhani yang menjadi motivator utama terhadap semua perbuatan kita. Tanpa kekuatan ruhani tak terbayangkan semua persiapan yang dimiliki akan menjadi berguna. Sebaliknya, kekuatan ruhani tanpa ada dukungan lahir tak akan sempurna. Oleh karena itu Alloh Swt. berfirman.

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُوْنَ

“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al Anfaal : 60)

Ghozwul Fikri, Anak Panah Yang Dilepas
Ada tiga agenda utama dalam perang pemikiran yang gencar dilepaskan oleh kalangan Barat (kafir) untuk menyerang jantung kekuatan umat Islam. Yaitu pemisahan agama dari kehidupan mereka (fashlud din ‘anil hayat), penyebaran paham materialis (an naf’iyah ad dunyawiyah), dan penggunaan logika tanpa batas (taskhirul ‘aqli fi ghoiri majaalihi). Padahal bila kita kembali kepada ajaran Islam yang indah dan mulia, akan dijelaskan di dalamnya bahwa sesungguhnya Alloh Swt. mencipatakan kehidupan ini sekaligus dengan menundukkannya pada suatu aturan tertentu yang tak boleh diubah. Firman Alloh Swt. di dalam Al Qur’an.

وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً

“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Alloh.” (QS. Al Ahzab : 62)

Kemudian di dalam aturan kehidupan itu Alloh menjadikan antara kebenaran dan kebatilan saling bertentangan, yang satu dan lainnya harus terpisah. Maka tak ada kebatilan yang mentolerir kebenaran, dan sebaliknya tak ada kebenaran yang mentolerir kebatilan, seperti siang dan malam, seperti putih dan hitam, keduanya berbeda. Pertentangan ini terus berlangsung, suatu saat berupa pemikiran, di saat yang lain berupa politik, dan bisa jadi menjadi tindakan militer yang siap memenggal setiap leher manusia. Hal itu bisa kita lihat pada lembaran-lembaran sejarah Rosululloh saw. Dimana beliau menentang kebatilan dengan dakwah Islam secara pemikiran, politik, dan juga materi.

Pertentangan ini terus berlangsung sampai zaman setelah Rosululloh saw. wafat. Dan sedang akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Bagaimana pertentangan ini akan bisa terhenti, bagaimana sunatulloh juga akan bisa terhenti? padahal umat Islam di masa lalu telah melakukan pertentangan terhadap musuh-musuh Alloh, musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tentu pertentangan ini akan terus berlangsung selama musuh-musuh kebenaran masih berdiri menantang. Dan kini tantangan itu berdiri di depan kita, umat Islam. Tantangan yang datangnya dari Barat dengan senjata kapitalisme dan sekulerisme mereka.

Arah Serangan Harus Tepat Sasaran
Ketika mereka, para penentang kebenaran menyerang umat Islam dengan konsep pemisahan agama dari kehidupannya. Kita sebelumnya harus paham bahwa pemikiran itu berasal dari kebudayaan Barat dan merupakan bagian dari cara pandang mereka terhadap kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa agama hanya ritual saja, simbol-simbol tertentu, ditujukan kepada individu dan bukan untuk masyarakat umum apalagi negara. Oleh karenanya kita melihat agama menurut pandangan Barat hanya menangani masalah-masalah tertentu seperti pernikahan, talak, peribadatan, dan beberapa urusan moralitas serta pegangan hidup pribadi saja, tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi, hukum, politik luar negeri, politik penegakan hukum (penguasa) dan sebagainya. Ini adalah pemahaman yang disodorkan kepada kaum muslimin tanpa harus melalui perantara orang-orang sekuler yang diselundupkan, tapi sedihnya justru ditawarkan dengan propaganda menipu serta retorika yang manis oleh sebagian da’i-da’i Islam, tokoh-tokoh di kalangan kita, sampai pada sebagian komunitas kaum muslimin sendiri yang ada di dalamnya. Seringkali kita mendengar perkataan mereka, “Uruslah diri kita sendiri, tinggalkan politik dan perbaiki saja iman kita. Umat ini tidak diperuntukkan berbicara tentang penegakan hukum syariat, tapi hanya perbaikan individu saja.” Atau, “Para generasi muda tidak usah menyibukkan diri dengan urusan ini, cukuplah mereka mencari ilmu saja,” demikian mereka menyebarluaskannya.

