Nov 28, 2010

Ubuudiyyah


Ada hal yang patut dicermati dari kata Ibadah dan Ubudiyyah. Kedua kata ini berbeda meski berasal dari sumber yang sama. Dan sebagai seorang yang menginginkan kesempurnaan menjadi hamba maka dia harus memadukan keduanya. Ibadah, artinya melakukan segala sesuatu demi meraih ridha Allah, sedang Ubudiyyah adalah menerima
perlakuan Allah terhadap diri kita. Dalam kesempatan ini pembahasan akan terfokus pada masalah Ubudiyyah, sebab dari sedikit orang yang menuhankan Allah (sepertiga dari penduduk dunia), hanya sedikit orang yang benar-benar berusaha maksimal untuk melakukan sesuatu guna meraih ridhaNya (Ibadah), sementara dari orang yang telah melakukan Ibadah masih banyak pula yang belum mampu melahirkan Ubudiyyah dalam dirinya.

Ubudiyyah, seperti dalam pengertian di atas sangat terkait erat dengan keimanan kepada Qodho’ dan Qodar Allah, artinya kita wajib menerima dengan rela hati kepastian dan perlakuan Allah dalam diri ini. Jadi sebagai seorang Mukallaf (orang yang terbebani), kita harus menyadari bahwa bentuk pembebanan (Takliif) tidak hanya berupa membasuh anggota tubuh dengan air saat berwudhu atau mandi, tetapi ada bentuk lain yang mungkin lebih berat. Abul Faraj Ibnul Jauzi dalam Shoedul Khothir menuturkan:

“Apakah seseorang menyangka bahwa Takliif, hanya berupa wudhu, mandi atau berdiri di Mihrob dan melakukan shalat?, sungguh ini semua adalah bentuk Takliif yang paling ringan. Sangat jauh lebih berat dari ini adalah bentuk Takliif yang berupa saat akal harus merespon sesuatu di luar batas kemampuannya. Kenapa anak kecil yang tidak berdosa harus menderita sakit parah dsb. Takliif dalam masalah ini adalah apakah akal menolak atau menerima (Tasliim)”.

Contoh lain dari ini adalah kenapa seseorang harus kehilangan orang-orang yang dicintainya, kenapa dia harus bertemu dan bergaul dekat dengan orang yang tidak disukainya dan lain sebagainya. Sungguh hal-hal tersebut merupakan bentuk Takliif yang sangat berat yang jika ini mampu kita jalani dengan baik maka pahala besar menanti kita. Inilah isi dari Ubudiyyah. Bencana Tsunami di Aceh, meluapnya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo dan bencana-bencana lain yang menelan puluhan ribu bahkan ratusan ribu jiwa menguji kekuatan Ubudiyyah kita. Sulit dan berat sekali rasanya menerima semua ini, kenapa Aceh yang mayoritas penduduknya umat islam harus mengalami bencana yang sebesar itu. Bencana ini dan keharusan menerimanya mengingatkan kita akan tragedi Mesopotamia (Baghdad) masa lampau. Saat itu umat Islam menjadi korban kekejaman dan keganasan tentara kaum sipit Tartar, ribuan umat islam terbantai, tidak hanya kaum lelaki, tetapi wanita, anak-anak dan orang tua juga menjadi korban. Lebih dari itu mushaf Alqur’an dikalungkan di leher-leher anjing dan semua bukubuku Islam di buang di sungai Dajlah (Tigris sekarang) hingga tumpukan buku-buku di sungai itu bisa dilalui oleh kuda. Air sungai itupun menjadi berwarna tinta.


Seorang ulama Mesir, Syekh Afifuddin yang mendengar berita ini merasa sangat sedih, Beliau lalu mengadu dan mengajukan protes: “Ya Allah, kenapa semua ini terjadi, bukankan di sana banyak anak-anak dan orang-orang tidak berdosa?”. Akhirnya pada suatu malam, dalam mimpi, Syekh Afif kedatangan seseorang yang menyodorkan kepadanya selembar kertas bertuliskan:

Tinggalkan perlawanan (I’tirodh), karena semua pergerakan alam ini bukan menjadi wewenang dan urusanmu.
Dan jangan kamu bertanya kepada Allah tentang perlakuanNya, sebab barang siapa yang masuk ke dasar lautan maka dia akan mati tenggelam

Hal yang mungkin bisa membantu dan menuntun hati untuk mudah menerima perlakuan Allah adalah dengan membangun kepercayaan penuh kepadaNya, dan tentu saja kepercayaan ini baru bisa terlaksana jika sudah terjadi hubungan erat dengan Allah. Selain itu harus pula menyadari
dan meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Allah adalah yang terbaik bagi diri ini, meski sebenarnya Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya. Ingatlah firman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi:

