Feb 11, 2011

Mengqashar Shalat, Waktu Berbuka, dan Bepergian ke Luar Negeri

Pertanyaan:

Melalui surat ini saya ingin mengajukan beberapa saran dan pertanyaan:
1) Untuk kolom Fas’alu terima kasih karena sudah menerbitkan bundelnya dengan judul: “Tanya Jawab Aktual Fas’alu”, tetapi saya merasa janggal dengan kata “Fas’alu” yang memiliki tanda koma setelah huruf “s”, padahal kalau tidak salah kata itu diambil dari fi’il madhi “سأل” atau saala (tidak memakai ‘ain).
2) Perkembangan teknologi membuat kita harus lebih hati-hati dan waspada. Kalau dulu untuk pergi ke suatu kota kita harus berjalan kaki berjam-jam bahkan berhari-hari tapi sekarang cukup beberapa menit saja kita sudah sampai di tempat tujuan. Yang menjadi pertanyaan saya:
a. Apakah dalam masalah sholat kita masih boleh mengqashar atau menjamak, meski jarak yang kita tempuh melebihi 16 farsakh atau sama dengan 81 km dapat ditempuh dalam beberapa jam bahkan menit?
b. Bagaimanakah buka puasa orang yang bepergian dan sholat orang yang bepergian, apakah mengikuti waktu yang dituju?
c. Apabila saya pergi ke suatu negara (luar negeri) dan sebelum berangkat saya melakukan sholat Ashar, tetapi sampai di sana sudah masuk waktu sholat Isya’. Apakah boleh saya melaksanakan sholat Isya’ jamak dan qashar dengan shalat maghrib serta sholat mana yang harus saya dahulukan?
3) Bagaimana hukumnya mengadakan ulang tahun yang di dalamnya ada acara tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Mohon diberi dalil atau alasan yang kuat!

Demikian beberapa pertanyaan dan saran yang dapat saya ajukan. Atas perkenan dan jawaban pertanyaannya, saya mengucapkan terima kasih.

Abdul Azis
Jl. Made Karyo VI/2 Made Lamongan 62251


Jawaban:
Terima kasih kembali atas segala perhatiannya. Mengenai pertanyaan pertama, mengapa kata Fas’alu ditulis Fas’alu, memakai koma, bukan Fasalu (tanpa koma), padahal memakai hamzah bukan ain, saya kira hal ini soal teknis. Kata Fas’alu dipetik dari kata dalam Al-Qur’an: فسئلوا . (Q.S. An-Nahl: 63) Artinya bertanyalah.
Kita memilih menulis Fas’alu (dengan memakai koma) agar tidak rancau yang menyebabkan salah baca. Sementara dalam keseharian kita sering menulis atau menjumpai tulisan kata “Al-Qur’an”, dengan menggunakan koma, bukan “Al-Quran” (tanpa koma), padahal huruf yang dikasih koma itu bukan ain melainkan hamzah. Pilihan ini agaknya dilakukan agar terhindarkan dari salah baca.
Apalagi hingga saat ini kita belum memiliki standar transliterasi Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia yang disepakati semua pihak.

Mengenai pertanyaan kedua (a), masalah jarak diperbolehkan qashar sepanjang 81 km dan bisa ditempuh beberapa menit saja, bolehkah dilakukan qashar. Hal ini kita kembalikan kepada kesepakatan ulama di samping nash-nash hadits nabawi. Kesepakatan ulama berkaitan dengan hal ini menyatakan bahwa standar dari bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah jarak atau yang disebut masafah atau masirah, bukan waktu. Berapa jaraknya, bukan berapa waktunya. Jika jaraknya mencukupi dilakukan qashar, maka tidak mengapa dilakukan qashar, meski untuk menempuh jarak itu bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam saja, misalnya kalau naik pesawat terbang.