Untuk membalas serangan itu, kita harus mempertajam ‘anak panah’ pemikiran kita dan melepasnya dari ‘busur’ wawasan yang lentur dan luas. Langkah berikutnya kita harus mengarahkan umat ini, masyarakat Islam, dan para da’i yang termasuk di dalamnya kepada pemikiran Islam yang mencakupi semua masalah tersebut. Maka saudara kita yang menyeru kepada penegakan hukum secara individu saja, dan meninggalkan hukum-hukum yang berhubungan dengan umat dan masyarakat luas harus diingatkan kepada pemahaman bahwa Islam adalah agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Alloh memerintahkan kita agar mengambilnya secara sempurna. Firman Alloh Swt., “Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan.” (QS. Al Baqarah : 208)

Alloh Swt. juga melarang kita meniggalkan sebagian hukum-hukum-Nya, dan memisahkan antara perintah dan larangan-Nya. Firman Alloh Swt., “Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Alloh), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur’an itu terbagi-bagi. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (QS. Al Hijr : 90-93)

Dari ayat ini kita tahu bahwa tidak ada dasar yang melegalisasi pemisahan hukum-hukum Islam dan pengunggulan satu hukum atas hukum lainnya, serta penilaian rendah terhadap urgensitas suatu hukum yang ada kecuali terdapat dalil syar’i yang mengatakan demikian.

Karena itu kita tidak boleh menilai bahwa tiga poros pemikiran tersebut di atas hanya berlalu begitu saja di dalam pikiran kita, tanpa pengaruh yang signifikan. Sebab tiga konsep pemikiran itu telah ditanam dan ditebar dalam pelupuk mata umat. Dan bila dibiarkan yang akan terjadi adalah umat Islam akan mengikuti cara pandang mereka, sehingga tidak kembali kepada ajarannya yang mulia, namun terhanyut arus budaya kehidupan masyarakat Barat (kafir). Identitas umat Islam menjadi buram (mublawwaroh), tidak lagi murni karena bercampur dengan lainnya. Maka kewajiban kaum muslimin yang tidak boleh ditinggal adalah menghancurkan pemikiran musuh-musuh mereka dengan sekuat tenaga dan menggantinya dengan pemikiran dan hukum Islam yang mulia.

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِى وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Alloh dengan mulut (ucapan-ucapan mereka, dan Alloh tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS. Ash Shaff : 8)

Berdo'a dan Makanan Haram

Pertanyaan:

Bagaimana status doa orang yang makan barang haram. Diterima atau tidak. Dan bagaimana jika orang itu pergi haji dan berdoa di Multazam, apakah doanya diterima?

Lailatul Badriyah, Ds Jombok No 35 Ngantang Malang

Jawaban:

Makan makanan haram atau pun melakukan praktik kehidupan yang haram menjadi penghalang antara doa seseorang dengan Alloh subhanahu wata’ala, Dzat yang mengabulkan doa. Kecuali kalau usai makan haram itu sesegera bertaubat; mohon ampun dan menyesal, tampak penghalang itu terhapus kalau tidak hancur. Dengan begitu, doanya kepada Alloh subhanahu wata’ala akan menyusuri jalur yang lancar. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرْ اللهَ يَجِدْ اللهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Alloh, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa: 110)


Dengan begitu, memakan makanan yang halal di samping bertaubat merupakan tata krama sebelum berdoa, termasuk sebelum berdoa di tempat-tempat yang mustajabah sekali pun seperti Multazam. Terle¬pas bahwa doa mujarab atau tidak menjadi hak prerogatif Alloh subhanahu wata’ala, tetapi hendaknya kala berdoa memperhatikan makanan yang dimakannya. Orang yang senantiasa memperhatikan makanan halal tampak nuraninya bersih, untaian kata-kata yang keluar dari lisannya tulus dan lembut, dan pada akhirnya tidak ada penghalang antara doanya dengan Tuhan seperti dipraktikkan oleh sahabat Saad bin Abi Waqqash dan Ukkasyah. Di dalam hadits disebutkan:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّطَيِّبًاوَإِنَّ اللهَ أَمَرَالْمُؤْمِنِيْنَ بِمَاأَمَرَبِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ: يَااَيُّهَاالرُّسُلُ كُلُوْامِنْ الطَيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْاصَالِحًااِنِّىبِمَاتَعْمَلُونَ عَلِيْمً وَقَالَ تَعَالَى: يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُواكُلُوامِنْ طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ. ثُمَّ ذَكَرَالرَّجُلَ: يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَتَ، أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَىالسَّمَاءِ: يَارَبِّ يَارَبِّ يَارَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَبِالْحَرَامِ: فَأَ نَّىيُسْتَجَابُ لَهُ

"Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik. Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman sebagai¬mana Dia memerintahkan kepada para Rasul: “Hai para Rasul, makan¬lah sesuatu yang baik dan berusahalah dengan baik. Wahai orang-orang yang beriman, makanlah sesuatu yang baik yang telah diriz-kikan kepadamu.” Ada seorang laki-laki yang berjalan jauh. Ram¬butnya kusut penuh dengan debu. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata: “Ya Rabbi... ya Rabbi...,” sedang maka¬nannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyang-kan dengan barang haram, maka bagaimana ia diterima doanya? (HR. Muslim)