“Sesungguhnya ada dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kekayaan, andai ia Aku jadikan miskin maka keadaannya akan hancur. Dan sesungguhnya sebagian dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kemiskinan, andai ia aku berikan kekayaan maka keadaannya akan berantakan”. (HR Baghowi)

Nov 20, 2010

Bacaan “Amin “ Bersama

Pertanyaan:

Belakangan ini ada sebagian kelompok Islam yang mengklaim sebagai penerus generasi salaf, akan tetapi ada banyak hal aneh dari mereka yang berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlaku di kalangan kaum muslimin dunia khususnya Indonesia. Di antara keanehan kelompok tersebut adalah tidak mau membaca “Amin “ bersama - sama untuk mengamini do’a salah seorang ustadz atau kiyai. Menurut mereka, kebiasaan tersebut tidak ada dalil dan tidak pernah pula diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Menurut Pak Kiyai, apakah benar pendapat mereka tersebut?

Haryono,
Batu Malang

Jawaban:

Klaim bahwa bacaan “ Amin “ bersama - sama tidak ada dalilnya adalah salah. Sebab dalil - dalil terkait dengan ini banyak sekali. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya:

“Sebuah kelompok tidak berkumpul lalu sebagian berdo’a dan sebagian lain mengamini kecuali Allah pasti mengabulkan mereka “ HR Hakim.

Hadits ini secara jelas menegaskan bahwa pembaca “Amin “, orang yang mengamini do’a orang lain dianggap ikut serta bedo’a dan berharap dari Allah Swt yang berarti ia juga berhak mendapatkan apa yang didapatkan oleh orang yang berdo’a.


Sungguh memasyarakatkan bacaan “Amin “ dalam setiap kesempatan - selain dalam shalat - adalah upaya menunjukkan identitas dan nilai lebih ajaran Islam disamping juga membuat musuh - musuh Islam gigit jari karena iri dan dengki seperti diriwayatkan oleh Sayyidatuna Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Yahudi tidak iri kepada kalian seperti mereka iri akan (ucapan) Salam dan (bacaan) Amin “ HR Ibnu Majah–Ibnu Khuzaimah.

Nov 6, 2010

Breaking News

Mohon maaf kepada para pengakese blog alwasath. Rencananya hari ini jam 08.00 Tausiyah Abi Ihya' Bulan Nopember 2010 disiarkan secara langsung, dibatalkan karena ada kendala teknis. Semoga ke depan tidak terulang, dan semoga dapat dimaklumi.

-admin alwasath-

Dakwah Kita dengan Gerakannya Agar difahami

Tausiyah Bulan Nopember 2010.

Seperti dimaklumi bahwa dakwah kepada kebaikan dalam pemahaman kita berlandaskan pada firman Allah: “dan hendaklah ada dari kalian (sebagian) kelompok yang menyeru kepada kebaikan... “QS Ali Imran:104.

Pertama; dalam arti mendakwahkan Islam kepada non muslim dan sesungguhnya ikatan yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan Dakwah kepada Islam sebagai sebuah kewajiban islam dengan berbagai sarana dakwah yang telah ditetapkan secara syara’ demi ber-jihad untuk membebaskan seluruh alam dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan dan agar tidak terjadi fitnah di atas bumi yang diwariskan kepada kita.

Arti yang pertama ini tidak bisa dicampur adukkan dengan arti kedua ayat tersebut (seperti berikut ini) karena tindakan mencampur adukkan ini justru menggiring sebuah gerakan (dakwah) menuju terbunuh sendiri, akan membuka luas pintu silang pendapat (khilaf) dan perselisihan (ihkhtilaf), menjadikan gerakan (dakwah) dinilai tidak jelas artinya bagi khalayak ramai serta memberikan ruang bebas kepada pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan untuk melemparkan berbagai macam tuduhan.

Kedua; dalam arti menyampaikan (mentransformasikan) kebaikan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin sendiri ketika mereka sedang dalam kondisi kemunduran budaya, terpecah-belah, (terjebak dalam) kenegatifan, tercerai berai dan tercabik-cabik secara politik, ekonomi dan sosial dengan cara menyelamatkan mereka dari keberadaan mereka yang ibarat buih, membangkitkan semangat mereka, mendorong mereka kepada segala hal yang baik dan bermanfaat bagi mereka, (dan memfokuskan mereka dalam) menghadapi tantangan-tantangan serta menjauhkan mereka dari hal-hal negatif. Dan sesungguhnya ikatan yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan aqidah yang kita yakini lebih suci daripada ikatan tanah dan tumpah darah.