Bila di dalam teks hadits disebutkan Rasulullah bepergian dari Madinah ke Makkah dan beliau melakukan qashar shalat, itu maknanya adalah jarak yang ditempuh antara Madinah ke Makkah telah mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Begitu pula teks hadits ketika Rasulullah saw. melarang mengqashar shalat bila bepergian dari Makkah ke Usfan karena perjalanan ini tidak mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.

Bila Al-Auzai berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan sehari, atau dalam perjalanan dua hari dua malam menurut Asy-Syafii dan Ahmad, atau dalam perjalanan tiga hari tiga malam menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, hal ini semua berkaitan dengan jarak (masafah). Jarak perjalanan sehari misalnya adalah diperkirakan sejauh 37,5 km. Jarak perjalanan dua hari dua malam adalah diperkirakan sejauh 81-90 km. Dan jarak perjalanan tiga hari tiga malam diperkirakan sejauh 121,5 km. Dan sebagainya. Dalam jarak itu artinya orang yang bepergian diperkenankan melakukan qashar.

Qashar shalat (dari empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat) merupakan keringanan dari Allah swt. lantaran melakukan bepergian (safar). Sedang bepergian lazimnya menjadikan orang capek, letih, dan lelah. Di saat itu dia diperkenankan menerima keringanan, mengqashar shalat, walaupun boleh-boleh saja, dia melakukan shalat secara sempurna, tidak melaksanakan keringanan itu, karena dia merasa misalnya perjalanan perginya tidak melelahkan.
Untuk ihwal menjamak shalat, ketentuannya lebih longgar dibanding dengan ketentuan mengqashar shalat.

Soal pertanyaan kedua (b), kaitannya dengan buka puasa dan shalat, mengikuti waktu manakah orang yang bepergian, agaknya setiap orang hanya menjalani satu waktu saja, yaitu waktu di mana ia berada dan mengetahuinya. Maka, waktu yang tengah dialaminya di mana ia berada itulah waktu yang dibuat ukuran. Secara mudah, kalau berada di Amerika, berarti ia memakai waktu Amerika, dan kalau berada di Jakarta, ia memakai waktu Jakarta.

Tentang pertanyaan kedua (c), hal ini sudah kami singgung di poin (a). Pada dasarnya, kalau jarak bepergian yang ditempuh memenuhi ukuran diperkenankannya qashar (baik bepergian di dalam negeri maupun ke luar negeri), maka tidak mengapa dilakukan qashar. Mengenai shalat mana yang didahulukan, bila telah masuk waktu Isya’ dan Anda mendahulukan shalat Maghrib disusul kemudian shalat Isya’, maknanya Anda melakukan tertib shalat. Sedang bila Anda mendahulukan shalat Isya’ baru kemudian shalat Maghrib, maknanya Anda “menghormati” waktu di mana shalat dilakukan. Jadi pada dasarnya kedua-duanya boleh. Tinggal pilih.

Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, yaitu soal mengadakan acara ulang tahun dengan tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Acara ulang tahun pada dasarnya tidak ada nash yang jelas-jelas memerintahkan dan juga tidak ada nash yang jelas-jelas melarang. Sekarang mari diurai acara ini dari dalil-dali nash yang ada.
Usia merupakan karunia Allah swt. Semakin usia bertambah semakin banyak karunia Allah swt. yang kita terima, apakah itu kesehatan, kemampuan, kesempatan, kematangan fisik-mental, dan sebagainya. Hal ini patut untuk disyukuri. Bila acara ulang tahun dimaksudkan sebagai sarana untuk bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat-nikmat-Nya, mengundang tetangga dan relasi untuk memberikan doa seraya memberikan jamuan, di samping untuk membuat segar suasana, agaknya tidak ada masalah. Suatu tradisi yang baik. Sekian banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyeru kita mengungkapkan syukur kepada Allah swt.

