Pertanyaan:
Melalui surat ini saya ingin mengajukan beberapa saran dan pertanyaan:
1) Untuk kolom Fas’alu terima kasih karena sudah menerbitkan bundelnya dengan judul: “Tanya Jawab Aktual Fas’alu”, tetapi saya merasa janggal dengan kata “Fas’alu” yang memiliki tanda koma setelah huruf “s”, padahal kalau tidak salah kata itu diambil dari fi’il madhi “سأل” atau saala (tidak memakai ‘ain).
2) Perkembangan teknologi membuat kita harus lebih hati-hati dan waspada. Kalau dulu untuk pergi ke suatu kota kita harus berjalan kaki berjam-jam bahkan berhari-hari tapi sekarang cukup beberapa menit saja kita sudah sampai di tempat tujuan. Yang menjadi pertanyaan saya:
a. Apakah dalam masalah sholat kita masih boleh mengqashar atau menjamak, meski jarak yang kita tempuh melebihi 16 farsakh atau sama dengan 81 km dapat ditempuh dalam beberapa jam bahkan menit?
b. Bagaimanakah buka puasa orang yang bepergian dan sholat orang yang bepergian, apakah mengikuti waktu yang dituju?
c. Apabila saya pergi ke suatu negara (luar negeri) dan sebelum berangkat saya melakukan sholat Ashar, tetapi sampai di sana sudah masuk waktu sholat Isya’. Apakah boleh saya melaksanakan sholat Isya’ jamak dan qashar dengan shalat maghrib serta sholat mana yang harus saya dahulukan?
3) Bagaimana hukumnya mengadakan ulang tahun yang di dalamnya ada acara tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Mohon diberi dalil atau alasan yang kuat!
Demikian beberapa pertanyaan dan saran yang dapat saya ajukan. Atas perkenan dan jawaban pertanyaannya, saya mengucapkan terima kasih.
Abdul Azis
Jl. Made Karyo VI/2 Made Lamongan 62251
Jawaban:
Terima kasih kembali atas segala perhatiannya. Mengenai pertanyaan pertama, mengapa kata Fas’alu ditulis Fas’alu, memakai koma, bukan Fasalu (tanpa koma), padahal memakai hamzah bukan ain, saya kira hal ini soal teknis. Kata Fas’alu dipetik dari kata dalam Al-Qur’an: فسئلوا . (Q.S. An-Nahl: 63) Artinya bertanyalah.
Kita memilih menulis Fas’alu (dengan memakai koma) agar tidak rancau yang menyebabkan salah baca. Sementara dalam keseharian kita sering menulis atau menjumpai tulisan kata “Al-Qur’an”, dengan menggunakan koma, bukan “Al-Quran” (tanpa koma), padahal huruf yang dikasih koma itu bukan ain melainkan hamzah. Pilihan ini agaknya dilakukan agar terhindarkan dari salah baca.
Apalagi hingga saat ini kita belum memiliki standar transliterasi Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia yang disepakati semua pihak.
Mengenai pertanyaan kedua (a), masalah jarak diperbolehkan qashar sepanjang 81 km dan bisa ditempuh beberapa menit saja, bolehkah dilakukan qashar. Hal ini kita kembalikan kepada kesepakatan ulama di samping nash-nash hadits nabawi. Kesepakatan ulama berkaitan dengan hal ini menyatakan bahwa standar dari bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah jarak atau yang disebut masafah atau masirah, bukan waktu. Berapa jaraknya, bukan berapa waktunya. Jika jaraknya mencukupi dilakukan qashar, maka tidak mengapa dilakukan qashar, meski untuk menempuh jarak itu bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam saja, misalnya kalau naik pesawat terbang.
Bila di dalam teks hadits disebutkan Rasulullah bepergian dari Madinah ke Makkah dan beliau melakukan qashar shalat, itu maknanya adalah jarak yang ditempuh antara Madinah ke Makkah telah mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Begitu pula teks hadits ketika Rasulullah saw. melarang mengqashar shalat bila bepergian dari Makkah ke Usfan karena perjalanan ini tidak mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.
Bila Al-Auzai berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan sehari, atau dalam perjalanan dua hari dua malam menurut Asy-Syafii dan Ahmad, atau dalam perjalanan tiga hari tiga malam menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, hal ini semua berkaitan dengan jarak (masafah). Jarak perjalanan sehari misalnya adalah diperkirakan sejauh 37,5 km. Jarak perjalanan dua hari dua malam adalah diperkirakan sejauh 81-90 km. Dan jarak perjalanan tiga hari tiga malam diperkirakan sejauh 121,5 km. Dan sebagainya. Dalam jarak itu artinya orang yang bepergian diperkenankan melakukan qashar.