Merekalah pihak tujuan kita. Kita beramal di jalan mereka. Kita membela kehormatan mereka. Dan kita menebus mereka dengan jiwa dan harta benda. Sungguh mereka begitu kuat merespon orang yang menyeru agar mereka beramal demi kebangkitan islam. Dan sesungguhnya semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim dengan syarat ia tidak mengucapkan kalimat kekafiran, tidak mengingkari hal yang secara pasti dimaklumi sebagai bagian dari agama, tidak mendustakan hal yang jelas-jelas ditegaskan Alqur’an atau tidak menafsirkannya dengan cara yang sama sekali tidak sesuai dengan uslub-uslub bahasa arab atau ia tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kemungkinan lain selain perbuatan kekafiran.
Dan sesungguhnya wajib bagi kita untuk tidak menuduh atau menyebut kafir siapapun yang telah berikrar dengan dua syahadat sekaligus juga menjalankan tuntutannya. Karena islam selalu baik dan hidup dalam relung jiwa mereka.


Sesungguhnya kewajiban gerakan (dakwah) adalah hanya memindahkan perasaan tersebut ke dalam (bentuk nyata berupa) tindakan yang islami dan (tentunya) gerakan kita ini hanyalah sekedar pemandu bagi umat demi kebutuhan mendesak mereka akan penyelamatan, motivasi dan dorongan untuk menghadapi sekian banyak tantangan dan menjauhi segala bentuk hal negatif. Karena itulah gerakan dakwah tidak seharusnya merasa benar sendiri dan bahwa selain mereka salah.Gerakan dakwah kita semestinya selalu bersama kebenaran di manapun berada. Ia mencintai persatuan dan kerukunan serta membenci hal-hal yang menyimpang/nyelneh.

Sungguh ujian terbesar kaum muslimin adalah perselisihan dan perpecahan. Sementara asas untuk mereka meraih kemenangan adalah persatuan, cinta dan kasih sayang. Generasi akhir umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan sesuatu yang menjadikan baik generasi umat terdahulu. Inilah pemikiran dasar, keyakinan yang tertanam dalam jiwa dan tujuan yang dimaklumi oleh kita semua agar kita berfokus ke sana sekaligus menyerukannya.

Selain ini semua kita juga meyakini bahwa perbedaan dalam masalah cabang-cabang agama adalah hal yang pasti dan tidak bisa ditawar. Tidak mungkin kita bersatu dalam cabang-cabang ini karena beberapa sebab yang di antaranya:

1) Perbedaan akal dalam kekuatan atau kelemahan menggali hukum (istinbath) dan memahami dalil-dalil atau tidak mengetahuinya
2) Pemahaman akan kedalaman makna-makna dan hubungan hakikat-hakikat satu dengan yang lainnya
3) Keluasan dan kedangkalan ilmu
4) Sesungguhnya figur ini mendapatkan informasi yang tidak didapatkan oleh figur lain. Dan begitu pula sebaliknya.
5) Perbedaan lingkungan sehingga praktekpun berbeda disebabkan perbedaan masing-masing lingkungan.
6) Perbedaan kemantapan hati dalam menerima riwayat yang ada
7) Perbedaan menafsirkan petunjuk-petunjuk dalil. Dll

Sedangkan agama adalah ayat-ayat Alqur’an, hadits-hadits dan nash-nash yang ditafsirkan oleh akal dan pendapat dalam standart bahasa arab dan kaidah-kaidahnya. Sementara sudah pasti dan disepakati bahwa dalam hal ini manusia memiliki kemampuan yang tidak sama.

Semua ini menjadikan kita meyakini bahwa sepakat akan satu hal dalam cabang-cabang agama adalah keinginan yang mustahil terwujud dan bahkan bertentangan dengan karakter agama itu sendiri.

Jika dalam masalah-masalah cabang yang paling jelas nashnya seperti Adzan yang dikumandangkan lima kali dalam sehari saja masih terjadi perbedaan maka bagaimanakah menurut anda dalam masalah-masalah kecil/sepeleh yang hanya berdasar pada pendapat dan istinbath?

Sungguh Allah berkehendak agar agama ini tetap abadi, langgeng, bisa berjalan mengikuti perkembangan serta selaras dengan zaman. Jadi untuk tujuan ini, agama islam menjadi agama yang mudah, fleksibel, gampang dan lunak serta sama sekali tidak kaku dan tidak keras. Kita harus meyakini ini semua dan dengan sendirinya menerima semua alasan orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah furu’. Kita juga perlu melihat bahwa perbedaan ini selamanya tidak boleh dijadikan penghalang bagi pertautan hati, saling memberi cinta dan saling tolong menolong dalam kebaikan diiringi rasa senang dan gembira akan setiap pihak yang berbuat baik demi kebangkitan islam di dunia secara umum, dan di Indonesia secara khusus.
Atas dasar inilah tidak ada halangan apapun bagi kita untuk ikut serta dengan gerakan positif manapun demi tujuan tersebut.

Dan sungguh kita bergembira atas pertolongan Allah kepada seluruh pelaku kebaikan dan demi kebaikan dan sesungguhnya lapangan dakwah begitu luas terpampang bagi siapapun di mana masing-masing mendapatkan bagiannya.

=والله يتولى الجميع برعايته=