Persoalannya adalah apakah eskpresi syukur yang dimanifestasikan dalam acara ulang tahun itu benar-benar sesuai dengan sikap mensyukuri nikmat yang diajarkan oleh syariat Islam? Apakah di dalam acara itu tidak ada kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada kebatilan? Hal ini yang menjadi masalah. Bila ada pandangan mengadakan ulang tahun adalah suatu kewajiban ini adalah suatu kesalahan, karena syariat Islam ternyata tidak mewajibkannya. Bila ada acara tiup lilin, ini kayaknya menyerupai kalangan penyembah api. Bila tiup lilin dimaksudkan sebagai ungkapan mematikan marabahaya, ini termasuk bagian dari ungkapan tasyaum (merasa mendapatkan sial). Sementara tasyaum tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Apakah dalam acara ulang tahun tidak ada pemborosan, ini juga persoalan. Sementara Islam mengajarkan menjauhi pemborosan.

Bila ada kebatilan dalam praktik mensyukuri nikmat jangan-jangan hal itu termasuk bagian dari sikap menukar nikmat Allah swt. dengan perilaku pembangkangan.
Sebaiknya acara ulang tahun itu dimodifikasi hingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, misalnya dengan mengundang tetangga dan relasi, meminta doa dari mereka, serta menjamunya di samping menyegarkan suasana dengan hiburan-hiburan yang baik, tanpa banyak acara yang hanya bersifat seremonial, atau dengan mengundang kalangan dhuafa’, meminta doa, menjamunya, menggembirakanya, dan memberi bingkisan kepada mereka.

Usia di samping karunia hakikatnya adalah hujjah dari Allah swt. Bila usia tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya, ia adalah suatu kerawanan. Di sinilah perlunya kita mawas diri. Semakin bertambah usia seyogyanya semakin meningkat kewaspadaan diri kita, dengan menghindari hal-hal yang tidak berguna, memfokuskan kepada hal-hal yang bermanfaat dan berdimensi ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam bis shawab.

Feb 7, 2011

Kala Nurani Menginsafi dan Lidah Mengingkari

Q.S. An-Naml: 14

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini kebenarannya.

Makna dan Penjelasan Ayat
Ayat ini berkaitan dengan kepribadian rezim Fir’aun. Fir’aun amat resah begitu juru ramal istana memprediksi akan ada bayi laki-laki Bani Israil kini yang akan menghancurkannya kelak. Keresahan itu lalu dilampiaskannya dengan membunuhi setiap bayi yang lahir laki-laki dari kalangan Bani Israil secara membabi-buta. Keresahan itu kemudian berubah menjadi kekesalan dan duka mendalam begitu dia sadar, bayi yang diramalkan itu bukan orang lain, melainkan anak angkatnya sendiri yang diasuhnya semenjak kecil, lebih dari 18 tahun.

Bayi itu adalah Nabi Musa as. Namun, Nabi Musa as kini bukanlah Musa as kecil, karena sekarang beliau telah diangkat menjadi nabi dan rasul. Dia diperintah menyeru ayah angkatnya yang super arogan hingga mengaku tuhan itu sadar dan kembali kepada tauhid, dengan hanya mengesakan Allah swt, di samping diutus kepada bangsa Egipt (Qibthi, Mesir) dan Bani Israil.

Untuk kepentingan misi itu Allah swt telah menyokongnya dengan mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi seekor ular besar dan tangan dapat mengeluarkan cahaya putih terang benderang. Beliau mendemonstrasikan dua mukjizat itu di hadapan Fir’aun dan para pembesar istana demi memperkuat seruan tauhidnya. Mereka berdecak kagum menyaksikannya. Namun, sekadar itu. Karena lambang-lambang kebenaran yang jelas terpampang di hadapannya itu tidak membuatnya insaf, malah menjadikannya bertambah arogan dan durhaka.


Bentuk arogansi dan kedurhakaan itu Fir’aun menuduh keajaiban yang ditunjukkan Nabi Musa as sebagai sekadar sihir, sihir tingkat tinggi dan sempurna untuk mengusir rakyat dari negeri Egipt, negeri yang didiami Fir’an. Tuduhan ini adalah bentuk agitasi dan provokasi kepada rakyat untuk tetap menyudutkan duta Allah swt itu. Bentuk lainnya adalah usaha Fir’aun mengumpulkan pakar-pakar sihir sedunia untuk menandingi “sihir” Nabi Musa as.