Qashar shalat (dari empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat) merupakan keringanan dari Allah swt. lantaran melakukan bepergian (safar). Sedang bepergian lazimnya menjadikan orang capek, letih, dan lelah. Di saat itu dia diperkenankan menerima keringanan, mengqashar shalat, walaupun boleh-boleh saja, dia melakukan shalat secara sempurna, tidak melaksanakan keringanan itu, karena dia merasa misalnya perjalanan perginya tidak melelahkan.
Untuk ihwal menjamak shalat, ketentuannya lebih longgar dibanding dengan ketentuan mengqashar shalat.
Soal pertanyaan kedua (b), kaitannya dengan buka puasa dan shalat, mengikuti waktu manakah orang yang bepergian, agaknya setiap orang hanya menjalani satu waktu saja, yaitu waktu di mana ia berada dan mengetahuinya. Maka, waktu yang tengah dialaminya di mana ia berada itulah waktu yang dibuat ukuran. Secara mudah, kalau berada di Amerika, berarti ia memakai waktu Amerika, dan kalau berada di Jakarta, ia memakai waktu Jakarta.
Tentang pertanyaan kedua (c), hal ini sudah kami singgung di poin (a). Pada dasarnya, kalau jarak bepergian yang ditempuh memenuhi ukuran diperkenankannya qashar (baik bepergian di dalam negeri maupun ke luar negeri), maka tidak mengapa dilakukan qashar. Mengenai shalat mana yang didahulukan, bila telah masuk waktu Isya’ dan Anda mendahulukan shalat Maghrib disusul kemudian shalat Isya’, maknanya Anda melakukan tertib shalat. Sedang bila Anda mendahulukan shalat Isya’ baru kemudian shalat Maghrib, maknanya Anda “menghormati” waktu di mana shalat dilakukan. Jadi pada dasarnya kedua-duanya boleh. Tinggal pilih.
Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, yaitu soal mengadakan acara ulang tahun dengan tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Acara ulang tahun pada dasarnya tidak ada nash yang jelas-jelas memerintahkan dan juga tidak ada nash yang jelas-jelas melarang. Sekarang mari diurai acara ini dari dalil-dali nash yang ada.
Usia merupakan karunia Allah swt. Semakin usia bertambah semakin banyak karunia Allah swt. yang kita terima, apakah itu kesehatan, kemampuan, kesempatan, kematangan fisik-mental, dan sebagainya. Hal ini patut untuk disyukuri. Bila acara ulang tahun dimaksudkan sebagai sarana untuk bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat-nikmat-Nya, mengundang tetangga dan relasi untuk memberikan doa seraya memberikan jamuan, di samping untuk membuat segar suasana, agaknya tidak ada masalah. Suatu tradisi yang baik. Sekian banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyeru kita mengungkapkan syukur kepada Allah swt.
Persoalannya adalah apakah eskpresi syukur yang dimanifestasikan dalam acara ulang tahun itu benar-benar sesuai dengan sikap mensyukuri nikmat yang diajarkan oleh syariat Islam? Apakah di dalam acara itu tidak ada kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada kebatilan? Hal ini yang menjadi masalah. Bila ada pandangan mengadakan ulang tahun adalah suatu kewajiban ini adalah suatu kesalahan, karena syariat Islam ternyata tidak mewajibkannya. Bila ada acara tiup lilin, ini kayaknya menyerupai kalangan penyembah api. Bila tiup lilin dimaksudkan sebagai ungkapan mematikan marabahaya, ini termasuk bagian dari ungkapan tasyaum (merasa mendapatkan sial). Sementara tasyaum tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Apakah dalam acara ulang tahun tidak ada pemborosan, ini juga persoalan. Sementara Islam mengajarkan menjauhi pemborosan.
Bila ada kebatilan dalam praktik mensyukuri nikmat jangan-jangan hal itu termasuk bagian dari sikap menukar nikmat Allah swt. dengan perilaku pembangkangan.
Sebaiknya acara ulang tahun itu dimodifikasi hingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, misalnya dengan mengundang tetangga dan relasi, meminta doa dari mereka, serta menjamunya di samping menyegarkan suasana dengan hiburan-hiburan yang baik, tanpa banyak acara yang hanya bersifat seremonial, atau dengan mengundang kalangan dhuafa’, meminta doa, menjamunya, menggembirakanya, dan memberi bingkisan kepada mereka.
Usia di samping karunia hakikatnya adalah hujjah dari Allah swt. Bila usia tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya, ia adalah suatu kerawanan. Di sinilah perlunya kita mawas diri. Semakin bertambah usia seyogyanya semakin meningkat kewaspadaan diri kita, dengan menghindari hal-hal yang tidak berguna, memfokuskan kepada hal-hal yang bermanfaat dan berdimensi ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam bis shawab.