Fir’aun lalu menyebarkan bala tentara, intel, dan bawahannya mencari dan mengundang pakar sihir dari seluruh dunia untuk mengalahkan Nabi Musa as di samping melalui brosur dan pamflet.

Konon saat itu menurut Ikrimah (tokoh tabiin) hadir dan terkumpul 70.000 pakar sihir. Menurut Kaab, sebanyak 12.000 pakar sihir. Sementara menurut Ibnu Ishaq, pakar sihir yang hadir dan berkumpul waktu itu sebanyak 15.000 orang dari berbagai belahan dunia. Disepakati waktu itu, bila mereka menang, Fir’aun akan memberikan upah yang sangat besar. Fir’aun menambahkan bila menang mereka akan mendapat posisi terhormat di istananya. Sebuah support yang amat besar demi memenangkan harga diri atas Nabi Musa as. Dan dari awal, para pakar sihir itu datang dengan kelewat percaya diri bahwa mereka pasti menang.

Ditetapkanlah hari pertunjukan besar itu di sebuah lapangan terbuka di Iskandaria. Bersama itu, para punggawa Fir’aun melakukan ekspos besar-besaran pertunjukan itu kepada rakyat agar mereka hadir menyaksikan kemenangan para pakar sihir atas Musa as. Rakyat pun sama berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan besar itu.
Dengan amat congkak, para pakar sihir bilang: “Wahai Musa, kamu yang mulai melemparkan lebih dahulu atau kita?!” Nabi Musa as dengan rendah mengatakan: “Lemparkanlah lebih dahulu.” Puluhan bahkan ratusan ribu pakar sihir itu lalu sama melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka seraya membaca mantra seperti diabadikan Al-Qur’an:

وَقَالُوْا بِعِزَّةِ فِرْعَوْنَ إِنَّا لَنَحْنُ الْغَالِبُوْنَ
Mereka berkata: “Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang.” (Q.S. Asy-Syuaraa’: 44)

Kala dilemparkan, tali temali dan tongkat-tongkat itu menyulap mata orang yang menyaksikan. Ribuan bahkan ratusan ribu tali temali dan tongkat-tongkat itu tampak seakan-akan berubah menjadi ular-ular kecil yang banyak sekali. Namun sekadar ilusi bukan hakiki. Sekadar sulap. Tetapi itu cukup membuat decak kagum hadirin. Para pakar sihir itu benar-benar mendatangkan sihir yang menakjubkan.

Kini giliran Nabi Musa as di saat para pakar sihir telah merasa di atas angin. Beliau melemparkan tongkat mukjizatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi seekor ular raksasa yang menghebohkan. Ular raksasa itu menelan ular-ular ilusi para pakar sihir satu per satu hingga habis dan hendak menelan juga manusia di sekitarnya. Ini lebih menakjubkan lagi. Hadirin ribut. Nabi Musa as lalu memberi isyarat dan kembalilah ia menjadi tongkat seperti sedia kala. Hadirin tiada henti-hentinya berdecak kagum. Keajaiban ini menjadi bibit-bibit keimanan yang bersemi pada diri Asiah, istri Fir’aun sendiri.

Ribuan bahkan ratusan ribu pakar sihir menyaksikan kenyataan itu terpana. Mereka yakin, yang ditunjukkan Musa as bukanlah sihir, karena mereka memahami seluk-beluk dan berbagai jenis sihir namun tidak mendapati sihir semacam yang ditunjukkan Musa as. Mereka yakin itu adalah mukjizat dari Allah swt. Maka insaflah mereka. Mereka sadar. Menyesal.

Keinsafan akal yang dipadu dengan fitrah tauhid menggerakkan 15.000 pakar sihir tersebut tersungkur bersujud kepada Allah swt di lapangan terbuka itu sekaligus mendeklarasikan keimanannya. Dinyatakan dalam Al-Qur’an:

قَالُوْا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ رَبِّ مُوْسَى وَهرُوْنَ
Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan Musa dan Harun.” (Q.S. Al-A’raaf: 121-122)

Fir’aun murka dengan kekalahan memalukan ini. Tapi lebih murka lagi begitu disaksikan 15.000 pakar sihir yang didatangkannya justru beriman kepada Nabi Musa as, musuh besarnya, dan mendeklarasikan tauhid kepada Allah swt. Dia spontan keluar alasan untuk mendiskreditkan pakar sihir yang beriman itu. Katanya seraya geram: “Apakah kalian beriman kepadanya sebelum aku memberi izin? Sesungguhnya tragedi ini adalah muslihat yang kalian rencanakan bersama Musa di dalam kota ini untuk mengeluarkan penduduk darinya. Maka kamu akan mengetahui akibat perbuatan kalian ini.”

Fir’aun memutuskan para pakar sihir itu seluruhnya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang untuk kemudian disalib di tiang gantungan. Keputusan berat dan kejam ini ternyata tidak menyurutkan keimanan mereka. Mereka tetap kokoh dengan tauhidnya. Mereka merespon keputusan itu dengan tabah dan tawakkal. “Silakan hukum kami; tidak ada kemudharatan bagi kami; sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali,” kata mereka. “Dan kamu tidak membalas dendam dengan menyiksa kami melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami,” lanjut mereka kepada Fir’aun.

Para pakar sihir kemudian tidak lagi menggubris Fir’aun dengan keputusannya. Mereka berkonsentrasi menghadapkan diri kepada Allah swt semoga dikaruniai kesabaran dan mati dalam keadaan muslim. Bagi mereka, inilah resiko keimanan di samping sebagai penebus dosa-dosa mereka sebelumnya. Doa mereka:

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (muslim). (Q.S. Al-A’raaf: 126)

Inilah kisah keinsafan umat manusia yang luar biasa. Nurani fitrah yang dipadu dengan akal menumbuhkan rasa keimanan yang kokoh. Mereka rela dipotong tangan dan kakinya bersilang serta disalib demi mempertahankan nurani fitrahnya bertauhid kepada Allah swt. Berkaitan dengan keteguhan iman para pakar sihir ini, Qotadah (tokoh tabiin) berkata:

كَانُوْا فِى أَوَّلِ النَّهَارِ سَحَرَةً كَفَرَةً وَفِى آخِرِ النَّهَارِ شُهَدَاءَ بَرَرَةً
Mereka di pagi hari pakar sihir yang kafir, sementara di sore hari mereka syuhada yang mulia-mulia.

Sementara Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana disebutkan oleh ayat tema di atas, tetap tidak beriman, karena fitrah tauhidnya tertutup oleh arogansi kekuasaan dan sikap kesewenang-wenangan.

Pelajaran dari Ayat
Dari sini umat manusia pada dasarnya mengakui hakikat kebenaran bahwa hakikat kebenaran itu adalah tauhid atau agama Islam. Iblis, Fir’aun, Abu Lahab, dan orang-orang kafir pun nurani mereka bahkan mengakui tauhid (Q.S. Al-Mu’minun: 84-89 dan Q.S. Al-Ankabuut: 61 dan 63). Namun atas dasar cara berpikir mereka yang keliru, ditambah arogansi dan kedengkian yang meluap-luap, mereka menentang suara hatinya sendiri. Dan untuk merevolusi hati nurani, mengalihkannya dari fitrah, tentulah dibutuhkan rekayasa yang luar biasa.
Maka berbahagialah umat manusia yang hati kecilnya menyadari hakikat kebenaran sementara lidahnya dapat mengekspresikan hakikat kebenaran itu dengan baik. Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.