Melalui surat ini saya ingin mengajukan beberapa saran dan pertanyaan:
1) Untuk kolom Fas’alu terima kasih karena sudah menerbitkan bundelnya dengan judul: “Tanya Jawab Aktual Fas’alu”, tetapi saya merasa janggal dengan kata “Fas’alu” yang memiliki tanda koma setelah huruf “s”, padahal kalau tidak salah kata itu diambil dari fi’il madhi “سأل” atau saala (tidak memakai ‘ain).
2) Perkembangan teknologi membuat kita harus lebih hati-hati dan waspada. Kalau dulu untuk pergi ke suatu kota kita harus berjalan kaki berjam-jam bahkan berhari-hari tapi sekarang cukup beberapa menit saja kita sudah sampai di tempat tujuan. Yang menjadi pertanyaan saya:
a. Apakah dalam masalah sholat kita masih boleh mengqashar atau menjamak, meski jarak yang kita tempuh melebihi 16 farsakh atau sama dengan 81 km dapat ditempuh dalam beberapa jam bahkan menit?
b. Bagaimanakah buka puasa orang yang bepergian dan sholat orang yang bepergian, apakah mengikuti waktu yang dituju?
c. Apabila saya pergi ke suatu negara (luar negeri) dan sebelum berangkat saya melakukan sholat Ashar, tetapi sampai di sana sudah masuk waktu sholat Isya’. Apakah boleh saya melaksanakan sholat Isya’ jamak dan qashar dengan shalat maghrib serta sholat mana yang harus saya dahulukan?
3) Bagaimana hukumnya mengadakan ulang tahun yang di dalamnya ada acara tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Mohon diberi dalil atau alasan yang kuat!
Demikian beberapa pertanyaan dan saran yang dapat saya ajukan. Atas perkenan dan jawaban pertanyaannya, saya mengucapkan terima kasih.
Abdul Azis
Jl. Made Karyo VI/2 Made Lamongan 62251
Jawaban:
Terima kasih kembali atas segala perhatiannya. Mengenai pertanyaan pertama, mengapa kata Fas’alu ditulis Fas’alu, memakai koma, bukan Fasalu (tanpa koma), padahal memakai hamzah bukan ain, saya kira hal ini soal teknis. Kata Fas’alu dipetik dari kata dalam Al-Qur’an: فسئلوا . (Q.S. An-Nahl: 63) Artinya bertanyalah.
Kita memilih menulis Fas’alu (dengan memakai koma) agar tidak rancau yang menyebabkan salah baca. Sementara dalam keseharian kita sering menulis atau menjumpai tulisan kata “Al-Qur’an”, dengan menggunakan koma, bukan “Al-Quran” (tanpa koma), padahal huruf yang dikasih koma itu bukan ain melainkan hamzah. Pilihan ini agaknya dilakukan agar terhindarkan dari salah baca.
Apalagi hingga saat ini kita belum memiliki standar transliterasi Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia yang disepakati semua pihak.
Mengenai pertanyaan kedua (a), masalah jarak diperbolehkan qashar sepanjang 81 km dan bisa ditempuh beberapa menit saja, bolehkah dilakukan qashar. Hal ini kita kembalikan kepada kesepakatan ulama di samping nash-nash hadits nabawi. Kesepakatan ulama berkaitan dengan hal ini menyatakan bahwa standar dari bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah jarak atau yang disebut masafah atau masirah, bukan waktu. Berapa jaraknya, bukan berapa waktunya. Jika jaraknya mencukupi dilakukan qashar, maka tidak mengapa dilakukan qashar, meski untuk menempuh jarak itu bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam saja, misalnya kalau naik pesawat terbang.
Bila di dalam teks hadits disebutkan Rasulullah bepergian dari Madinah ke Makkah dan beliau melakukan qashar shalat, itu maknanya adalah jarak yang ditempuh antara Madinah ke Makkah telah mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Begitu pula teks hadits ketika Rasulullah saw. melarang mengqashar shalat bila bepergian dari Makkah ke Usfan karena perjalanan ini tidak mencukupi jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.
Bila Al-Auzai berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan sehari, atau dalam perjalanan dua hari dua malam menurut Asy-Syafii dan Ahmad, atau dalam perjalanan tiga hari tiga malam menurut Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, hal ini semua berkaitan dengan jarak (masafah). Jarak perjalanan sehari misalnya adalah diperkirakan sejauh 37,5 km. Jarak perjalanan dua hari dua malam adalah diperkirakan sejauh 81-90 km. Dan jarak perjalanan tiga hari tiga malam diperkirakan sejauh 121,5 km. Dan sebagainya. Dalam jarak itu artinya orang yang bepergian diperkenankan melakukan qashar.
Qashar shalat (dari empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat) merupakan keringanan dari Allah swt. lantaran melakukan bepergian (safar). Sedang bepergian lazimnya menjadikan orang capek, letih, dan lelah. Di saat itu dia diperkenankan menerima keringanan, mengqashar shalat, walaupun boleh-boleh saja, dia melakukan shalat secara sempurna, tidak melaksanakan keringanan itu, karena dia merasa misalnya perjalanan perginya tidak melelahkan.
Untuk ihwal menjamak shalat, ketentuannya lebih longgar dibanding dengan ketentuan mengqashar shalat.
Soal pertanyaan kedua (b), kaitannya dengan buka puasa dan shalat, mengikuti waktu manakah orang yang bepergian, agaknya setiap orang hanya menjalani satu waktu saja, yaitu waktu di mana ia berada dan mengetahuinya. Maka, waktu yang tengah dialaminya di mana ia berada itulah waktu yang dibuat ukuran. Secara mudah, kalau berada di Amerika, berarti ia memakai waktu Amerika, dan kalau berada di Jakarta, ia memakai waktu Jakarta.
Tentang pertanyaan kedua (c), hal ini sudah kami singgung di poin (a). Pada dasarnya, kalau jarak bepergian yang ditempuh memenuhi ukuran diperkenankannya qashar (baik bepergian di dalam negeri maupun ke luar negeri), maka tidak mengapa dilakukan qashar. Mengenai shalat mana yang didahulukan, bila telah masuk waktu Isya’ dan Anda mendahulukan shalat Maghrib disusul kemudian shalat Isya’, maknanya Anda melakukan tertib shalat. Sedang bila Anda mendahulukan shalat Isya’ baru kemudian shalat Maghrib, maknanya Anda “menghormati” waktu di mana shalat dilakukan. Jadi pada dasarnya kedua-duanya boleh. Tinggal pilih.
Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, yaitu soal mengadakan acara ulang tahun dengan tiup lilin, potong kue, dan kasidahan. Acara ulang tahun pada dasarnya tidak ada nash yang jelas-jelas memerintahkan dan juga tidak ada nash yang jelas-jelas melarang. Sekarang mari diurai acara ini dari dalil-dali nash yang ada.
Usia merupakan karunia Allah swt. Semakin usia bertambah semakin banyak karunia Allah swt. yang kita terima, apakah itu kesehatan, kemampuan, kesempatan, kematangan fisik-mental, dan sebagainya. Hal ini patut untuk disyukuri. Bila acara ulang tahun dimaksudkan sebagai sarana untuk bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat-nikmat-Nya, mengundang tetangga dan relasi untuk memberikan doa seraya memberikan jamuan, di samping untuk membuat segar suasana, agaknya tidak ada masalah. Suatu tradisi yang baik. Sekian banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyeru kita mengungkapkan syukur kepada Allah swt.
Persoalannya adalah apakah eskpresi syukur yang dimanifestasikan dalam acara ulang tahun itu benar-benar sesuai dengan sikap mensyukuri nikmat yang diajarkan oleh syariat Islam? Apakah di dalam acara itu tidak ada kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada kebatilan? Hal ini yang menjadi masalah. Bila ada pandangan mengadakan ulang tahun adalah suatu kewajiban ini adalah suatu kesalahan, karena syariat Islam ternyata tidak mewajibkannya. Bila ada acara tiup lilin, ini kayaknya menyerupai kalangan penyembah api. Bila tiup lilin dimaksudkan sebagai ungkapan mematikan marabahaya, ini termasuk bagian dari ungkapan tasyaum (merasa mendapatkan sial). Sementara tasyaum tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Apakah dalam acara ulang tahun tidak ada pemborosan, ini juga persoalan. Sementara Islam mengajarkan menjauhi pemborosan.
Bila ada kebatilan dalam praktik mensyukuri nikmat jangan-jangan hal itu termasuk bagian dari sikap menukar nikmat Allah swt. dengan perilaku pembangkangan.
Sebaiknya acara ulang tahun itu dimodifikasi hingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariat, misalnya dengan mengundang tetangga dan relasi, meminta doa dari mereka, serta menjamunya di samping menyegarkan suasana dengan hiburan-hiburan yang baik, tanpa banyak acara yang hanya bersifat seremonial, atau dengan mengundang kalangan dhuafa’, meminta doa, menjamunya, menggembirakanya, dan memberi bingkisan kepada mereka.
Usia di samping karunia hakikatnya adalah hujjah dari Allah swt. Bila usia tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya, ia adalah suatu kerawanan. Di sinilah perlunya kita mawas diri. Semakin bertambah usia seyogyanya semakin meningkat kewaspadaan diri kita, dengan menghindari hal-hal yang tidak berguna, memfokuskan kepada hal-hal yang bermanfaat dan berdimensi ketaatan kepada Allah swt. Wallahu a’lam bis shawab.